"Bu, ibu ... ayah kemana?" tanya Safia saat saya sedang memasak pagi ini.
Hari minggu ini, aku sengaja membuat makanan kesukaannya. Setelah itu saya akan mengajak Safia pergi jalan-jalan, meski hanya ke pelabuhan melihat kapal-kapal besar yang sedang berlabuh.
Safia akan bahagia dan bercerita dengan antusias kepada Bapak dan Bu Fatimah. Usia Safia, memang sedang cerewet-cerewetnya. Setiap hari selalu ada dialog panjang yang ditanyakan saat saya pulang kerja.
Begitupun dengan bapak dan ibu, tanya ini dan itu. Lalu bercerita sesuai dengan imajinasinya sendiri. Membuat siapapun yang melihatnya akan begitu gemas.
"Kenapa kita tidak jalan-jalan sama ayah juga, bu?" tanyanya lagi dengan sorot mata yang polos.
"Safia putri ibu yang paling cantik, paling pintar, dengerin ibu, ya, nak. Ayah sedang bekerja jauh sekali, nanti, kalau sudah banyak uang, ayah pasti pulang dan kita bisa jalan-jalan bersama," Ku sembahkan senyum manis buat Safia, aku harap dia mengerti akan apa yang aku katakan padanya.
Meski hanya mengangguk-angguk, saya rasa Safia sudah mengerti akan jawaban yang saya berikan. Kugandeng tangan kecilnya untuk menonton kartun kesukaannya. Supaya saya bisa leluasa memasak di dapur.
Sejak bisa berbicara, Safia memang suka bertanya tentang apa yang tidak dia ketahui. Kalau jawabannya kurang tepat dan mantap, maka akan bertanya lagi.
"Tunggu ibu selesai memasak, lalu kita pergi jalan-jalan lihat kapal, ya," ucapku sambil mengelus pucuk jenggot.
Safia tersenyum dengan sangat manis, wajahnya yang mirip dengan Mas Rudi membuat darahku berdesir. Ada rasa kangen di dalamnya, saat aku melihat Safia, seperti itu pula aku melihat suamiku. Putri kami bagaikan foto copy annya Mas Rudi.
'Ah, Mas, aku kangen' batinku.
"Bu, nanti kalau Ayah pulang, kita jalan-jalan sama Ayah juga, ya? Seperti, Tasya kemarin. Dia jalan-jalan sama ayahnya, naik kapal, beli es krim juga."
“Iya, mangkanya doain Ayah cepat pulang, ya!” ucapku dengan mencium pipi gembulnya.
☀☀️
“Enak, ya, punya hutang tapi tidak pernah membayarnya,” ujar Mbak Eni, tetanggaku yang memang terkenal dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos.
Saat kami sama-sama ikut gotong royong di tempat tetangga yang sedang ada hajatan, menjadi kebiasaan bagi kami para warga yang lain untuk membantu. Istilahnya yaitu rewang.
Semua bergerombol dalam melakukan pekerjaannya masing-masing, ada yang sedang memarut kelapa, mengiris-iris bumbu-bumbu dan masih banyak lagi.
Entah karena apa, Mbak Eni tiba-tiba saja nyeletuk aneh menurutku. Sebab, saya tidak pernah sedikitpun ikut menggosipkan seseorang. Tanpa dinyana dia malah seperti menyindirku dengan kata hutang.
Bagaimana dia bisa tahu kalau suamiku memang punya hutang?
Suaranya begitu lantang dengan melirikku sekilas, aku yang merasa, hanya berpura-pura tidak tahu. Lebih baik diam daripada nanti ujung-ujungnya menimbulkan masalah baru.
"Aku, kalau jadi orang yang nagih akan aku ambil semua yang ada di dalam rumahnya, enak saja mau uangnya tapi saat mau membayar harus pakai dalih ini dan itu. Kebiasaan," ujarnya dengan suara yang ditinggikan.
