Maura sontak kaget dengan apa yang baru saja di dengarnya dari bibir Dafi, sementara Aira merasa kalau yang dikatakan laki-laki itu benar.Ia tak pernah merasakan dekat jika sedang bersama Zen, seolah laki-laki itu juga sama seperti papanya, hanya saja semua sifat papanya terlihat. Sementara Zen tidak.Ada banyak keraguan dalam hatinya, jika dibandingkan, sudah pasti Dafi lebih unggul.Di mata Aira, Dafi sudah tentu lebih kaya dari mamanya dan berani dalam mengambil langkah, sekali bertindak, ia dan mamanya pun langsung keluar dari masalah.Sementara Zen masih belum dipastikan, selama ini hanya menjanjikan kita agar mereka berdua untuk keluar dari masalah, tapi tak ada yang berhasil."Em, tidak. Aku dan Zen sudah lama saling mencintai." Maura berucap jujur.Dafi menghela napas berat. "Zen? Namanya Abdul
Gina yang mendengarnya kabar Ferdi--lelaki yang sudah menjadi incarannya untuk dijadikan mangsa menjadi miskin dan tidak bisa diandalkan, langsung menarik diri untuk berhubungan lagi dengannya."Papa ini bagaimana sih, katanya nenek tua itu sudah sepakat untuk membantu. Tapi mana, yang ada kita kacau." Gina terus saja menyalahkan orang tuanya.Mengingat Ferdi adalah laki-laki yang sangat mudah ditipu dan dijebak, Gina sangat yakin kalau dirinya akan mendapat keuntungan yang besar darinya. Namun, semuanya menjadi kandas.Hanya ada satu orang di balik hancurnya rencana, yaitu Kadafi. Anak satu-satunya dari Pak Galang."Mana Papa tahu kalau nenek tua itu akan struk begitu saja. Mana gak bisa ngomong lagi." Pak Gunawan juga sama kesalnya dengan Gina, kecuali Bu Neni--ibunya. Ia sangat tidak nyaman kalau kekayaan yang didapat suami dan anaknya hasi
PoV Maura"Mama sudah tahu, ya?" Aira menatapku kesal sambil menatap ponsel yang menunjukkan video Zein.Aku sebenarnya sudah tahu bagaimana sifat Zein. Namun masih belum berani membongkar, karena masih belum punya bukti. Makanya gak kaget.Aku hanya tersenyum menanggapi."Mamamu tidak sebodoh itu, Aira. Kalau iya, mana mungkin selama ini bisa bertahan dari laki-laki bernama Zein ini." Dafi terkekeh.Selama ini aku memilih bungkam sambil menyelidiki siapa yang akhir-akhir ini ditemui oleh Zein. Dekat hanya untuk tahu siapa wanitanya dan apa rencana mereka.Ternyata benar, Zein-lah yang selama ini melaporkan apa yang terjadi pada keluargaku kepada Gina, dan beberapa orang lainnya.Mereka berkomplot untuk membuatku jatuh.Gina--per
Ketiga orang yang sedang menyamar itu langsung menjauh sesuai instruksi dari Dafi, tentu saja dengan hati yang sangat bahagia.[Jangan biarkan satu orang pun lolos, Daf. Aku menginginkan semuanya ada di balik jeruji besi.] balas Maura setelah posisi mereka aman."Wah, semoga saja mereka berdua gak keburu kabur ya, Ma." Aira berucap tiba-tiba."Kalau kabur, ya tangkap lagi." Pak Yuda menimpali."Benar, biar Pak Yuda yang menangkap mereka." Maura berpura-pura tenang, padahal hatinya masih belum plong, karena Dafi belum memberikannya kabar baik."Tidak. Sudah ada Pak Dafi, saya tak usah melakukan hal yang berat-berat. Cukup Maura bahagia saja." Pak Yuda mengusap butiran air mata yang keluar dari matanya."Mama pasti bahagia, Pak. Walaupun tidak, dunia ini memang bulan akhir seg
Daripada meladeni perkataan bapak tua yang sedang ada di hadapanku ini, belum lagi perkataannya yang melantur, aku memilih untuk menjauh dari lingkungan sini dan mencari tempat yang nyaman untuk tinggal dengan kondisi keuangan yang seadanya.Maura sudah membuatku seperti ini, tapi aku tak bisa membalasnya karena ada Dafi. Andai saja sepupuku yang sok pahlawan itu menjauh, mungkin aku lebih leluasa untuk bertindak, dan gak akan hidup susah begini."Arghhh!" Aku berteriak beberapa kali di pinggiran jalan yang biasanya tak pernah kutoleh. Mana ada orang kaya yang biasa bawa mobil mewah mampir di jalanan yang biasa dihuni para pengamen, pasti gak ada, dan gak sudi. Termasuk aku."Mas-mas!" panggil seorang laki-laki yang terlihat seperti gelandang."Jangan panggil-panggil saja. Kamu gak cocok." cibirku dengan ketus.&nb
Sudah ada puluhan kali Ferdi menghubungi nomor Pak Rohidin, tapi jawabannya sama. "Nomor yang anda tuju, sedang berada di luar jangkauan. Silakan tunggu beberapa saat lagi."Padahal jelas-jelas kemarin sekali telpon langsung dijawab dengan cepat, jauh dari kata gak aktif ponselnya, karena kontrakannya masih belum laku. Kalau sekarang, ponselnya sudah kembali dimatikan.Ferdi bergegas keluar dari kamar itu dan mendatangi tetangga yang jaraknya lumayan untuk dibilang tetangga."Permisi, Bu, Ibu." Ferdi berbicara sesopan mungkin, ia tidak mau kalau ibu-ibu itu sama sekali tidak membantunya karena sifatnya yang di anggap terlalu sombong."Iya, Pak. Ada Apa?" Ibu-ibu yang sedang berkumpul pun langsung menghampiri Ferdi. "Apa Pak Rohidin tak bisa dihubungi?" tanya salah satu dari mereka.Ferdi hanya mengangguk. Ia
Ferdi berganti baju secepat kilat, tapi ganti beberapa kali, dan beberapa kali bercermin juga. Ia merasa tak percaya diri karena baju yang dipakainya bukan yang biasa dikenakan.Bu Friska sudah lebih dulu menyembunyikan pakaian mahalnya yang tidak diketahui Ferdi, tahu-tahu sudah tidak ada. "Aku tak bisa memakai stelan ini, tapi yang itu juga tidak bisa." gumamnya kesal."Masa iya aku makan sama Mama pake baju kumal begini?" batinnya tak bersemangat.Setelah beberapa detik, ia baru teringat dengan baju yang dipakainya ketika pergi dari rumah. Hanya baju itu yang harganya fantastis dan tidak akan malu dipakai ke acara atau tempat manapun."Mana, ya?" Ferdi masih mencari setelannya yang mahal itu di bawah tumpukan baju. Setelah ketemu, ia menutup hidungnya.Sudah lebih dari seminggu ia tinggal di rumah ini, tap
Ferdi kembali masuk ke dalam rumah yang disangka angker itu. "Apa aku harus bertahan dalam beberapa hari, ya?" gumamnya sambil menatap dapur yang semalam mengeluarkan keributan yang mengerikan."Apa sebaiknya aku tutup saja pintu belakang? Bila perlu gembok, agar tak ada lagi yang membukanya?" ia kembali berbicara sendiri.Dengan terpaksa, dirinya memilih untuk membeli makan di tetangga sebelah dengan lauk seadanya. Setelah itu mengunci pintu dapur dan belakang, lalu masuk ke dalam kamarnya, tanpa dikunci. Agar lebih mudah lari keluar jika terjadi sesuatu, pikirnya.Ia pun segera menelepon Majid untuk mendapatkan informasi tentang lowongan pekerjaan, tapi sahabatnya itu malah tak bisa dihubungi. Hanya operator yang menjawab panggilan telponnya."Ah, sial. Sekarang dia lupa dengan sahabatnya yang sudah menjadi miskin ini." Ferdi memaki. Ia juga