"Adista pergi saat saya masih tidur. Saya sudah mencari ke indekos dia dulu, tapi gak ada. Saya ingin mencari ke rumah orang tuanya,"jelas Dylan tatapan lurus ke pupil mata Umaya. Tatapannya membuat wanita ini jadi gugup. Sepertinya ada yang aneh dengan gesture tubuh Dylan. Pria itu bahkan berbicara tanpa menggunakan intonasi sama sekali, benar-benar datar.
"Maaf, Chef. Sebenarnya ada masalah apa dengan Adista?"tanya Umaya yang semakin penasaran. "Ini soal pribadi antara saya dengan Adista. Nanti setelah Adista ketemu baru bisa saya jelaskan. Mana alamat Adista?" Masalah pribadi? Kenapa Adista minggat? Banyak tanya yang tersimpan dalam benak Umaya. "Baik, Chef. Saya kasih alamat lengkap Adista saja. Sebentar!" Umaya membuka menu dalam ponsel lalu mencari catatan tentang alamat-alamat penting. "Saya langsung kirim ke nomor Tuan." "Silakan,"ucap Dylan sambil menatap layar ponsel dengan harap-harap cemas. Dalam hitungan detik, pesan pun sampai. Dylan segera membuka lalu membacanya. Pria ini tersenyum tipis. "Sekitar dua jam perjalanan sudah sampe. Terima kasih." "Terima kasih kembali, Chef." "Oke. Saya permisi dulu. Selamat sore,"ucap Dylan lalu mengangguk. Umaya pun membalas dengan hal yang sama. Executif chef tampan tersebut membalikkan badan lalu beranjak buru-buru menuju tempatnya bertugas. Sementara Umaya melihat pria tersebut dengan pandangan bingung. Sous chef muda ini berpikir pasti ada suatu masalah serius yang membuat Adista keluar kerja. Padahal selama setahun ini, gadis tersebut merasa senang bekerja pada Tuan Dylan karena mendapat gaji terbesar selama Adista bekerja. Temannya itu merasa kerasan karena pasien dan keluarga memperlakukan dirinya sangat baik. Adista sering mendapat uang bonus dan juga hadiah yang tak terduga. Yang lebih aneh lagi, perilaku Dylan yang seperti seorang pria yang harus segera bertanggung jawab terhadap seorang wanita. Adis, ke mana kamu? Kenapa kamu gak mau curhat padaku? Umaya berniat mampir ke rumah Adista saat dirinya pulang kampung. Dirinya pun merasa tidak enak hati, jika menelepon keluarga Adista untuk menanyakan kabar temannya itu. Hal tersebut akan membuat keluarga Adista cemas, jika benar-benar Adista minggat. ~•••~•••~ Keesokan harinya Dylan sengaja berangkat pagi hari ke hotel. Super executif chef ini menemui langsung HRD untuk memberikan surat izin cuti. Ia mengajukan cuti selama empat hari berniat mencari Adista sampai ketemu. Dari semalam dirinya telah meminta izin kepada kedua orangtuanya lewat hubungan langsung jarak jauh. Semenjak kepergian Adista, Nyonya Kusumasari Binar tinggal sementara di Singapura untuk menjalani terapi. "Mama akan pulang ke Indonesia, jika Adista sudah kamu ketemukan!" "Bisa jadi Adista masih merawat saudaranya, Mami,"ucap Dylan sambil menaruh ponsel pada holder. Pria ini semakin merasa bersalah terhadap maminya. Nyonya Kusumasari Binar sempat mengalami syok karena kepergian Adista. Meskipun gadis tersebut berpamitan mengundurkan diri dengan alasan keadaan saudaranya sedang kritis. Namun, wanita berusia 60 tahun tersebut tidak percaya. Ia yakin kepergian Adista ada sesuatu yang tidak wajar. Kini, tinggal Dylan memasuki setiap ruangan dalam rumah mewah yang sunyi. Orang tuanya merasa lebih nyaman tinggal di Singapura sampai sang mama benar-benar sembuh. Tuan Albert Binar lebih suka di sana karena urusan bisnis yang kebanyakan dilakukan di Singapura. Dylan telah prepare segala perlengkapan selama perjalanan jauh. Sebuah travel bag telah berada di luar kamar tidur. Pria ini menarik pegangan travel bag dan langsung membawa keluar rumah. Tiba-tiba ponsel Dylan dalam saku celana berbunyi. Pria ini mengambil lalu melihat nama yang tertera, Vira. Mau bikin jebakan apa lagi dia? Gara-gara ulah genitnya, Dylan membuat Adista minggat. Pria berparas tampan ini memutuskan untuk mengabaikan panggilan telepon dari Vira. Setelah beberapa kali panggilan telepon tidak diangkat oleh Dylan lalu terdengar notifikasi pesan masuk. Dylan melihat nama pengirim pesan dan rupanya itu dari Umaya. Dylan berpikir bahwa pesan tersebut ada hubungannya dengan Adista. Dylan langsung menelepon balik nomor Umaya. "Selamat siang, Chef," sapa Umaya dari seberang telepon. "Selamat siang Nona. Apakah ada kabar soal Adista?"tanya Dylan to the point. "Barusan Nona Vira kasih tahu jika kemarin sempat bertemu Adista di sebuah indekos di pinggiran kota." Kabar yang dibawa oleh Umaya ini seketika membuat Dylan bersemangat. "Nona Vira ada sebut daerah mana?"tanya Dylan antusias. "Maaf, enggak, Chef. Nona Vira bilang mau kasih tahu Tuan Dylan langsung. Apakah Chef telah dihubungi Nona Vira?" "Sudah. Tapi saya tadi sedang di jalan, jadi tidak bisa mengangkat panggilan telepon. Terima kasih atas informasinya. Selamat sore," ucap Dylan segera mengakhiri sambungan telepon. Dalam hati pria tersebut tidak akan pernah mau lagi berhubungan dengan Vira. Tidak ada kepentingan apa pun dirinya dengan Vira, meskipun itu soal Adista. Dylan segera melanjutkan langkah kaki menuju tempat parkir mobil. Dia menaruh travel bag ke bagasi lalu segera masuk mobil. Dylan mengemudikan kendaraan roda empat tersebut keluar dari pintu gerbang rumah. Setelah menyapa sekuriti, mobil beranjak meninggalkan rumah. Dylan menatap alamat yang disimpannya dalam g****e maps. Tiba saatnya, Dylan mampir ke rest area untuk beristirahat sebentar sekalian numpang ke toilet. Setelah Dylan selesai dari kamar kecil, pria ini menyempatkan duduk di salah satu warung untuk memesan kopi agar tidak mengantuk dalam perjalanan. Dylan mengambil ponsel lalu mengirimkan foto Adista serta data pribadinya kepada salah satu perwira di kepolisian.Tak berapa lama kopi pesanan diantar oleh pelayan. Dylan menikmati kopi sembari menunggu pesan balasan dari kerabatnya. Drrt! Drrrt! Dylan melihat nama kontak yang tertera dalam panggilan telepon. Pria berparas rupawan tersebut tersenyum dan berharap ada kabar baik dari si kerabat sesuai dugaannya. "Bisa bantu cari?"tanya Dylan sangat antusias. "Anak buahku sedang mencarinya. Biasanya orang dengan profesional pelayanan publik, paling gampang terlacak." "Kamu serius, Bara?" "Memang aku pernah main-main soal profesionalitas kerja? Aku patuh dan disiplin sebagai pelayan serta pengayom masyarakat." "Iya, aku paham soal kamu, Brigjen polisi Bara Kumara S.H. Aku tunggu kabar baik dari anak buahmu." "Berisik banget. Sedang di mana kamu?" "Sedang di rest area," balas Dylan tanpa semangat. Ia perkirakan sampai ke tempat tujuan sudah malam. Dylan tidak mungkin langsung bertamu ke rumah keluarga Adista. Padahal pria ini tidak