Hari sudah semakin sore dan seorang perempuan kini masih saja duduk termenung di salah satu sebuah halte. Ya, perempuan itu adalah Ziva. Sejak kepergian dari rumah mamanya perempuan yang memiliki tubuh mungil dan parasnya yang cantik ini terus duduk sambil terus berpikir bagaimana caranya dia bisa membebaskan sang papa dan bisa lepas dari jerat belenggu yang Regan buat itu.
“Aku harus gimana? Nggak mungkin minta bantuan Miko. Apalagi utangku kepada Regan sangatlah banyak dan pria itu tidak main-main dengan apa yang dilakukannya.” Ziva terus menerus memikirkan cara membebaskan sang papa sampai membuat kepalanya menjadi pusing juga sakit.
Di saat sedang pusing juga bingung. Tiba-tiba ada sebuah sepeda motor matic yang berhenti tepat di depan halte yang membuat Ziva langsung terkejut.
“Rio,” gumamnya pelan.
Rio langsung melepaskan helm miliknya dan segera memarkirkan sepeda motor matic di bahu jalan. Ia langsung segera menghampiri Ziv
Merasa akan percuma menghadapi bocah labil membuat Regan langsung berbalik badan meninggalkan Ziva yang masih saja menatap sengit kearahnya. Regan tak memedulikan ucapan yang dilontarkan perempuan itu. Regan memilih untuk kembali terbaring di atas ranjang sambil menatap Ziva yang keluar toilet dengan menghentak-hentakkan kakinya.Ziva pun langsung ikut terbaring di samping Regan. Menarik selimut hingga menutupi wajahnya dan berposisi memunggungi pria itu.Regan berdeham pelan. “Aku mau meminta cicilan kedua,” ceplosnya.Mendengar itu membuat Ziva justru langsung melotot tajam dan membuatnya semakin meremas selimut.“Ayo berikan cicilan keduamu sekarang karena aku akan pergi selama empat hari.”Ziva masih diam saja dan terus berpikir cara menolak permintaan Regan itu. Apalagi ia masih kesal dengan sikap Regan yang akan membunuhnya secara perlahan. Dan sekarang pria itu justru meminta cicilan? Yang benar saja. Apa dia sudah gila atau dia sebenarnya seoran
Saat ini Ziva merasakan aneh dengan tatapan Maya kepadanya. Pasalnya perempuan paruh baya itu menatapnya sangat intens dan tampak tersenyum senang. Entah apa yang membuatnya senang.“Makan ini sayang,” kata Maya sambil mengambilkan ikan serta telur kepada menantunya ini.“Makasih, Bun.”Maya pun berdeham pelan dan terus tersenyum. “Kamu sakit?”“Hah? Enggak kok Bun.” Ziva langsung bingung sendiri kenapa Maya menebak jika dirinya sedang sakit. Memangnya dia tidak bisa melihat jika ia sangat segar bugar begini. Hanya saja seluruh tubuhnya pada sakit dan lelah.“Bunda pikir kamu sakit. Soalnya panas begini kamu pakai sweater sama syal gitu.”“Oh ini … hahaha. Ziva lagi ….”“Sudah tidak usah dijelaskan. Bunda paham kok. Ayo sebaiknya segera makan.” Maya langsung memotong perkataan Ziva karena tidak mau membuat menantunya itu pusing berpikir u
Ziva menangis di kamarnya, ia merasa kesal kepada Regan juga dirinya sendiri. Bayangan wajah Celine—kakaknya tiba-tiba mendadak muncul di depan kepala. Rasa tidak tega pun mulai menghinggapi hatinya. Ziva merasa saat ini menjadi manusia paling jahat sedunia.“Kenapa jadi begini, ya Tuhan ….” Ziva memegang dadanya yang terasa sesak. Nyeri.Kilasan memori bersama Celine langsung memenuhi pikirannya. Ziva semakin menangis tergugu karena sudah bercinta dengan Regan. Sialnya, ia menikmati itu semua.Tak lama terdengar suara pintu berderit yang membuat Ziva menoleh dan melihat sosok Regan di sana. Buru-buru Ziva langsung mengusap pipinya dengan sangat kasar.“Permisi,” kata Ziva.Namun siapa sangka di saat Ziva ingin keluar kamar, tangan Regan langsung menarik pergelangan tangan dan menarik tubuh Ziva ke dalam pelukannya.“Mau ke mana? Aku minta maaf, Ziva,” lirih Regan. Ia benar-benar tak kuasa men
Ziva masih diam menunggu Miko selesai menerima telepon dari Rio. Tak lama juga pesanan bakso urat itu datang dan disajikan langsung dua porsi di atas meja. Kepulan asap dari dalam mangkok mampu mengeluarkan aroma yang membuat Ziva ingin langsung menyantapnya.Mata Ziva masih menatap bulatan bakso yang sudah diincarnya, namun ucapan Miko membuatnya sedikit tersentak.“Si Rio sekarang aneh banget deh,” tuturnya. Tangannya langsung menaruh ponsel di atas meja. Tangan satunya meraih sendok dan garpu kemudian mengambil tisu untuk mengelap sendok garpu sebelum digunakan.“Aneh gimana?” tanya Ziva, penasaran.“Sekarang jadi suka telepon tanya lagi di mana gitu. Kayak orang pacaran aja tanya posisi terus,” gerutu Miko. Tangannya menaruh sendok dan garpu yang sudah selesai dielap untuk diletakkan di mangkok milik Ziva. Ia kemudian mengambil garpu dan sendok beserta tisu untuk mengulangi seperti tadi.“Dia suka kali
Ziva yang kesal lebih memilih turun ke lantai dasar dan duduk di teras samping. Menangis sejadi-jadinya karena merasa kalau dunia sedang mempermainkan takdir hidupnya. Ziva ingin bahagia—bersama Miko.Ziva mendongak ke atas. Menatap langit gelap yang kebetulan sedang sedikit mendung. Entah kenapa Ziva merasa jika langit malam ini seakan tahu akan kondisi dan perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja.Telinga Ziva bahkan menangkap derap langkah kaki yang mendekat. Ziva buru-buru mengusap pipinya kasar. Dan tepat sekali saat selesai mengusap bahunya ada yang menepuk dengan lembut.“Ziva, kok, duduk di sini? Emang Regan mana?” tanya Maya. Kepalanya menoleh kanan dan kiri mencari sesuatu.Ziva tersenyum tipis, bagaimanapun sikap Maya sangat baik kepadanya. “Regan di kamar. Lagi mandi,” kilah Ziva berbohong.Maya mengangguk paham dan ikut duduk di depan Ziva. Memandang mata Ziva lekat-lekat dan tersenyum begitu lembut.
“Apa yang ingin kamu lakukan kepada Miko, hah! Jika terjadi apa-apa dengan Miko, kamu orang pertama yang akan aku cari!” Ziva menatap lekat-lekat mata Regan. Menatap manik mata pria itu dengan nyalang penuh kebencian.Regan sendiri hanya diam membisu. Membalas tatapan Ziva dengan lembut—menarik napas panjang dan mengembuskan secara perlahan.“Ziva ….”“Jadi selama ini kamu menyuruh orang untuk membuntuti kami berdua? Untuk apa Regan! Untuk apa!” teriak Ziva lantang—tidak peduli jika nanti Maya dan Narendra bangun dari tidurnya. Ziva masih kesal dan tidak menyangka jika semua kegiatan dirinya dipantau pria menyebalkan seperti Regan. Untuk apa memangnya? Tujuannya apa?“Apa tidak cukup kamu membuat aku dengan Miko menjadi kacau seperti ini, hah!” Ziva terus berteriak karena hatinya masih kesal, jengkel, dongkol. Benar-benar tidak habis pikir Regan melakukan itu.“Aku bisa jelask
Abimana Grup.Regan merasa gelisah sejak tadi, pasalnya ia sudah menunggu Ziva sejak jam makan siang sampai pukul empat sore saat ini. Regan sudah berusaha untuk menghubungi Ziva beberapa kali namun faktanya nomor perempuan itu tidak aktif.Sengaja juga hari ini Regan tidak menyuruh Rio untuk mengawasi Ziva, Regan ingin percaya ucapan Ziva tapi nyatanya hanya kekecewaan yang didapat.Tak tinggal diam, Regan menghubungi nomor rumah untuk menanyakan keberadaan Ziva. Apakah sudah pulang atau belum.“Jadi belum pulang, Bun?” tanya Regan, cemas.“Belum, Bunda pikir dia lagi banyak kegiatan karena lagi mengerjakan skripsi, kan?”“Kalau begitu Regan tutup dulu, ya. Nanti kalau ada kabar tentang Ziva tolong kabarin.”“Iya, pastinya akan Bunda kabarin.”Regan menutup panggilan telepon dengan bundanya. Pikirannya langsung mengawang ke arah Miko. Regan sudah menebak jika istrinya sedang bers
Selesai bersih-bersih dengan air hangat, Ziva keluar kamar mandi sambil mengusap-ngusap kasar rambutnya dengan handuk kecil agar cepat kering. Matanya menatap ke arah ranjang yang sudah terdapat Regan di sana. Ziva diam saja dan terus berjalan menuju ke walk in closet untuk memakai pakaian.Selesai memakai piyama, Ziva keluar dan memilih bercermin untuk menyisir rambutnya yang masih setengah basah. Tak lama sosok Regan justru menghampirinya yang tengah duduk. Entah kenapa napas Ziva merasa tercekat kala tangan Regan mengambil alih sisir yang dipegangnya.Ziva terkejut kala Regan mulai menyisir rambutnya dengan lembut. Ziva hanya bisa melihat wajah pria itu dari pantulan cermin di depannya. Wajah lembut seperti akhir-akhir ini yang sering Regan tunjukkan kepadanya. Entah apa yang merasuki pria itu hingga sekarang jadi berubah.“Regan, aku bisa sendiri,” kata Ziva, tangannya mencoba mengambil alih sisir itu tetapi Regan menolaknya dan meneruskan pekerj