Syahera yang sedang berlarian ingin menuju ke geladak bahagian depan mendadak kaget. Dia mendengar suara ribut-ribut dan teriakan.
“Tunggu dulu Nit!” Syahera berhenti sesaat. Pergelangan tangan Nita dia pegang erat.
“Sepertinya tadi aku ada dengar suara teriakan Ganta dari arah depan,” sebut Syahera. Dia semakin mempertajam pendengarannya.
“Aku tadi juga dengar Ra, kayaknya si Ganta itu habis terpeleset deh.”
“Mungkin jadi karena sambaran halilintar tadi Nit.”
“Emang kayaknya, soalnya aku tadi juga hampir tersungkur.”
“Kita tunggu di sini saja ya Nit, tadi aku juga dengar mereka semuanya mau pindah ke belakang.”
“Iya Ra, aku juga takut ke depan, katanya masih ada badai terlihat di depan sana.”
Langkah Nita dan Syahera akhirnya tertahan sebelum mereka melewati akses jalan sempit yang ada di pinggiran dinding-dinding sisi sebelah kanan ruangan penumpang. Hanya jalan sempit selebar setengah meter yang dibatasi oleh dinding ruangan dan pinggir lantai di sisi kiri dan kanan geladak itulah akses termudah yang dapat mereka lewati secara bergantian untuk bisa menuju ke lantai geladak kapal bahagian depan. Dalam suasana tegang seperti itu, Syahera merasa gamang untuk bisa melewatinya. Soalnya, sedikit saja terpeleset, pastilah nyemplung ke laut risikonya. Boleh jadi langsung disergap paus lapar jika kebetulan mereka ada yang berenang di sekitar sana. Jalan lain untuk bisa mencapai lantai geladak kapal bahagian depan hanyalah dengan naik ke atas ruangan penumpang. Lalu meluncur ke bawah melalui kaca bening yang ada di ruangan paling depan di mana ruangan kemudi kapal ditempatkan. Namun hal itu tentunya sulit jika dilakukan oleh kaum perempuan.
“Aduuuuh, sakiiiiiit! Sakiiiiiit! Tolong bawa dulu aku ke belakang Wend.” Teriakan kesakitan kembali terdengar hingga sampai ke geladak bahagian belakang.
“Lah, itu kan memang benar suara teriakan Ganta, iya kan Nit?” Syahera mengangkat alis matanya mendengar teriakan.
“Iya, benar Ra.”
“Kenapa dia dia sampai berteriak-teriak minta tolong begitu ya Ra.?”
“Nggak tahu juga sih, mungkin saja hempasannya keras tadi.”
Syahera kemudian melongokkan kepalanya ke arah geladak kapal bahagian depan untuk mendapatkan penglihatan. Ganta dan juga teman-teman mereka yang lainnya tak tampak dari sana karena terhalang oleh ruang kemudi kapal dan ruangan penumpang yang memblokade pandangan. Namun Syahera bisa menyaksikan bagaimana hitamnya angkasa di atas lautan yang mulai bergelombang.
“Sepertinya ada yang nggak beres nih Nit, lihat tuh ke arah sana, warna awannya semakin menghitam.” Syahera semakin melongokkan kepalnya ke arah depan. Dia bahkan berjinjit untuk bisa melihat lebih jelas. Nita ikut-ikutan melongok ke depan, dia juga ikut berjinjit menyaksikan.
“Mampus deh! Bisa karam kita semuanya di sini nanti Ra.” Nita terperangah memelototkan mata. Badai yang muncul di sisi utara perairan itu dilihatnya begitu hitam dan mulai menggila.
“Husss! Jangan gegabah gitu kamu kalau ngomong Nit,” hardik Syahera membelalakkan kedua bola matanya pada Nita.
“Ya deh, sorry Ra.” Nita menyekap mulutnya yang keceplosan bicara.
“Hoi Ganta, ada apa sebenarnya di sana?” Syahera berteriak. Kedua tangannya dia bulatkan di mulut membentuk corong yang mengarah ke geladak kapal bahagian depan.
“Syahera, kamu jangan di luar sana, cepat masuk ke dalam ruangan, soalnya di depan sana masih ada badai, suruh juga tuh si Nita untuk masuk ke dalam ruangan penumpang sekarang!” Suara sahutan terdengar dari arah geladak depan. Namun Wendra yang menyahut, bukannya Ganta.
“Nggak bisa Wend! Pintu ruangan penumpang tadi tiba-tiba saja terhempas, lalu tertutup rapat. Kami berdua nggak berani masuk ke dalam.”
“Buka paksa saja Ra!”
“Aku nggak berani Wend, takut!”
“Ngapain kamu pakai acara takut segala Ra, memangnya ada setan di sana!”
Syahera langsung terdiam mendengar kalimat Wendra. “Kenapa dia katakan ‘ada setan’ ya, memangnya dia itu sudah tahu?” pikir Syahera.
“Benar Wend, tadi ketika aku mau masuk ke dalam, pintunya tiba-tiba saja terhempas tanpa aku pegang. Mungkin saja memang ada setan di dalamnya Wend, kalian yang cowok-cowok kemari dong bantuin kami.” Nita menceletuk di belakang Syahera. Dia juga membulatkan kedua tangannya di mulut membentuk corong menirukan gaya Syahera.
“Hah, ada setan? Mana mungkin! Kamu jangan ngarang yang aneh-aneh deh Nit, nanti bisa kualat kamu.”
“Nita itu nggak ngarang Wend, soalnya aku tadi juga lihat pintu ruangan itu tiba-tiba saja tertutup rapat.” Syahera langsung mendahului Nita dengan jawabannya.
“Oke deh kalau gitu, tunggu saja, aku sekarang mau ke sana!”
Wendra bergegas menuju ke geladak belakang kapal melewati akses jalan yang ada di pinggiran dinding-dinding ruangan penumpang. Ratih, Cici, Vivi dan Nining masih tak terlihat. Ganta kemudian muncul di belakang Wendra. Namun Ganta terlihat dipapah oleh Sapta untuk bisa berjalan. Syahera yang melihatnya keheranan.
“Wendra, itu si Ganta ngapain?”
“Terantuk pagar kapal.” Wendra menjawab singkat sambil lewat.
“Jadi, di mana setannya? Ayo sini, aku mau lihat.” Kalimat Wendra bagai menantang. Bak seorang jagoan tak takut setan, Wendra melangkah tegap membusungkan badan. Dengan sombongnya dia berlalu begitu saja di hadapan Syahera dan Nita, kemudian langsung menuju ke arah pintu ruangan penumpang.
Aneh, belum lagi sempat Wendra meraih gagang pintu itu untuk membukanya, pintu geser yang ada di ruangan penumpang itu tiba-tiba saja terbuka dengan sendirinya. Seperti halnya pintu mall dengan sensor suhu dan kamera yang otomatis terbuka dengan sendirinya jika ada seseorang berdiri di depannya.
Tak pelak lagi, Wendra yang katanya tak takut setan langsung terperanjat. Wajahnya yang tadi garang berubah pucat. Kedua bola mata Wendra telak terbelalak melihat. Carut-marut pun berkecamuk dalam pikiran. Galau, takut, gundah dan cemas kesemuanya menyatu dalam pergulatan. Nyali Wendra seketika menghilang. Dia mundur dengan kedua lutut gemetaran.
Dalam kegalauan pikiran, lagi-lagi keterkejutan datang menghadang. Halilintar kembali menyambar permukaan lautan. “Braaaaaaaaak...! Duaaaaaar...! Duuuuuuuum...!” Suara gelegar yang dahsyat kembali menyentak pendengaran.
Kejadian yang lebih mengerikan mendadak datang. Saat bersamaan dengan terjadinya sambaran, sesosok kelelawar raksasa hitam seukuran badan serigala jantan melejit gesit secepat kilat tepat di belakang ruangan penumpang. Wendra yang masih berdiri di sana sontak tercengang. Semua bulu-bulu halus yang tertancap di sekujur tubuh Wendra langsung meremang. Termasuk bulu keteknya yang baru saja dicukur ikut-ikutan garang menegang.
Lutut Wendra yang tadi gemetaran kini bergoyang-goyang. Tubuh Wendra terlihat menggigil kencang. Celananya basah bau pesing menyengat penciuman. Sedetik kemudian Wendra tumbang dengan tubuh kejang-kejang. Kemudian dirinya terkapar mengangkang bagai tentara kalah perang. Itulah si Wendra yang katanya jagoan tak takut setan.
