Kebingungan yang dirasakan Clint dan Lea semakin menjadi. Mereka masih belum mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Zen.
“Tunggu dulu,” ucap Clint menginterupsi kebingungan yang ada, “apa yang kau maksud dengan Lea melakukan bagiannya dengan baik? Apa kau sedang merencanakan sesuatu di luar rencana yang sudah kita buat?” selidiknya.
Lea yang semula memusatkan pehatian pada ucapan Clint, kini beralih melihat pada Zen dengan tatapan menuntut penjelasan. Namun … sebentar! Rencana? Rencana apa lagi yang mereka buat di luar sepengetahuan Lea? Ah, ternyata mereka sudah membuat rencana bersama sebelum kejadian pagi ini nyaris merenggut nyawa wanita itu. Tak heran jika Clint sama sekali tidak terkejut dan terkesan biasa saja saat tahu bahwa Lea dapat melihat. Rupanya mereka memang sudah bicara sebelumnya.
“Apa itu benar? Kau … kalian sengaja merencanakan semua ini?” timpal Lea seraya menunjuk pria-pria yang ada di ruanga
Saat itu juga Lea merasakan sendi-sendi di tubuhnya melemah. Kakinya terasa sangat lemas hingga tak mampu lagi menopang tubuhnya sendiri. Wanita itu terjajar ke belakang, sementara Zen sama sekali tak bergerak dari tempatnya.“Lea ….” Dengan sigap Clint menangkap tubuh Lea yang nyaris ambruk. “Kau tidak apa-apa?” tanya pria itu kemudian.Lea tak menjawab. Wanita itu masih terlalu syok dengan apa yang dia ketahui. Ryn? Rasanya masih sulit untuk dipercaya jika gadis itu yang melakukan semua ini. Lea memang merasa Ryn sedikit menyebalkan, tapi dia tidak pernah berpikir bahwa gadis itu mampu melakukan hal yang dapat membahayakan nyawa orang lain.“Kenapa, Lea?” Ryn tersenyum melihat reaksi wanita itu. Lalu dia melihat pada sang kakak yang tampak setengah mati menahan diri untuk tidak membunuhnya. Ryn tertawa, kemudian gadis itu kembali melihat pada Lea yang tampak pucat pasi.“Kau sudah melihat seperti ap
Semua yang tertinggal di ruang bawah tanah itu lemas melihat apa yang baru saja terjadi, bahkan Arthur sekalipun. Mereka terdiam di tempat, menyaksikan Ryn yang terjatuh dengan napas tersengal karena nyaris kehabisan darah.Clint mengerjap cepat sembari menggeleng kepala. “Bawa dia ke ruang perawatan!” perintahnya pada Arthur saat menyadari bahwa dia harus segera melakukan sesuatu atau Ryn akan benar-benar tewas kehabisan darah.Seperti baru saja kembali dari dimensi waktu yang berbeda, Arthur tergagap lantas berlari ke arah Ryn dan melepas rantai yang mengekang tangan dan kaki gadis itu. Meski sudah sering melihat darah, namun pria itu tetap bergidik ngeri saat melihat luka di tangan Ryn yang menganga lebar. Arthur melepas kaus yang dia kenakan lantas mengikatkannya pada luka gadis tersebut. Setelah itu, dia membopong Ryn keluar dari sel untuk dibawa ke ruang perawatan.“Ayo, aku harus mengobati kalian berdua.” Clint membantu Lea untuk b
Wanita itu duduk termenung di balkon dengan pandangan mengarah pada labirin yang tampak hijau segar karena paparan sinar matahari pagi yang tampak berkilau. Menempati kamar luas itu seorang diri, Lea semakin terbiasa. Hingga semua luka yang dia derita pulih, Zen belum juga kembali. “Sudah terlalu lama kau pergi, Zen. Kumohon … kembalilah. Aku merindukanmu,” bisik Lea pada angin, berharap sang angin akan menyampaikan pesan itu pada pria yang sangat dia rindukan. Lea menundukkan kepala dengan mata memejam, meresapi segenap kerinduan yang kian menyiksa batinnya. Dia tidak tahu di mana Zen berada sejak kejadian di ruang bawah tanah itu. Dia pernah bertanya pada Arthur dan Clint, bahkan Leon, orang-orang yang menurutnya paling dekat dan memiliki kemungkinan untuk mengetahui informasi tentang Zen, namun tak ada satu pun dari mereka yang mengetahuinya. Mungkin tahu, hanya saja … mereka tak ingin memberitahu Lea, atas perintah Zen tentunya. Kepala wanita itu terangka
Lima buah peti ukuran sedang berisi puluhan senjata api, baik laras panjang maupun laras pendek lengkap dengan berbagai jenis peluru, hampir selesai dipindahkan ke Dust in the Wind—nama sebuah kapal kecil—yang sudah bersandar di dermaga sejak beberapa jam lalu. Begitu semua peti berhasil ditransfer, dua orang yang tampak mengawasi sejak tadi langsung mendekat ke arah kapal.“Berhati-hatilah. Aku dengar Pemerintah di negaramu sedang gencar memberantas segala bentuk perdagangan ilegal,” pesan Zen pada seorang pria yang baru pertama kali membeli senjata darinya.Biasanya Zen tidak pernah seperti ini terhadap pemain baru. Apalagi jika orang itu berasal dari negara berkembang yang mungkin saja sedang merencanakan pemberontakan. Terlalu riskan untuk bertransaksi dengan orang-orang baru seperti ini. Mental yang lemah bisa membahayakan bisnis yang dia bangun di atas lautan darah dan ratusan jasad selama bertahun-tahun.“Aku mengerti. Depart
Tidak ada saat di mana Zen sangat ingin menghajar Clint selain saat ini. Meneror dengan telepon lalu mengatakan bahwa ada seorang wanita yang mencoba mengakhiri hidup dan berakhir dengan kondisi yang sangat lemah. Perjalanan selama lebih dari 24 jam yang diisi dengan kecemasan dan perasan tidak tenang, rasanya sia-sia setelah Zen melihat apa yang sebenarnya terjadi di mansion, bahwa sang sahabat telah membohongi dirinya.“Matilah aku, Art,” gumam Clint dengan meminimalisir gerakan bibir.Di sebelahnya, Arthur pun merasa nyawanya berada di ujung tanduk. Baru saja, beberapa detik lalu, dirinya ikut tertawa ketika Clint menceritakan apa yang pria itu lakukan terhadap Zen. Menyesal? Ya, dia menyesal karena ikut menertawakan sang tuan. Namun di sisi lain, dia juga merasa senang karena sang tuan akhirnya kembali. Berkat keisengan Clint, akhirnya Zen menampakkan batang hidungnya di mansion.“Umh … aku … ada sesuatu yang harus kukerjakan,
“Apa?”Clint melotot dengan mulut menganga, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Pria itu tengah berada di ruang kerja Zen, dan baru saja mendapat perintah untuk menyiapkan segala keperluan pernikahan Zen dan Lea dalam waktu satu minggu. Ya, hanya satu minggu.“Kau gila, Zen!” Clint bangkit dari kursi lalu berbalik seraya menyugar rambut, setelah itu dia kembali membalik badan dengan kedua tangan bertolak pinggang. Maniknya menyorot lelah pada Zen.“Kau ingin sebuah pesta pernikahan mewah dan kau hanya memberi waktu selama satu minggu?” Clint memutar mata jengah. “Bertahun-tahun aku menyelesaikan study-ku sebagai dokter dan sekarang aku hanya beakhir sebagai perencana pernikahan. Ini sangat bagus untuk karirku,” gerutu Clint.Zen menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Siapa yang berbuat ulah harus bertanggung jawab. Kau pikir siapa yang membuat pekerjaanku berantakan, hah?”Sep
Waktu seolah berjalan semakin cepat. Dalam waktu kurang dari 72 jam, pesta pernikahan antara Zen dan Lea akan digelar. Pesta mewah yang akan menjadi puncak kebahagiaan untuk mereka. Jangan bertanya bagaimana rupa Clint saat ini. Pria yang biasanya terlihat rapi itu mendadak terlihat seperti seseorang yang selama satu minggu penuh tidak mandi dan tidak tidur. Percayalah, wajah pria itu tak lebih baik dari Frankenstein. Bahkan jika dia menyelinap dalam syuting The Walking Dead sekali pun tidak akan ada yang mengetahuinya. Dia terlihat seperti zombi.“Dokter Clint!” panggil Lea ketika berpapasan dengan pria itu di koridor.Wanita itu tersenyum ramah, dan bersiap melangkah lebih cepat untuk menghampiri pria tersebut. Namun seketika langkahnya terhenti karena isyarat dari Clint. Pria itu hanya melihat sekilas pada Lea lalu mengangkat tangan dengan maksud agar si wanita tidak mengganggunya.“Eh?” Lea menghentikan gerakan kakinya dengan kening b
Sungguh, Lea sama sekali tidak pernah berniat untuk membuat Zen marah. Dia hanya ingin memberi saran untuk kebaikan keluarga Aberdein. Ryn adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki Zen saat ini. Lea ingin melihat kedua kakak beradik itu memulai hidup baru. Untuk menghilangkan rasa sakit yang sudah terlanjur menganga lebar mungkin tidaklah mudah, bahkan mungkin akan sangat sulit. Namun tidak ada salahnya untuk mencoba memulai hidup baru, bukan? Setidaknya dengan melupakan dendam yang ada di antara keduanya dan membagi kebahagiaan bersama.“Kalian tidak seharusnya bermusuhan seperti ini,” lirih Lea.Setelah apa yang dia ketahui dari Clint, Lea dapat menarik sebuah kesimpulan dari permasalahan antara Zen dan Ryn. Masalah yang tercipta di antara mereka sesungguhnya hanya berasal dari sebuah ketakutan. Ya, rasa takut untuk kehilangan satu sama lain. Terutama Ryn. Apa yang dialami gadis itu sangatlah buruk. Sangat-sangat buruk. Seburuk apa pun kejadian yang dial