"Siapa, Mbak? Memangnya disini ada orang yang punya hutang banyak seperti itu?" tanya Yu Tijah dengan kerasnya juga. Mereka adalah sahabat karib, saling bantu membantu satu sama lain. Kemana-manapun selalu berdua, seperti dua sejoli yang enggan terpisahkan.
Suara mereka bak mobil tronton yang lewat di jalanan kota besar, nyaring dan bising. Membuat gendang telinga seakan ingin pecah saja.
“Ya orang lah, masak yang hutang itu hewannya,” jawab Mbak Tika yang membuatku seperti menahan penyakit asma. Sesak.
"Jangan suka menggosipkan sesuatu yang kita tidak tahu juntrungannya, Mbak. Dosa besar. Orang luar seperti kita tahunya itu cuma kulitnya saja, sedang dagingnya nggak paham sama sekali. Toh, mereka berhutang juga kita tidak ikut membayarnya, betul tidak, Bu Endang?" ucap Mbak Tika yang ikut menimpali ucapan Mbak Eni.
“Tapi, Mbak….”
"Benar apa kata Mbak Tika. Seharusnya kita tidak usah ikut campur urusan orang lain atau menyindir seseorang, Mbak. Kita disini ikut membantu Mbak Putri yang sedang punya hajat. Kalau mau gosip, gosipkan saja itu artis yang ganteng-ganteng kena narkoba. Berdoa saja semoga anak cucu kita dijauhkan dari hal-hal yang haram! Benar, 'kan ibu-ibu?" saran Bu Endang yang membuat semua orang terdiam.
Bu Endang, beliau orang baik dan berpendidikan di lingkungan RT kami, sehingga ucapannya selalu di dengar bagi siapa saja yang diajak bicara. Tak terkecuali, Mbak Eni dan yang lainnya.
"Kasihan, Mbak Rani. Dia tidak pernah sedikitpun membicarakan kalian, buat apa kalian mengorek rumah tangganya? Menurut saya, Mbak Rani orang yang hebat. Ditinggalkan suaminya pergi kerja jauh mencari uang besar, namun, harus berhadapan dengan Hutang-hutang yang selama ini dipakai oleh suaminya. Memangnya kalau kalian berada di posisi yakin akan sanggup menjalaninya?" ujar Bu Endang panjang lebar yang membuatku menahan tangis. Perih.
"Eh, Bu Endang kok mikirnya saya ngomongin, Rani? Jangan suudzon dong, Bu," pekik Mbak Eni tak terima.
"Lalu?"
"Maaf ya, Mbak Rani. Memang sudah menjadi rahasia umum jika Mas Rendi ada hutang banyak. Karena, saat penagih datang ke rumahnya, Mbak, mereka bertanya kepada Mbak Eni. Lalu tersebarlah semua ini," jelas Bu Endang yang aku jawab dengan anggukan dan senyum tipis.
Yang aku lihat raut wajah Mbak Eni berubah tegang saat Bu Endang bertanya siapa yang telah dimarahi olehnya barusan. Meski Mbak Eni menyangkal, namun, saya juga tahu pasti kalau akulah orang yang telah disindirnya itu.
Entah kenapa dadaku terasa sesak, ingin rasanya aku berlari dari acara rewang ini. Kini semua mata seolah-olah menelanjangi dengan tanpa ampun. Malu.
“Mbak Eni, maaf, bukannya saya sok suci. kita dengan hal seperti itu? Nanti yang terjadi malahan silaturahmi antar tetangga akan terputus," imbuh Mbak Tika tegas.
Mbak Wati yang tengah duduk di sampingku mengelus pundakku sembari tersenyum dan berbisik.
"Yang kuat, jangan masukkan dalam hati ucapan Eni!" bisik Mbak Wati.
Kami yang mendengar hanya manggut-manggut, entah itu paham dan setuju atau tidak. Semenjak Bu Endang membuka suaranya, tidak ada pelesetan yang berani mencela dan membantahnya. Semua membasu.
“Ibu… ibu, aku mau jajan seperti Tasya, aku mau jajan, Bu!” teriak Safia saat suasana hening.
"Iya, yuk kita beli!" ajakku dengan menggandeng tangan Safia. "Maaf ya Mbak, saya mau beli jajan dulu buat Safia, maaf saya tinggal kerjaannya."
"Nggak apa-apa, biar nanti dilanjut yang lain," jawab Mbak Wati.
Aku pun berlalu dengan memikirkan terima kasih kepada Bu Endang dan semuanya, akhirnya aku bisa bernafas dengan lega karena telah terbebas dari segerombolan orang-orang yang telah membuatku sesak.
Kuciumi Safia dengan deraian air mata, ku peluk raga kecil itu dengan bersyukur sebanyak-banyaknya karena masih ada orang baik di sekelilingku. Bu Endang dengan bijak membalas setiap kata dari Mbak Eni yang membuat hatiku semakin memanas.
Andai tadi tidak ada Bu Endang, entah kalimat apa lagi yang akan diutarakan oleh Mbak Eni dan Yu Tijah. Belati itu menancap di relung hatiku lalu dicabik-cabik dan di siram dengan air garam. Perih.
Sungguh lidah Mbak Eni segitu tajamnya memporak-porandakan kumpulan daging bernama hati.
❤️❤️❤️
Perjalanan rumah tangga selama hampir satu tahun bersama Mas Aldi terasa indah. Adakalanya menangis, tertawa bercampur dan berganti bagaikan musim yang sedang terjadi di dunia ini.Kerikil-kerikil kecil menghalangi jalan kami, tapi Alhamdulillah masih bisa dilalui dengan baik karena pemikiran yang dewasa dan tenang dari suamiku itu membuat diriku semakin jatuh cinta dan bersyukur betapa memilikinya adalah anugerah paling indah juga beruntung.Bulan ini adalah bulan di mana aku akan melahirkan. Segala keperluan sudah aku penuhi, tinggal menunggu lahiran. Malam ini udara terasa panas, kipas angin yang selalu berputar seolah tidak terasa sama sekali. Bahkan pakaian tidur yang aku kenakan pun sudah berganti yang tipis, tapi masih saja terasa gerah."Mungkin memasuki musim baru, ayo, tidur di dalam saja!" ajak Mas Aldi saat melihatku yang tengah mencari tempat paling nyaman.Di teras, di ruang tamu, di depan televisi juga di ruang makan sudah aku jelajahi. Akan tetapi, masih saja sama tid
Seminggu sudah aku dan Mas Aldi memulai babak baru di rumah ini. Semua sudah lengkap, rumah disulap menjadi tempat ternyaman saat lelah raga melanda. Berbagai macam tanaman pelengkap sayuran berada di taman belakang.Sedang ditaman depan, aku berikan sedikit sentuhan dengan bunga mawar dan tanaman lainnya. Sejuk jika dipandang mata sambil menikmati teh hangat di kala pagi ataupun senja tiba.Begitulah kami menikmati indahnya hidup ini, saling bercengkrama dan bercerita tentang pekerjaan dan juga rumah. Iya, meskipun aku sudah menjadi istri, tapi toko yang ku punya tetap berjalan hingga detik ini.Tidak dilarang untuk bekerja oleh Mas Aldi, karena itulah caranya untukku supaya bisa tetap bahagia. Sebab, dirumah aku kesepian jika dia bekerja. Semuanya lancar, pekerjaan, rumah tangga juga hubungan dengan orang tuanya.Alhamdulillah, itulah yang aku inginkan sejak dulu. Selalu harmonis dan terjaga meskipun terkadang dalam berumah tangga itu ada kerikil kecil yang menghalangi jalannya. Pem
