Share

Part-9: Butiran-Butiran Bening

     Tak hanya di dalam ruangan, di luar ruangan penumpang kemelut juga tak kalah sengitnya. Langkah Syahera terhenti sebelum dia sempat melewati akses jalan sempit yang ada di pinggiran dinding-dinding ruangan. Di sepanjang akses jalan itu hingga menuju ke arah lantai geladak bahagian depan Nita sama sekali tak lagi terlihat olehnya.

     “Lho, Nitanya kok nggak ada ya? Nggak mungkin deh dia bisa menghilang secepat itu.” Rasa waswas mulai menyelimuti benak Syahera.

     Penglihatan Syahera kemudian tertuju ke arah lautan. “Waduh, jangan-jangan dia....” gumam Syahera membayangkan sesuatu hal yang tadi sempat terpikirkan olehnya.

     “Jangan-jangan Nita sudah kecebur masuk ke dalam laut,” sebut Syahera lagi. Keceplosan ternyata dia bicara. Syahera langsung menyekap mulutnya. “Ya Allah...., jangan deh, jangan Nit, nggak mungkin.” Syahera memicingkan matanya.

     Tak ingin sebenarnya Syahera mengucapkan kalimat itu. Tak ingin juga dia berpikiran hingga sampai jauh ke sana. Namun entah mengapa tiba-tiba saja kalimat itu sudah terlontarkan dengan begitu saja dari mulutnya.

     Syahera kini mencoba untuk mencampakkan keraguannya. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa Nita sebenarnya telah berada di geladak kapal bahagian depan sebelum dirinya tadi tiba di sana.

     Dengan harap-harap cemas, sejenak Syahera mencoba bertahan di pojok belakang dinding luar ruangan untuk memastikan. Sebuah besi siku tempat kedudukan antena radio yang tertancap kokoh di atas atap bahagian belakang ruangan penumpang itu dipegangnya dengan erat. Dijadikannya sebagai tumpuan badan  berjaga-jaga jika seandainya ombak besar nanti mendadak datang menghadang.    

     “Hoi Nita, kamu di mana?” Syahera berteriak. Suranya dia arahkan ke geladak depan kapal. Dia juga berjinjit menjulurkan kepalanya ke atas sedikit lebih tinggi dari pada atap ruangan penumpang. Lalu dia berteriak lagi. Syehera memasang pendengarannya tajam-tajam. Hanya senyap yang dia dapat setelah teriakan. Tak ada suara sahutan. Yang terdengar hanyalah suara gemuruh ombak yang semakin bergejolak kencang.

     “Nita!” Kembali Syahera berteriak. Dia lebih mengeraskan suaranya. Bahkan dengan lengkingan yang tinggi pula.

     “Nita! Nita! Nita!” Syahera berteriak lagi hingga berkali-kali. “Nita...!” Dia kembali berteriak. Hingga kerongkongannya yang basah itu jadi mengering oleh teriakan, namun masih saja keheningan yang didapat oleh Syahera.

    Pupuslah sudah kini harapan. Kali ini Syahera harus ikhlas untuk bisa menerima kanyataan bahwa Nita sahabat dekatnya itu benar-benar tak lagi ada di sana.

     “Nita telah lenyap tercebur ke dalam lautan.” Kalimat itu yang tertinggal di dalam benak Syahera kini. Syahera tersandar lemas di dinding luar ruangan penumpang. Dia biarkan bajunya yang kotor semakin kotor menempel di dinding yang kotor.

     Sejenak Syahera hanya bisa bersedekap. Wajahnya dia tengadahkan ke atas. Kedua bola mata gadis ayu berlesung pipit itu berkaca-kaca menatap angkasa. Seolah-olah dirinya membayangkan jiwa Nita sahabatnya yang tengah melayang bebas di sana melambaikan tangannya ke arahnya.

     Nita adalah sahabat terbaik Syahera. Mereka berdua sudah saling kenal sudah hampir sepuluh tahun lamanya. Dimulai semenjak awal memasuki masa-masa SMP di kampung halaman mereka dulu. Hingga keduanya sama-sama memilih fakultas ilmu kelautan di universitas yang sama. Juga merantau di kota yang sama. Tak hanya itu, kamar kos Nita juga persis bersebelahan letaknya dengan kamarnya Syahera.

