Tiba-tiba, tirai kembali tersingkap.
“Siapa yang sedang dalam bahaya?” Suara berat dari balik tirai menginterupsi tangisku. Tirai dibuka lebih lebar. 3 polisi dan dokter datang, mereka berdiri mengelilingi ranjangku sambil menatapku serius. Aku makin terisak putus asa, tidak tahu harus menjawab apa. Salah satu dari petugas kembali mengulang tanya.“Ibu, ada yang mengancam, Ibu?”Aku tidak dapat mengelak lagi. Pertanyaan mereka datang bertubi, setelah mendengar obrolanku dengan Dirga. Keterlibatan polisi tidak bisa dihalangi lagi. Semua cerita sudah mereka kantongi karena Pak Firman sudah membocorkan informasi sebelumnya. Tiada cerita baru yang bisa kami karang-karang lagi.“Ibu, tim kami sudah ke lokasi, kasus ini sudah dalam penyidikan. Kami mohon, Ibu bisa bekerja sama.” Polisi yang lain ikut mendesak bertanya.“Ibu dan anak saya dalam bahaya,” ucapku pada akhirnya. Aku kembali menangis.“Ibu tenang. Kami akan mengirimkan p“Nggak apa-apa Jana, aku memang berantakan. Wajar Kirana takut.” Rinda tersenyum memaklumi sikap Kirana yang tidak bersahabat menyambutnya. Bahkan, Kirana pergi begitu saja mengabaikan uluran tangan Rinda yang ingin bersalaman.“Mungkin setelah ini kita perlu ke salon, potong rambut, perawatan, pakai baju bagus. Yuk, kita nikmati hari baru,” balasku pada Rinda bersemangat. Rinda tersenyum mendengarnya. Pertemuan Rinda dan Kirana tidak berkesan baik, namun tidak perlu aku pusingkan. Masalah pelik yang telah dilalui sangat perlu untuk dirayakan. Aku akan membayar semua waktu yang telah hilang pada Kirana. Lebih banyak bersamanya untuk mendengar cerita gadis kecil itu.Untuk masalah perkembangan kasus, semua sudah diserahkan pada polisi. Investigasi terus berlanjut dan kami cukup menunggu progres demi progres. Akun Bank penerima dana transferan dari akun rekeningku juga sudah dibekukan. Dana transaksi tersebut telah kembali. Aku dan Rinda hanya butuh waktu u
Ponselku berdering terus. Ini sudah kali ke tiga puluh. Di layar, tertera nama Ibu. “Terima saja.” Suara lembut mengalihkan perhatianku. Aku menoleh pada sumber suara. Pandanganku tertumbuk pada senyum merekah yang membuat duniaku jungkir balik. Senyum milik Ardan, suami baruku. Senyum itu yang membuatku merasa hidup kembali setelah lama terpuruk karena kematian suami pertamaku.Setelah bersitatap dan saling melempar senyum, Ardan Kembali focus menatap jalan di depan. Dia sedang mengemudi. Aku kembali menatap ponsel yang tak henti meraung. Jemariku yang masih bercorak pacar India menggulir layar. Menerima telepon dari Ibu. Di seberang sana, terdengar suara Ibu yang risau. “Kabari Ibu jika sudah sampai?” Suara Itu lebih tegas dibandingkan tadi. Ibu sedang cemas padaku, seolah putrinya dibawa lari oleh seorang penyamun. Padahal, dia tahu aku adalah seorang wanita dewasa yang sedang pergi berbulan madu.Terus terang, aku tidak nyaman dengan prasangka buruk ibu. Lebih tepatnya, aku mer
Aku mengerjap lambat, membuka mata dan menemukan gelap. Bau pengap dinding kayu apak dan tajamnya bau kencing tikus memenuhi rongga hidungku. Suara jangkrik di luar sana memberitahuku bahwa kini sudah malam. Itu artinya, aku sudah pingsan berjam-jam. Aku menyadari bahwa kini tubuhku tersekap di dalam ruangan busuk dengan tubuh yang terikat tali. Kedua tanganku ditekuk ke belakang dan tubuhku tergeletak di lantai kumal. Aku bangkit dan menatap ke sekeliling. Asing dan mencekam. “Tolong! Tolong aku!” Aku memekik dan merarau. Menghantamkan bahu ke dinding kayu agar tercipta bunyi gaduh. Namun, sekeras apa usahaku, tiada seorang pun yang menggubris teriakanku. Pasrah! Aku berhenti menghantam-hantam dinding. Badanku kembali terkulai lemah ke lantai. Kembali berbaring dengan air mata yang berderai. Rasa kalut menggelayut, berselimut rasa takut akan maut. Apakah Ardan akan mencelakaiku lagi setelah ini? Sulit bagiku mencerna kenapa Ardan sampai berbuat gila seperti ini? Menyekapku setel
Aku mendengar suara keributan di luar. Suara si Pria Brewok sedang menghardik dan mengumpat kepada seseorang. Disela suara gaduh, aku mendengar isak tangis perempuan yang terpekik dan mengaduh kesakitan. Aku beringsut ke sudut ruang saat si Pria Brewok masuk ke dalam. Seorang perempuan diseret ke dalam kemudian dilempar kasar ke lantai.“Diam kau di situ dan jangan macam-macam!” Setelah mengancam, Si Pria Brewok tadi pergi. Meninggalkan kami berdua dalam gudang yang terkunci.Kuteliti paras perempuan itu dari jauh. Meski di sini remang, aku dapat melihat bentuknya yang lusuh. “Hai, hai, kamu tidak apa-apa?” sapaku berbisik. Perempuan itu celingukan mencari-cari sumber suaraku. “Ka-kamu siapa?” tanyanya lirih setelah dia menemukan keberadaanku yang duduk di antara tumpukan barang di sudut gudang. Suara perempuan itu terdengar lemah dan parau.“Aku Jana. Apa kamu terluka?”Perempuan itu mendekat ke arahku dengan beringsut. Aku mengernyit meneliti tubuhnya.“Kamu ngga bisa jalan? Apa
Pagi datang. Cahaya menguning matahari menyelinap masuk ke dalam gudang melalui celah-celah dinding kayu. Aku terjaga dan mendapati Rinda di depanku meringkuk sambil memegangi perut. "Rinda? Kamu sakit?" Rinda menoleh dengan tatapan kuyu. Gudang yang tak lagi gelap membuatku bisa mengenali wajah Rinda dengan jelas. Perempuan itu sangat cantik. Lebam di wajahnya tidak bisa menyembunyikan paras ayunya. "A-aku, lapar." Lirih suara Rinda terdengar. Bola matanya melirik ke arah nasi sepiring semalam yang tak sempat kusentuh. "Lapar? Makanlah," tawarku tulus. Jauh di dalam hati, aku teramat kasian pada Rinda. Walau kenyataannya, aku pun akan menjadi seperti Rinda sebentar lagi. "Itu jatahmu," cicit Rinda menolak."Makan saja. Aku tidak lapar." Setelah kuizinkan, benar saja, Rinda menyantap nasih putih yang dingin itu dengan rakus. Dia seperti tidak makan selama seminggu."Kapan terakhir kali kamu makan, Rin?" Suapan Rinda terhenti. Dia menatapku lagi dengan sorot mata kosong, kemudian
Pintu dibuka. Ardan masuk. Tangannya menggenggam ponsel milikku yang tercatut pada bank daya portable. Aku dan Rinda, pura-pura tidur. Kami duduk berjauhan, mengambil posisi di sudut gudang. Bertingkah, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.Aku menyembunyikan pergelangan kakiku di balik tumpukan barang. Aku tidak ingin Ardan melihat lilitan ikatanku yang tersimpul berantakan dan asal. Tadi, Rinda berhasil melilitnya dan kemudian beringsut menjauhi tubuhku."Sedang apa kalian?" Laki-laki itu bertanya, sambil meletakkan ponsel ke atas meja. Dia kembali duduk di kursi, bersilang kaki, dengan wajah yang tampak tenang. Kemeja kotornya telah berganti dengan baju kaus putih bersih yang mencetak bidang dada. Jika saja dia bukan penjahat, sebenarnya Ardan lebih pantas menjadi model fashion pria dewasa. "Jana, kita lanjutkan bisnis kita. Kemarilah! Duduklah di hadapanku."Aku tidak bergerak. Alih-alih mendekatinya, aku memilih makin menyudut dan menundukkan wajah. Mengabaikan panggilan Ardan
"Rinda, dengarkan aku. Kalau kita ngga berjuang, kita akan benar-benar berakhir di sini seperti Diana. Apa kamu ngga mau balik ke kehidupanmu yang sebenarnya?” Aku membujuk, malah kali ini lebih memaksa. Rinda tetap menggeleng. Dia menunduk lagi dengan wajah yang teramat frustasi. “Di sini atau di mana pun, hidupku akan sama saja.” Rinda gemetaran, kali ini tangisnya pecah. “Aku udah ngga punya apa-apa lagi. Aku tak punya tempat untuk pulang.”Rinda menelan ludah, wajahnya menengadah, terlihat berjuang untuk menegarkan diri. Dari gelagatnya, ada hal yang ingin ia tumpahkan padaku. Aku diam untuk menyimak. “Kamu tau mengapa tanteku ngga nelpon aku lagi?” tanya Rinda padaku. Tentu saja aku menggeleng. Rinda melanjutkan.“Karna Jodi pernah bilang sama tante kalau kami bangkrut, kami miskin dan kami punya banyak hutang. Parahnya, Jodi menelepon semua keluargaku untuk meminjam uang. Padahal itu tidak benar. Yang Jodi mau adalah keluarga men
“Siapa lagi laki-laki yang datang ke rumah Ibu. Kamu pasti tahu?” tanyaku penuh selidik. Ardan tidak menjawab. Dia duduk kembali di kursi, memainkan ponsel dan menelepon Ibu lagi. Sebelum panggilan telepon tersambung, dia memberi isyarat agar aku diam dan tidak ikut campur.“Hello, Ibu. Aku Ardan. Maaf, aku telepon pakai ponsel Jana,” kata Ardan sangat sopan pada Ibuku. Aku tidak tahu Ibu menjawab apa di sana, yang jelas, Ardan sedang berusaha menjungkirbalikkan realita.“Ada apa tadi, Buk. Kok Jana marah-marah sama aku? Ngga enak juga dilihat orang di sini. Dia ngamuk-ngamuk dan sekarang ngambek.” Ardan beracting pada Ibu. Dasar pembohong besar, manipulative, psikopat! Rutukku melihatnya memainkan drama.“Buk, aku itu punya bisnis, saingan banyak. Cara seperti ini sering terjadi, buk. Zaman sekarang ‘kan susah cari uang. Kadang, para pesaingku suka memakai cara yang licik.”Diam lagi, tak terdengar olehku apa yang dikatakan ibu.