Dear Readers, Maaf hari ini Author hanya bisa up satu bab saja karena ortu mengalami kecelakaan tunggal tadi pagi, tetapi syukurlah Beliau baik-baik saja, hanya luka ringan dan tak ada korban jiwa. Besok Author akan kembali up dua bab rutin, terima kasih.
Di kaki gunung Guifeng, di sebuah gazebo yang berdiri di antara pepohonan rimbun, seorang gadis cantik berpakaian kuning cerah tampak gelisah. Pedang yang ia tenteng di tangan kiri menunjukkan bahwa ia memiliki ilmu silat cukup tinggi. Gadis itu adalah Xiao Lin, murid tertua Biarawati Yun Hui dari sekte Hoa Mei.Xiao Lin menghela napas panjang, matanya menyapu pemandangan di sekitarnya dengan cemas. Seharusnya ia dan adik seperguruan, Ming Mei, sudah tiba di Perguruan Hoa Mei beberapa hari lalu. Namun, Ming Mei tiba-tiba menghilang saat mereka menginap di sebuah losmen, hanya meninggalkan sepucuk surat yang menjanjikan pertemuan di kaki Gunung Guifeng pada tanggal 15 bulan ini."Ke mana gerangan dirimu, Ming Mei?" keluh Xiao Lin, suaranya penuh kekhawatiran. Ia berjalan mondar-mandir di dalam gazebo, langkahnya yang ringan namun gelisah memantul di lantai kayu yang berderit pelan. Hari ini sudah tanggal 15 dan ia telah menunggu di tempat yang disebutkan Ming Mei sejak pagi.Tiga jam t
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ming Mei, suaranya bergetar menahan amarah."A-aku baru saja datang dan tak sengaja menemukan mereka berdua pingsan di sini," jawab Lin Mo cepat, berusaha mengatur napasnya yang memburu."Aku melihatmu meraba-raba Kak Xiao Lin," desis Ming Mei, sorot matanya bagai bara api yang siap menghanguskan sang kekasih hati. "Apakah selama ini kau diam-diam menyukai dia?""Tidak, tentu saja tidak!" Lin Mo menggoyang-goyangkan tangannya dengan panik, mencoba membantah meski sudah tertangkap basah. "Aku hanya memeriksa apakah kakak seperguruanmu ini masih hidup atau tidak," dalih pemuda itu dengan suara meyakinkan."Jangan kau kira aku ini bodoh!" bentak Ming Mei gusar, "Aku tahu kau mencoba mengambil kesempatan dalam kesempitan!"Lin Mo terdiam, menggaruk kepala yang tak gatal, sikapnya menyebabkan Ming Mei makin murka. Gadis itu tiba-tiba saja meraih pedang Xiao Lin yang tergeletak di tanah dan menghunusnya. "Eitt, Ming Mei ... jangan salah paham!" Lin Mo
Sementara itu, tak jauh dari sana, di balik pohon besar, Yao Pang mengawasi mereka dengan waspada. Di dalam dekapannya, Xiao Lin masih terkulai tak sadarkan diri. Yao Pang telah berhasil memulihkan sebagian tenaga dalamnya berkat transfer energi dari Xiao Lin sebelumnya.Anggota sekte pembunuh bayaran ‘Iblis Bayangan’ itu siuman dengan cepat dan sempat mendengarkan setiap kata dari rencana jahat Lin Mo dan Ming Mei. Kini, ia pun memutuskan untuk menolong gadis yang rela mengerahkan energi chi demi menyelamatkan nyawanya tanpa memedulikan nyawa sendiri. Begitu melihat kesempatan dimana Lin Mo dan Ming Mei lengah, dengan hati-hati, Yao Pang mengangkat tubuh Xiao Lin dan bergerak menjauh, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun."Bertahanlah, Nona!" bisiknya lembut. "Aku berjanji akan melindungi dan membalas kebaikanmu."Sementara Lin Mo dan Ming Mei sibuk mencari mangsa mereka yang hilang, Yao Pang terus bergerak dalam kegelapan malam, membawa Xiao Lin kabur menjauh dari mereka
Fajar menyingsing di ufuk timur, cahayanya yang keemasan menyapu lembut permukaan danau yang tenang. Pagi itu, di hari keempat, Yao Pang melangkah ringan menyusuri lembah menuju pondoknya. Angin sejuk membelai wajahnya, membawa aroma segar rerumputan dan bunga-bunga liar.Di tengah perjalanan, matanya tertuju pada sekumpulan bunga camelia yang mekar indah. Tanpa ragu, ia memetik beberapa tangkai, berniat memberikannya kepada Xiao Lin. Bagi masyarakat di dataran Cina, camelia melambangkan wanita cantik, dan bagi Yao Pang, Xiao Lin lebih dari layak menerimanya.Ketika jemarinya baru saja menyentuh kelopak bunga terakhir, tiba-tiba cuping telinganya bergerak-gerak. Insting petarungnya yang tajam menangkap suara bayangan berkelebat dari arah hutan, mendekat dengan kecepatan tinggi, pertanda pemilik ilmu sinkang yang bukan sembarangan.