*****
Nita yang berdiri di belakang Syahera bahkan langsung terlompat dikagetkan oleh gelegar halilintar yang hebat. Maksud hati ingin ngumpet di belakang ruangan penumpang agar selamat. Namun dia mendadak terperanjat. Seekor kelelawar raksasa berwarna hitam sekonyong-konyong muncul dari arah belakang geladak. Penglihatan Nita tersengat, dia kembali melompat. Lalu merapat ke dinding yang ada di belakang ruangan penumpang. “Syahera, lihat itu, ada kelelawar raksasa!” Nita histeris bersorak. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah kelelawar raksasa yang melejit sebegitu cepat mendekati kecepatan sambaran kilat. Tak hanya melejit sebegitu cepat, namun juga sangat besar terlihat. Mungkin ada puluhan kali besarnya jika dibandingkan dengan ukuran kelelawar biasa yang sering bergayut di ranting-rantingan lebat. Pendengaran Syahera dikagetkan oleh teriakan Nita. Syahera langsung menoleh ke arah Nita. Wajah Nita tampak pucat olehnya mendekati pucatnya wajah mayat. Lalu Syahera melihat ke ar
Kekagetan ternyata tak hanya menimpa Sapta, namun Wendra juga. “Aneh, ngapain si Sapta itu ketakutan melihat aku ya?” pikir Wendra. Baru saja Wendra terjaga setelah dirinya dihadiahi kekagetan oleh kemunculan sesosok penampakan kelelawar raksasa hitam, kini dia dihadiahi lagi oleh keheranan. Sapta bagai ketakutan melihat dirinya. Ganta yang berwajah bonyok bahkan ikut juga terlepas dari papahan Sapta. “Hoi Sapta, kamu itu lagi ngapain? Lagi kesurupan setan apa?” Sapta yang mendengar makhluk gosong itu bicara langsung tersentak. “Orang apa siluman!” Kulit jidat Sapta berkeriput banyak. Dalam penglihatannya, Wendra adalah sesosok makhluk berwujud siluman. “Wah, udah gila elu Sap, kamu pikir aku ini makhluk siluman!” “Bah! Siluman bisa bicara?” Sapta ternganga. “Buset elu Sap!” Wendra mencela. “Itu Wendra Sap, bukan siluman.” Ganta yang ikut terjungkal menceletuk. “Hah! Ternyata kamu Wend, bukan siluman?” “Begok kamu Sap!”
“Ratih, apa kamu lihat juga?” Nita buru-buru bertanya. Ratih kembali mengernyitkan kulit jidatnya. “Aku pikir hanya aku saja tadi yang lihat, makanya aku tak ingin menceritakannya pada siapa pun.” Jawaban Ratih tak langsung mengiyakan pertanyaan Nita. “Berarti, kamu lihat juga kan Rat?” Nita menegaskan lagi pertanyaannya. “Itu masalah Nit, soalnya menurut aku hal itu sangat tak masuk logika. Kamu tahu juga kan bahwa kelelawar itu adalah jenis hewan mamalia yang di siang hari hidupnya selalu bergayut, bukannya sejenis unggas seperti burung laut yang bisa terbang melanglang buana. Jadi mana mungkin mereka bisa terbang sampai sejauh ini, mustahil Nit! Lagi pula jenis kelelawar kan hanya keluar di malam hari. Jadi menurut aku....” kalimat Ratih terhenti sampai di sana. Sepertinya dia teringat akan sesuatu. Ratih kemudian menampakkan wajah ketakutannya pada Nita dan Syahera. “Astaga, jadi teriakan Wendra tadi? Mungkin saja dia memang benar melihat adanya penam
Kaget, benar-benar luar biasa kaget. Cici, Vivi, Nining, Wendra, Ganta dan Sapta yang sudah terlebih dahulu berada di dalam ruangan penumpang terperangah hebat. Wajah mereka berenam sontak berubah pucat. Mulut ternganga bego melihat. Mata yang menyaksikan terbelalak bulat. Tak seorang pun dari mereka yang mampu berucap. Syahera, Ratih dan Nita yang berada tepat di ambang pintu tak kalahnya tersengatnya. Nyaris saja mereka celaka. Ketiganya serempak terjerit. “Buseeeeet...!” Ratih berteriak kaget. Dia langsung terpeleset. “Allahuakbar...!” Syahera latah bersorak. Dia sontak terlonjak. “Ciat...!” Nita meloncat. Persis menirukan gaya seorang pesilat. Kali ini untuk yang ke dua kalinya Nita diteror oleh kejadian misterius yang sama. Dengan mata kepalanya sendiri, Nita kembali menyaksikan bagaimana pintu ruangan penumpang itu tiba-tiba saja kembali terhempas, lalu tertutup rapat. Dirinya kini semakin trauma berat. Wajah pucat, mulut terkatup erat. Sejenak
