Share

Bab 5 AKU BANGKIT

"Sudah, jangan ditangisi lagi. Sekarang kamu harus fokus dengan kehidupan kamu dan Safia. Safia harus sekolah, kamu harus bangkit, ya," Bu Fatimah begitu menyayangiku, meski hanya sebagai ibu sambung. Namun, aku sangat mencintainya. 

Dia selalu memberiku semangat, melindungiku meski kadang juga memarahiku. Namun, aku tidak pernah sakit hati, karena aku tahu dia pasti mengkhawatirkan diri ini.

Sudah sekian lama aku menjadi ibu juga ayah bagi Safia, kini waktunya dia sekolah. Aku harus bekerja, agar tidak terus-menerus bertumpu pada bapak dan Bu Fatimah.

"Kemarin ada lowongan kerja di pabrik, Mbak. Kalau mau nanti tak tanyakan dulu sama temenku, soalnya kakak dia juga kerja disana," ujar Mita, adik tiriku. 

"Boleh, nanti aku akan mencobanya. Tapi … apa ibu mau menjaga Safia?" 

"Mau, kenapa tidak? Biar nanti Safia sama ibu di rumah, kamu fokus saja sama kerjaan kamu kalau nanti di terima. Nggak usah pikirkan yang aneh-aneh, ya," Bu Fatimah mengelus punggungku lembut. "Maafkan ibu yang dahulu jika kadang telah sengaja menyakiti hatimu karena tidak bekerja, itu karena …."

"Aku tahu, Bu. Tidak apa, aku sudah melupakan semuanya. Maafkan aku yang telah menyusahkan ibu dari dulu, apalagi saat, Mas Rendi menjadi pengangguran." 

Aku menggenggam erat tangan Bu Fatimah, mataku mengembun. Tak terbayangkan jika aku mengambil jalan yang buruk atas apa yang menimpaku dulu. Mungkin aku akan terlunta-lunta.

Kini, aku harus menatap masa depan untuk diriku sendiri juga Safia yang telah tumbuh menjadi gadis kecil yang sangat ceria. Meski sesekali selalu bertanya kemana sang Ayah pergi dan aku masih tetap berbohong saat menjawabnya.

☀️☀️ 

Setelah melewati banyak perjalanan, akhirnya aku menjadi karyawan di sebuah pabrik garmen. Keseharianku selalu bekerja dengan semangat yang membara. 

Safia, di rawat sama Bu Fatimah dan bapak. Sedang aku bekerja di pabrik yang mana gaji nya cukup untuk kebutuhan rumah juga putri kecilku. 

Safia kini sudah beranjak lima tahun, itu artinya Mas Rendi meninggalkan kami sudah hampir satu tahun lamanya. Tidak ada kabar atau apapun tentangnya. Aku Pun lelah mencari tahu apa dan dimana dia sekarang. 

Uang dari gaji aku sebagai karyawan sebagian aku sisihkan untuk melunasi semua hutang-hutang yang Mas Rendi tinggalkan untukku. Meski masih banyak, namun, aku berusaha untuk membayarnya. 

Entah untung atau buntung, pihak yang memberi hutang Mas Rendi mau bersabar meski aku membayarnya dengan mencicil sedikit demi sedikit.

"Hutang, Rendi masih banyak, Ran?" Bapak membuka percakapan saat kami sedang menonton televisi.

"Masih, Pak."

"Kenapa kamu tidak meminta tolong saja sama orang tuanya, supaya beban kamu sedikit berkurang!" ucap Bapak yang membuatku merubah posisi dengan menatapnya sempurna.

"Nggak, Pak. Biar, Rani saja yang membayarnya. Aku takut nanti kalau malah menjadi masalah besar, sudahlah, Pak." 

Aku malu andaikan harus tiba-tiba datang ke rumah mertua dan bercerita kalau Mas Rendi mempunyai hutang lumayan banyak. Serta meninggalkan aku yang tanpa pamit pergi ke luar negeri menjadi seorang TKI.

Apalagi kondisi kesehatan ibu mertuaku yang saat ini sedang tidak dalam keadaan yang baik. Sejak, mendengar kalau Mas Rendi pergi bekerja jauh itu, ibu mertua menjadi uring-uringan dan akhirnya terserang stroke ringan. Begitu kabar terakhir yang aku dengar.

Mungkin benar, aku harus berkunjung ke sana tapi tidak akan bercerita ini itu supaya tidak menambah beban pikirannya mereka sekeluarga.

"Kamu sanggup?" tanya Bapak lagi dengan menatapku nanar.

"Pasti sanggup, kenapa tidak? Aku percaya suatu saat nanti, pasti Mas Rendi akan pulang."

Aku hanya mendengar desahan nafas bapak terdengar berat, enggan lagi berbicara kepadaku. Mungkin bapak merasa kecewa dengan jawabanku.

"Masih saja kamu berharap akan kepulangannya, Ran?" tanya Bapak lagi.

"Iya, Pak. Aku yakin Mas Rendi masih juga mencintai kami, apalagi Safia yang sudah hampir sekolah. Dulu sekali, dia begitu menginginkan untuk mengantar jemput anaknya jika sudah sekolah, dulu juga kita sudah mempunyai cita-cita yang akan menyekolahkan Safia sampai jenjang tinggi. Nggak mungkin, Mas Rendi akan lupa hal itu, Pak." 

☀️☀️ 

Hari ini Minggu, aku libur kerja. Rencananya akan pergi ke ruang mertua untuk menjenguknya karena sudah lama aku dan Safia tidak pernah kesana semenjak aku bertanya tentang uang saat Mas Rendi masih di rumah. 

Mungkin aku terkesan menjadi menantu yang durhaka, namun, apalah daya jika jarak yang membentang membuatku tidak bisa datang kesana tanpa membawa oleh-oleh juga ongkos untuk kendaraan.

Kini, saat aku sudah bekerja, aku bisa bertandang ke rumah mertua karena telah mendapatkan uang sendiri. Tanpa harus meminjam bapak atau Ibu Fatimah.

Kurang lebih hampir satu jam perjalanan dengan menaiki bus, aku dan Safia telah sampai di terminal. Lalu menyambung lagi dengan ojek sampai rumah beliau. 

Ibu mertua menangis saat melihatku dan Safia berdiri dan memberi salam di depan pintu. Hendak berjalan dan dirangkul olehnya, namun, keadaannya sulit untuk bergerak. 

"Ya Allah, Rani, apa kabarmu?" tanya Mbak Indah, kakak iparku. 

Dia memelukku erat dan menciumku penuh kerinduan. Sedang Safia, masih terdiam melihatku yang tengah sesenggukan bersama Mbak Indah.

"Safia, beri salam sama bu de, nak. Itu, Mbah, beri salam juga!" pintaku pada putri kecilku yang terdiam.

Safia menurut, betapa pintarnya anakmu, Mas, batinku dalam hati hingga menangis lagi.

"Apa benar kalau Rendi pergi menjadi buruh di luar negeri, Ran?" tanya Mbak Indah dengan tangan menyuapi ibu mertua.

Aku mengangguk, lalu melihat ke arah Ibu, ada butiran bening yang meleleh dari netranya. Mbak Indah yang melihat ibu menangis, seketika menyekanya dengan tisu. 

"Apa benar dia punya hutang banyak?" 

Mataku membelalak sempurna mendengar Mbak indah bertanya tanpa tedeng aling-aling. Naasnya, sikap gusarku terbaca oleh Mbak indah.

"Nggak usah ditutup-tutupi, Ran. Meski kamu nggak pernah kesini dan juga jarak rumah kita jauh, namun, aku tahu semuanya." 

"Dari siapa, Mbak?" 

"Sepupumu, Syarif. Sebulan yang lalu, dia kesini, katanya sih ada kerjaan disini. Aku suruh dia mampir dan … bercerita semua tentang, Rendi."

"Mbak …." 

"Tinggalkan lelaki seperti itu, Ran. Suami tidak tanggap jawab saja masih kamu pertahankan. Menikahlah kembali dengan lelaki yang jauh lebih baik dari dia, kami semua sepakat untuk menyetujui jika kamu melepaskan Rendi," Kini Bapak mertua datang dan langsung berbicara tentang semuanya.

Aku masih membisu, entah apa yang harus aku katakan pada mereka. Jika aku masih berharap kalau Mas Rendi akan kembali dengan keadaan yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

"Maaf, Pak. Untuk meninggalkan, Mas Rendi, sepertinya saya tidak bisa. Sebab, diantara kami belum ada kalimat putus. Biarlah saya menunggunya sampai suatu saat akan pulang ke rumah," ujarku dengan memandangi Safia. 

Benih cinta aku dan Mas Rendi yang kini telah tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang riang, sehat dan pintar. Hatiku masih yakin kalau kelak Mas Rendi akan sadar akan jalan yang telah ditempuhnya ini. 

Jika memang aku dan suamiku harus berpisah, aku ingin perpisahan yang baik-baik saja tanpa ada permusuhan antara kedua belah pihak. Biar bisa sama-sama melihat tumbuh kembang putri kecil Safia menjadi orang yang sukses. 

Air mata ibu luruh saat aku memberi alasan atas usulan bapak. Begitu pula Mbak Indah, dia beringsut mendekat dan memelukku sambil sesenggukan. Entah menangisi apa, suaranya hingga parau.

"Apa benar, Rendi juga meninggalkan hutang untuk kamu?" 

Deg. 

Bapak mulai bertanya lagi saat semua terdiam dengan pikirannya masing-masing. Aku terkejut mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir bapak mertua. 

Ingin aku menjawab, namun, saat melihat netra ibu mertua mengeluarkan butiran air mata, suaraku terasa berhenti di tengah-tengah tenggorokan. 

"Entah apa yang dipikirkan oleh anak itu, padahal dulu tidak pernah sekalipun dia ikut berjudi atau bermain kartu lainnya. Bapak benar-benar malu sama orang tua kamu, Ran." 

"Sudahlah Pak. Tidak ada gunanya kita saling menyalahkan satu sama lain, berdoa saja supaya Mas Rendi secepatnya sadar dan pulang untuk kita semua," hiburku dengan netra mengembun.

"Kamu kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk memberitahu kami, ya, Ran. Kami semua selalu ada buat kamu dan Safia. Safia akan tetap menjadi bagian dari kami," Bapak menggendongnya Safia dengan penuh kasih sayang. 

Andai, Mas Rendi tahu kalau keluarganya begitu akrab dengan kami dan juga dia, apakah masih mungkin menyakiti aku dan Safia? Entahlah, aku hanya berharap suatu saat suamiku kembali lagi menjadi lebih baik.

Amin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status