Tangan Xiao Lin bergerak lincah melipat pakaian, meski begitu matanya menyiratkan kesedihan yang dalam. Sebenarnya, gadis cantik itu menyadari kesedihan yang terpancar dari mata Yao Pang saat ia berpamitan. Kebersamaan mereka selama tiga hari telah meninggalkan jejak mendalam di hati keduanya, menciptakan kenangan indah yang sulit dilupakan. Namun Xiao Lin bukanlah gadis biasa. Ia adalah murid Hoa Mei yang kelak akan menggantikan Biarawati Yun Hui menjadi ketua. Takdir telah menempatkannya pada jalur yang berbeda dengan Yao Pang. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk mengubur dalam-dalam perasaannya dan bertekad melupakan pria itu selamanya. "Nona Xiao, bagaimana kalau kita bersulang sebelum kau kembali ke Hoa Mei?" Suara lembut Yao Pang menggugah Xiao Lin dari lamunannya. Xiao Lin tersentak, konflik batin berkecamuk dalam dirinya. Ia ingin menolak, tak ingin menambah kenangan manis bersama pria yang sangat baik kepadanya. Namun, saat ia menatap sorot mata Yao Pang yang penuh harap
Xiao Lin berniat mengakhiri hidup pria yang telah merenggut kesuciannya, membalas sakit hati yang ia rasakan. Namun, tangannya serasa lumpuh. Cinta yang terlanjur bersemi di hati pada Yao Pang membuatnya lemah.Akhirnya, pedang itu jatuh berdenting ke lantai. Xiao Lin jatuh bersimpuh, tangisnya pecah memenuhi ruangan."Guru, maafkan muridmu yang tak berbudi ini," isaknya pilu, masa depannya yang gemilang kini telah hancur berkeping-keping.Yao Pang, menyaksikan gadis yang dicintainya begitu rapuh, tak kuasa menahan diri. Ia menghampiri Xiao Lin dan memeluk bahunya dari belakang."Xiao Lin, aku bersedia bertanggung jawab!" ujarnya penuh kasih, "tinggalkanlah dunia persilatan dan hiduplah bersamaku!"Xiao Lin
Malam merangkak pelan di atas perguruan Hoa Mei, menyelimuti bangunan-bangunan kuno yang telah berdiri selama ratusan tahun. Di dalam aula doa yang sunyi, Biarawati Yun Hui berlutut dalam kekhusyukan.Tangan kanannya memukul kentongan kecil berwarna merah, sementara tangan kiri menggerakkan butir-butir tasbih hitam dengan lincah. Bibirnya bergerak tanpa suara, merapalkan doa-doa yang telah dihafalnya selama bertahun-tahun.Di balik wajahnya yang tenang, hati Biarawati Yun Hui sedang berduka. Ia tak bisa melupakan murid yang paling dibanggakan dan dikasihi, Xiao Lin. Ia tak habis pikir mengapa tiba-tiba saja gadis itu menghilang bagai ditelan bumi, di saat ia sedang berobat kepada Tabib Sakti Shen Yi.Sambil terus memukul kentongan dan menggerakkan butiran tasbih, pikiran Ketua Hoa Mei jauh melayang. Ingatannya
Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik awan, menyinari rumah sederhana di tepi danau Tian Tang. Di dalamnya, Xiao Lin bersenandung lembut, tangannya bergerak lincah menyiapkan bahan-bahan masakan.Hari ini adalah hari istimewa, yaitu hari genap satu tahun pernikahannya dengan Yao Pang. Senyum manis tak lepas dari wajahnya yang cantik, membayangkan kejutan yang akan ia berikan pada suami tercinta.Namun, senyum ibu muda itu seketika pudar saat menyadari satu bahan penting yang terlupa."Jamur!" serunya, menepuk kening dengan telapak tangan. Jamur kesukaan Yao Pang yang banyak tumbuh di sekitar danau, nyaris luput dari ingatannya.Setelah mengintip putri kecilnya, Yao Chen, yang masih terlelap di pembaringan, Xiao Lin memutuskan untuk bergegas ke tepi dana
