Penglihatan Cici dan Vivi yang terperangkap di dalam ruangan penumpang langsung tegang mengetahui Nita yang tadi berjalan menuju ke geladak depan tiba-tiba saja tak lagi terlihat di balik kaca jendela ruangan penumpang.
“Astaghfirullah, lihat itu Nita tercebur!” Cici langsung bersorak.
“Apa, Nita tercebur?” Sapta membelalakkan mata, soalnya dia tadi tak melihatnya.
“Di mana Ci?” tanya Sapta penasaran, juga penuh kekhawatiran.
“Di sana Sap, aku tadi sempat melihat Nita berjalan ke depan, lalu dia mendadak lenyap, mungkin saja terjungkal,” tunjuk Cici ke arah kaca jendela ruangan yang ada di sisi sebelah kanan deretan paling belakang.
“Bah, jadi Nita tercebur ke laut?” Sapta tercengang.
“Masak Ci, kok aku nggak lihat.” Wendra yang baru saja sadar dari telernya menyela. Dia kemudian mendekat ke arah Cici.
“Ya Allah, Cici itu benar Wend, aku tadi juga lihat Nita itu tiba-tiba saja menghilang di sana.” Vivi yang tadi juga melihat mendahului jawaban Cici.
“Benah nih Vi?” Nining ikut-ikutan menyela. Dia menatap ragu ke arah Vivi.
“Nggak mungkinlah aku bohong Ning, sudahlah, jangan tanya lagi!” Vivi mengibaskan tangannya.
Tak ada satu pun yang bertindak. Semuanya diam dalam kekalutan setelah dihadiahi keterkejutan. Vivi cepat bergerak menuju ke pintu ruangan. Cici yang tadi ikut menyaksikan Nita terjungkal juga ikut ke sana. Pintu itu mereka buka, tapi tak bisa.
“Wah terkunci Ci,” ujar Vivi gundah.
“Kita buka paksa yok Vi.”
“Ayok!”
Pintu geser itu mereka buka paksa dengan cara mendorongnya ke samping secara bersamaan, namun sama sekali tak bergeser. Bahkan bergerak pun tidak.
“Wah macet Ci, kita terkunci di dalam.” Vivi semakin gundah.
“Sapta, Wendra, kalian berdua itu kan cowok, jangan diam saja, bertindak dong!” seru Vivi pada Sapta dan Wendra yang dilihatnya hanya bengong melihat ke arah kaca jendela.
Bergegas Sapta dan Wendra ke sana. Nining ikut-ikutan pula menuju ke arah pintu. Ganta yang bonyok tak ketinggalan, dengan terpincang pincang dia berjalan menuju ke arah pintu keluar ruangan.
Sapta menyelonong ke depan. Pintu itu dicoba dibukanya dengan paksa, namun tak bisa juga.
“Lho, kok nggak bisa.” Sapta mulai cemas.
“Bantu aku Wend!” pinta Sapta untuk membukanya bersama-sama.
Wendra ikut mendorong pintu itu ke samping. Seluruh tenaga yang ada dia kerahkan, namun semuanya sia-sia.
“Nggak bisa Sapt, macet.”
“Gila!” Sapta menepuk jidatnya.
“Coba keluar dari jendela Sapt,” usul Cici.
“Oh iya, benar.” Wajah Sapta langsung mengarah ke kaca jendela.
Suat keanehan terjadi kemudian. Semua jendela kaca yang ada di sisi depan ruangan penumpang yang tadinya terbuka mendadak tertutup dengan sendirinya. Tertutupnya serempak pula. Kesemuanya bahkan terkunci dengan erat.
Sebuah pintu yang digunakan sebagai akses jalan masuk menuju ke dalam ruangan kemudi kapal juga terkunci dari dalam. Sapta mengintip ke sana melalui kaca pintu yang ada. Seorang juru mudi kapal yang sedari tadi tak kelihatan batang hidungnya dilihat Sapta terkapar di lantai. Berkemungkinan besar dia pingsan karena terkurung terlalu lama di sana. Kepanikan pun semakin menjadi-jadi setelah mereka mengetahuinya.
