Jenala yang sudah selesai mandi dan berpakain langsung menuju lantai bawah untuk makan malam bersama. Namun, keningnya berkerut kala melihat keberadaan sang adik.
"Lho, kamu kapan pulang, katanya tidak mau balik lagi ke Amsterdam?" Sang empu yang ditanya hanya mengangkat alis, lalu secara tiba-tiba dia melempar sendok ke arah Jenala. "Juwita! Kamu gila ya?!"
"Kamu yang gila! Mama sama Papa tiba-tiba nelpon aku, mereka bilang kamu mau nikah sama Om Abimana! Yang benar saja Jena! Dia itu cuma beda tiga tahun dari Papa!"
Jenala mencebik, ia mengambil duduk di samping Juwita. "Why not? Toh dia mapan dan tampan, soal umur itu urusan belakangan."
"Kamu benar-benar ya!" Juwita menjambak rambut Jenala kuat, bahkan Jenala sampai berteriak. Tak ingin kalah dari gadis remaja di sampingnya, Jenala justru menendang tulang kering sang adik. Dan benar saja, Juwita langsung melepas jambakannya sambil menangis keras.
"MAMA! JENALA GEBUKIN AKU!"
Jenala mendengkus seraya merapikan rambutnya, adiknya ini memang drama queen sekali. Padahal selama dia tidak ada di rumah, hidup Jenala tentram dan aman sentosa.
"Ya Tuhan! Kalian ini bisa tidak jangan berantem jika bertemu. Lebih baik ikut Mama ke dapur. Cepat!"
Jenala dan Juwita bergeming, mereka saling melirik tajam satu sama lain. "Kamu saja yang bantuin Mama, aku lagi datang bulan!" Ketus Juwita.
Jenala bersedekap dada. "Apa hubungannya? Bilang saja kalau kamu memang pemalas! Dasar, taunya cuma liburan saja!"
"Argh!" Jenala berteriak ketika rambutnya lagi-lagi dijambak oleh Juwita. Alhasil mereka saling jambak -jambakan, disaksikan oleh sang mama.
Jihan memijit pelipis, punya anak dua berasa sepuluh. Yang satu pemicu huru hara, yang satunya gampang naik darah. Jihan menghembuskan nafas lega ketika melihat sang suami yang sedang melangkah mendekat.
"Astaga, Ma! Mereka kenapa?"
"Mama tidak tau, Pa. Papa yang urus anak Papa, ya? Mama ke dapur dulu mau nyiapin makan malam. Good luck, Pa!"
Walaupun masih dilanda kebingungan, Alpha dengan cepat memisahkan kedua putrinya. "Sudah-sudah, jika kalian tidak berhenti. Papa akan menyiapkan ring tinju, sekalian nanti disaksikan banyak orang."
Jenala maupun Juwita langsung berhenti, jika papanya sudah turun tangan. Mereka tak akan berani membantah.
"Jenala, Juwita. Duduk yang rapi, dan perbaiki penampilan kalian." Mereka menurut, Alpha menghembuskan nafas berat. Setelahnya ia menatap lekat kedua putrinya. Rambut awut-awutan, ditambah luka bekas cakaran pada pipi masing-masing. Seolah-olah itu adalah hal biasa jika mereka bertemu.
"Jena, kamu serius ingin menikah dengan Javier?"
Jenala menatap papanya tak percaya. "Mengapa tiba-tiba Papa membahas hal itu. Kan.. eum… Papa sama Mama belum setuju," ucap Jenala ragu-ragu, apakah papanya sudah berubah pikiran?
Alpha berdehem singkat, sebelum berujar pelan. "Juwita, tolong bantu Mama di dapur, ya?"
"Baik, Papa." Juwita yang sudah mengerti langsung berlari kecil menuju dapur. Setelah melihat punggung Juwita yang sudah menjauh, kini Alpha memfokuskan atensinya pada Jenala.
"Jena, kamu adalah putri Papa, sedangkan Javier sahabat Papa sendiri. Jika ada hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Papa akan kehilangan dua hal sekaligus. Yaitu kebahagian kamu, dan Juga sahabat Papa." Alpha menghembuskan nafas berat sebelum melanjutkan. "Untuk itu, Papa sangat keras menentang hubungan kalian, jadi jangan pernah berpikir jika Papa sangat egois serta keras terhadap kamu"
Suasana di meja makan begitu hening, Jenala menunduk dengan pikiran berkecamuk. Dia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.
Jenala meremas kedua tangannya gugup, lalu mendongak menatap sang papa. "Jena sama Om Abimana akan berusaha menyikapi semua permasalahan dengan kepala dingin, Jena tau kalau itu tidaklah mudah. Namun, Jena dan Om Abimana akan berusaha, Papa."
Alpha mengangguk pelan, ia mengedarkan pandangannya ke sembarang arah. Setelah itu kembali menatap lekat pada netra anak gadisnya.
"Dan mengenai perbedaan umur diantara kalian, kamu masih terlalu muda, sayang. Masih suka bersenang-senang. Alasan Papa yang lainnya karena kamu juga belum bisa melakukan semuanya sendiri, makan tidak mau jika tidak disuruh sama Mama, dan setiap pagi harus Papa bangunkan untuk pergi ke kantor."
Alpha mengambil duduk di samping Jenala, lalu mengusap kepala sang putri penuh sayang.
"Maaf, bukan maksud Papa meragukanmu. Tetapi, jika kamu ingin bersanding dengan Javier, kamu harus mengubah semua kebiasaan itu. Javier adalah pria dewasa, dia sudah dipusingkan oleh hal-hal yang lebih jauh. Soal pekerjaan, anak, serta perusahaan keluarganya yang nanti akan dikelola. Kehidupan setelah menikah itu tidak sesederhana yang kamu pikirkan, sayang."
Jenala mulai takut, ia tidak pernah memusingkan periahl seperti itu. Setelah lelah bekerja, ia pergi berlibur untuk melepaskan penat. Dan soal pekerjaan rumah pun, tak ada yang Jenala bisa lakukan kecuali menyapu.
"Apa kamu siap dengan semua itu? Siap untuk merelakan masa muda kamu, dan siap untuk mendedikasikan diri kamu untuk keluaraga kecil kamu nanti?"
Jenala menggigit kuat bibir bawahnya, sampai rasa asing menginvasi indra pengecapnya. "Jena siap, Pa. Jena akan belajar mulai sekarang untuk bisa bersanding dengan Om Abimana. Jena juga akan mengambil kursus masak serta kursus untuk membersihkan rumah."
Jawaban polos dari Jenala membuat Alpha tersenyum tipis. "Dengarkan Papa sayang, menikah itu adalah menyatukan dua kepribadian berbeda, kamu harus bisa mengimbangi sifat keras serta kritis dari seorang Javier. Begitu pula sebaliknya, Javier harus bisa mengimbangi sifat kamu yang masih meledak-ledak serta susah diatur."
Jenala meringis ketika mendengar ucapan terakhir sang papa, ya… walaupun memang benar adanya.
Alpha mengusap surai Jenala lembut, sebelum melanjutkan ucapannya. "Untuk masalah memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, kalian bisa bekerja sama. Karena rumah tangga itu tanggung jawab bersama, bukan memberatkan sebelah pihak."
Jenala menundukkan kepala, ia mendengarkan nasihat papanya dengan baik.
"Kamu paham, sayang? Dan siap untuk semua konsekuensi yang akan terjadi nantinya?"
Jenala mengangguk pelan sambil berucap lirih. "Siap Papa, Jena berjanji untuk tidak pernah mengecewakan Papa dan Mama."
Alpha memeluk Jenala dari samping. "Dan Soal Sera, bagaimana pendapatmu tentang gadis kecil itu?"
Jenala mencebik, sembari merenggut kesal. "Menyebalkan! Dan selalu membuat Jena darah tinggi."
Alpha terdiam sejenak, tak lama kemudian pria itu melepaskan pelukannya seraya menatap lekat ke arah Jenala. "Jika kamu menikah dengan Javier, kamu akan menjadi istri sekaligus seorang Ibu. Apa kamu siap dengan semua itu? Dan bagaimana jika sera tidak bisa menerima kehadiran kamu nantinya?"
Jenala tertegun sejenak, ia melupakan jika Sera adalah bagian dari Abimana.
