"Apa?" tanya Viana ketus.Sagara tersenyum licik. Dengan tatapan segelap obsidian yang sibuk meneliti ekspresi marah Viana. Wajah Viana memerah karena kesal. Kedua alisnya menukik tajam, bibirnya menngerucut ke depan. Sial, kenapa lucu? Sagara tersadar dengan pemikiran gilanya. Lucu dari mana? Tidak ada jelmaan setan seperti Viana lucu. Sagara gila, dia segera menarik pemikiran konyolnya."Apa, anjing?" Viana mengulang pertanyaannya. Kali ini menggunakan kalimat kasar di akhir.Sagara memasukan kedua tangannya pada saku celananya. Dia menggeleng santai sambil menjawab. "Engga ada! Gue cuma mastiin aja kalo nama lo Viana!" Viana mengepalkan tangannya menahan emosi. Dia ingin sekali bergerak maju. Menerjang Sagara dengan cakaran mautnya. Agar wajah angkuh yang sialnya tampan itu rusak. Namun, Viana menahan diri dengab ekspresi kesal yang begitu kentara.Tanpa berkata lagi. Viana berbalik pergi meninggalkan ketiga sahabatnya. Dan juga Sagara dan ketiga temannya. Kenzo kembali bersiul
"Udah macet, panas lagi!" keluh Viana membuat Ravin mengusap kepala gadis itu lembut."Sabar, ya! Ini aku lagi coba muter balik buat lewat jalan lain!" kata Ravin menenangkan Viana.Setelah memakan waktu cukup lama. Terjebak macet karena tawuran antar geng motor. Akhirnya Ravin berhasil menjauh dari kerumunan jalanan. Dia lewat jalan tembusan yang jarang sekali di lewati banyak orang. Jalanannya tampak bersih dan luas hanya ada satu jalur saja. "Kita udah lama gak jalan, kan? Gimana kalo kita nonton?" Suara Ravin memecahkan keheningan di dalam mobil.Saat Viana sibuk memejamkan mata sambil mendengarkan lagu.ewat earphone yang terpasang di kedua telinga Viana. Gadis itu membuka matanya sambil mengangkat wajahnya. Tersenyum penuh binar kala menatap Ravin."Boleh banget! Aku kangen nonton bioskop sama kamu! Aku kangen jalan sama kamu!" Viana begitu menggebu-gebu. "Kamu, sih sibuk terus sama urusan Osis!" Ravin terkekeh pelan. "Itu kan udah jadi tanggung jawab aku sebagai ketua osis!"V
"Jadi, Sagara yang tawuran?" tanya Viana entah pada siapa. Saat ini dirinya sudah berada di apartement. Tepat pada pukul 07.00 malam kota Swinden. Ravin sudah mengantar dirinya pulang. Tapi, bukan ke apartement melainkan ke rumah dirinya dulu. Setelah mobil Ravin menjauh, Viana memesan sebuah grab untuk mengantarkan dirinya ke apartement. Dia berat hati meninggalkan kediaman Rajendra yang begitu megah. Dia ingin tetap tinggal dan menginap satu malam di kamar kesayangannya. Namun, para pekerja rumahnya pasti akan melaporkan semua ini pada Arthur. Viana saja tadi berharap kehadirannya di depan gerbang megah yang menjulang tinggi. Tidak tertangkap oleh CCTV. "Gue gak tau, sih, apa yang bakal terjadi kalo semisal gue kerekam CCTV!" kata Viana sedikit ragu mengingat dirinya berdiri epat di depan gerbang. Beruntung saat itu Pak Satpam di rumahnya tidak ada di depan gerbang. Jika ada, sudah pasti pria tua itu akan berbicara panjang lebar dan mengadukan semuanya pada Arthur. "Bodo amatla
"Papa, udah bilang berapa kali? Bubarin geng sampah itu!" Suara Daniel menggelegar di ruang tamu kediaman Giantara.Sagara, lelaki yang masih menggunakan seragam sekolah. Yang tampak berantakan dan kotor. Hanya bisa menatap Daniel tak acuh. Tidak ada ketakutan sedikitpun dari tatapan Sagara. Sudah dari 15 menit yang lalu Daniel memarahi dirinya."Sagara! Kelakuan kamu buat nama keluarga buruk di depan banyak orang!" Daniel kembali berbicara saat lagi-lagi Sagara tidak merespon. "Papa malu punya anak yang suka tawuran kaya kamu!" "Terus aku harus apa? Nurutin semua keinginan Papa kaya sebelum-sebelumnya gitu?" Sagara mengeluarkan suara pada akhirnya. "Kalo Papa ngarepin aku bakal bubarin geng Verdon. Sampai kapanpun itu gak bakal terjadi.""Kamu mau sampai kapan jadi anak pembangkang?" sentak Daniel dengan rahang mengetat.Pria paruh baya yang menggunakan kemeja hitam. Yang kedua lengannya digulung sampai siku. Daniel memijat pelipisnya yang terasa pening. "Pembangkang?" Sagara terta
"Mau ditaruh di mana muka gue?" Viana memukul bantal sofa dengan kesal. Dia sangat menyesali mengirimkan pesan pada Sagara. Seharusnya Viana bisa menahan diri. Bukan malah menuruti rasa penasarannya terhadap Sagara. Bersikap tidak peduli seperti biasanya saja. Lagi pula kalaupun Sagara sekarat karena tawuran. Tidak ada urusan dengannya. "Nyesel, kan, lo, Vi!" maki Viana pada dirinya sendiri.Dia bangkit dari posisi duduknya. Berjalan mondar-mandir seperti setrikaan. Semua hanya karena dirinya yang mengirim pesan pada Sagara. Tapi, seperti dia melakukan sesuatu yang sangat memalukan. Sejujurnya dia hanya takut Sagara akan mengejek dirinya setelah ini."Tinggal lo cuek aja, Vi! Gak usah lo peduliin si preman pasar!" kata Viana berbicara sendiri."Tapi, gak segampang itu, anjir! Gue pasti gak bakal bisa diem aja!" Viana menggeleng cepat."Oh, Viana! Kenapa perkara chat aja lo seheboh ini, sih!" Viana menjatuhkan kembali tubuhnya di sofa panjang.Dengan posisi tengkurap. Dia sibuk memik
"Gue beneran gak punya pacar, Viana!" Sagara lelah menghadapi Viana yang terus mendesak dirinya. Menganggap jika ucapan dirinya hanya kebohongan belaka.Untuk apa Sagara berbohong untuk hal tidak penting seperti itu? Lagi pula apa yang aneh kalau tidak memiliki pacar? Dan apa untungnya juga menjalin hubungan asmara dengan perempuan? Sagara tidak tertarik berdekatan dengan lawan jenis. Apalagi menjalin hubungan dengan mereka? Perempuan itu ribet dan banyak tingkah. Sagara yang memiliki kesabaran setipis tisu tidak sanggup menghadapi makhluk hidup bernama perempuan. Mereka itu selalu ingin dimengerti. Dan dari pengalaman teman-teman Sagara. Terutama Kenzo si buaya darat. Menjalin hubungan dengan perempuan membuat hanya buang-buang waktu saja. "Gue gak percaya, sih! Gimana, ya, Gar? Muka lo emang kaya preman pasar tapi masa gak ada satu cewek yang nyantol sama lo!" Viana tentu gengsi mengatakan jika Sagara tampan. Yang ada Sagara akan terbang tinggi sampai ke langit ke-7. "Bukan gak a
"Ya ampun gue makin cantik aja kalo pake seragam olahraga!" Seyra menatap postur tubuh rampingnya di depan cermin kamar mandi. Tubuh moleknya dilapisi kaos olahraga yang ketat. Sehingga mempertontonkan lekuk tubuhnya. Seyra berpose dengan gaya centil di depan cermin. "Bisa gak, sih, tiap hari make olahraga aja?" Seyra mengoceh sejak tadi. Tidak dipedulikan oleh ketiga sahabatnya. Yang sibuk merias diri sebelum pelajaran olahraga di mulai. Saat ini ke empat gadis itu sedang berada di ruang ganti. Yang letaknya tepat di samping kamar mandi perempuan. Hanya ada mereka berempat. Karena, mereka menggunakan kamar mandi yang berada di gedung belakang sekolah. Tempat favorite mereka yang kemaren mereka gunakan untuk menindas Alin. "Bacot lo! Telinga gue sakit dengerin suara lo!" sentak Rachell sambil mengikat rambut panjangnya tinggi. Sehingga mempertontonkan leher jenjangnya. "Dasar sirik!" Seyra mendelik tak terima. Rachel menoleh pada Seyra. Sambil berkacak pinggang. "G
"Kita pemanasan dulu, guys!" teriak Rangga selaku ketua kelas XII I. Dia memasuki lapangan indoor bersama Farell sambil membawa bola basket. Rangga meletakan peralatan olahraga yang akan digunakan oleh XII I pada tribun. Dia menyuruh teman-teman sekelasnya untuk berbaris rapi. "Sebelumnya sambil nunggu Pak Aris datang. Gue yang bakal mimpin pemanasan kali ini!" Intrupsi dari Rangga membuat satu kelas mengikuti gerakan siswa itu memulai pemanasan. Barisan siswa dan siswi dipisah. Diberi jarak sekitar setengah meter. Barisan siswi berada di sebelah kanan. Sedangkan barisan siswa berada di sebelah kiri. Barisan tersebut terbagi menjadi tiga baris. Viana berada di posisi barisan pertama dari sebelah kiri. Di mana dirinya berada di dekat barisan siswa. Semua ini berkat Seyra yang memaksa dirinya untuk baris di dekat barisan siswa. Alasannya apa lagi selain Seyra ingin menarik perhatian Sagara. Lihatlah saat ini Seyra bahkan sudah melirik Sagara secara terang-terangan. "Woi, Sey
"Lo itu emang anjing, ya?!" Agatha berjalan mendekati sosok perempuan dengan seragam khas SMA Galaksi. Tatapan Arga menunjukan kemurkaan yang tak bisa ditahan lagi. "Gimana hadiah gue? Lo seneng, kan?" Rachell yang menyadari kedatangan Agatha dari balik dinding belakang SMA Galaksi. Dia sudah menunggu wanita hamil itu sejak dua belas menit yang lalu di belakang gedung SMA Galaksi yang terdapat sebuah gang kecil. Di mana ujung gang terdapat sebuah warung makan yang biasa menjadi tempat tongkrongan geng Verdon. Agatha yang murka dengan Rachell. Mengangkat tangannya bersiap untuk menampar wajah angkuh gadis yang merupakan mantan sahabatnya itu. Namun, sebuah tangan kekar menahan pergerakan Agatha. Satya Mahendra— dia yang sejak tadi mengawasi interaksi singkat antara Agatha dan Rachell yang hanya lima menit saja. Segera mendekat saat melihat wanita itu ingin menyakiti gadisnya. "Jaga tangan lo, jalang!" desis Satya dengan nada tajam dan menusuk. Agatha membelalakkan matanya saat m
"Kemarin, gue diculik sama Agatha. Gu—""What the hell?" Teriakan Rachell dan Seyra secara bersamaan menghentikan kalimat Viana yang kini menggantung di udara. Viana kembali menatap kedua sahabatnya yang berada di hadapannya dengan ekspresi datar. Keduanya itu terlaluwbay sejak tadi, tenggorokannya tidak merasakan sakit kah? Sejak tadi berteriak terus seperti Tarzan. Rachell yang biasanya alim, kini ikutan gila seperti Seyra. Apakah karena tidak diberi kabar oleh dirinya semalam membuat keduanya seperti ini?"Brengsek! Jadi, ini alasan muka Lo luka-luka kaya gini?" Seyra segera mendekat pada Viana, dia meraba pelan wajah Viana yang dipenuhi oleh lebam. Tapi dengan cepat sahabatnya itu menepis tangannya dengan pelan. Viana mengangguk. Membuat atensi Rachell menatap wajah Viana dengan tubuh yang dia condongkan agar lebih dekat dengan Viana."Ceritain secara jelas ke kita, Vi!" Dari nada bicara Rachell terdengar menuntut. Ekspresi wajah gadis itu berubah serius dengan sorot mata ya
"Viana, kenapa nomor lo nggak bisa dihubungin, sih? Bikin orang khawatir aja, sih, Viana Rajendra!"Rachel segera menyerbu Viana dengan kalimat yang sudah dia siapkan sejak tadi. Dia menarik gadis yang berstatus sebagai sahabat dekat yang sudah dia anggap seperti saudara sendiri agar duduk di sampingnya. Seyra yang tengah merapihkan buku-buku pelajaran dan peralatan sekolah lainnya di dalam tas. Segera mendekat pada sahabatnya yang sudah membuat dirinya khawatir semalaman. "Dari mana aja, sih, lo?" Seyra berdecak pelan sambil mengambil duduk di depan meja Viana dan Rachell. "Hoby banget bikin orang panik!"Viana tidak langsung menjawab. Dia terlalu bingung untuk menjelaskan apa yang terjadi padanya kepada Rachell dan juga Seyra. Kedua sahabatnya itu berhak tahu atas apa yang dia alami kemarin. Viana selalu menceritakan apa yang terjadi padanya kepada kedua sahabatnya. Terkecuali pernikahannya dengan Sagara dan juga pernikahan Arthur dengan Alisha. Viana bangkit dari duduknya. Membu
"Makasih, udah mau berbagi keluh kesah kamu ke aku, Na."Sagara menarik Viana ke dalam dekapan hangatnya dari samping. Dia mengusap punggung sang gadis dengan lembut. Dia merasa senang Viana bisa terbuka seperti ini padanya. Dia tidak pernah berpikir sedikitpun bahwa dirinya dan Viana akan berada di moment seperti ini. Viana yang selalu bersikap angkuh dan mempertahankan gengsinya yang begitu tinggi. Bisa mengeluarkan air matanya di depan dirinya, bahkan gadis itu menunjukan kerapuhannya yang selama ini disembunyikan oleh wajahnya yang datar dengan kedua mata yang selalu menatap siapapun dengan sinis. Mini tatapan Viana berubah menjadi rapuh, dengan derai air mata yang mengenang di pelupuk matanya. Gadis angkuh yang ditakuti oleh semua murid di SMA Galaksi menunjukan sisi rapuhnya pada Sagara. Gadis itu menyimpan banyak luka di balik wajahnya yang angkuh. Viana selalu menunjukan bahwa hidupnya bahagia, nyatanya jauh dari semua itu. Tanpa sadar mendengar cerita pilu Viana, hati Saga
"Jadi, Papa nikah sama Tante Alisha di belakang aku selama ini. Pantes aja Papa jarang pulang ke rumah dan lebih milih buat netap tinggal di kota Luton dengan alasan pekerjaan." Tangan Sagara terus mengusap bahu Viana yang berada dalam rangkulannya dengan lembut. Telinganya dia pasang untuk mendengarkan cerita Viana. Saat ini dirinya dan Viana masih berada di kamar gadis itu. Atas permintaan Viana sendiri yang meminta pada dirinya untuk menemani Viana di dalam kamar. Selama pernikahan mereka ini pertama kalinya untuk Sagara dan juga Viana berada di dalam satu kamar yang sama. Apalagi ini kamar utama milik Viana, gadis itu yang melarang keras dirinya untuk tidak memasuki kamarnya sembarang. Ruangan itu tidak begitu luas, tapi tertata rapi dan nyaman. Dindingnya didominasi warna putih bersih, dihiasi dengan beberapa lukisan abstrak bernuansa pastel. Sebuah tempat tidur queen size dengan sprei katun halus berwarna biru muda berada di tengah ruangan, dihiasi dua bantal empuk dan sebuah
"Gara, aku minta maaf atas ucapan Papa."Viana menatap Sagara yang duduk membelakangi jendela besar apartemen mereka. Cahay yang berasal dari lampu jalanan kota malam dari kejauhan menerobos masuk, menciptakan siluet suram dari sosok suaminya yang masih membisu. Sejak kepergian Arthur, ruangan apartemen mewah namun berkonsep minimalis itu seakan kehilangan kehangatannya. Dinding putih bersih dan pencahayaan hangat tak mampu meredam hawa dingin yang menyelimuti keduanya.Sagara masih membeku di tempatnya, kedua tangannya mengepal di pangkuan. Hatinya masih terasa nyeri. Penyesalan Arthur menikahkan dirinya dengan Viana, ditambah ucapan Arthur yang membandingkan dirinya dengan Ravin. Semua itu masih terngiang di telinga Sagara. Dia memang sudah menyadari ini sejak awal. Ayah mertuanya itu sekana tidak mempercayakan Viana sepenuhnya padanya. Ya, itu wajar sih karena dia dan Viaja sebelumnya tidak saling mengenal. Terus juga Arthur seorang Ayah tidak mudah menyerahkan anak gadisnya pada
"Arthur, sekarang kita pulang aja, ya." Alisha mendekat pada sang suami. Dia mengusap bahunya yang bergetar menahan emosi dengan lembut. Berusaha untuk menenangkan pria itu, dia tidak ingin kemarahan Arthur menambah kebencian Viana padanya. Lebih baik dirinya dan Arthur pergi sekarang juga. Situasinya sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Ucapan Arthur sudah benar-benar ngawur. Hal yang di luar dari permasalahannya dengan Viana dibawa-bawa. Seperti penyesalannya menikahkan Sagara dengan Viana. Seharusnya Arthur tidak berbicara seperti itu di depan Sagara secara langsung. Itu keputusan Arthur sendiri menikahkan Sagara dengan Viana. Tidak seharusnya Arthur menyesal atas keputusannya sendiri. Bahkan membandingkan Sagara dengan Ravin— kekasih Viana sebelumnya. Itu tidak baik, Sagara pasti akan sakit hati dengan perkataannya. "Viana butuh waktu. Jangan buat permasalahan ini semakin panjang." Alisha segera menarik Arthur keluar dari apartement Viana dan juga Sagara. Suaminya itu han
"Arthur, sekarang kita pulang dulu. Biarin Viana tenang!" Alisha menyadari situasi yang semakin menegangkan. Ditambah gelagat Arthur yang mulai menatap Sagara dengan pandangan berbeda dari biasanya. Dia tahu arti dari tatapan Arthur sudah jelas suaminya itu akan menyalahkan Sagara. Arthur seolah tuli. Dia tidak menggubris ucapan Alisha, dia berjalan mendekat pada Sagara yang bergeming di tempatnya. Tatapan menantunya itu penuh tanya padanya. "Udah berapa kali kamu buat putri saya terluka, Sagara?" Arthur menatap Sagara dengan tajam. Dia tahu apa yang terjadi pada Viana beberapa Minggu terakhir. Dia tahu bahwa Viana diculik oleh musuh Sagara, dan hari ini Viana kembali diculik oleh Agatha. Arthur tahu siapa Agatha, perempuan yang menjadi mantan sahabat putrinya. Dia tidak tahu alasan apa yang membuat Agatha melakukan hal buruk pada Viana. Dia akan mencari tahu itu nantinya. Tujuan dirinya menikahkan Viana dengan Sagara. Selain karena bisnis, dia juga ingin putrinya ada yang men
"Nggak ada orang tua yang tega nelantarin anaknya kaya gini. Bertahun-tahun aku hidup cuma sama Bi Mira, Papa nggak pernah tau apa yang terjadi sama aku. Papa nggak pernah tanya kabar aku kaya gimana di rumah, Papa nggak pernah tanya sekolah aku kaya gimana. Nggak, Pa! Nggak!" Viana bangkit dengan kedua mata berkaca-kaca. Kedua tangannya mengepal dengan sempurna. Menahan gejolak emosi yang siap meledak kapan saja. "Papa, nggak pernah peduli sama aku. Papa berubah semenjak Mama nggak ada," lanjut Viana menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Isak tangis Viana mulai terdengar. Membuat ruang tamu apartemen itu semakin menegangkan. Hanya ada isak tangis yang tercdengar di ruangan dengan ukuran sedang. "Viana, tolong dengerin penjelasan Papa dulu. Dengan kamu marah-marah sambil nangis kaya gini yang ada masalah nggak selesai-selesai." Arthur mendekat pada Viana, tapi suara putrinya itu kembali terdengar. "Penjelasan apa lagi? Penjelasan kalo Papa sama Tante Alisha nikah diam-di