Sapta mencoba untuk membuka beberapa jendela yang ada di sana. Hanya dengan mengandalkan kekuatan tangan ternyata tidaklah bisa. Dia coba untuk memecahkan kaca jendela dengan menggunakan pemukul kaca darurat yang terpajang di salah satu sisi ruangan, ternyata juga tak bisa. Tak hanya itu, kunci slot yang menahan pinggiran kaca juga dipukulnya paksa dengan pemecah kaca. Aneh, jangankan terbuka, bergeser saja tidak. Seluruh jendela yang ada benar-benar terkunci dengan erat. Benar-benar dikerjain oleh makhluk kasat mata mereka.
Wendra juga berusaha untuk membuka jendela dengan paksa. Bahkan salah satu dari kaca jendela yang ada dicoba dipecahkannya dengan menggunakan kursi lipat yang rangkanya terbuat dari baja bulat. Mengherankan, kaca yang seharusnya pecah itu ternyata begitu keras. Bahkan keras yang terasa mengalahkan kerasnya baja. Tenaga Wendra seolah-olah tak berarti apa-apa. Hal itu jelas sekali menunjukkan adanya suatu kekuatan misterius yang menahannya.
“Bah....! nggak bisa pecah, mampuslah kita.” Wendra menepuk jidatnya tak percaya.
Nining yang juga ikut menyaksikan kaca itu tak bisa pecah cemas seketika. “Tak masuk akal, mana mungkin?” Mulut Nining ternganga. Lalu dia meremas-remas rambutnya.
Cici dan Vivi juga melihatnya. Keduanya saling terpana. Ketakutan dan kecemasan semuanya berkecamuk dalam pikiran.
“Ya Allah, kita akan terkurung Vi, bisa mati kita di sini semuanya kehabisan udara.” ujar Cici. Rasa cemas tak bisa dia sembunyikan dari wajahnya.
Kemelut di dalam ruangan penumpang kini semakin menjadi-jadi. Wendra, Ganta, Cici, Vivi, Nining dan Sapta terperangkap dalam kepanikan. Bayangkan saja, tak ada ventilasi udara, tak ada sirkulasi udara, pendingin udara juga tak menyala, udara segar di dalam ruangan pun tak tersedia. Gas karbon dioksida juga akan semakin banyak merajalela. Jika terkurung terlalu lama, nyawa Wendra, Ganta, Cici, Vivi, Nining dan Sapta juga akan berada dalam bahaya.
*****
Belum lagi kepanikan reda, kepanikan lain kini datang pula. Wajah Wendra yang gagal memecahkan kaca jendela tiba-tiba saja berubah pucat. Sepertinya mahasiswa fakultas ilmu kelautan itu memang lagi apes di obok-obok oleh sejenis makhluk siluman laut yang iseng berbuat bejat.
Sebuah penampakan menyerobot masuk melalui kedua bola mata Wendra. Seorang perempuan paruh baya terlihat oleh Wendra mengintip dirinya dari balik kaca jendela. Anehnya, perempuan itu hanya melihat ke arah Wendra, sedangkan yang lain tidak.
“Gila, ada yang ngintip aku, kayak setan kurang kerjaan saja elu!” umpat Wendra.
Pendengaran perempuan itu terusik. Sepertinya dia bisa mendengar apa yang tersirat di dalam pikiran Wendra. Perempuan itu berang. Dia menatap Wendra bagai tatapan setan. Tak mau kalah, Wendra yang katanya tak takut setan menyerangnya dengan pelototan mata. Adu pelototan mata terjadi terjadi di antara mereka berdua. Wendra kalah, matanya dia pejamkan tak sanggup melihat lama.
Di saat Wendra kembali membuka kedua matanya, kedua bola mata perempuan itu terlihat putih semua. Perempuan itu kemudian menampakkan wajah aslinya, ternyata menyerupai sosok makhluk serigala betina. Persis sama seperti apa yang dilihat oleh Wendra di atas geladak kapal tadi. Perempuan tua itu tersenyum mesra mengetahui Wendra kalah. Wendra mendadak ciut, jantungnya kalang kabut. Untuk yang kedua kalinya Wendra kembali berteriak bagai kesetanan.
Seluruh ruangan itu bergema. Ganta, Cici, Vivi, Nining dan Sapta yang berada dalam kepanikan kaget serempak.
“Gila kamu itu Wend! Nggak di luar, nggak di dalam teriak-teriak setan melulu kerjaannya, memangnya kamu itu benar-benar sudah gila apa!” umpat Cici setelah dihadiahi kekagetan.
