Mungkin sudah saatnya aku tidak meragukan Dirga dalam berduel. Postur tubuhnya yang besar dan tegap membuat pria itu sulit dilumpuhkan. Meski berduel 1 lawan 2, dia tidak terlalu kepayahan. Pria-pria yang memburu itu tidak berbadan besar, cenderung kecil dan pendek, hanya saja mereka memiliki nyali yang besar dan nekad.
Pergulatan Dirga melawan mereka semakin sengit, sementara aku dan Rinda makin tersudut di dinding tebing di sisi kanan batu besar. Di atas batu besar itu, 1 lagi laki-laki datang. Dia tidak membantu temannya, melainkan membidik kami sebagai sasaran.Tubuhnya meluncur ke bawah dengan cepat dari puncak batu besar, bergerak geram untuk menyerang kami. Rinda menjadi amukannya. Tubuh Rinda ditarik, dihempas ke batu. Aku yang kehabisan akal hanya bisa meracau dan merarau panik, mencari-cari sesuatu untuk melindungi diri. Namun yang terjadi, aku kalah telak, tangan laki-laki itu teramat cepat meraih rambutku, menariknya kuat hingga aku pun bernasib sama“Nggak apa-apa Jana, aku memang berantakan. Wajar Kirana takut.” Rinda tersenyum memaklumi sikap Kirana yang tidak bersahabat menyambutnya. Bahkan, Kirana pergi begitu saja mengabaikan uluran tangan Rinda yang ingin bersalaman.“Mungkin setelah ini kita perlu ke salon, potong rambut, perawatan, pakai baju bagus. Yuk, kita nikmati hari baru,” balasku pada Rinda bersemangat. Rinda tersenyum mendengarnya. Pertemuan Rinda dan Kirana tidak berkesan baik, namun tidak perlu aku pusingkan. Masalah pelik yang telah dilalui sangat perlu untuk dirayakan. Aku akan membayar semua waktu yang telah hilang pada Kirana. Lebih banyak bersamanya untuk mendengar cerita gadis kecil itu.Untuk masalah perkembangan kasus, semua sudah diserahkan pada polisi. Investigasi terus berlanjut dan kami cukup menunggu progres demi progres. Akun Bank penerima dana transferan dari akun rekeningku juga sudah dibekukan. Dana transaksi tersebut telah kembali. Aku dan Rinda hanya butuh waktu u
Tiba-tiba, tirai kembali tersingkap.“Siapa yang sedang dalam bahaya?” Suara berat dari balik tirai menginterupsi tangisku. Tirai dibuka lebih lebar. 3 polisi dan dokter datang, mereka berdiri mengelilingi ranjangku sambil menatapku serius. Aku makin terisak putus asa, tidak tahu harus menjawab apa. Salah satu dari petugas kembali mengulang tanya. “Ibu, ada yang mengancam, Ibu?” Aku tidak dapat mengelak lagi. Pertanyaan mereka datang bertubi, setelah mendengar obrolanku dengan Dirga. Keterlibatan polisi tidak bisa dihalangi lagi. Semua cerita sudah mereka kantongi karena Pak Firman sudah membocorkan informasi sebelumnya. Tiada cerita baru yang bisa kami karang-karang lagi. “Ibu, tim kami sudah ke lokasi, kasus ini sudah dalam penyidikan. Kami mohon, Ibu bisa bekerja sama.” Polisi yang lain ikut mendesak bertanya.“Ibu dan anak saya dalam bahaya,” ucapku pada akhirnya. Aku kembali menangis. “Ibu tenang. Kami akan mengirimkan p
Aku tak sempat bergerak. Ryan mendekat secepat kilat. Dia membekap mulutku kuat. Tangannya merogoh saku, mengeluarkan ponsel dan menyodorkan layar tepat di depan kedua bola mataku. "Kunci mulutmu dan jangan pernah bocorkan cerita di pulau itu!" ucapnya pelan dengan nada mengancam. Mataku melebar melihat layar di ponsel. Video Ibu dan Kirana di teras depan. Ibu sedang mengepang rambut Kirana yang bersiap berangkat ke sekolah. Kartu As-ku kembali mereka pegang. Ryan sangat tahu cara membungkam. Mungkin ini memang taktik sindikat mereka. Jika soal keselamatan Ibu dan Kirana, aku tak lagi bisa berbuat apa-apa selain mengikuti laju permainannya."Jangan sampai polisi ikut campur jika tidak ingin nyawa mereka melayang seperti Andi." Suara Ryan bergetar. Di tengah ancamannya, dapat kurasakan laki-laki ini sedang berduka. "Kau membunuhnya!" ucap Ryan getir. Tangannya yang membekap terasa semakin mencengkram. Dalam jarak pandang sedekat ini, aku dapat m
"Rinda, bukan kamu, aku atau Jana yang memutuskan siapa yang paling bersalah di sini, biarkan penegak hukum yang bekerja. Jika berhenti di kita, aku yakin, perang ngga akan pernah berhenti dan kita tidak akan mendapatkan perlindungan." Dirga angkat suara. Ucapannya menjernihkan pikiranku yang tadi sempat terpengaruh oleh Rinda. Wajar Rinda cemas, dia pasti teringat bagaimana punggung Jarwo dihujam linggis oleh tangannya sendiri. Begitu juga aku yang ikut merubuhkan Jarwo. Itu baru korban pertama kami. Selanjutnya Ardan, dia lebih nahas lagi. Kepalanya pecah dan berlubang dengan linggis yang sama dan masih Rinda sebagai algojonya. Untuk Dirga, dia malaikat maut untuk Anton. Masing-masing kami telah berkontribusi besar dalam merampas nyawa mereka. Tapi semua, hanyalah reaksi naluriah untuk bertahan hidup semata.Rinda meneguk ludah, menatap wajah Dirga begitu dalam. Dia masih ingin lebih diyakinkan. "Benar apa yang dikatakan Dirga. Kita ngga usah taku
Tidak ada kejahatan yang sempurna. Sepandai-pandainya sindikat ini beraksi, akan ada masanya mereka kacau balau. Semoga aku yang terakhir menjadi korban Ardan. Ardan, Jody, Tommy atau Andi, telah dilumpuhkan. Laki-laki manipulative itu telah berakhir tragis di ujung linggis oleh korbannya sendiri, yaitu Rinda, perempuan yang kini duduk sambil tersenyum di ujung anjungan speedboat. Aku membalas senyum Rinda, tipis. Sepanjang perjalanan kembali ke dermaga, perasaanku rasanya kebas dan mati rasa. Kejadian yang menyiksa, pergelutan yang berujung maut, membuat mentalku tidak mampu mencernanya. Semua diluar nalar. Aku malah tak yakin, hidupku akan masih sama setelah ini. Lamunanku buyar, kala ujung anjungan menubruk dermaga. Kapal kami berhenti. Dirga memanggil-manggil namaku berulang kali.“Kamu ngga apa-apa, Jana?” tanya Dirga cemas, “Aku ngga apa-apa.”Gedung usang dan dermaga kayu menyambut kami. Tempat di mana aku dirubuhkan d
Mungkin sudah saatnya aku tidak meragukan Dirga dalam berduel. Postur tubuhnya yang besar dan tegap membuat pria itu sulit dilumpuhkan. Meski berduel 1 lawan 2, dia tidak terlalu kepayahan. Pria-pria yang memburu itu tidak berbadan besar, cenderung kecil dan pendek, hanya saja mereka memiliki nyali yang besar dan nekad. Pergulatan Dirga melawan mereka semakin sengit, sementara aku dan Rinda makin tersudut di dinding tebing di sisi kanan batu besar. Di atas batu besar itu, 1 lagi laki-laki datang. Dia tidak membantu temannya, melainkan membidik kami sebagai sasaran. Tubuhnya meluncur ke bawah dengan cepat dari puncak batu besar, bergerak geram untuk menyerang kami. Rinda menjadi amukannya. Tubuh Rinda ditarik, dihempas ke batu. Aku yang kehabisan akal hanya bisa meracau dan merarau panik, mencari-cari sesuatu untuk melindungi diri. Namun yang terjadi, aku kalah telak, tangan laki-laki itu teramat cepat meraih rambutku, menariknya kuat hingga aku pun bernasib sama