     Sepuluh tahun, boleh dikatakan adalah suatu kurun waktu yang begitu lama untuk bisa memahami arti sebuah persahabatan di antara mereka berdua. Hal itu jugalah yang telah membuat kedua bola mata Syahera seketika berkaca-kaca. Juga menyebabkan warna putih yang ada di kedua bola matanya itu tiba-tiba saja berubah merah warnanya. Kedua bola mata Syahera yang memerah itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar merasa kehilangan seseorang yang setia bersahabat dengan dirinya hingga hampir sepuluh tahun lamanya. Setetes cairan bening kemudian tiba-tiba saja jebol dari kedua sudut bola mata Syahera yang indah. Sebegitu cepatnya.

     Sepasang bola mata Syahera yang basah kini mengarah ke permukaan lautan. Dicobanya untuk sekedar bisa mengurai kesedihan. Hingga sampai ke ujung sana dipandanginya tanpa kedipan.  Syahera kemudian mengarahkan pandangannya ke depan. Kedua bola mata mahasiswi ilmu kelautan itu tak sengaja terpelet pada besi pengaman lantai geladak kapal yang berada tak seberapa jauh di depannya. Cukup lama kedua bola mata gadis berlesung pipit itu tertancap ke sana. Penglihatannya kemudian semakin dia mempertajam. Sepertinya dia melihat ada seseorang yang sedang menggenggam besi bulat pembatas lantai kapal itu dari bawah. Boleh dikatakan, ada seseorang yang tengah bergayut di sana. Dalam benak Syahera langsung terbayang wajah Nita sahabatnya.

     “Astaghfirullah.” Kedua bola mata Syahera terbelalak melihat.

     Tak disangka, sebuah pemandangan yang menyesakkan dada telah tersuguh di sana. Napas Syahera mendesah panjang menyaksikan. Nita ternyata sedang bergayut di luar dinding kapal. Padahal sedari tadi Syahera sama sekali tak melihatnya. Di saat terpeleset tadi, Nita ternyata berhasil meraih besi bulat pembatas lantai kapal sebelum dirinya tercebur masuk ke dalam lautan.

     Dalam penglihatan Syahera, hanya kepalan tangan Nita saja yang tampak, berjarak sekitar empat atau lima meter jauhnya dari posisi di mana Syahera berada. Kedua tangan Nita terlihat masih menggenggam penuh besi bulat berdiameter dua setengah inci pembatas lantai geladak. Badan Nita yang bergelantungan menempel dengan ketat di dinding lambung kapal bahagian bawah berbentuk huruf ‘V’ yang melekuk ke dalam, hingga tak terlalu jelas terlihat dari atas oleh Syahera.

     “Masyaallah, Nita!” Syahera menelan air liurnya, mengatupkan kelopak matanya, juga mengusap-usap dadanya, seolah-olah dirinya tak tega melihatnya.  

     “Nita!”pekik Syahera. Nita tak menyahut. Syahera mencoba melongokkan kepalanya ke arah dinding bawah lambung kapal untuk mendapatkan penglihatan. Kepala dan punggung belakang Nita kini tampak olehnya, namun tak terlalu jelas.

     Dengan berpegangan erat pada besi siku yang ada di atas atap ruangan penumpang, Syahera memberanikan diri membungkukkan badan. Dia kini bisa melihat hingga sampai ke bahagian bawah lambung kapal. Kaki kanan Nita terlihat melebar. Kaki itu tengah bertumpu pada lekukan yang ada dinding luar lambung kapal. Hal itu tentunya bisa untuk mengurangi beban berat badan. Kaki kiri Nita masih bergerak mencari-cari tumpuan yang lain. Namun sepertinya tak ada lagi lekukan lain yang bisa dia jadikan sebagai tempat pijakan. Bagai aksi seorang pemanjat tebing terkatung-katung tanpa pengaman, begitulah kondisi Nita terlihat kini, bergelantungan bebas di dinding luar lambung kapal yang terjal.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status