Share

Alma Panik

"BUNDA ... BANGUUUN BUNDAAA," pekik Marwah terdengar membahana di ruangan tersebut.

"Maaf ya, mbak. Tunggu di luar dulu. Supaya kami bisa lebih leluasa dalam bekerja," ucap seorang perawat yang merangkul pundak gadis itu kemudian menuntunnya ke luar.

"Suster, tolong bunda saya. Selamatkan bunda saya ...." Bibir Marwah bergetar. 

Mendadak Marwah seperti kehilangan keseimbangan dan nyaris limbung ke lantai, jika Randy tidak sigap menahan tubuh Marwah

Sedangkan Firman duduk di bangku dengan kedua tangan menutupi wajahnya.

"Jangan begini, Dek. Nanti kalau kamu sakit gimana?" ujar Randy yang menepuk-nepuk lembut pipi adiknya.

Marwah hanya terisak di dada kakak lelaki semata wayangnya itu.

Dari balik kaca pintu, Marwah dapat melihat, alat kejut listrik di letakkan di dada bundanya. Mencoba merangsang detak jantung agar kembali berdetak.

*

"Aku dimana ini?" tanya Alma. Tempat itu terasa tidak asing. Seperti berada di sebuah lorong. Ini kan koridor rumah sakit. Tapi terlihat sangat sepi. Hanya satu dua orang saja yang nampak lalu lalang di sana.

Alma terus berjalan sembari memandangi tubuhnya yang mendadak sehat. Langkahnya terhenti di depan pintu sebuah kamar yang terbuka. Tampak olehnya seorang gadis berhijab menangis meronta-ronta di pelukan seorang lelaki.

Wanita yang saat itu mengenakan piyama putih tersebut, berjalan mendekati gadis yang tengah menangis. Rasa penasaran membuatnya untuk menghampiri. Mencari tahu apa yang membuat gadis itu menangis histeris.

"Astaghfirullah," ucapnya sembari menutup mulutnya. Alma terkejut melihat orang yang terbaring di ranjang rumah sakit itu. Begitu mirip dengan dirinya. Atau memang dia?

"Ya Allah, ada apa ini? Apa aku mimpi? Kenapa ada aku di sana? Apa aku ...? Alma memukul pipinya. Sakit! Berarti ini bukan mimpi! 

"Aku sudah mati? Ya Allah, tidak mungkin." Dipandangi kedua tangannya yang memang terlihat berwarna putih dan sangat pucat, seperti ... mayat.

Matanya berpaling ke gadis yang menangis tadi. Ia semakin terkejut, menyadari yang menangis histeris itu adalah Marwah--putrinya.

"Marwah ... Randy ... Mas Firman?" Matanya menatap satu persatu keluarga kecilnya yang menangisi jasadnya yang terbujur. Dokter dan perawat begitu sibuk meletakkan sebuah alat mirip setrika di dada jasad yang terbujur itu.

Tangan ibu tiga anak itu berusaha menggapai kedua anak dan suaminya.

Tapi ... kenapa? Kenapa aku tidak bisa menyentuh mereka? batin Alma panik.

"Marwah, ini bunda, Nak. Bunda masih hidup." 

Marwah masih bergeming di pelukan sang kakak. Ia terus menangis dalam pelukan Randy. 

Alma semakin panik dengan situasi yang ia hadapi. Didekatinya sang suami yang terduduk di sofa dekat ranjang dimana jasadnya terbaring. Bersimpuh di dekat kaki pria bertubuh tegap itu.

"Mas, ini aku ... istrimu. Aku masih hidup, Mas. Mas bisa dengar suaraku kan?" Alma menjerit panik pada sang suami seraya memukuli dadanya sendiri. Namun, Firman tetap pada posisinya yang memangku dagu dengan tangannya.Dan seakan benar ia tak melihat ada Alma yang berlutut dihadapannya.

Alma berlari keluar. Menangis, menjerit hingga jatuh berlutut dan memekik histeris.

"Kalau saja memang benar aku sudah meninggal, bagaimana dengan Shafa? Aku belum bertemu dengan anakku yang hilang. Entah dia dimana sekarang pun aku tak tahu," ujarnya lirih.

Wanita yang berusia hampir setengah abad itu menangis di tengah lorong. Dirinya terlonjak kaget, karena merasa bed dorong itu menabraknya. Tapi, seperti seorang manusia hologram, bed dorong yang dibawa seorang perawat, dapat menembus tubuhnya.

Alma terus menangis dengan posisi bersujud. Mencoba utk menerima sepenuhnya kenyataan yang ada.

.

"BUNDA ... BANGUUUN BUNDAAA," pekik Marwah terdengar membahana di ruangan tersebut.

"Maaf ya, mbak. Tunggu di luar dulu. Supaya kami bisa lebih leluasa dalam bekerja," ucap seorang perawat yang merangkul pundak gadis itu kemudian menuntunnya ke luar.

"Suster, tolong bunda saya. Selamatkan bunda saya ...." Bibir Asma bergetar. Andaikan tak ada pegangan, sudah pasti tubuhnya rasanya akan jatuh ke lantai.

Namun dengan sigap Fikri menahan tubuh Asma. Rachmat duduk di bangku dengan tangan memijat-mijat dahinya.

"Dek, berdoa saja untuk bunda ya. Jangan begini. Nanti kalau kau sakit gimana?"

Asma hanya terisak di dada kakak lelaki semata wayangnya itu.

Dari balik kaca pintu, Asma dapat melihat, alat kejut listrik di letakkan di dada bundanya. Mencoba merangsang detak jantung agar kembali berdetak.

*

"Aku dimana ini?" tanya Khadijah. Tempat itu terasa tidak asing. Seperti berada di sebuah lorong. Ini kan koridor rumah sakit. Tapi terlihat sangat sepi. Hanya satu dua orang saja yang nampak lalu lalang di sana.

Khadijah terus berjalan dan langkahnya terhenti di depan pintu sebuah kamar yang terbuka. Tampak olehnya seorang gadis berhijab menangis meronta-ronta di pelukan seorang lelaki.

Wanita yang saat itu mengenakan piyama putih tersebut, berjalan mendekati gadis itu. Rasa penasaran membuatnya untuk menghampiri. Apa yang membuat gadis itu menangis histeris.

"Astaghfirullah," ucapnya sembari menutup mulutnya. Khadijah terkejut melihat orang yang terbaring di ranjang rumah sakit itu. Begitu mirip dengan dirinya. Atau memang dia?

"Ya Allah, ada apa ini? Apa aku mimpi? Kenapa ada aku di sana? Lalu aku ...?"

Khadijah memukul pipinya. Sakit! Berarti ini bukan mimpi! 

"Aku sudah mati? Ya Allah, tidak mungkin." Dipandangi kedua tangannya yang memang terlihat berwarna putih dan sangat pucat, seperti ... mayat.

.

Aisyah J. Yanty

Jangan lupa berikan vote dan review bintang lima nya yaa😘

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status