Di singgasana, di kursi yang biasa ditempati raja Yu Ping, Qi Lung duduk dengan sikap angkuh. Mengenakan jubah kebesaran berwarna biru tua dengan sulaman naga emas, ia tampak seperti raja muda yang baru dinobatkan.Di hadapannya, beberapa menteri dan pejabat tinggi berlutut dalam barisan rapi, wajah-wajah mereka menunduk dengan campuran rasa takut dan bingung. Sudah tiga hari Raja Yu Ping tidak muncul di aula penghadapan, dan Qi Lung dengan mudah mengambil alih tanpa perlawanan berarti."Laporan dari perbatasan utara, Yang Mulia," Mentri Wei membacakan gulungan yang dibukanya. "Hasil panen tahun ini diperkirakan akan meningkat dua puluh persen dari tahun lalu. Gudang-gudang beras kita akan penuh hingga musim dingin."Qi Lung mengangguk puas. "Kabar baik. Pastikan pasokan beras didistribusikan dengan baik ke seluruh wilayah.""Dan mengenai perjanjian dagang dengan Kerajaan Ming di timur," lanjut Mentri Wei, membuka gulungan lain. "Mereka mengajukan proposal untuk menurunkan pajak perda
Di istana, Raja Yu Ping terbaring gelisah di pembaringannya. Mimpi-mimpi buruk terus menghantui tidurnya—bayangan wajah-wajah yang menderita, jeritan-jeritan yang tak terdengar, dan sosok naga hitam yang mengintai dari kegelapan."Zhen Yi…," sang Raja mengigau, keringat dingin membasahi dahi. "Di mana... kau?"Xiao Lan, yang duduk di samping tempat tidur, mengelap keringat raja dengan kain lembap. Ekspresinya kosong, matanya hampa seolah jiwanya tidak hadir di sana.Pintu kamar terbuka perlahan, dan Qi Lung melangkah masuk. Ia mengenakan jubah tidur mewah berwarna biru tua dengan sulaman emas, tapi wajahnya tampak segar seolah belum akan tidur dalam waktu dekat."Bagaimana kondisinya?" tanya Qi Lung lirih, mendekati tempat tidur ayahnya."Masih sama," jawab Xiao Lan datar. "Racunnya bekerja seperti yang direncanakan. Ia terus bermimpi buruk, membuatnya tidak bisa beristirahat dengan tenang."Qi Lung mengangguk puas, "Sempurna. Sekarang di mana Yun Hao? Aku tidak melihatnya sejak sore
Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kotaraja saat Yun Hao memacu kudanya menyusuri lorong-lorong sempit yang menjauh dari istana. Matahari nyaris terbenam sepenuhnya, menyisakan semburat oranye keunguan di langit barat. Ia mengenakan jubah hitam sederhana dengan tudung menutupi kepalanya—bukan pakaian yang biasa dikenakan seorang pangeran, tetapi sempurna untuk seseorang yang ingin bergerak tanpa menarik perhatian.Di belakangnya, istana megah dengan atap-atap merahnya berdiri angkuh, semakin mengecil seiring jarak yang ia tempuh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yun Hao merasa istana bukan lagi rumahnya—bukan lagi tempat yang aman. Sejak Qi Lung mengambil alih kekuasaan, dinding-dinding istana seolah menyimpan mata-mata di setiap sudutnya.Yun Hao membimbing kudanya memasuki wilayah kota yang lebih tua, di mana bangunan-bangunan kayu berjejer rapat dan papan-papan nama toko bergoyang tertiup angin malam. Jalanan semakin sepi, hanya beberapa pedagang yang sedang membereskan dag
Matahari sudah mulai terbenam saat kereta tahanan berhenti di sebuah pos jaga di perbatasan antara wilayah hijau dan gurun pasir. Para pengawal menurunkan Zhen Yi, yang kakinya terasa kaku setelah seharian duduk di kereta yang sempit."Kita akan bermalam di sini," kata komandan pengawal. "Besok pagi-pagi sekali kita akan melanjutkan perjalanan ke Istana Pasir."Zhen Yi mengangguk. Ia tidak melihat gunanya melawan atau mencoba melarikan diri. Enam pengawal bersenjata lengkap mengawalnya, dan tidak ada tempat untuk bersembunyi di padang pasir yang terbentang luas di hadapannya.Komandan pengawal, seorang pria setengah baya, menatap Zhen Yi dengan ekspresi antara iba dan "Anda akan ditempatkan di kamar belakang, Pangeran," katanya, suaranya terdengar sedikit lebih lunak. "Tidak terlalu nyaman, tapi setidaknya lebih baik daripada sel tahanan.""Terima kasih," jawab Zhen Yi tulus. "Bolehkah tanganku dilepaskan? Sudah hampir sehari penuh terikat, dan aku tidak merasa nyaman."Komandan tamp
Kereta tahanan bergerak lambat meninggalkan gerbang kota, roda kayunya berderit membelah jalanan berbatu. Di dalam kereta, Zhen Yi duduk bersandar pada dinding kayu yang kasar, tangannya masih terikat di belakang punggung.Melalui celah kecil di jeruji jendela, ia melihat kotaraja yang semakin mengecil di kejauhan—istana megah dengan atap-atap merah dan dinding putih yang selama ini menjadi rumahnya. Semua kenangan, semua kehidupannya, kini hanya tinggal titik kecil di cakrawala. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk."Kenapa, Qi Lung?" bisiknya pada diri sendiri. "Apa salahku padamu?"Kereta berguncang keras saat melewati lubang di jalan, membuat Zhen Yi terlempar ke depan. Pengawal yang duduk di ujung kereta menatapnya tanpa ekspresi, seolah membawa seorang pangeran ke pembuangan adalah tugas biasa."Bisakah tanganku dilepaskan?" tanya Zhen Yi dengan suara tenang. "Aku tidak akan kabur."Pengawal itu mendengus. "Maaf, Pangeran. Perintah langsung dari Pa
Di antara para pejabat, beberapa mulai berbisik-bisik. Beberapa menunjukkan ekspresi ragu, sementara yang lain tampak terkejut dan kecewa."Siapa yang menjebakmu, Pangeran Zhen Yi?" tanya Menteri Wei dengan sikap hati-hati. "Dan untuk tujuan apa?"Sebelum Zhen Yi bisa menjawab, terdengar keributan di luar aula. Suara teriakan dan hentakan langkah kaki saling bersahutan."Aku ingin masuk! Lepaskan aku!" Suara Yun Hao terdengar dari balik pintu. "Aku berhak menghadiri pengadilan saudaraku!""Lanjutkan sidang!" perintah Qi Lung dengan tenang. "Pengawal, pastikan tidak ada gangguan dari luar!"Suara keributan terus berlanjut beberapa saat sebelum akhirnya mereda—tanda bahwa Yun Hao telah berhasil disingkirkan dari area tersebut."Kau tidak bisa melakukan ini, Qi Lung," kata Zhen Yi, matanya menatap lurus ke arah saudaranya. "Ayah akan mengetahui kebenaran. Semua orang juga akan tahu bahwa aku tidak bersalah."Qi Lung tersenyum tipis. "Ayahanda sedang sakit parah, Adikku. Dan sulit dipasti
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen