Suasana di dalam mobil terasa berbeda. Hening, tapi bukan hening yang nyaman. Hanya suara samar mesin pendingin dan sisa denting sendok es krim Alin yang kini duduk di baris ketiga. Gadis kecil itu masih menjilat es krimnya pelan, meski sesekali menatap dua orang di depannya lewat celah bangku dengan pandangan penuh tanya.Viana duduk di kursi penumpang depan, tangannya saling menggenggam di pangkuan. Matanya menatap lurus ke depan, tapi sesekali melirik Sagara yang duduk di kursi kemudi tanpa menyalakan mobil.Sagara menyandarkan tubuhnya ke jok, satu tangan menumpu setir, sementara mata tajamnya menatap Viana dari sudut pandang. Diam. Ia sedang menunggu.Dan Viana tahu, ia harus bicara lebih dulu."Alin udah jelasin hubungan kita dulu, Sagara," ucapnya lirih.Sagara tidak menanggapi. Tapi ia tidak memalingkan wajahnya juga. Itu cukup."Dan aku juga udah denger semuanya dari mulut Papa dan Tante Alesha. Selama ini mereka bohongin aku, mereka bilang kamu pacar yang buruk makanya aku b
Ruangan kantor Arthur terasa menyesakkan. Meski aroma kopi dan wangi parfum mahal masih melekat di udara, dada Viana terasa sesak. Baru beberapa menit lalu ia keluar dari ruang kerja pria itu, tapi pikirannya sudah kacau balau.Ia berjalan cepat ke lobi, langkahnya mantap tapi wajahnya sayu. Begitu sampai di pintu masuk, ia langsung menghampiri Pak Tono yang sedang menunggu di dekat mobil hitam milik keluarga Rajendra."Pak Tono, pulang aja dulu ya. Aku rasa bakal lama di sini," ucap Viana, suaranya terdengar lelah.Pak Tono sempat ragu. "Apa perlu saya tungguin, Non?""Nggak usah. Aku pulang sendiri nanti," jawab Viana singkat sambil melambaikan tangan. Ia tidak ingin banyak bicara. Kepalanya penuh, pikirannya kusut. Ia hanya ingin menjauh sejenak.Begitu mobil Pak Tono berlalu, Viana menghela napas berat. Ia berbalik, menyeberangi trotoar besar di depan gedung kantor Arthur, lalu mengangkat tangan memanggil taksi yang melintas."Taman kota, Pak," ucapnya saat duduk di bangku belakan
Alesha bangkit dari sofa lebih dulu, ekspresi wajahnya seketika berubah tegang. “Viana, ini bukan seperti yang kamu dengar barusan.”“Oh iya?” Viana melangkah masuk lebih jauh, pintu di belakangnya tertutup perlahan. Tatapannya lurus pada dua orang yang selama ini ia panggil orang tua. “Lalu seperti apa? Coba jelaskan.”Arthur berdiri dengan tenang, membenahi jasnya seolah ingin menjaga wibawa, meski wajahnya jelas menegang. “Kamu nggak seharusnya menyelinap dan mendengarkan tanpa izin.”“Dan kalian seharusnya nggak membohongi aku kaya gini. Kalian manfaatin aku yang amnesia buat jadi seperti yang kalian mau!” Suara Viana meninggi, akhirnya meledak juga. “Aku bukan anak kecil, Pa. Aku berhak tahu kebenaran tentang hidup aku!”Alesha melangkah mendekat, mencoba meraih tangan Viana. “Nak, kamu belum siap menerima semuanya waktu itu. Kami hanya—”Viana menarik tangannya cepat, tatapannya tajam. “Kalian bilang Sagara cuma mantan pacar yang manipulatif! Kalian bilang aku kecelakaan karena
Alin mengangguk pelan, wajahnya ragu-ragu, tapi tekad tetap terpancar. “Iya, Kak. Sama Kak Sagara. Kalian udah nikah, tapi enggak ada yang tahu di sekolah karena itu semua rahasia keluarga.”Viana menggeleng perlahan, tubuhnya sedikit berguncang. Jari-jarinya mencengkeram ujung bangku. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi bukan karena sedih. Karena syok.Semua yang dia alami akhir-akhir ini—bayangan aneh, mimpi tentang Sagara, suara-suara samar yang begitu familiar, amarahnya yang tak bisa dijelaskan setiap melihat Alesha dan Arthur—semuanya perlahan mulai menemukan tempatnya.Bukan kebetulan. Bukan mimpi kosong.“Mereka…” Viana menelan ludah. “Papa sama Mama, mereka bilang Sagara cuma mantan pacar. Yang kasar, manipulatif, posesif. Mereka bilang aku yang ninggalin di—”Alin menggeleng cepat. “Enggak, Kak. Mereka bohong. Kak Sagara bukan orang kayak gitu. Dia selalu jagain Kakak. Bahkan waktu Kak Viana ngambek, Kak Sagara tetap diem, tetap sabar. Dia enggak pernah ninggalin Kakak, bahkan
Ruang kelas terasa terlalu sunyi. Viana duduk di bangkunya, tubuh tegak, mata lurus ke papan tulis, tapi pikirannya ke mana-mana. Buku pelajaran terbuka di meja, tapi tak satu kata pun ia baca. Ia bahkan tak menyadari gurunya telah memanggil namanya dua kali.Sagara tidak ada. Bangku pojok dekat jendela itu kosong. Tidak ada jaket hitam yang biasanya disampirkan di sandaran kursi, tidak ada wajah cuek yang menatap keluar sambil memainkan pulpen di antara jari-jari.Viana menatap tempat itu beberapa kali. Jantungnya berdegup lebih cepat setiap kali ia melirik. Tapi sampai bel tanda akhir pelajaran berbunyi, kursi itu tetap tak tersentuh.Saat siswa lain berhamburan keluar dari kelas, sorak tawa dan keluhan tentang tugas memenuhi lorong, Viana masih duduk terpaku di tempatnya. Tangannya memegang erat ujung meja, bibirnya tertutup rapat.Sagara tidak masuk sekolah. Kenapa? Apakah karena dirinya?Tangan Viana merogoh kolong mejanya, mencari-cari ponsel. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Ia t
Jantung Viana berdetak kencang, namun bukan karena panik. Tapi karena kepalanya seolah berisi pecahan-pecahan kaca yang mendesak masuk. Pening yang tadinya hanya terasa sebagai denyut pelan, kini berubah menjadi desakan tajam—menusuk, menekan, dan memaksa untuk dilihat.Bayangan acak mulai menari dalam benaknya.Ia melihat dirinya sendiri, tertawa bersama Sagara di tengah keramaian. Lalu berpindah. Suara Sagara yang memanggil namanya dengan lembut. Dirinya yang menangis di pelukan seseorang yang Wajahnya tak terlihat jelas.Kemudian Viana yang lain, menatap Alesha dengan mata merah penuh amarah. Di balik itu, terdengar suara dentuman keras. Sirene. Aroma darah. Jeritan samar.Viana mengerang sambil memeluk kepalanya. Tubuhnya hampir ambruk jika saja Arthur tak segera menangkapnya.“Sayang, kamu kenapa?” suara Arthur terdengar putus asa, sementara Alesha telah mengambil bantal untuk menyandarkan kepala Viana.“Papa panggil dokter, ya?” Arthur berdiri, hendak mengambil ponsel.Viana mena