Setiap perempuan tentu ingin menikah, bukan? Jenala Lovina contohnya, perempuan dua puluh lima tahun itu selalu ditanya kapan menikah oleh keluarga besar serta rekan kerjanya. Jenala yang sudah muak dengan iseng mencari calon suami disalah satu website jodoh terpopuler, dan benar saja. Di hari itu juga ada yang mengajaknya bertemu, tentu saja Jenala tidak akan menyia-nyiakannya. Namun, apa jadinya jika yang mengajaknya berkencan adalah Om Abimana, yang tak lain adalah sahabat dari papanya sendiri. Lantas, apakah Jenala serta Abimana akan melanjutkan ke tahap selanjutnya? Apalagi Jenala sudah mengatakan jika dirinya sudah mempunyai calon suami kepada keluarga besarnya.
View More“Jena, kamu sudah punya kekasih?”
"Uhuk!"
Jenala tersedak ludahnya sendiri, perempuan itu menggeleng seraya menatap ke arah dua tantenya. Sekarang ia merasa diserang dari berbagai arah.
"Sayang sekali, Briana saja mau dilamar oleh kekasihnya. Kamu tidak mau mengikuti saran dari tente saja?"
Kedua tantenya itu menatap tubuh Jenala dari ujung kepala hingga kaki. Jenala tahu, tante-tantenya itu pasti ingin membahas penampilannya yang dinilai ‘kurang menjual’. Tubuh mungil, kulit yang dinilai tidak seputih para bintang iklan sabun di televisi.
Jenala mengibaskan kedua tangannya. "Tidak Tante, lagian kulit Jenala bagus, kok. Sehat juga. Tidak perlu putih untuk menjadi cantik." Jenala langsung mengambil sifat defensif. Ia tak mau terpengaruh oleh pernyataan tentenya.
"Tapi, para sepupu kamu sudah mau bertunangan. Hanya Kamu saja yang tertinggal."
Meski hatinya sudah panas karena serangan-serangan dari tantenya, Jenala tetap memaksakan sebuah senyum. “Tenang saja, Tante. Besok juga aku mau ketemu calon suamiku, kok.”
Jenala berbohong! Jangankan punya calon suami, calon kekasih pun tidak ada. Namun, celotehan spontan darinya justru disambut heboh hingga terdengar sampai ke telinga papanya.
“Benar yang dikatakan tantemu, Jena?” Jenala tergugu di hadapan papanya. Saking takut ketahuan berbohong, ia hanya bisa menganggukkan kepala.“Bagus. Besok bawa ke rumah. Papa ingin melihat, seperti apa lelaki yang berhasil mendapatkan hati anak Papa yang cantik ini.”
Glek. Jenala menelan ludahnya. Kebohongan yang tadi ia ciptakan agar lolos dari ledekan para tante justru mengantarnya pada sebuah masalah baru. Akhirnya, sepanjang acara keluarga itu, Jenala lebih banyak berdiam diri, sambil memainkan ponselnya.
Tidak beberapa lama, saat men-scroll sosial media, terbesit ide cemerlang menghampirinya.
Zaman sekarang, mencari apa pun semudah menjentikkan jari, kan? Untuk itu, Jenala pun demikian. Ia menggulirkan jemarinya usai mengunduh sebuah aplikasi kencan.
Setelah mengisi profil, Jenala memilah profil lelaki yang sekiranya menarik hati. Hingga tiba di sebuah profil dengan nama ‘Dominico Javier’. Nama yang sepertinya tidak asing, tetapi Jenala tidak mengingat di mana ia pernah mengenal nama itu.
****
[Bisa kita bertemu? Saya akan mengirimkan lokasi restorannya.]
Jenala refleks melempar ponselnya ke atas kasur karena terlalu kaget menerima sebuah pesan kilat dari Dominico Javier–pria asing yang baru dikenalnya di jejaring pencarian jodoh.
Padahal, baru beberapa detik perempuan itu swipe right profil milik Dominico. Ia akui, memang, setelah melihat tubuh atletis pria itu yang membelakangi kamera, jiwa kejombloan Jenala meronta-ronta. Jadi, tanpa sadar, dia memencet tombol pesan, dan secara otomatis terkirim stiker perkenalan.
Gilanya, ia bahkan mengaku untuk siap menikah dan direspons cepat oleh pria itu. “Apa semua om-om itu nge-gas begini, ya?” gumam Jelana tanpa sadar.
Melihat Dominico yang tampak masih online dan menunggu jawaban, Jenala sadar jika dia tidak lagi punya banyak waktu. Pria itu bisa saja melaporkan akunnya, hingga diblokir oleh aplikasi ini.
Jadi, satu-satunya jalan tercepat adalah menyetujui priai asing tersebut untuk bertemu.
Lovina. [Baik, tunggu saya besok sore. Sepulang kerja saya langsung menemui kamu.]
Keesokan harinya, setelah pulang bekerja Jenala langsung menuju restoran yang telah mereka sepakati usai sebelumnya menyempatkan diri pergi ke salon.
Jenala melangkah takut-takut. Lalu, ia mengambil duduk perlahan pada kursi yang ditunjukkan pelayan tadi usai mendengar nama si pemesan. Perasaan Jenala semakin tak menentu kala pria itu tak kunjung membalas pesan yang Jenala kirim beberapa menit yang lalu.
Sudah sepuluh menit berlalu, tetapi belum ada tanda-tanda kedatangan teman kencannya, membuat Jenala seketika ragu. Pikiran buruk sempat berputar di benaknya. Sebelum terlambat, mungkin ini saatnya ia mengurungkan diri untuk bertemu dengan calon suami instannya.
Namun, ketika Jenala baru saja membulatkan tekad untuk pergi, seorang pria bertubuh tinggi berhenti di hadapannya. "Hai, sorry telat. Tadi ada pekerjaan mendadak." Suara serak nan dalam itu menyadarkan Jenala dari lamunannya, seketika ia langsung menoleh ke arah sumber suara.
"Jenala?!"
Jenala ternganga, bahkan lututnya bergetar saking tidak percayanya dengan apa yang dia lihat saat ini.
"O-om Abimana...." Jenala ingin menangis sekarang juga! Jangan bilang sahabat papanya adalah teman kencannya sendiri?! "Om Abimana, ke-kenapa ada di sini?" tanya Jenala takut-takut.
Abimana terdiam, netra hazelnya menyorot Jenala dalam, bibir kemerahan yang sedikit tebal itu terbuka secara perlahan. "Saya akan bertemu J. Lovina. Dan kamu, mengapa ada di meja yang saya reservasi?"
‘Tamatlah riwayatmu, Jenala!’ Dengan takut-takut, Jenala berujar. "Sa-saya J. Lovina. Jangan katakan jika Om Abimana adalah Dominico Javier?"
Pria itu tak menjawab, justru dia mengambil duduk di hadapan Jenala. Dalam hati, Jenala memaki dirinya sendiri yang abai pada nama teman kencannya. ‘Javier’! Jelas-jelas nama itu adalah nama belakang sahabat papanya sendiri. Bagaimana bisa dia lupa?
Berbeda dengan Jenala yang masih kikuk luar biasa, Abimana melepas mantelnya, menyisakan kaos putih yang mencetak tubuh bak model itu. Dia mungkin tidak sadar, kalau di hadapannya, Jelena meneguk ludahnya kasar melihat sesosok Dewa Yunani sedekat ini dengannya.
"Sebelum kita memulai obrolan, kita pesan makan terlebih dahulu. Karena saya sudah lapar."
Entah bagaimana Jenala seharusnya bersikap. Bersyukur karena pria yang ditemuinya ternyata sudah ia kenal lama, atau justru meratapi nasibnya karena sudah dapat dipastikan kencannya kali ini gagal.
Setelah memesan makanan, Abimana terlihat mengatur nafasnya dalam-dalam. Pria itu menatap Jenala intens, membuat Jenala merona seketika.
"Jenala," bisik Abimana. "Saya tidak menyangka jika kamu bermain di web dewasa."
Jenala melotot tak terima. "Saya juga tidak menyangka Om Abimana mencari jodoh ditempat begituan!" sindir Jenala cepat.
Abimana menaikkan sudut bibirnya, dan itu semakin membuatnya terlihat seksi. "Saya terpaksa."
Jenala menyahut tidak mau kalah. "Saya juga terpaksa!"
"Oh ya? Bukankah kamu sudah mempunyai calon suami?" ejek Abimana. Dia masih mengingat ketika papanya Jenala mengumumkan lewat grub bahwa sang putri akan menikah.
Jenala gelagapan, salahkan saja mulutnya yang berbicara sembarangan. "Sa-saya berbohong. Saya capek ditanya terus, ja-jadi mengucapkan hal yang tidak-tidak."
Abimana mengulum senyum. "Ah, begitu rupanya." Berdehem singkat, pria itu mengalihkan pandangan ke sekitar, sebelum memfokuskan kembali atensinya pada gadis berwajah manis di hadapannya. “Kita punya kepentingan yang sama. Jika kamu mau, kita bisa jadi partner.”
Jenala menelan ludah susah payah, kini otaknya sibuk mencerna kata-kata yang keluar dari bibir pria menawan itu. "Partner? Maksud Om, kita akan menjadi sepasang kekasih?"
Abimana tersenyum tipis. Matanya masih lekat menatap perempuan berwajah manis di hadapannya. “Kekasih? Bukankah kamu bilang ingin mencari calon suami?” Alis pria itu naik kala mengucapkan kalimat terakhirnya. “Lagipula, apa di usia saya masih cocok untuk main-main, Jenala?”
Sudah satu bulan lamanya Jenala tinggal di hotel bersama keluarga kecilnya, dan tepat pada pukul delapan malam. Ketika Anak-anaknya tertidur, perempuan itu melenggang santai menuju lantai dua, tempat restoran hotel ini berada. Jenala sendiri tinggal di lantai lima, bersama keluarga kecilnya.“Bu Jenala.” Jenala menoleh ke belakang, melihat Rena, asisten rumah tangannya yang terlihat membawa paper bag. “Lho, kamu habis dari mana? Saya pikir kamu ada di kamar?”Rena tersenyum tipis. “Iya, Bu. Tapi tadi dihubungi oleh front office, katanya disuruh ambil pesanan Pak Abimana untuk Ibu Jenala.” Rena menyerahkan paper bag berlogo restoran Favorit Jenala. “Terima kasih, ya. Awalnya saya mau ke resto bawah saja.” Rena mengangguk sebagai respon. “Ayo ikut makan, kita bawa ke resto bawah saja bagaimana?” Rena mengangguk kikuk, tak enak juga menolak. “Baik, terserah Ibu saja.” Sementara itu, Abimana yang sedang berada di kantor Jenala dikejutkan oleh kehadiran Miranda serat Marlo. “Kalian ken
Jenala kebingungan ketika sudah membuka mata, ia melihat ke sekeliling ruangan yang ditempati. “Mas?” Panggilnya ketika tak mendapatkan eksistensi Abimana. “Jena, kamu sudah bangun, Sayang?” Abimana keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang menggantung sebatas perutnya. “Bagaimana perasaanmu?” lanjut pria itu sembari mengambil duduk di pinggir kasur tempat Jenala berbaring.“Kita di mana, Mas?” Alih-alih menjawab pertanyaan Abimana, ia justru bertanya balik dengan nada serak.“Di hotelku, Sayang. Besok pagi baru kita berangkat ke Den Haag, soal Avahander dia berada di kamar sebelah bersama Sera serta Rena, dan aku membawa Rena untuk membantu kita nanti. Semua perlengkapan kamu juga sudah aku siapkan, kita tinggal berangkat besok pagi.” Jenala tergugu, masih tak mengerti kalimat panjang yang Abimana utarakan. “Sebentar, Mas. Maksudnya kita ke Den Haag untuk apa? Dan juga Avahander masih kecil, tidak mungkin kita membawanya naik pesawat. Kecuali jika dia sudah satu bulan ke atas.”A
“Brisik! Kamu bisa diam tidak?!” Abimana langsung memeluk Jenala yang terus memberontak. Setelah pulang meeting, ia menemukan Avhander dalam keadaan menangis, sementara Jenala ikut menangis sambil memukul crib baby Avhander. Abimana yang panik langsung menelpon dokter keluarganya, dan perkataan sang dokter membuatnya seperti suami terburuk Jenala mengalami baby blues syndrome, biasanya sang ibu akan menangis secara tiba-tiba, serta memiliki kecemasan berlebihan terhadap sesuatu. Abimana tidak pernah menduga jika Jenala akan mengalami ini semua. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjaga perasaan sang istri, tapi ternyata ia gagal. Dan ini sangat menyakitkan untuknya, Abimana telah gagal menjadi suami yang baik bagi Jenala. “Av–avhander ….” Suara lirih Jenala menyentak Abimana. “Iya, Sayang. Avhander sudah tidur. Kamu istirahat, ya? Aku temani.”“Tidak! Mama jahat! Mama hina aku! Padahal aku yang lahirin Avhander! Mama Raquel jahat! Aku mau sama Mama Papaku saja!” Tubuh Jenala bergeta
Jenala tersenyum melihat Abimana yang sama sekali tak melepaskan pelukannya. Padahal ia sudah mengatakan tak apa-apa, dikarenakan bayi mereka juga lahir dalam keadaan sehat, walau sempat terjadi insiden kecil saat di kamar mandi. Sebenarnya Jenala juga merasa kecewa karena tak bisa melahirkan putra pertamanya ke dunia ini secara normal, tetapi apa mau dikata. Ini juga demi keselamatannya. “Hei, sudah. Aku juga sudah baik-baik saja.” Abimana menggeleng, masih teringat jelas saat dia sampai di kamar mandi dan menemukan Jenala yang sudah pingsan dengan darah menggenang. Sungguh, itu adalah hal mengerikan yang mampu membuat kinerja jantungnya berhenti berdetak, walau sesaat. Belum lagi saat dilarikan ke rumah sakit, dan dokter mengatakan jika Jenala harus dioperasi. Tentu Abimana semakin kalut, apalagi setelah melahirkan Jenala tak sadarkan diri selama dua puluh empat jam “Sudah, ya. Aku juga baik-baik saja.” Jenala mengulang kembali kalimatnya, jemari lentiknya mengelus lembut surai
Bulan demi bulan telah dilalui, dan dua minggu lagi Jenala akan bertemu dengan buah hatinya, ada perasaan mendebarkan sekaligus melegakan dalam hatinya. Tantenya yang ada di Amsterdam tak henti-hentinya datang silih berganti, untuk menyemangatinya serta memberikan kata-kata penenang. Pun dengan Abimana, pria itu tak mau meninggalkan Jenala barang sedetik saja. Tapi Jenala mengancamnya jika tidak pergi bekerja dia tak mau menemui Abimana. “Mama, Sera sudah belikan barbie untuk adik bayi. Nanti kalau dia keluar Sera ajak main, boleh?” Jenala terkekeh, tapi tak urung mengiyakan. “Boleh, tapi adik bayi mainnya sama robot-robotan.” “Lho, kenapa, Mama? “Karena dia laki-laki, Sayang. Jadi, mainnya juga disesuaikan.” Sera terlihat manggut-manggut, walau sebenarnya dia juga tidak mengerti. “Mama, pipis.” Jenala mengangguk seraya mengacak gemas rambut, Sera. “Oke, Sayang. Hati-hati, ya? Kalau ada apa-apa panggil, Mama.” Sera tak menjawab, gadis kecil itu sepertinya sedang ingin buru-b
Viktor membaca laporan yang sekretarisnya berikan, sesekali tampak kerutan pada dahi pria itu. “Jason mengajukan kerja sama pada, Javier?”Pria paruh baya itu mengangguk. “Benar, Pak. Tapi statusnya masih digantung oleh Pak Abimana. Sampai sekarang.” Viktor semakin terlihat penasaran, Abimana tak jauh beda ternyata darinya. Tak peduli itu adalah keluarga atau bukan, yang jelas jika tak berkompeten atau tidak memenuhi syarat untuk bekerja sama dengan perusahaannya akan tetap ditolak. Dimitri—selaku ayahnya. Pernah mengatakan jika berbisnis lebih baik hindari dengan keluarga, karena urusan uang adalah hal sensitif. Dan terbukti, sampai sekarang Viktor tak menjalin kerja sama dengan anggota keluarganya. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti Jason anggota keluarganya yang pertama bisa menjalin kerja sama dengan perusahaannya. “Baiklah, laporkan terus jika ada kejanggalan atau hambatan. Dan jangan lupa infokan kepada Rendra untuk selalu memantau orang-orang disekitar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments