Viana Rajendra— 17 tahun merupakan siswi yang suka menindas di SMA Galaksi. Viana tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari Arthur Rajendra— Ayah kandungnya. Sampai Arthur menjodohkan dirinya dengan ketua Geng motor Verdon di kota Swinden yaitu Sagara Giantara. Viana dan Sagara tidak bisa menolak perjodohan bisnis tersebut. Karena, ancaman Ayah mereka masing yang akan menarik fasilitas yang dimilikinya selama ini. Di usianya yang masih remaja, Viana dan Sagara harus terikat pernikahan sebagai jaminan kerja sama dua keluarga. IG: @_divaaa603
View MoreBab 1 Viana Si Gadis Penindas
"Kalo jalan pake mata, sialan! Lihat gara-gara kecerobohan lo baju gue kotor!" bentak Viana Rajendra— berusia 17 tahun siswi kelas XII I. Siswi paling berkuasa di SMA Galaksi yang memiliki sebuah geng untuk menindas murid lemah. "Maaf, Kak. Aku engga sengaja!" Siswi yang beberapa saat yang lalu menabrak Viana, sehingga jus mangga yang berada di tangannya tumpah mengenai seragam Viana. "Gak sengaja lo bilang?" Viana terkekeh sinis membuat keadaan kantin SMA Galaksi semakin ricuh. SMA Galaksi merupakan sekolah swasta yang terkenal di Kota Swinden. SMA Galaksi berisi murid-murid yang berasal dari keluarga terpandang termasuk Viana dan keempat temannya yang suka menindas orang. "Viana, kayanya tuh cewek emang sengaja cari perkara sama lo!" teriak salah satu siswa dengan sengaja. "Kasih paham, Vi, biar dia gak bikin ulah lagi!" teriak siswa lainnya. Beberapa siswa dan siswi yang berada dipihak Viana dengan gencar memanas-manasi keadaan. Sebagian lagi memilih untuk diam tidak ikut campur. Dan mereka berhasil emosi Viana tersulut detik itu juga. Viana membaca tanda pengenal pada seragam gadis itu. Alin Nazila, Viana akan mengingat nama itu. Waktu menunjukan pukul 09.30 pagi kota Swinden. Waktu istirahat bagi para murid SMA Galaksi, namun Viana selalu menggunakannya untuk merundung murid lain. "Angkat kepala lo kalo ada orang ngomong!" sentak Viana lagi membuat tubuh Alin bergetar ketakutan. Geram dengan Alin yang masih setia menunduk. Viana menarik rambut Alin sehingga wajah gadis itu terangkat. Viana berdecih melihat air mata yang membasahi kedua pipi Alin. "Gue belum apa-apain lo aja udah nangis!" Viana mengulurkan tangan pada Rachel, salah satu temannya. Rachel yang mengerti menyerahkan satu gelas jus strawberry yang diterima baik oleh Viana. Dia dengan sengaja menyiramkan jus tersebut pada kepala Alin sebagai pembalasan. "Maaf, gue sengaja!" Viana tertawa diikuti oleh ketiga temannya. "Kasian banget Vi, seharusnya lo gak gitu kali," celetuk Kanara yang kini berdiri di samping Viana. "Yah, gue cuma bales kelakuan dia, kok. Emang salah?" Viana melepaskan jambakannya pada rambut Alin dengan kasar, membuat gadis itu terhuyung sedikit ke belakang. "Gak salah, sih, cuma kurang aja pembalasan Lo," sahut Seyra sambil tertawa. Viana ikut tertawa. Dia menarik dagu Alin dan mencengkeramnya dengan kuat. Tidak peduli dengan ringisan Alin saat kuku panjang Viana menancap pada dagunya. "Alin Nazila, itu nama lo, kan?" Manik abu-abu milik Viana menyorot Alin tajam. "Le–pasin, kak, sakit...," ringis Alin menahan perih pada dagunya. "Dengerin gue baik-baik! Karena lo udah cari gara-gara sama gue berarti lo udah siap sama konsekuensinya!" Seringai jahat terbit pada bibir ranum Viana. Wajah cantiknya terlihat menyeramkan di mata Alin yang kini dipenuhi air mata. "Selamat menikmati kehidupan neraka di SMA Galaksi!" Viana melepaskan cengkeramannya lalu mendorong tubuh kecil Alin dengan kuat. Alin terjatuh di lantai kantin. Tidak ada yang berani menolong Alin dari Viana dan ketiga temannya. Siapa yang ingin mencari masalah dengan gadis penindas seperti Viana? Tidak ada semua murid ingin hidup tenang di SMA Galaksi. "Gitu doang jatuh! Dasar lemah lo!" Viana mencemooh Alin. Tidak sampai disitu saja tangan Viana bersiap untuk menampar Alin. Namun, terhentin karena sebuah teriakan sopran. "Viana!" Viana dan ketiga temannya menoleh. Menemukan Bu Ajeng selaku guru BK di SMA Galaksi berjalan ke arahnya dengan wajah marah. Guru muda itu terkenal galak di sekolah hanya Viana yang berani mencari gara-gara pada Bu Ajeng. Kanara, Rachel, dan Seyra melirik takut pada Bu Ajeng. Sedangkan Viana justru tersenyum dengan wajah tak berdosa. "Ada apa, Bu?" tanyanya membuat Bu Ajeng naik pitam. "Kamu nanya ada apa sama saya, Viana?" geram Bu Ajeng menahan segala bentuk emosi dalam dirinya. Kelakuan Viana yang suka sekali menindas orang membuat dirinya kualahan.Tiap hari selalu ada murid yang melapor tentang aksi Viana yang sedang merundung murid lain. "Ibu, ngapain di sini? Mau makan siang di kantin murid?" Viana melupakan kekesalannya pada Alin.Gadis itu justru semakin memancing kemarahan Bu Ajeng. "Viana, udah deh, kita lagi dalam masalah besar," bisik Rachel menyuruh Viana berhenti. Viana mana peduli, dia semakin senang memancing kemarahan Bu Ajeng. Dengan begitu keinginannya tercapai. "Sudah berapa kali saya kasih peringatan sama kalian! Terutama kamu Viana!" Tunjuk Bu Ajeng dengan pelototan geram. Viana berdecih dengan tatapan sinis. "Saya hanya memberi pelajaran pada mereka yang sudah mengganggu saya!" balas Viana, terdengar santai. "Berhenti menindas orang! Kelakuan buruk kamu ini merugikan orang lain!" bentak Bu Ajeng dengan nada tinggi. Viana hanya menganggap ucapan Bu Ajeng angin lalu. Dengan kesal, Bu Ajeng menghembuskan napas kasar lalu menyuruh kelimanya untuk ikut ke ruang BK. "Kalian berempat ikut saya ke ruang BK!" Rachel, Kanara, dan juga Seyra yang sejak tadi menunduk. Menarik Viana untuk mengikuti Bu Ajeng yang sudah keluar dari kantin lebih dahulu. Viana melangkah dengan angkuh keluar dari kantin diikuti tatapan kagum dari para siswa yang sejak tadi memperhatikannya. Sesampainya di ruang BK, Viana dan 3 sahabatnya diberikan 4 surat panggilan orang tua. Disaat ketiga sahabatnya gelisah, Viana justru tersenyum senang. Viana tersenyum penuh harap bahwa Arthur Rajendra— Ayah kandungnya akan datang ke sekolah memenuhi surat panggilan ini. "Saya harap orang tua kalian datang untuk memenuhi surat panggilan ini!" Saking lelahnya, Bu Ajeng tidak ingin berbicara panjang lebar menasehati Viana dan ketiga sahabatnya ini. Viana merupakan gadis pembully di SMA Galaksi. Dia merupakan putri tunggal keluarga Rajendra, keluarga kelas atas sehingga dia selalu berlaku seenaknya. Dia cantik, pintar, tapi sayangnya dia angkuh dan suka menindas murid lain. *** Sayangnya harapan Viana tidak terjadi. Besoknya Viana melihat Elvano Rhisandi— asisten Arthur, datang ke sekolahnya. Viana begitu marah dan kecewa. Dia segera menghubungungi Arthur. Suara Arthur terdengar saat panggilan telpon tersambung. "Jangan ganggu Papa, Viana! Jika ada yang ingin dibicarakan nanti malam saja, Papa akan pulang!" Viana menelan kembali perkataannya. Dia mendadak senang saat Arthur mengatakan ingin pulang. Belum sempat dirinya membalas perkataan Arthur, panggilan itu sudah berakhir.