44 “Tante Yulia?” Mentari bergumam heran di depan pintu metalik yang baru terbuka. Kakinya otomatis terhenti di depan benda yang sejatinya ingin ia masuki agar segera mencapai apartemen Samudra. Wanita usia empat puluh lima yang selalu tampil wah tidak kalah kaget. Ia yang baru keluar dari lift itu, juga terpaku. Matanya menatap hampir tak berkedip sosok Mentari dan juga pria yang baru menyusulnya dan kini berdiri di belakangnya. Bukan, bukan menatap Mentari, tetapi outfit, jam tangan dan juga tas cangklong wanita itu yang kini dijinjing Samudra. Bola mata Yulia bergerak liar menatap barang-barang yang ia sangat tahu tidak murah itu. Semua barang-barang Mentari bermerek dan tentu saja harganya selangit. “Tante, kenapa ada di sini?” tanya Mentari dengan kening berkerut. Tentu saja heran, ini bahkan sudah lewat dari jam sembilam malam, dan ibu tirinya ada di sana. Yulia terlihat gelagapan dan salah tingkah mendapat pertanyaan itu. Namun, bukan Yulia jika tak bisa mencari alasan. “
45 Hening beberapa saat pasca jeritan Mentari yang memekakkan telinga. Keduanya mematung di tempat masing-masing dengan mata dan mulut sama-sama terbuka lebar. Hingga suara sandal yang beradu lantai terdengar, disusul kain handuk yang terburai di lantai diraih sebuah tangan besar. Mentari mengerjap saat kain itu terasa dibebatkan ke tubuhnya. “Cepat pakai bajumu, dan kita tidur. Aku sudah ngantuk.” Rasanya tubuhnya ingin ambruk ke lantai demi mendengar ucapan berbisik itu menyapa telinganya. Entah bagaimana rupa wajahnya saat ini, yang pasti rasa panas bukan hanya menjalari wajahnya, tetapi ke seluruh tubuh hingga terasa gemetar. Walaupun ini bukan pertama kalinya Samudra melihat tubuh polosnya, tetap saja rasa malu itu begitu besar. Sementara Samudra sudah mulai naik ke atas peraduan, dan memasukkan diri di balik selimut yang menutupi kakinya hingga pinggang, Mentari memutuskan berlari ke kamar mandi. Wanita itu bersandar lemas di balik pintu begitu sampai di sana. Rontok sudah
46“Ibu….”Mentari berlari menyongsong wanita bergaun serba putih panjang yang masih cantik walaupun usianya tidak lagi muda.Wanita yang tersenyum lembut itu merentangkan kedua tangannya dengan lebar bersiap menyambut Mentari. Pakaian serba putih dan rambut panjangnya yang terurai bergoyang berirama dibelai angin padang rumput yang lembab. Menciptakan keindahan tersendiri karena gaun putihnya yang sangat kontras dengan hamparan padang rumput seluas mata memandang.Kaki-kaki telanjang Mentari terus berlari melewati hamparan rerumputan hijau hingga mencapai wanita berpakaian putih itu. Ia langsung memeluk erat sang wanita dengan penuh kerinduan.“Ibu, aku kangen. Aku sangat merindukan ibu,” ujarnya bercampur isak yang tertahan. Dadanya penuh sesak. Bukan oleh kesedihan seperti biasa, tapi penuh dijejali rindu dan dan bahagia karena akhirnya bisa bersua dengan orang terkasih.Sungguh kerinduan yang lama terpendam
47“Kamu kenapa?”Pertanyaan itu kembali terlontar saat mereka duduk berdua di meja makan pagi ini.“Memangnya aku kenapa?” Lagi, Mentari balik bertanya seperti dulu. Berpura-pura tidak tahu maksud Samudra, padahal sejak tadi terus menunduk menyembunyikan wajah merahnya.Ia takut pria itu bertanya lagi, dan benar saja, sang pria benar-benar bertanya. Mungkin karena melihatnya terus menunduk dengan wajah memerah.“Muka kamu merah.”Nah, benar saja. Lagi-lagi Samudra melontarkan kalimat itu. Sangat tidak berperasaan.Mentari membuang muka. Rasa panas di wajah dan telinganya bertambah-tambah.“Mungkin karena aku semalam bermimpi bertemu ibu.” Akhirnya ia menemukan jawaban yang sekiranya pas.“Oh.” Hanya itu tanggapan Samudra. Setelahnya keheningan menemani acara sarapan mereka.Mentari sendiri memutuskan terus menunduk menikmati bubur aymh yang tengah dinikmatinya.“Ibumu sejak kapan meninggal?” Setelah sekian lama, suara sang pria terdengar bertanya lagi.“Sejak kecil, sejak umurku 7 ta
48[Ya, sudah. Kalau kita tidak bisa bertemu, Dek Violet kirim saja filenya via email, ya.][Yang lengkap semua dalam satu file. Termasuk kata pengantar dan bionarasi.][Nanti biar saya yang edit naskahnya.][Biar cepat naik cetak.][Kalau bukunya sudah jadi, saya akan jadi orang pertama yang ikut bahagia.][Saya ikut perjuangkan naskah Dek Violet karena merasa sayang jika melewatkan kesempatan ini. Naskahmu bagus, Dek. Potensial.][Setelah bukunya jadi, saya akan bantu rekomendasikan ke teman-teman.]Mentari tidak sempat membaca semua pesan dari laki-laki bernama Bima karena ia terburu-buru turun. Di bawah sana sopir keluarga Hanggara sudah menunggunya. Nenek Widya jatuh sakit, dan memintanya datang. Sementara Samudra sedang keluar rumah. Pria itu meminta Mentari langsung ke rumah orang ruanya. Ia sendiri janji menyusul setelah urusannya selesai.“Ada urusan apa sebenarnya Om-om itu?” Mentari menggerutu seraya menutup pintu apartemen. “Di saat seperti ini bahkan sibuk di luar. Apa be
49“Jangan takut, aku hanya ingin bicara sebentar denganmu.”Mentari meletakkan lagi bokongnya di atas kursi yang muat untuk dua orang itu, saat terdengar kalimat barusan. Bukan hanya karena kalimat itu sebenarnya, tetapi karena sikap dan gestur tubuh Bastian memang tidak terkesan berbahaya.Pandangan laki-laki itu tetap lurus ke depan. Entah menatap apa karena hanya kosong yang membalut pandangan itu.“Kamu benar baik-baik saja, Tari?” tanya Bastian dengan pandangan tetap ke depan. Melirik sebenarnya tetapi hanya sebentar saja.Mentari belum mau menjawab. Ia yang duduknya saja mengambil sisi paling jauh dari kursi itu hanya menatap laki-laki itu dari samping.Untuk apa sebenarnya laki-laki itu seperhatian ini padanya? Apa pun yang terjadi padanya, apa ada urusan dengan Bastian? Bukankah laki-laki itu yang membuatnya ada di posisi ini? Untuk apa perhatian jika luka yang pernah ia torehkan lebih besar dari apa pun.“Tari, maaf sekali lagi. Untuk kesalahan dulu. Sungguh aku sangat menye
50Samudra melepaskan tangan Mentari begitu mereka tiba di dalam kamar. Menutup dan mengunci pintu, setelahnya pria itu langsung menyudutkan istrinya di salah satu dinding.Mentari yang yakin jika Samudra tengah marah, mundur dengan takut. Dadanya berdebar keras dan wajahnya pucat. Kaki-kakinya bergeser mundur seiring langkah sang pria yang semakin rapat.“Om …,” gumamnya dengan bibir bergetar. Kedua telapak tangan yang basah ia kepalkan. Belum pernah ia melihat Samudra dalam keadaan seperti ini. Wajahnya merah dengan kedua mata sangat kelam. Ia yakin jika pria itu marah melibatnya bersama Bastian.Tubuh Mentari sudah tersudut di salah satu dinding. Punggungnya bahkan menempel dengan dinding yang semakin menambah dingin tubuhnya.“Om, maaf aku ….”Tidak selesai kalimatnya, Samudra sudah benar-benar menyudutkannya. Tubuh mereka bahkan kini saling menempel tanpa jarak. Mentari memejamkan mata dan menggigit bibirnya saat wajah sang pria juga mengikis jarak di antara mereka hingga embusan
51“Bu Widya mengalami kelebihan cairan di sekitar jantungnya. Karenanya tadi bisa begitu sesak dan bahkan sampai pingsan. Faktor usia juga mempengaruhi, kinerja jantung tentu tidak akan sama seperti saat muda dulu. Sebaiknya emosinya dijaga. Jangan sampai terlalu mendapat tekanan, karena dikhawatirkan drop lagi bahkan bisa jadi lebih dari ini.”Samudra mengangguk mendengar penjelasan dokter rekomendasi dokter Rena itu. Dokter Rena sendiri sedang tidak bertugas. Tapi ia datang mendampingi, bahkan langsung menganjurkan agar segera dibawa ke rumah sakit saat keluarga menghubungi tadi.Samudra keluar ruangan dokter setelah dokter senior itu memberikan penjelasan di depan dirinya dan Benny. Syukurlah kondisi sang ibu kini tidak lagu terlalu mengkhawatirkan. Bahkan setelah diberi Tindakan, dikabarkan sudah sadar.Samudra keluar dengan menahan dongkol yang bercokol di dadanya. Sungguh amarahnya sudah di ubun-ubun.Bagaimana tidak? Ibunya sampai drop seperti ini, karena ulah kakaknya sendiri