Penglihatan Cici dan Vivi yang terperangkap di dalam ruangan penumpang langsung tegang mengetahui Nita yang tadi berjalan menuju ke geladak depan tiba-tiba saja tak lagi terlihat di balik kaca jendela ruangan penumpang. “Astaghfirullah, lihat itu Nita tercebur!” Cici langsung bersorak. “Apa, Nita tercebur?” Sapta membelalakkan mata, soalnya dia tadi tak melihatnya. “Di mana Ci?” tanya Sapta penasaran, juga penuh kekhawatiran. “Di sana Sap, aku tadi sempat melihat Nita berjalan ke depan, lalu dia mendadak lenyap, mungkin saja terjungkal,” tunjuk Cici ke arah kaca jendela ruangan yang ada di sisi sebelah kanan deretan paling belakang. “Bah, jadi Nita tercebur ke laut?” Sapta tercengang. “Masak Ci, kok aku nggak lihat.” Wendra yang baru saja sadar dari telernya menyela. Dia kemudian mendekat ke arah Cici. “Ya Allah, Cici itu benar Wend, aku tadi juga lihat Nita itu tiba-tiba saja menghilang di sana.” Vivi yang tadi juga melihat mendahului jawaban
Tak hanya di dalam ruangan, di luar ruangan penumpang kemelut juga tak kalah sengitnya. Langkah Syahera terhenti sebelum dia sempat melewati akses jalan sempit yang ada di pinggiran dinding-dinding ruangan. Di sepanjang akses jalan itu hingga menuju ke arah lantai geladak bahagian depan Nita sama sekali tak lagi terlihat olehnya. “Lho, Nitanya kok nggak ada ya? Nggak mungkin deh dia bisa menghilang secepat itu.” Rasa waswas mulai menyelimuti benak Syahera. Penglihatan Syahera kemudian tertuju ke arah lautan. “Waduh, jangan-jangan dia....” gumam Syahera membayangkan sesuatu hal yang tadi sempat terpikirkan olehnya. “Jangan-jangan Nita sudah kecebur masuk ke dalam laut,” sebut Syahera lagi. Keceplosan ternyata dia bicara. Syahera langsung menyekap mulutnya. “Ya Allah...., jangan deh, jangan Nit, nggak mungkin.” Syahera memicingkan matanya. Tak ingin sebenarnya Syahera mengucapkan kalimat itu. Tak ingin juga dia berpikiran hingga sampai jauh ke sana. Namun entah
“Nit! Nita! Nita! Ini Syahera.” Syahera berteriak lagi. Suaranya melengking tinggi. “Aku di sini Nit, di sebelah kiri kamu,” sebut Syahera, masih dengan berteriak. Sepertinya kali ini Nita mendengar teriakan. Dia mengangkat kepalanya, lalu menolehkan wajahnya ke arah Syahera. Tangan kanan Syahera yang bebas kemudian dia julurkan sejauh mungkin yang dia bisa ke arah Nita. “Nita, coba raih.!” pinta Syahera. Namun... tangan itu terlalu jauh. Bahkan sangat sangat jauh sekali untuk bisa diraih Nita. Sekitar empat atau lima meter jaraknya, mustahil Nita bisa menyambarnya. Kecuali hanya jika Nita berhasil menemukan pijakan kaki yang lain agar dirinya bisa bergeser mendekat ke arah Syahera. Nita menggelengkan pelan kepalanya, menandakan ketidakmampuan dirinya. Wajahnya kemudian dia tundukkan dengan perlahan. Sesaat Nita meratapi diri, menelan mentah-mentah kengerian di saat dirinya terpaksa harus kembali menyaksikan permukaan air laut yang semakin bergejolak ken
Di saat rasa remuk masih menggerogoti seluruh anggota badan, di saat carut marut juga masih sengit-sengitnya membajak pikiran, dalam kelelahan badan seperti demikian, pendengaran Syahera kembali disuguhi oleh rintihan permohonan yang menyayat perasaan. “Mohon tolong aku Ra,” pinta Nita dengan erangannya. Suaranya begitu lemah, hanya sedikit lebih keras terdengar dibandingkan dengan suara seseorang yang berbisik. Hanya samar-samar juga Syahera bisa mendengarnya. Namun dia tahu, sudah pasti yang dia dengar itu adalah suara Nita. Dalam kepayahan jiwa dan badan, Syahera mencoba untuk bisa duduk dari posisi menelentang. Begitu sakit yang dia rasakan. Setiap melakukan pergerakan, gadis berparas ayu itu terlihat menyeringai kesakitan. Tengkuk kaku dililit kenyerian. Punggung yang terpelecok tak bisa dia luruskan. “Ya Allah, sakitnya,” rintih mahasiswi fakultas ilmu kelautan itu mengelus-elus punggungnya. Hanya sesaat Syahera mampu bertahan. Kemudian dirinya kembali rebah