paham, ada tidaknya penginapan terdekat dengan alamat yang dituju. "Perjalanan bisnis?"tanya Bara penasaran. "Sedang perjalanan ke luar kota. Cari perawat Mami itu." "Mau ke kota mana? Masih pelosok?" "Wah, aku lupa. Kamu pasti banyak teman untuk info penginapan atau homestay. Aku gak paham soal daerah ini. Kaga mungkin aku tidur di masjid atau pos hansip. Aku kirim alamat lengkapnya via chat." "Oke. Aku tunggu. Mumpung aku lagi sante, jadi bisa cari-cari info." Dylan memutuskan hubungan telepon lalu mengirimkan pesan ke Bara. Hanya beberapa menit saja, Bara telah menghubungi Dylan."Rendi, kamu ditangkap!" seru Bara. Rendi mencoba melawan, tetapi Dylan cepat mengatasi situasi tersebut. Rendi dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi. Bara dan Dylan lega karena berhasil menangkap pelaku. Dokter Pamela dan Alena telah mendengar kabar penangkapan Rendi. Namun, mereka masih cemas tentang motif Rendi dan dampaknya pada keluarga serta reputasi klinik. Beberapa hari kemudian Pengadilan dimulai. Pengacara Umaya berhasil membuktikan bahwa tindakan Umaya kepada Anton adalah murni kecelakaan. Ada rekaman CCTV soal hal itu. Hakim memutuskan bahwa Umaya dibebaskan dari segala tuduhan. Namun ada kewajiban wajib rapor dan tidak boleh keluar kota sementara waktu sampai kasus Anton dan Gopar selesai diusut. Hati Umaya, Alena dan Dokter Pamela belum bisa lega 100% karena harus menunggu keputusan negosiasi interpol dengan pihak kepolisian Singapura soal kasus Alan. Mereka masih harus menunggu kepastian. Pada suatu hari Dokter Pamela menerima panggilan misterius dari seseor
"Dia sedang ambil cuti dua hari untuk riset. Ada apa?"tanya balik Dokter Pamela dengan raut wajah heran. "Sedari pagi hapenya gak aktif. Padahal bilang akan bawain obat buat aku." "Obat apa lagi? Bukankah kamu sudah gak perlu obat lagi?" "Bukan, Mom. Ini obat herbal sekaligus buat terapi." Tak berapa lama terdengar langkah kaki mendekat ke arah mereka. Kedua wanita tersebut menoleh ke belakang. Tampak Dylan dan Bara tersenyum ke arah mereka. "Selamat siang,"sapa kedua pria bersamaan. "Selamat siang,"balas dua wanita. Mereka berdiri berhadapan lalu saling menjabat tangan. Dokter Pamela mengajak kedua pria untuk duduk di ruang keluarga. Setelah mereka duduk di tempat masing-masing, barulah Alena bertanya,"Ada apa, nih, kalian barengan kemari?" Dylan segera menjawab,"Yang punya kepentingan si Bara, tuh." Pria yang dimaksud pun tersenyum ke arah kedua wanita. Ia berkata,"Maaf, gak kasih kabar dahulu. Saya dapat kabar mendadak dari kantor." Dokter Pamela dan Alena segera mengara
"Apakah kamu masih mau bersahabat dengan seorang pembunuh?" Alena terkejut dan mundur selangkah. "Apaan, sih, kamu! Apa yang terjadi padamu, Uma?"tanya Alena dengan kedua mata berkaca-kaca. Kini hatinya semakin tidak enak. Ada peristiwa dahsyat yang baru dialami oleh sahabatnya itu. Namun, kata pembunuh yang diucapkan oleh Umaya membuat pikiran Alena sempat oleng. Ia lalu bertanya dengan tubuh gemetar. "Apa maksudmu? Siapa yang kamu bunuh?" Umaya menunduk, air matanya jatuh. "Aku... aku membunuh Bang Anton." Alena terkejut. "Bang Anton? Bagaimana bisa? Kau selalu sangat perhatian padanya." Umaya mengisahkan peristiwa tragis tersebut. "Aku marah karena Bang Anton telah menjebak Alan. Adikku itu sekarang terancam hukuman mati di Singapura. Ia tertangkap tangan sedang membawa paket sabu-sabu seberat 500 gram. Bang Anton sengaja menyelipkan paket sabu-sabu pada makanan kemasan kaleng." "Alan ke Singapura dalam rangka apa?"tanya Alena penasaran. "Ia disuruh Bang Anton untuk mengirim
