Meninggalkan lokasi di mana pertikaian itu terjadi, Zen dan Arthur segera kembali ke motel. Sudah cukup lama sejak Bram meninggalkan dermaga. Mereka harus segera menyusul agar tidak terlalu jauh tertinggal.
“Sepertinya kita harus bekerja lebih keras,” ujar Arthur setelah mematikan sambungan telepon.
Anak buah Zen yang bersiaga di sekitar pelabuhan melihat kendaraan yang ditumpangi oleh Bram berbelok ke jalur yang berlawanan arah dengan jalur menuju perbatasan. Setelah mengikuti mobil itu dengan jarak aman, akhirnya dia dapat menyimpulkan bahwa Bram memang belum berniat kembali ke Meksiko.
“Begitukah?” Zen yang hendak membuka pintu mobil, menghentikan apa yang dia lakukan lalu menoleh pada Arthur yang berada di samping sedan tua—kendaraan yang disewa oleh Arthur untuk melancarkan pekerjaannya.
“Bram tidak menuju perbatasan. Bisa jadi dia sedang menuju markas The Demon untuk membahas masalah kegagalan transaksinya,” ujar Arthur, menjelaskan apa yang belum d
Bertahan beberapa saat di tepi jembatan, Zen akhirnya turun dari mobil. Tangan kanannya masih menggenggam pistol yang dia gunakan untuk meledakkan mobil Bram. Pria itu berdiri persis di pembatas jembatan yang telah runtuh. Kedua matanya menyorot tajam ke bawah, di mana kobaran api itu masih tampak menyambar-nyambar dengan ganas.“Aku sudah membalaskan dendammu, Sweet Cake. Tak ada yang perlu kau takutkan lagi di dunia ini. Aku akan selalu melindungimu,” gumam Zen, seolah kalimat yang terdengar seperti curahan hati itu meluncur tanpa kendali.Suara sirine polisi yang meraung-raung kian mendekat, memaksa Zen untuk segera berbalik dan masuk ke mobil. Dia harus segera meninggalkan tempat itu jika tidak ingin polisi setempat membuatnya repot.“Kemudikan mobilnya, Art,” perintah Zen pada Arthur, sementara dirinya duduk di kursi penumpang.Arthur segera berpindah posisi ke sisi kiri mobil dan duduk di balik kemudi. Sembari melajukan mobil
Dari kaca spion, Zen melihat ke belakang di mana Arthur tengah berusaha menyelesaikan masalah pribadinya. Sejenak lalu, Zen sempat berpikir bahwa mungkin saja di luar sana juga ada seorang anak yang di tubuhnya mengalir darah Aberdein. Sebagai seorang pria dewasa, tak bisa dielakkan lagi jika dia pun memiliki kebutuhan biologis yang perlu disalurkan. Dahulu, sebelum dirinya bersentuhan dengan dunia hitam, dia pun pernah mendekati wanita hanya untuk sekadar menyalurkan hasratnya sebagai seorang pria. Tidak … tentu saja Zen tak pernah menggunakan hati ketika mendekati wanita-wanita itu. Karena yang dia butuhkan hanyalah kepuasan yang diberikan oleh wanita-wanita tersebut.“Selamat malam, Tuan,” sapa penjaga yang bersiaga di halaman depan mansion.“Apa ada sesuatu yang perlu kuketahui selama aku tidak ada?” Zen membalas sapaan itu dengan pertanyaan.“Tidak ada hal penting yang terjadi, Tuan,” jawab penjaga itu.Tak
Mengalihkan pikiran dari hubungannya dengan Clint, Zen memusatkan perhatian pada Lea. Wanita yang baru saja disuntik dengan penawar racun itu masih tampak lelap dalam tidur panjangnya.“Penawar apa yang dia berikan? Kenapa tidak ada reaksi sama sekali?” keluh Zen yang tak melihat reaksi apa pun di tubuh Lea setelah penawar itu masuk ke tubuhnya.Pria itu bahkan membungkukkan badan, mendekatkan telinganya ke dada Lea untuk mendengarkan detak jantung si wanita. Namun sama sekali tidak ada yang berbeda. Oh, Zen … memangnya apa yang diharapkan pria itu saat melakukannya? Selama jantung Lea masih berdetak, itu artinya wanita tersebut masih hidup bukan?“Apa saja yang dia kerjakan hingga dini hari jika hasilnya tak memberikan reaksi apa pun seperti ini?” gerutu Zen.Pria itu berasumsi bahwa Clint bekerja hingga larut seperti yang dia lihat dalam tampilan kamera pengawas semalam adalah untuk membuat penawar racun. Hal ini membuat Z