"Jena….." Jenala menelan ludah susah payah. "Jena siap menjadi Ibu sekaligus Istri, dan mengenai Sera, Jena akan belajar untuk tidak berdebat lagi dengannya. Tapi jika dia salah, Jena akan marahin—sedikit." Jenala menatap papanya gugup. "Kalau pun seandainya Sera tidak menerima Jena, itu berarti Jena harus berusaha lebih keras lagi agar pantas menjadi Ibu baginya."
Alpha tersenyum mendengar jawaban dari Jenala, ia memegang pundak sang putri. Seraya menyorot netra bening itu penuh keseriusan. "Maka jadilah Jenala yang dewasa, agar bisa mendampingi Javier sekaligus menjadi Ibu bagi Sera."
****
Jenala kembali memikirkan kata-kata yang papanya lontarkan, apa mungkin selama ini sifatnya begitu kekanakan?
Jenala melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tetapi, ia tak kunjung memejamkan mata. Jenala menghembuskan nafas berat sembari mengambil ponselnya di atas nakas. Lalu mengetikkan sesuatu.
Jenala Lovina. [ Om, bisa kita bertemu besok sore? Ada hal penting yang akan saya katakan. ]
Om Abimana. [ Soal apa? Karena besok saya akan ke luar kota. ]
Jenala meremas ponselnya. Jujur saja, Jenala tak enak mengatakannya lewat pesan seperti ini, tapi dia juga tidak ada nyali untuk mengatakannya secara langsung. Jenala menarik nafas dalam-dalam, lalu membalas pesan Abimana penuh kegugupan.
Jenala Lovina. [ Om, ajarkan saya tentang hal dewasa.]
Tak sampai dua detik setelah pesan itu terkirim, Abimana sudah membalasnya.
Om Abimana. [ Tentu, Datang ke apartemen saya besok sore.]
Sudah satu bulan lamanya Jenala tinggal di hotel bersama keluarga kecilnya, dan tepat pada pukul delapan malam. Ketika Anak-anaknya tertidur, perempuan itu melenggang santai menuju lantai dua, tempat restoran hotel ini berada. Jenala sendiri tinggal di lantai lima, bersama keluarga kecilnya.“Bu Jenala.” Jenala menoleh ke belakang, melihat Rena, asisten rumah tangannya yang terlihat membawa paper bag. “Lho, kamu habis dari mana? Saya pikir kamu ada di kamar?”Rena tersenyum tipis. “Iya, Bu. Tapi tadi dihubungi oleh front office, katanya disuruh ambil pesanan Pak Abimana untuk Ibu Jenala.” Rena menyerahkan paper bag berlogo restoran Favorit Jenala. “Terima kasih, ya. Awalnya saya mau ke resto bawah saja.” Rena mengangguk sebagai respon. “Ayo ikut makan, kita bawa ke resto bawah saja bagaimana?” Rena mengangguk kikuk, tak enak juga menolak. “Baik, terserah Ibu saja.” Sementara itu, Abimana yang sedang berada di kantor Jenala dikejutkan oleh kehadiran Miranda serat Marlo. “Kalian ken
Jenala kebingungan ketika sudah membuka mata, ia melihat ke sekeliling ruangan yang ditempati. “Mas?” Panggilnya ketika tak mendapatkan eksistensi Abimana. “Jena, kamu sudah bangun, Sayang?” Abimana keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang menggantung sebatas perutnya. “Bagaimana perasaanmu?” lanjut pria itu sembari mengambil duduk di pinggir kasur tempat Jenala berbaring.“Kita di mana, Mas?” Alih-alih menjawab pertanyaan Abimana, ia justru bertanya balik dengan nada serak.“Di hotelku, Sayang. Besok pagi baru kita berangkat ke Den Haag, soal Avahander dia berada di kamar sebelah bersama Sera serta Rena, dan aku membawa Rena untuk membantu kita nanti. Semua perlengkapan kamu juga sudah aku siapkan, kita tinggal berangkat besok pagi.” Jenala tergugu, masih tak mengerti kalimat panjang yang Abimana utarakan. “Sebentar, Mas. Maksudnya kita ke Den Haag untuk apa? Dan juga Avahander masih kecil, tidak mungkin kita membawanya naik pesawat. Kecuali jika dia sudah satu bulan ke atas.”A
“Brisik! Kamu bisa diam tidak?!” Abimana langsung memeluk Jenala yang terus memberontak. Setelah pulang meeting, ia menemukan Avhander dalam keadaan menangis, sementara Jenala ikut menangis sambil memukul crib baby Avhander. Abimana yang panik langsung menelpon dokter keluarganya, dan perkataan sang dokter membuatnya seperti suami terburuk Jenala mengalami baby blues syndrome, biasanya sang ibu akan menangis secara tiba-tiba, serta memiliki kecemasan berlebihan terhadap sesuatu. Abimana tidak pernah menduga jika Jenala akan mengalami ini semua. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjaga perasaan sang istri, tapi ternyata ia gagal. Dan ini sangat menyakitkan untuknya, Abimana telah gagal menjadi suami yang baik bagi Jenala. “Av–avhander ….” Suara lirih Jenala menyentak Abimana. “Iya, Sayang. Avhander sudah tidur. Kamu istirahat, ya? Aku temani.”“Tidak! Mama jahat! Mama hina aku! Padahal aku yang lahirin Avhander! Mama Raquel jahat! Aku mau sama Mama Papaku saja!” Tubuh Jenala bergeta
Jenala tersenyum melihat Abimana yang sama sekali tak melepaskan pelukannya. Padahal ia sudah mengatakan tak apa-apa, dikarenakan bayi mereka juga lahir dalam keadaan sehat, walau sempat terjadi insiden kecil saat di kamar mandi. Sebenarnya Jenala juga merasa kecewa karena tak bisa melahirkan putra pertamanya ke dunia ini secara normal, tetapi apa mau dikata. Ini juga demi keselamatannya. “Hei, sudah. Aku juga sudah baik-baik saja.” Abimana menggeleng, masih teringat jelas saat dia sampai di kamar mandi dan menemukan Jenala yang sudah pingsan dengan darah menggenang. Sungguh, itu adalah hal mengerikan yang mampu membuat kinerja jantungnya berhenti berdetak, walau sesaat. Belum lagi saat dilarikan ke rumah sakit, dan dokter mengatakan jika Jenala harus dioperasi. Tentu Abimana semakin kalut, apalagi setelah melahirkan Jenala tak sadarkan diri selama dua puluh empat jam “Sudah, ya. Aku juga baik-baik saja.” Jenala mengulang kembali kalimatnya, jemari lentiknya mengelus lembut surai
Bulan demi bulan telah dilalui, dan dua minggu lagi Jenala akan bertemu dengan buah hatinya, ada perasaan mendebarkan sekaligus melegakan dalam hatinya. Tantenya yang ada di Amsterdam tak henti-hentinya datang silih berganti, untuk menyemangatinya serta memberikan kata-kata penenang. Pun dengan Abimana, pria itu tak mau meninggalkan Jenala barang sedetik saja. Tapi Jenala mengancamnya jika tidak pergi bekerja dia tak mau menemui Abimana. “Mama, Sera sudah belikan barbie untuk adik bayi. Nanti kalau dia keluar Sera ajak main, boleh?” Jenala terkekeh, tapi tak urung mengiyakan. “Boleh, tapi adik bayi mainnya sama robot-robotan.” “Lho, kenapa, Mama? “Karena dia laki-laki, Sayang. Jadi, mainnya juga disesuaikan.” Sera terlihat manggut-manggut, walau sebenarnya dia juga tidak mengerti. “Mama, pipis.” Jenala mengangguk seraya mengacak gemas rambut, Sera. “Oke, Sayang. Hati-hati, ya? Kalau ada apa-apa panggil, Mama.” Sera tak menjawab, gadis kecil itu sepertinya sedang ingin buru-b
Viktor membaca laporan yang sekretarisnya berikan, sesekali tampak kerutan pada dahi pria itu. “Jason mengajukan kerja sama pada, Javier?”Pria paruh baya itu mengangguk. “Benar, Pak. Tapi statusnya masih digantung oleh Pak Abimana. Sampai sekarang.” Viktor semakin terlihat penasaran, Abimana tak jauh beda ternyata darinya. Tak peduli itu adalah keluarga atau bukan, yang jelas jika tak berkompeten atau tidak memenuhi syarat untuk bekerja sama dengan perusahaannya akan tetap ditolak. Dimitri—selaku ayahnya. Pernah mengatakan jika berbisnis lebih baik hindari dengan keluarga, karena urusan uang adalah hal sensitif. Dan terbukti, sampai sekarang Viktor tak menjalin kerja sama dengan anggota keluarganya. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti Jason anggota keluarganya yang pertama bisa menjalin kerja sama dengan perusahaannya. “Baiklah, laporkan terus jika ada kejanggalan atau hambatan. Dan jangan lupa infokan kepada Rendra untuk selalu memantau orang-orang disekitar
“Mas, berapa hari di Malaysia?” Abimana mengecek ponselnya terlebih dahulu, lalu menatap kembali ke arah Jenala. “Sekitar satu minggu, Sayang. Maaf jika meninggalkanmu selama itu, tapi ini benar-benar tidak bisa diwakilkan.”Jenala mengangguk mengerti, pekerjaan Abimana memang begitu banyak, belum lagi membantu mengurus perusahaan periklanan miliknya. “Aku paham, jangan merasa bersalah seperti itu. Setelah melahirkan aku juga mau kembali ke perusahaan, apakah tidak apa-apa?” Abimana terdiam sejenak, menatap Jenala dalam. “Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang? Maksud aku, untuk mengurus anak kita menggunakan jasa baby sitter? Dan kamu siap akan impact ke depannya?”Kening Jenala berkerut, menurutnya tidak ada yang salah. “Memangnya kenapa, Mas? Dan dampak yang Mas maksud seperti apa?”Abimana tersenyum lembut, membaringkan tubuhnya pada sisi sang istri. Tangannya terangkat untuk mengelus perut Jenala yang sudah membesar. “Begini, Sayang. Jika setelah kamu memutuskan untuk kembal
Tak terasa kini usia kehamilan Jenala sudah menginjak lima bulan, perempuan itu tersenyum-senyum sendiri ketika mengetahui jika dirinya mengandung seorang putra. Sebenarnya tak masalah, entah lelaki atau perempuan. Yang terpenting sehat. Namun, ketika melihat reaksi Abimana, Jenala sungguh terharu, pria itu bahkan mengambil cuti karena tak bisa jauh dari istrinya. Abimana selalu menanyakan apa yang dia suka serta tak suka. Belum lagi menjauhkan apapun yang membuatnya tak nyaman. Bukankah prianya begitu manis?“Jena!” Jenala tersentak, bahkan rajutan yang ada di tangannya terjatuh seketika.“Maaf, aku ngagetin, ya?”Jenala menoleh ke arah Miranda, lalu menggeleng singkat. “Tidak, aku tadi sedang fokus saja.” Dia menunduk, mengambil benda yang mempunyai pola rajutan garter stitch itu. Jenala kembali mengalihkan atensinya pada Miranda, sebenarnya agak sedikit aneh ketika Miranda bertamu pagi-pagi seperti ini.“Kamu libur hari ini?” Miranda mengangguk kuat, menaruh di atas meja paper ba
“Mama, apakah adik bayinya seperti Sera?” Jenala terkekeh mendengarnya, dia memang sudah pulang satu minggu yang lalu. Dan memberitahukan kabar bahagia ini pada keluarga besarnya. Mereka semua bahkan sampai terbang ke Belanda untuk melihat keadaannya. Sementara keluarga besar Abimana juga tak kalah heboh, walau ada beberapa yang terlihat tak suka, tapi Jenala tak ambil pusing.“Belum tahu, Sayang. Apakah nanti perempuan atau lelaki. Nanti kita cek setelah empat atau lima bulan, oke?” Sera mengangguk kuat, gadis kecil itu mengelus perut rata Jenala, sesekali terkikik atas tingkahnya sendiri. “Oh, iya. Apakah sepupu Sera yang di Jakarta itu akan ke sini lagi, Mama?” Jenala mengacak rambut Sera gemas, gadis kecilnya ini suka sekali bermain dengan keponakannya. Namun, sayang sekali mereka hanya beberapa hari di Belanda. “Nanti kalau libur panjang pasti mereka ke sini lagi, Sayang.’ Sebenarnya Jenala masih merindukan nenek serta paman dan bibinya. Tetapi tidak mungkin, karena mereka ju