“Iya nih, benar-benar keterlaluan elu Wend!” Nining yang juga kaget langsung menyambung umpatan Cici.
*****
Dalam ketidakberdayaannya, suatu kejadian misterius menyergap raga Wendra. Dirinya yang pertama kali tadi menyaksikan adanya penampakan misterius di atas kapal itu kini seutuhnya berada dalam sergapan makhluk kasat mata.
Kedua bola mata Wendra yang hitam perlahan memutih warnanya. Penglihatan Wendra kemudian diselubungi fatamorgana. Gelap gulita dunia kini dia rasakan. Wendra terduduk lemas di salah satu kursi penumpang. Dirinya terbaring dalam kebekuan badan dan ingatan. Kesadaran Wendra perlahan terbang melayang hingga menembus tujuh lapis awan. Tak sanggup lagi Wendra kini membuka matanya. Tak mampu dia bicara. Tak juga dia bisa merasakan apa-apa.
Hingga saat itu, tak seorang pun dari mereka yang terjebak di dalam ruangan itu menyadai apa sebenarnya yang telah terjadi pada diri Wendra. Secara perlahan-lahan, raga Wendra ternyata berubah wujud menjadi sosok makhluk siluman yang mengerikan. Cepat atau lambat, Wendra akan menjadi ancaman bagi siapa saja yang terjebak di dalam ruangan itu.
*****
Air laut pecah berhamburan. Suara hempasan gelombang memecahkan kesunyian. “Braaaaaaak!” Kapal dengan bobot mati 59 ton itu terjungkal. Kemudian terseret puluhan meter seiring dengan berlariannya gulungan ombak yang berkejar-kejaran. Satu menit berlalu, ombak besar yang tadi menyapu badan kapal terlewatkan. Kapal yang terjerembab itu kembali muncul di permukaan lautan. Syahera berhasil selamat dari maut. Ratih dan Nita yang sudah terlebih dahulu berada di dalam kamar mesin juga masih hidup. Ketiganya tergelak dalam keadaan hilang ingatan. Sekujur tubuh memar setelah hempasan. Mengherankan, sesaat kemudian alam kembali tenang. Sebegitu cepatnya badai berlalu, seolah-olah tak pernah ada kejadian apa-apa. Ombak setinggi gunung yang tadi menghempaskan kapal itu kini terlihat semakin menjauh, lalu menghilang dari pandangan. Awan-awan hitam menakutkan yang tadi bergumpal-gumpal di angkasa kini juga menghilang, bersembunyi entah di mana. Cahaya kilat dan gelegar halilintar yan
Badai menampakkan puncak keganasannya. Awan-awan hitam di atas samudra semakin menebal bergumpal-gumpal. Kuat medan listrik statis di dalam awan meningkat tajam. Molekul-molekul uap air semakin memberat dan membesar, lalu tumpah ruah berhamburan. Langit hitam seolah-olah bocor. Hujan lebat pun berjatuhan membanjiri lautan. Yang lebih menakutkan, energi listrik yang tersimpan di dalam gumpalan awan badai cumulonimbus yang menyelimuti permukaan lautan itu kini mencapai puncak kekuatannya. Dentuman suara halilintar bertubi-tubi terdengar. Lalu diikuti dengan puluhan cahaya kilat dan sambaran halilintar. Terjangan kilat-kilat panas terlihat menyerupai kuku-kuku setan menyambar ke sana kemari bertubi-tubi tanpa ampun. Ratih dan Nita yang tergelatak pingsan di lantai geladak sontak terjaga mendengar suara gelegar halilintar yang memekakkan. “Astaga, badai!” Mulut Ratih ternganga melihat angkasa. Langit hitam dilihatnya memerah bagai bara. “Wah, kiamat!” Nita terbelalak m
Ketakutan, itulah yang dirasakan oleh Vivi kini. Namun rasa penasarannya juga semakin menjadi-jadi. “Apakah sebenarnya yang terjadi di dalam ruangan kemudi? Mengapa ada suara auman dan desahan yang muncul dari sana?” Pintu ruangan kemudi yang kempot itu perlahan dibukanya juga. Lima anak tangga menuju kursi kemudi yang ada di dalam ruangan itu kemudian dinaikinya tanpa suara. Baru saja menginjakkan kaki di anak tangga yang kedua, Vivi menghentikan langkahnya. Wendra ternyata berada di sana, di pojok kiri ruangan kemudi. Wajahnya menghadap ke depan memandangi lautan. “Lho, itu kan Wendra.” Mulut Vivi ternganga. Tubuh Wendra tampak gosong bagai tersambar halilintar. Tak diduga, raga Wendra yang sedari tadi berada dalam sergapan makhluk siluman itu ternyata kini telah berubah wujud menjadi sosok makhluk yang mengerikan. Namun, apa sebenarnya yang telah terjadi, Vivi masih belum sepenuhnya paham. “Wah, ada apa ini, tubuh Wendra kok berubah jadi hitam begitu? Ja
Badai sepertinya akan kembali datang. Valdo dan Syahera masih belum juga terlihat muncul di permukaan lautan. Harap-harap cemas dirasakan, yang paling cemas adalah Nita. Sepertinya dia masih tak rela jika Syahera yang telah menyelamatkan nyawanya itu pergi untuk selama-lamanya. “Kok belum muncul juga si Valdo itu ya Rat, aku takutnya kalau ombak besar kembali datang.” Nita menapakkan kegusarannya. “Iya nih, sudah lebih dua menit. Tapi... kenapa perasaan aku jadi semakin nggak enak ya Nit, menurut aku sepertinya ada sesuatu yang aneh deh.” “Si Valdo itu maksud kamu Rat? Memang sudah begitu sifatnya, dia itu orangnya pendiam, bahkan hampir tak pernah bicara.” “Kalau itu aku sudah tahu sih, tapi yang terlintas dalam pikiran aku adalah bahwa si Valdo itu mungkin saja adalah penjelmaan dari sosok makhluk kelelawar yang menghilang di atas kamar mesin tadi itu Nit.” “Jangan nakut-nakutin kayak gitu deh Rat.” “Yah... tapi itu hanya anggapan aku saja sih.
Penglihatan Nita tertancap ke arah pintu kamar mesin. Di sanalah tadi sosok makhluk kelelawar raksasa itu menghilang. Terpikir oleh Nita, mungkin saja ada sesuatu yang lain di sana. “Jangan-jangan makhluk itu bukannya menghilang, melainkan masuk ke dalam kamar mesin, hal itu boleh jadi,” pikir Nita. Nita mencoba menelaah. Terpikir olehnya kemudian Valdo, si teknisi kapal. Nita masih ingat, sejak pertama kali kapal itu jangkar, Valdo si teknisi kapal itu masuk ke dalam ruangan mesin untuk melakukan perbaikan. Dan sejak saat itu Valdo tak lagi terlihat olehnya. “Mungkin saja Valdo si teknisi kapal itu terkunci di sana. Si Valdo itu kan biasa bekerja di laut, pasti dia jago renang. Tentu saja dia bisa menyelamatkan Syahera yang tenggelam,” gumam Nita lagi. Begitu berharapnya Nita agar Syahera bisa diselamatkan. Harapan itu memang masih ada. Nita sendiri paham, sebagai seorang mahasiswi ilmu kelautan, Syahera mempunyai kelebihan dalam hal pernapasan. Catatan kemamp
Mendung kesedihan melanda Nita. Hati kecilnya tak bisa menerima kenyataan bahwa Syahera yang telah menyelamatkan dirinya dari kematian itu telah pergi untuk selama-lamanya. “Kamu jangan pergi Ra, jangan tinggalkan aku sahabatmu!” sebut Nita. Kedua bola matanya memerah menahan air mata. “Syahera, Syahera! Kamu di mana!” Nita kembali berteriak memanggil-manggil nama sahabatnya. “Syahera mungkin sudah nggak ada lagi Nit,” sela Ratih menampakkan wajah kesedihannya. Ratih kemudian menengadahkan wajahnya ke atas. Sesaat dia memejamkan mata, kemudian dia kembali melihat ke arah Nita. “Dia telah pergi meninggalkan kita Nit, kita harus rela menerimanya,” sebut Ratih lagi. “Nggak mungkin Rat, nggak mungkin dia telah pergi, tolong jangan katakan kalimat itu lagi Rat, jangan lagi,” balas Nita. Sepertinya dia benar-benar tak rela mendengar kalimat yang terucap dari mulut Ratih tadi. “Nggak mungkin!” ulang Nita lagi. Untuk sejenak Nita diam menena