Nita yang berdiri di belakang Syahera bahkan langsung terlompat dikagetkan oleh gelegar halilintar yang hebat. Maksud hati ingin ngumpet di belakang ruangan penumpang agar selamat. Namun dia mendadak terperanjat. Seekor kelelawar raksasa berwarna hitam sekonyong-konyong muncul dari arah belakang geladak. Penglihatan Nita tersengat, dia kembali melompat. Lalu merapat ke dinding yang ada di belakang ruangan penumpang.
“Syahera, lihat itu, ada kelelawar raksasa!” Nita histeris bersorak. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah kelelawar raksasa yang melejit sebegitu cepat mendekati kecepatan sambaran kilat. Tak hanya melejit sebegitu cepat, namun juga sangat besar terlihat. Mungkin ada puluhan kali besarnya jika dibandingkan dengan ukuran kelelawar biasa yang sering bergayut di ranting-rantingan lebat.
Pendengaran Syahera dikagetkan oleh teriakan Nita. Syahera langsung menoleh ke arah Nita. Wajah Nita tampak pucat olehnya mendekati pucatnya wajah mayat. Lalu Syahera melihat ke arah yang ditunjuk-tunjuk oleh Nita. Namun kelelawar raksasa itu tak terlihat olehnya.
“Nita, mana kelelawarnya? Kok nggak ada.” Syahera meninggikan bahunya, juga mengembangkan kedua tangannya tak melihat apa-apa.
Benar-benar misterius. Secepat kilat kelelawar raksasa itu lenyap. Nita membelalakkan kedua bola matanya tak percaya mengetahui kelelawar yang begitu besar itu mendadak lenyap dengan begitu saja. Sungguh, suatu penampakan yang menegangkan bulu remang tentunya. Ketakutan pun semakin bersemayam dalam benak Nita. Batal jadinya dia ngumpet di belakang ruangan penumpang. Nita buru-buru merangkak kembali mendekati Syahera. Di sana dia duduk bersandar. Nita membisu. Jiwa dan raganya serasa lemas tak lagi berdaya. Nita menekukkan kedua kakinya. Kedua kakinya itu kemudian dia rapatkan, lalu dirangkulnya erat dengan kedua tangan.
Syahera yang sedari tadi berada di depan Nita masih tetap berdiri mantap di belakang akses jalan sempit yang ada di pinggiran dinding-dinding ruangan penumpang. Berkali-kali dirinya dihajar gelegar suara halilintar ternyata telah membuat Syahera kebal. Wajahnya tak terlihat pucat. Tak ada ketakutan, tak ada juga keterkejutan yang dia rasakan.
*****
Untuk sesaat suasana di atas kapal mewah yang mempunyai panjang total hampir mencapai dua puluh meter itu berubah senyap. Halilintar sepertinya ngumpet untuk beberapa saat. Namun besar kemungkinan masih ada lagi badai susulan yang jauh lebih dahsyat yang akan menghadang.
Sapta yang tadi tertahan dikagetkan suara halilintar buru-buru kembali berjalan. Ganta yang bonyok terantuk pembatas lantai geladak masih harus terus dipapahnya agar bisa berjalan menuju ke pintu masuk ruangan penumpang yang terdapat di geladak kapal bahagian belakang. Ratih, Cici, Vivi dan Nining terlihat mulai menyusul di belakang. Mereka berempat berjalan beringsut-ingsut bagai semut. Dengan berpegangan tangan, keempat orang mahasiswi itu menggigil di saat menginjakkan kaki di jalan sempit yang ada di antara dinding ruangan penumpang dan pinggiran lantai geladak kapal.
Sejenak Sapta berhenti setelah melewati akses jalan yang ada di pinggiran lantai geladak. Dilihatnya Syahera masih berdiri mematung di dinding samping ruangan penumpang.
“Syahera, kamu kok nggak ikut sama Wendra masuk ke dalam ruangan?” Sapta meninggikan suaranya.
“Aku takut Sap, soalnya tadi ada kejadian aneh di dalam ruangan penumpang.”
“Ada kejadian aneh?” Sapta mengulangi kalimat Syahera. “Memangnya ada apa sih Ra?” tanya Sapta kemudian.
“Terantuk pagar kok bisa bonyok begitu, memangnya si Ganta itu lagi ngapain tadi Sap?” Pertanyaan Sapta tak dijawab oleh Syahera. Dia lebih memperhatikan wajah Ganta yang bonyok bagai ditonjok kayu balok. Jidat Ganta benar-benar benjol terlihat. Tak hanya jidat, kedua bola mata Ganta ikut-ikutan bengkak hingga membuatnya susah melihat.
“Ah nggak tahu lah.” Sapta juga tak mengacuhkan pertanyaan Syahera.
“Tadi aku tanya memangnya ada kejadian aneh apa Ra? Lalu Wendranya sekarang ada di mana?” Sapta mengulangi lagi pertanyaannya.
“Oh anu Sap, itu, ada yang aneh. Soalnya di saat Nita mau masuk ke dalam tadi, pintu ruangan penumpang tiba-tiba saja tertutup rapat. Padahal tak ada siapa-siapa di sana. Kami berdua ketakutan, makanya biar saja Wendra yang ke sana terlebih dahulu untuk membukanya.”
“Lho, siapa yang menutup Ra? Apa kamu lihat orangnya.”
“Ya nggak adalah, aku kan bilang tadi tak ada siapa-siapa di sana, pintu itu tiba-tiba saja tertutup, malahan suara hempasannya sangat kuat terdengar. Kata Nita tadi dia ada melihat hantu di sana.”
“Melihat hantu?” Sapta menyipitkan kedua bola matanya. Untuk sesaat dia hanya terdiam setelah mendengar ucapan Syahera.
“Lalu, Nitanya ada di mana Ra?”
“Tuh, lagi ngumpet di belakang, sepertinya dia ketakutan.” Syahera menunjuk-nunjuk dengan jempolnya ke arah belakang.
“Barusan kata Nita tadi dia juga melihat ada seekor kelelawar raksasa yang muncul dari arah geladak belakang.”
“Haaah, apa Ra? Kelelawar raksasa?” Kembali Sapta menyipitkan mata tak percaya dengan apa yang diucapkan Syahera.
“Mana mungkinlah Ra.”
“Lah, Nitanya saja lihat kok, dia tadi bahkan sempat menjerit-jerit histeris. Tuh lihat wajahnya sampai pucat begitu, nggak mungkinlah dia mengada-ada Sap.”
“Ya sudah, nggak usah dibahas.” Suara Sapta terdengar lemas. Keraguan pun mulai bersarang dalam pikirannya.
“Sebentar lagi mungkin akan ada badai Ra, aku mau ke dalam dulu membawa Ganta, nanti kalau semuanya sudah sampai di sini langsung saja suruh mereka masuk ke dalam ruangan, soalnya kita harus segera pindah lokasi penelitian sekarang juga.”
Syahera hanya menganggukkan kepala. Sapta juga tak lagi bicara, dia kembali berjalan memapah Ganta menuju ke pintu ruangan penumpang.
Tak diduga, sebuah kekagetan ternyata telah menunggu Sapta tak jauh dari pintu ruangan penumpang. Langkah Sapta tercekal di sana. Penglihatannya bagai dirongrong oleh sebuah penampakan. Begitu misterius. Sesosok makhluk bertubuh gosong menyerupai sosok siluman serigala dilihatnya terkapar tepat di depan pintu ruangan penumpang.
“Buset deh, kok tiba-tiba saja ada makhluk siluman yang nongkrong di sini? Wah, kuntilanak barang kali. Edan! Gila! Gendeng!” Pikiran Sapta seketika tegang. Jantungnya mendadak berdetak kencang.
Tak kalah halnya dengan Wendra, Sapta ternyata juga kejang-kejang ditebas penampakan yang menyeramkan. Dengkulnya tiba-tiba saja bergoyang. Tangan Sapta lemas bagai kesemutan. Tak lagi dia berdaya, nyaris saja tumbang.
“Kun... kun... kun... kunti!” sebut Sapta terbata-bata. Ingin rasanya dia berteriak menyebutkan kata “kuntilanak,” namun dia tak lagi mampu. Mulutnya bagai terbelenggu.
Kegemparan Sapta kini mencapai puncaknya. Tak disangka, bagai ingin menerkam mangsa, sosok makhluk bertubuh gosong itu tiba tiba saja meloncat ke arah Sarta. Sapta yang tak menduga hal itu akan terjadi sontak terperanjat. Wajah memucat, jantung tersengat. Sapta terjungkal ke belakang dengan telak. Ganta yang yang bonyok-bonyok dalam papahannya juga terpental dengan telak. Bagai aksi seorang aktor dalam film horor sungguhan, Sapta langsung berguling-guling menghindari terkaman sosok makhluk menyerupai serigala siluman.
*****
Kekagetan ternyata tak hanya menimpa Sapta, namun Wendra juga. “Aneh, ngapain si Sapta itu ketakutan melihat aku ya?” pikir Wendra. Baru saja Wendra terjaga setelah dirinya dihadiahi kekagetan oleh kemunculan sesosok penampakan kelelawar raksasa hitam, kini dia dihadiahi lagi oleh keheranan. Sapta bagai ketakutan melihat dirinya. Ganta yang berwajah bonyok bahkan ikut juga terlepas dari papahan Sapta. “Hoi Sapta, kamu itu lagi ngapain? Lagi kesurupan setan apa?” Sapta yang mendengar makhluk gosong itu bicara langsung tersentak. “Orang apa siluman!” Kulit jidat Sapta berkeriput banyak. Dalam penglihatannya, Wendra adalah sesosok makhluk berwujud siluman. “Wah, udah gila elu Sap, kamu pikir aku ini makhluk siluman!” “Bah! Siluman bisa bicara?” Sapta ternganga. “Buset elu Sap!” Wendra mencela. “Itu Wendra Sap, bukan siluman.” Ganta yang ikut terjungkal menceletuk. “Hah! Ternyata kamu Wend, bukan siluman?” “Begok kamu Sap!”
“Ratih, apa kamu lihat juga?” Nita buru-buru bertanya. Ratih kembali mengernyitkan kulit jidatnya. “Aku pikir hanya aku saja tadi yang lihat, makanya aku tak ingin menceritakannya pada siapa pun.” Jawaban Ratih tak langsung mengiyakan pertanyaan Nita. “Berarti, kamu lihat juga kan Rat?” Nita menegaskan lagi pertanyaannya. “Itu masalah Nit, soalnya menurut aku hal itu sangat tak masuk logika. Kamu tahu juga kan bahwa kelelawar itu adalah jenis hewan mamalia yang di siang hari hidupnya selalu bergayut, bukannya sejenis unggas seperti burung laut yang bisa terbang melanglang buana. Jadi mana mungkin mereka bisa terbang sampai sejauh ini, mustahil Nit! Lagi pula jenis kelelawar kan hanya keluar di malam hari. Jadi menurut aku....” kalimat Ratih terhenti sampai di sana. Sepertinya dia teringat akan sesuatu. Ratih kemudian menampakkan wajah ketakutannya pada Nita dan Syahera. “Astaga, jadi teriakan Wendra tadi? Mungkin saja dia memang benar melihat adanya penam
Kaget, benar-benar luar biasa kaget. Cici, Vivi, Nining, Wendra, Ganta dan Sapta yang sudah terlebih dahulu berada di dalam ruangan penumpang terperangah hebat. Wajah mereka berenam sontak berubah pucat. Mulut ternganga bego melihat. Mata yang menyaksikan terbelalak bulat. Tak seorang pun dari mereka yang mampu berucap. Syahera, Ratih dan Nita yang berada tepat di ambang pintu tak kalahnya tersengatnya. Nyaris saja mereka celaka. Ketiganya serempak terjerit. “Buseeeeet...!” Ratih berteriak kaget. Dia langsung terpeleset. “Allahuakbar...!” Syahera latah bersorak. Dia sontak terlonjak. “Ciat...!” Nita meloncat. Persis menirukan gaya seorang pesilat. Kali ini untuk yang ke dua kalinya Nita diteror oleh kejadian misterius yang sama. Dengan mata kepalanya sendiri, Nita kembali menyaksikan bagaimana pintu ruangan penumpang itu tiba-tiba saja kembali terhempas, lalu tertutup rapat. Dirinya kini semakin trauma berat. Wajah pucat, mulut terkatup erat. Sejenak
Penglihatan Cici dan Vivi yang terperangkap di dalam ruangan penumpang langsung tegang mengetahui Nita yang tadi berjalan menuju ke geladak depan tiba-tiba saja tak lagi terlihat di balik kaca jendela ruangan penumpang. “Astaghfirullah, lihat itu Nita tercebur!” Cici langsung bersorak. “Apa, Nita tercebur?” Sapta membelalakkan mata, soalnya dia tadi tak melihatnya. “Di mana Ci?” tanya Sapta penasaran, juga penuh kekhawatiran. “Di sana Sap, aku tadi sempat melihat Nita berjalan ke depan, lalu dia mendadak lenyap, mungkin saja terjungkal,” tunjuk Cici ke arah kaca jendela ruangan yang ada di sisi sebelah kanan deretan paling belakang. “Bah, jadi Nita tercebur ke laut?” Sapta tercengang. “Masak Ci, kok aku nggak lihat.” Wendra yang baru saja sadar dari telernya menyela. Dia kemudian mendekat ke arah Cici. “Ya Allah, Cici itu benar Wend, aku tadi juga lihat Nita itu tiba-tiba saja menghilang di sana.” Vivi yang tadi juga melihat mendahului jawaban
Tak hanya di dalam ruangan, di luar ruangan penumpang kemelut juga tak kalah sengitnya. Langkah Syahera terhenti sebelum dia sempat melewati akses jalan sempit yang ada di pinggiran dinding-dinding ruangan. Di sepanjang akses jalan itu hingga menuju ke arah lantai geladak bahagian depan Nita sama sekali tak lagi terlihat olehnya. “Lho, Nitanya kok nggak ada ya? Nggak mungkin deh dia bisa menghilang secepat itu.” Rasa waswas mulai menyelimuti benak Syahera. Penglihatan Syahera kemudian tertuju ke arah lautan. “Waduh, jangan-jangan dia....” gumam Syahera membayangkan sesuatu hal yang tadi sempat terpikirkan olehnya. “Jangan-jangan Nita sudah kecebur masuk ke dalam laut,” sebut Syahera lagi. Keceplosan ternyata dia bicara. Syahera langsung menyekap mulutnya. “Ya Allah...., jangan deh, jangan Nit, nggak mungkin.” Syahera memicingkan matanya. Tak ingin sebenarnya Syahera mengucapkan kalimat itu. Tak ingin juga dia berpikiran hingga sampai jauh ke sana. Namun entah
“Nit! Nita! Nita! Ini Syahera.” Syahera berteriak lagi. Suaranya melengking tinggi. “Aku di sini Nit, di sebelah kiri kamu,” sebut Syahera, masih dengan berteriak. Sepertinya kali ini Nita mendengar teriakan. Dia mengangkat kepalanya, lalu menolehkan wajahnya ke arah Syahera. Tangan kanan Syahera yang bebas kemudian dia julurkan sejauh mungkin yang dia bisa ke arah Nita. “Nita, coba raih.!” pinta Syahera. Namun... tangan itu terlalu jauh. Bahkan sangat sangat jauh sekali untuk bisa diraih Nita. Sekitar empat atau lima meter jaraknya, mustahil Nita bisa menyambarnya. Kecuali hanya jika Nita berhasil menemukan pijakan kaki yang lain agar dirinya bisa bergeser mendekat ke arah Syahera. Nita menggelengkan pelan kepalanya, menandakan ketidakmampuan dirinya. Wajahnya kemudian dia tundukkan dengan perlahan. Sesaat Nita meratapi diri, menelan mentah-mentah kengerian di saat dirinya terpaksa harus kembali menyaksikan permukaan air laut yang semakin bergejolak ken
Di saat rasa remuk masih menggerogoti seluruh anggota badan, di saat carut marut juga masih sengit-sengitnya membajak pikiran, dalam kelelahan badan seperti demikian, pendengaran Syahera kembali disuguhi oleh rintihan permohonan yang menyayat perasaan. “Mohon tolong aku Ra,” pinta Nita dengan erangannya. Suaranya begitu lemah, hanya sedikit lebih keras terdengar dibandingkan dengan suara seseorang yang berbisik. Hanya samar-samar juga Syahera bisa mendengarnya. Namun dia tahu, sudah pasti yang dia dengar itu adalah suara Nita. Dalam kepayahan jiwa dan badan, Syahera mencoba untuk bisa duduk dari posisi menelentang. Begitu sakit yang dia rasakan. Setiap melakukan pergerakan, gadis berparas ayu itu terlihat menyeringai kesakitan. Tengkuk kaku dililit kenyerian. Punggung yang terpelecok tak bisa dia luruskan. “Ya Allah, sakitnya,” rintih mahasiswi fakultas ilmu kelautan itu mengelus-elus punggungnya. Hanya sesaat Syahera mampu bertahan. Kemudian dirinya kembali rebah
Kini... tak ingin lagi rasanya Nita meminta. Tak ingin juga dia melihat wajah Syahera sahabatnya. Nita menyadari bahwa waktunya kini benar-benar telah tiba. Genggaman tangannya tak mampu lagi menahan seluruh beban berat badan. Kepedihan hati pun menyelusup senyap dalam pikiran. Teringat kembali oleh Nita akan setumpuk dosa yang telah terlanjur diperbuatnya selama masa hidupnya di dunia. Bagai bisa ular sanca yang menyusup pelan dalam pembuluh darah, begitulah kepedihan yang dirasakan kini oleh Nita. Cairan beracun seolah-olah merayap senyap menuju ke sebongkah jantung merah yang tak lagi berdaya. Dengan cepat racun itu menyergapnya. Lalu mengunyah-ngunyah nya hingga menimbulkan rasa pedih yang tiada tara. Terlalu menyakitkan ternyata. Tak ingin lagi rasanya Nita untuk kembali mengingat dosa-dosanya itu. Tak ingin juga dia menderita terlalu lama menjelang detik-detik kematiannya. “Biarlah aku akhiri saja kini semuanya,” pikir Nita. Dirinya merasa terpaksa harus