Rupanya tak hanya sekali itu saja Zen bersikap hangat terhadap Zac. Semakin hari justru Zen dan Zac semakin dekat. Bahkan sudah beberapa hari ini Zen selalu mengajak Zac bermain hingga berkeliling mansion. Sungguh, ini justru menjadi pemandangan yang sangat menakutkan. Pria yang sangat akrab dengan kekerasan dan kekejaman, mendadak memiliki sikap hangat seolah dia adalah tipe family man. “Kurasa ada yang salah dengan otak Zen. Apa kau memberinya makanan atau sesuatu yang meningkatkan kadar dopamin di dalam otaknya dengan pesat?” Clint yang berdiri di bawah pohon maple, bertanya pada Arthur yang berada di sisinya. Kedua mata pria itu menyorot pada pemandangan aneh di halaman belakang mansion yang terhubung dengan taman anggrek. Di mana seorang penjual senjata ilegal dan pembunuh berdarah dingin, tengah bermain lempar tangkap dengan seorang bocah laki-laki. Bagi yang tidak pernah mengenal Zen, pasti akan mengira bahwa mereka adalah ayah dan anak yang tengah menghabiskan libura
Niat Zen untuk mengakhiri kesendiriannya dan membina rumah tangga selayaknya pria normal lain, tampaknya sudah sangat bulat. Pria itu kini sudah tidak menutupi lagi bagaimana perasaannya terhadap Lea. Injeksi kedua dari penawar racun yang diberikan Clint membuat pria itu menanamkan harapan yang tinggi untuk kesembuhan si wanita. Setiap hari, selama tiga hari terakhir ini Zen selalu mengajak Lea mengobrol seolah wanita itu dapat mendengarnya. Well, mungkin Lea memang bisa mendengarnya, namun wanita itu tak dapat memerikan respons apa pun.“Kapan injeksi ketiga akan dilakukan?” tanya Zen pada Clint yang baru saja menyuntikkan penawar tahap kedua.“Besok sudah bisa dilakukan jika tidak ada penolakan dari tubuh Lea. Reaksi tubuhnya untuk injeksi pertama kemarin kurang bagus.” Clint menoleh pada Zen yang menatap wanitanya dengan alis berkerut samar. “Awalnya tubuh Lea menolak penawar itu, meski akhirnya bisa menyesuaikan dengan obat yang kuberi
Usai mencekoki Zac dengan segala hal yang menyangkut pahit manis dunianya, Zen meminta bocah itu untuk menunggu di tumpukan jerami sementara dia menyiapkan Storm untuk berkeliling.“Kau tunggu di sini, sementara aku mempersiapkan Storm.” Zen menegakkan tubuh. Sebelum benar-benar berpaling, pria itu melihat sekali lagi pada Zac lalu berkata, “Jangan pergi ke mana pun, okay?”“Yes, Mr, Aberdein,” balas Zac dengan suara cadel.Jawaban itu membuat Zen memutar mata. Sudah berkali-kali dia bilang pada Zac untuk memanggilnya “uncle”, tapi bocah itu tidak mendengarkan dan justru memanggilnya “Mr. Aberdein” lagi seperti yang dikatakan Arthur.“Aku tahu ayahmu adalah Arthur, dan sangat bagus jika kau patuh padanya. Akan tetapi, aku lebih suka jika kau memanggilku ‘uncle’. Jadi jangan memanggilku seperti itu lagi. Kau mengerti?” Zen mengacak-acak rambut Zac.Anggukan kepala bo
Nyaris saja desing peluru terdengar menggema di kendang kuda itu, andai orang yang berada dalam bidikan Zen tidak menarik pria di sebelahnya dan menodongkan senjata api ke kepela pria tersebut.“Shoot me then I’ll shoot him,” ujar si pengkhianat.Dia adalah Robert, salah satu pekerja di peternakan itu yang memiliki tugas untuk membersihkan kandang kuda setiap harinya. Mari kita lihat, mengapa pria itu berkhianat.“Bagaimana sebuah jasad dapat menembak orang lain?” sarkas Zen tanpa menurunkan senapannya.Robert tertawa sumbang mendengar ucapan Zen, namun dia tak melepaskan pria yang dia sandera. Kakinya terus melangkah mundur, menjauh dari jangkauan pria-pria di sekitarnya.“Kesombonganmu memang tiada banding, Aberdein!” cibir Robert.Zen menatap Robert melalui bidikannya. Dia diam beberapa saat karena mengira Robert masih akan mengatakan sesuatu. Namun rupanya pria itu hanya terus menekankan moncong
Pada saat Zen tiba di ruangan tempat Lea dirawat, di dalam ruangan itu dia dapat melihat wanitanya dengan posisi setengah duduk karena bagian kepala ranjang yang dinaikkan. Sejenak Zen tertegun di depan pintu kaca yang menjadi satu-satunya penghalang antara dirinya dan si wanita.Apakah yang dia lihat ini nyata? Begitulah pertanyaan yang menggaung di dalam benak Zen ketika melihat iris hijau seindah zamrud yang telah lama tak dia temukan di wajah cantik itu. Sialnya lagi, di dalam dada pria tersebut ada sebuah jantung yang berdetak tidak karuan hingga membuat si empunya raga merasa tidak nyaman.Zen menipiskan bibir sembari memegangi dadanya yang terasa sesak. “Ada apa dengan jantung sialan ini?” gumam pria itu.Degup yang kian menggila itu membuatnya tak bisa masuk ke dalam ruangan. Dia tidak ingin Lea melihat atau merasakan apa yang tengah terjadi padanya. Karena saat ini Zen merasa seperti seorang remaja yang akan menemui gadis yang dia taksir.