Hampir tiga hari kami baru sampai di rumah lagi. Bermalam di kediaman Mas Bima semalam lalu ke rumah Mas Aldi. Disini aku memulai babak baru menjadi istri sepenuhnya.Rumah mungil minimalis yang begitu indah, Mas Aldi membelinya saat masih sendiri. Uang tabungan yang selama ini di simpan di belikan rumah sebagai tempat bermuaranya kami dalam rumah tangga. Meskipun di tinggal lama, tapi bersih karena selalu dijaga dengan baik oleh seseorang yang diminta Mas Aldi untuk membersihkannya."Ini rumah kita, rumah kamu dan aku. Rawatlah dan jaga seperti rumah sendiri. Semoga kelak kita menua disini bersama anak dan cucu." Tangan itu menggenggamku erat.Ada rasa haru dan bahagia kala memiliki istana mungil ini. Kebahagiaan seorang istri adalah mempunyai rumah, hidup bersama keluarga kecilnya. Kasarnya makan dengan garam tak mengapa jika bersama suami dan anak."Aamiin," balasku tersenyum senang.Mengucapkan salam saat pintu rumah mulai terbuka perlahan-lahan. Lantai yang putih bersih dan perle
Mobil travel sudah sampai di depan rumah, Pakde Nyomo beserta anak istrinya datang ke rumah. Padahal sehabis sarapan tadi kami semua berkunjung kesana untuk meminta doa restu supaya perjalanan yang kami tempuh selamat sampai tujuan.Namun, namanya juga keluarga, mereka berduyun-duyun datang dan memberikan doa kepada kami lagi. Ada haru, bahagia dan sedih bercampur aduk menjadi satu disini. Bahkan isakan mengiringi langkah kaki kami untuk pergi ke pulau seberang kembali."Kini saatnya kami mengawali kehidupan yang sebenarnya, mohon doanya semoga diberikan kelancaran dan kesuksesan dalam meraih mimpi yang indah," ucapku haru."Jika ada umur panjang, kesehatan dan rezeki yang melimpah kami akan berkunjung kembali kesini lagi melihat kampung terindah beserta keluarga besar yang selalu aku rindukan ini," imbuhku.Bu Fatimah memeluk tubuh ini lagi, seolah enggan untuk melepaskan. Beliau begitu berat berpisah dariku. Entahlah, sebenarnya aku pun ingin bersama mereka selamanya. Namun, ada ses
Pagi yang cerah secerah mentari yang mulai menampakkan warna Indahnya ke dunia ini. Tumbuh-tumbuhan bergoyang syahdu seiring dengan kicauan burung yang berdiri manja di rantingnya. Dihiasi dengan tetesan embun yang seolah memberikan kesejukan saat menikmati alam yang nyata juga indah ini.Ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Apalagi saat suara Kokok ayam bersahutan di antara cicitan anak-anak ayam membuat suasana pagi yang selalu aku rindukan kala di pulau seberang itu membuatku tersenyum melihatnya.Di belakang rumah Ayah, hewan piaraan kembali saling bersahutan, kambing, ayah juga burung yang hinggap di dahan pohon. Selalu aku menikmatinya dulu saat masih tinggal bersama mereka.Sedang, sayuran yang ditanam ibu di sini terlihat segar dan siap untuk dipetik. Warna cabai yang berwarna-warni menggiurkan dan seolah berteriak meminta untuk diambil dan dimasak. Pun demikian dengan sayuran bayam, kangkung juga terong, ibu memang super lincah.Apapun akan di tanamnya di lahan kosong, memanfa
Dua Minggu sudah aku, Mas Aldi, Mbak Lilik dan juga Mas Bima di kampung. Kini saatnya kami kembalikan lagi ke aktivitas masing-masing. Tidak bisa berlama-lama juga kami disini karena ada pekerjaan yang menanti di sana.Sehabis makan malam, kami berkemas, segala pakaian pun sudah siap untuk dibawa pulang kembali ke tempat semula. Bahkan Ibu Fatimah pun memberikan beberapa oleh-oleh khas kampung ini. Juga titipan buat ibu mertua sudah siap sedia untuk dibawa."Ibu nggak bisa memberikan banyak oleh-oleh, hanya segini saja semoga cukup dan bermanfaat buat keluarga disana," ucapnya saat memberikan beberapa plastik berisi penuh itu."Ini beras ketan buat mertuamu, beliau bilang disana mahal jadi Ibu titip ini, ya," imbuhnya dengan senyum merekah."Terima kasih banyak, Bu. Apa ini nggak merepotkan?" Mas Aldi bertanya saat melihat kami saling memegang plastik hitam itu.Bu Fatimah mengembangkan senyumnya, beliau duduk di sampingku sambil terus mengulum senyum tipis. Pun demikian dengan Ayah y
Kini hanya tinggal Pak Joko dan putrinya yang cantik di sini. Sebab, semua orang sudah meninggalkan rumah Ayah tanpa lagi bertanya atau bersuara. Mereka diam dan berlalu begitu saja bergantian.Aku maju, ingin sekali menampar pipi mulus itu dengan tanganku sendiri. Emosi ini naik ke ubun-ubun. Amarah yang salam ini terpendam ingin aku salurkan pada Nabila. Namun, saat aku hendak berbicara, Pakde Nyomo sudah mendahuluinya."Angkat kaki dari sini! Bukankah kamu mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh menantuku?" ujar Pakde Nyomo lantang dan tegas."Aku tahu kamu sendirilah yang menyebar fitnah keji itu pada keluarga adikku, satu kali kesempatan aku berikan padamu. Andai aku tidak memandang kamu sebagai seorang bapak dan suami yang dianggap baik oleh keluargamu maka sejak awal aku akan mengatakan pada semua warga di kampung ini siapa dirimu yang sebenarnya." Entah pembicaraan macam mana ini. Sepertinya ada sesuatu lagi yang ditutupi oleh Pakde Nyomo."Kamu terlalu sombong karena memp
Pintu rumah digedor dengan keras dari luar saat kita semua jendela menunjukkan peraduan. Yang ada didalam saling menoleh satu sama lain. Entah tangan siapa yang menggedor pintu tanpa jeda itu.Ayah yang hendak membuka dicegah oleh Yoga yang dengan cepat menuju pintu. Suami dari Mita itu membukanya perlahan dan memperlihatkan ada dua orang yang bertamu, tapi memasang wajah tidak bersahabat.Mereka adalah Nabila dan ayahnya, Pak Joko. Terlihat ada yang ingin mereka bicarakan, karena dari sorot mata itu tertuju padaku."Wa'alaikumsalam, ada apa, ya, Pak. Malam-malam kok bertamu?" tanya Yoga sopan.Aku kalau jadi dia nggak akan bersikap seperti itu, terlalu jengah jika harus berpura-pura baik padahal sikap mereka kurang sopan. Sebagai orang tua bukankah harus memberikan contoh yang baik pada anaknya? Namun, tidak dengan Pak Joko, entahlah memang sifat orang beda-beda."Yoga, biarkan mereka masuk. Ayah mengizinkan tamu istimewa kita untuk duduk. Silahkan!" ujar Ayah yang kembali duduk di k
Sampai rumah aku duduk di teras, menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri sendiri karena kejadian barusan. Entah apa yang aku lakukan dahulu sehingga mengalami kejadian seperti ini.Bermimpi melihat Nabila saja tidak apalagi ada kenyataan yang membuat jantung ini seolah berdisko ria dengan irama yang membuat kepala sakit. Tuduhan yang terbalik seakan meruntuhkan segala tembok telah aku bangun untuk tidak mengingat kejadian lampau."Ada apa?" Suara Ibu Fatimah mengagetkan dieku yang menatap langit-langit teras dengan seksama."Kenapa Nabila selalu mengusik ketenanganku, ya, Bu? Padahal aku, lho, sama sekali nggak kepikiran untuk balikan sama Mas Rendi.""Kamu ketemu Nabila?" Lagi, suara ibu terlihat sedikit panik saat mendengar penjelasan tentang masa laluku.Aku mengangguk, lalu menengadah melihat lagi rumah laba-laba yang berada di antara kayu tempat genting. Serta warna hitam yang melekat pada kayunya, seolah menandakan kalau dia sudah lama berada di sini."Ibu juga nggak