“Bu, teman kami masih di bawah! Dia ke toilet!” Rachell berseru sambil menunjuk ke arah lorong.Guru itu menggeleng cepat. “Enggak bisa, ini darurat. Sekolah diserang. Kami akan cari sisanya, sekarang kalian harus ikut!”“Bentar, Kak Viana masih di sana!” Alin nyaris menangis.“Satya sedang menyisir area itu. Kami sudah kirim beberapa OSIS ke arah belakang gedung. Cepat ke rooftop. Itu tempat paling aman sekarang!”Ledakan kecil terdengar dari arah lapangan parkir. Disusul suara kaca pecah. Alarm mobil meraung tak karuan.Seyra mencengkeram pergelangan tangan Alin dan Rachell. "Gue nggak suka ini. Kita ikut dulu. Viana pasti ditemuin Satya."Rachell menoleh sekali lagi ke arah lorong toilet yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya suara langkah kaki, teriakan, dan kegaduhan yang semakin dekat dari segala penjuru.Mereka bertiga dibawa naik ke lantai tiga. Koridor itu sesak oleh murid dan guru. Semua menuju tempat yang sama yaitu rooftop.Di belakang, suara motor semakin dekat.
“Yay! Akhirnya ujian selesai!”Alin berseru sambil menggoyang-goyangkan kedua tangannya ke atas. Mata gadis kelas sepuluh itu berbinar penuh lega.Rachell tertawa kecil, menyandarkan tubuh di bangku taman kecil dekat kantin SMA Galaksi. “Rasanya kayak lepas dari jerat.”“Setidaknya seminggu ke depan bisa tidur tenang tanpa mimpi buruk soal ujian,” sahut Seyra, membenarkan ikat rambutnya yang sedikit berantakan.Viana duduk di sisi bangku, hoodie putihnya masih melekat erat di tubuh. Ia menyandarkan kepala ke sandaran bangku, wajahnya terlihat tenang untuk pertama kalinya dalam beberapa hari. “Syukur banget kita bisa ngelewatin ini semua bareng.”Alin mengangguk cepat. “Makasih, Kak Viana, Kak Rachell, dan Kak Seyra. Udah nemenin aku selama minggu-minggu ini.”Viana tersenyum kecil. “Lo juga hebat, Lin. Bisa tahanin semuanya.”Obrolan mereka ringan. Tak ada beban. Tak ada tekanan. Hanya sisa-sisa lelah dari ujian yang perlahan menguap jadi rasa lega.“Gue ke toilet dulu ya,” ujar Viana
Lampu gantung di ruang tengah hanya menyala setengah redup. Di luar jendela, angin malam Swinden berembus pelan, membawa suara jalanan yang makin sepi. Viana duduk di pojokan sofa, berselimut hoodie abu yang terlalu besar, kedua lutut ditarik ke dada. Matanya menatap layar ponsel yang menyala di panggilan masuk kelima.Papa (5 panggilan tak terjawab)Tampilan itu berkedip sekali lagi. Lalu mati.Viana menghela napas dalam-dalam. Tubuhnya bergetar kecil, bukan karena dingin, tapi karena emosi yang tak kunjung reda sejak siang. Dia menggigit bibir bawahnya—keras, hampir berdarah. Tapi rasa sesaknya tetap di dada, bukan di bibir.“Aku benci banget ... tapi kenapa susah banget buat nge-blok nomornya?” gumamnya lirih, lebih ke diri sendiri.Sagara yang sejak tadi duduk bersila di lantai, bersandar pada tepi sofa, hanya menoleh pelan. Dia melihat Viana, melihat jari-jarinya yang menggenggam ponsel terlalu erat, dan rahangnya yang mengeras.Panggilan masuk lagi. Papa.Tanpa bicara, Sagara me
Aroma tumisan bawang putih dan telur menguar memenuhi dapur kecil apartemen pagi itu. Cahaya matahari mengintip malu-malu dari celah tirai, menciptakan bayangan hangat di atas meja makan. Viana berdiri di depan kompor dengan celemek motif polkadot, mulutnya komat-kamit sambil mencicipi kuah sayur dengan sendok kayu."Masih asin nggak ya?" gumamnya. Dia mencelupkan jari ke dalam kuah, mencicip sedikit, lalu mengangguk pelan. "Lumayan. Nggak separah minggu lalu."Di balik meja makan, Sagara duduk diam, menatap ke arah punggung Viana yang mondar-mandir dari dapur ke kulkas. Biasanya, pagi-pagi begini penuh dengan suara protes karena masakan Viana sering keasinan atau terlalu matang. Tapi pagi ini rasanya semua terasa berbeda."Gar, kamu kenapa diem aja?" Viana menoleh, membawakan dua piring nasi dan lauk sederhana ke meja. "Nggak suka makananku hari ini?"Sagara menggeleng cepat. "Bukan gitu.""Terus apa? Kamu keliatan kayak habis ketemu mantan."Viana duduk di hadapannya, alisnya bertau
Langit malam Swinden menggantung kelam di balik jendela apartemen lantai sembilan itu. Jam digital di atas nakas berkedip pelan menunjukkan pukul 02.31. Sagara masih terjaga, matanya menatap kosong ke langit-langit kamarnya yang remang.Kepalanya penuh. Terlalu penuh, sampai napas pun terasa berat.Dia duduk di tepian ranjang, rambutnya berantakan, kaos hitamnya kusut, dan kedua siku bertumpu pada lutut. Tangannya mengusap wajah pelan."Kenapa sih ... malah kepikiran terus?"Gumaman itu lepas, nyaris tak bersuara. Tapi dadanya makin sesak. Bukan karena beban hidup, bukan karena masalah geng, bukan karena ujian sekolah. Tapi karena satu nama yaitu Viana Rajendra.Cewek keras kepala, jutek, galak, yang dulu selalu berhasil membuat darahnya naik cuma karena tatapan matanya. Tapi sekarang, cewek itu yang paling sering muncul di kepalanya.Mulai dari tatapan mata Viana yang menyimpan trauma, sampai cara gadis itu menahan tangis di kafe tadi. Semuanya membekas dalam ingatannya tak bisa hila
"Lo gila, ya. Siapa yang bisa lupa kisah sama lo? Lo itu bekas luka yang susah ilang, Satya!"Rachell tertawa mendengar suara Satya terdengar ringan—seolah candaan, tapi matanya terlalu serius. Tatapan yang menyimpan harap, namun menyamarkannya dengan senyum sok santai.Satya menyandarkan punggung ke sandaran bangku, tangannya tetap menggenggam tangan Rachell tanpa paksa, tapi juga tak ingin dilepaskan. "Tapi gue lebih milih jadi luka daripada jadi orang asing buat lo."Kalimat itu membuat Rachell terdiam. Dia menoleh perlahan, menatap wajah laki-laki yang pernah mengacaukan hidupnya— tapi juga pernah membuat dia tertawa tanpa alasan."Gue nggak pernah bisa nganggep lo orang asing," ucapnya pelan. "Gue cuma ... ngerasa butuh jarak. Tapi sekarang, mungkin gue bisa deket lagi, asal lo nggak berubah jadi versi Satya yang dulu.""Gue janji," ucap Satya mantap, nada suaranya serius. "Versi gue yang sekarang cuma pengen jadi laki-laki yang bisa lo banggakan, walaupun cuma sebagai temen."Ra
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments