Tangan lelaki itu mulai kelelahan karena lamanya menarik pedal gas. "Perasaan matahari hendak terbit. Kenapa sekarang menjadi gelap lagi? Apa mungkin mau turun hujan?" Ardi bergumam pelan. Motornya pun masih melaju dengan kecepatan sedang.Tiba-tiba saja angin berhembus dengan kencang membuat rambutnya yang sedikit panjang di bagian depan ikut berkibar. Lelaki itu sampai menggigil karena kencangnya angin, sekujur tubuhnya pun mulai merasakan ada titik-titik air yang berjatuhan dari langit. Awalnya hanya rintik-rintik, lama kelamaan hujan turun semakin lebat sehingga membuat sekujur tubuh lelaki itu basah. Ardi memutuskan menepi dan berhenti di bawah pohon mahoni karena hujan tak kunjung reda. Ardi melirik pohon yang berada di belakangnya ini. Ia nampak heran sebab pepohonan yang berada di sekitarnya sudah gersang serta daunnya pun banyak yang berguguran. Hanya pohon besar ini satu-satunya yang masih rimbun dan daunnya pun masih hijau.Ardi meraih ponsel yang berada di dalam saku cela
Pak Sholeh memutuskan menyuruh anak lelakinya untuk mendatangi seorang Ustadz yang tinggal di kampung ujung."Sepertinya Pak Ustadz di kampung sebelah tidak ada. Maka dari itu Ardi lama, Pak Wito," ujar Pak Sholeh."Mungkin saja Ardi mencari orang ahli agama yang lainnya." Sambung salah seorang bapak-bapak yang tengah memegang tangan Sinta.Wanita itu kini sudah jauh lebih tenang, tidak berteriak-teriak seperti sebelumnya. Hanya saja, Sinta sesekali masih menendang dan jika di lepas akan melukai dirinya sendiri."Seharusnya Ardi akan langsung ke Ustadz yang di kampung ujung. Anak itu juga kenal dengannya," sahut Pak Wito, yang tak lain adalah bapaknya Ardi dan juga Aldo."Lalu ke mana perginya Ardi? Hampir satu jam dia belum tiba juga," pungkas lelaki paruh baya itu, suaranya pun terdengar khawatir."Kita berpikir positif saja Pak. Bisa jadi Ardi kehabisan bensin atau bannya bocor."Beberapa menit kemudian terdengar suara deru motor. Anak lelaki Pak Sholeh sudah tiba bersama seorang U
"Kamu jangan ikut, jaga Sheila dan Rafa. Biar bapak yang ke hutan." Lelaki yang berumur lebih dari 50 tahun itu mencegah saat Sinta ingin ikut ke hutan."Hati-hati, Pak."Pak Wito berjalan dengan tergesa, tak memperdulikan tubuhnya yang mulai kelelahan karena tak terbiasa jalan terlalu jauh. Sudah beberapa ratus meter lelaki itu berjalan. Hingga ada suara deru motor dan seseorang yang memanggil namanya dari arah belakang dan membuat langkah kaki Pak Wito terhenti. Ia pun menoleh dan mendapati beberapa warga yang menyusul dirinya. "Ayo naik, Pak Wito," ajak salah seorang bapak-bapak yang berkendara sendirian. Sedangkan yang lainnya tetap melajukan kendaraanya menuju hutan.Lelaki paruh baya itu lantas naik dan motor kembali melaju. Tak hanya khawatir, mereka pun di buru oleh waktu karena hari mulai senja. Semburat merah mewarnai langit, cahaya matahari perlahan mulai meredup karena sang Surya sedikit demi sedikit mulai tenggelam."Pegangan Pak Wito," seru bapak yang mengendarai motor
"Selamat pagi Mas Ardi," sapa Syahril, pemuda yang tinggal di seberang rumah Sinta. Pemuda itu tengah berdiri seraya memanaskan sepeda motornya."Mau berangkat sekolah?" Ardi yang tadinya menunduk memandangi ponselnya, kini menoleh ke arah pemuda tersebut seraya menarik sudut bibirnya menciptakan lengkungan tipis."Iya, Mas," jawab pemuda itu singkat.Ardi meraih tongkat kayu yang berada di sampingnya. Lelaki itu segera bangkit dan berjalan dengan tertatih menghampiri Syahril."Mau ke mana, Mas? Hati-hati." Pemuda itu nampak panik, melepaskan setang motor dan berlari menghampiri Ardi yang berjalan dengan bantuan tongkat kayu."Mau nitip ini." Ardi meraih ponselnya yang mati dan menyerahkan kepada pemuda itu."Simpan di konter depan sana ya. Bilang saja punyaku," pungkas Ardi."Baik, Mas."Setelah memastikan pemuda itu pergi, Ardi kembali masuk ke dalam rumah. Usai kejadian tempo hari, salah satu kaki lelaki itu masih terasa kaku dan terkadang dadanya masih berdenyut nyeri. Baru saja i
Perut Sinta yang rata terlihat menonjol dan seperti ada sesuatu di dalamnya, akan tetapi wanita itu tak merasakan apa-apa. Hanya saja, saat telapak tangannya menyentuh permukaan kulit perutnya ada sesuatu yang bergerak-gerak.Benar apa kata Sheila-putrinya itu. Perutnya bergerak saat tangannya menyentuh lagi area perut yang menonjol. Matanya awas menatap tanpa berkedip, sampai-sampai dirinya terkesiap dan reflek memegang dadanya.Seperti ada bayi di dalam perutnya. Namun, anehnya ia tak merasakan apapun dan permukaan kulitnya pun rata hanya terdapat benjolan yang sesekali bergerak berpindah dari sisi kiri ke kanan.Sinta duduk dan menyingkap bajunya sampai memperlihatkan seluruh area perutnya. Ada sedikit rasa takut, akan tetapi ia memberanikan diri untuk tetap mengawasi sesuatu yang bergerak aktif tersebut."Penyakit apa ini? Mengapa aku tak merasakan pergerakan itu? Aku harus periksa ke bidan besok," gumam Sinta lirih. Hampir lima belas menit lamanya perut itu terus bergerak dan per
"Berapa ini, Pak?" tanya Aldo. Tangannya memegang dua ponsel keluaran lama."Katanya suruh bayar 400 dan 300. Itu ponsel masih jaringan 3G, tetapi sudah mendukung aplikasi hijau untuk video call," jelas Pak Imron.Saat ini mereka sudah siap-siap hendak pulang dan salah satu teman sesama pekerja proyek menawarkan ponsel lamanya yang sudah tak dipakai."Saya tidak paham soal ponsel, Pak. Kira-kira masih bagus tidak ya?" Aldo terlihat menimang-nimang dan memikirkannya kembali."Sudah saya cek, semuanya masih normal. Lumayanlah harga segitu, kamu bisa leluasa teleponan dan video call dengan anak istrimu untuk mengobati rasa kangen." Lelaki yang umurnya terpaut beberapa tahun dari Aldo itu mencoba membujuk. Ya, dirinya merasa kasian karena Aldo selalu sungkan kepadanya apabila hendak menelepon anak-anaknya menggunakan aplikasi yang menampilkan wajah dari jarak jauh tersebut."Atau kamu bisa tawar lagi. Siapa tau dia mau memberi potongan. Dan ponsel lamamu bisa dijual nanti," sambung Pak Im
Aldo berjalan mendekat. Namun, Rafa justru mundur hingga kakinya terkena pinggiran kursi."Ada apa, Rafa?" Seperti biasa, suara lelaki berpawakan tinggi itu terdengar lembut."Ba-bapak ... Bapak bukannya ada di dapur bersama ibu?" Bocah itu masih menatap sang bapak dari atas ke bawah. Pakaiannya sama persis, baju Koko berwarna cokelat dengan sarung menempel sebagai bawahan serta sajadah yang bertengger di pundak."Di dapur? Bapak kan baru pulang," jawab Aldo dengan dahi yang berlipat, sebab tak mengerti apa maksud ucapan putera pertamanya itu.Secepat kilat Rafa berlari menuju dapur dengan dada yang bergemuruh hebat. Sungguh, ia tak berhalusinasi dan bapaknya yang baru pulang itu juga nyata.Sesampainya di ambang pintu dapur, Rafa mengedarkan pandangan di setiap sisi ruangan yang berbentuk memanjang ke samping itu.Tak ada bapaknya di sini dan hanya ada Sinta, sang ibu yang tengah berdiri di dekat kompor menyeduh kopi. Terdengar suara denting sendok yang beradu dengan gelas."Bapak tad
"Ada sesuatu di dalam perutmu. Lihat itu! perutmu bergerak, Dek!" pekik Aldo. Tangannya menunjuk ke arah perut Sinta yang nampak bergerak."Kamu kenapa sih, Mas? Orang tidak ada apa-apa." Sinta meraba perutnya dan merasa tak ada yang aneh. Wanita itu lantas menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Sinta begitu kesal karena suaminya yang berhenti secara tiba-tiba dan semua omongannya itu."Apa kamu hamil, Dek? Mas melihat seperti ada siku yang menonjol, persis seperti saat dahulu kamu hamil Rafa dan Sheila. Tetapi, seingat Mas bayi bergerak di usia 5 bulanan." Aldo begitu heran dengan apa yang ia lihat barusan."Kalau hamil pastinya perutku besar." Sinta kembali memperlihatkan perut rampingnya. "Lihat ini. Perutku masih seksi. Dan satu lagi, aku masih lancar datang bulan, Mas," pungkas Sinta dengan raut wajah yang begitu masam.Aldo menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Tetapi ... Mas benar-benar melihatnya. Apa kamu tak merasakan apa-apa?" tanya Aldo."Tidak!" sahut Sinta dengan ketu