Di tempat lain, Umaya menatap foto Alena dengan perasaan menyesal. "Alena, maafkan aku. Besok aku jelaskan semua." "Semoga Alena gak kaget melihat keadaan kamu,"sahut Bara yang langsung ditanggapi linangan air mata oleh Umaya. "Saya gak pernah menyangka nasib persahabatan kami harus terpisah,"balas Umaya seraya menyeka sisa air mata. Bara tersenyum lalu berdiri dan menepuk pundak Umaya. Perwira polisi ini berkata,"Kamu telah berjasa terhadap kepolisian. Pasti ada keringanan hukuman. Nanti saya akan sewakan pengacara terbaik." "Terima kasih, Tuan Bara,"balas Umaya yang langsung dikawal seorang polwan masuk ke bagian belakang. *** Pukul 7 pagi Alena telah tiba di kantor polisi dengan diantar oleh Dylan. Dari semalam dokter muda ini tidak nyenyak tidur karena memikirkan kondisi yang terjadi dengan Umaya. "Tuan Bara sama sekali gak kasih bocoran?"tanya Alena kepada Dylan sambil mereka berjalan menuju ruang pemeriksaan. "Bara enggak mau kasih tahu. Katanya biar Umaya ngomong langs
"Kita tinggal ambil rekaman CCTV saat kejadian. Begitu tertangkap langsung bikin laporan,"ucap Rendi yang langsung diacungi jempol oleh Dylan. "Kita akan tahu, modus Pak Gopar merusak kepercayaan Dokter Pamela,"balas Dylan. Dorr! Terdengar tembakan dari arah pintu gerbang. Rendi segera memberi peringatan kepada kedua wanita. "Ma, Alena, tutup semua pintu dan jendela! Kalian bisa jadi incaran penjahat!" Kedua pria membantu menutup jendela dan pintu bagian depan lalu berlari ke halaman. "Ada apa ini?"tanya Dokter Pamela yang muncul dari ruang tengah. Alena berlari menyusul mommynya. Alena juga bingung dengan situasi yang menegangkan tersebut. "Mom, penjahat apa?" "Kita tutup semua jendela dan pintu. Kamu bagian belakang, Mommy cek depan,"ucap Dokter Pamela kepada Alena. Kedua wanita bergerak cepat. Mereka menutup semua pintu dan jendela. Benar yang diucapkan oleh Rendi, begitu terdengar langkah kejar-kejaran lalu suara pintu didobrak dari luar. Brakk! Pyaarr! Beruntung jendela
"Tentu saja benar. Aku sengaja bikin menu favorit Mommy,"balas Alena. "Wah, kebetulan. Hari ini Tuan Dylan akan datang untuk memberikan resep menu khusus untuk kamu. Bisa jadi sambil praktek cara bikinnya." Pernyataan Dokter Pamela barusan, membuat hati Rendi memanas. Bagaimanapun hatinya berharap bisa segera menikah dengan Alena. Sementara waktu, ia diminta Dokter Pamela untuk mengabaikan keinginan itu sampai emosi Alena stabil. Rendi gegas pergi ke luar rumah untuk menghindari hatinya bertambah panas. Hal itu bisa merusak rencana mama angkatnya untuk memberi rasa tenang kepada Alena. Sekitar sepuluh menit kemudian, datang sebuah mobil yang dikemudikan oleh Dylan. "Apa kabar, Bang?"sapa Dylan begitu keluar dari mobil. Tampak pria ini menenteng sebuah kantong plastik besar. "Baik. Kelihatannya bisnis lo semakin maju,"sahut Rendi sambil menghampiri Dylan. "Masih merintis kedai menu khusus,"balas Dylan sambil menjabat tangan Rendi. "Ini juga mau praktek buat menu khusus Alena. Aban