Share

MBAK SARAH

Author: Kumara
last update Last Updated: 2021-05-11 14:01:18

"Ka-kami nyari Mas Ramon, Pak ..." jawab Delima terbata-bata sambil sesekali melirik Aiza untuk mendapat dukungan.

Sekuriti memasang muka galak, "Ada janji?!" tanyanya setengah membentak.

"I-ini kejutan, Pak. Kunjungan kejutan. Saya adik kandungnya," jawab Delima lagi. Aiza hanya mengangguk mengiyakan.

"Pak Ramones, ya? Biar saya hubungi dulu." Si sekuriti masuk ke dalam pos keamanan lalu menelepon seseorang. "Betul, Bu. Ini ada yang mencari Pak Ramones. Adiknya. O ..., baik sebentar." Dia melongokkan kepala keluar kaca jendela. "Nama kamu siapa?"

"Delima, Pak."

Sekuriti kembali masuk ke dalam pos dan bicara dengan seseorang via telepon, lalu tak lama dia keluar dari pos keamanan. "Kalian naik aja ke lantai sepuluh, apartemen bernomor 103. Bu Sarah ada di sana."

Delima dan Aiza saling pandang bingung. Siapa Sarah? Apakah Ramon sudah menikah diam-diam?

Meski dalam posisi kebingungan, keduanya tetap menurut lalu naik ke dalam lift untuk menuju lantai sepuluh. Delima dan Aiza saling diam selama di dalam lift, larut dalam pikiran masing-masing, tapi takut untuk mengutarakannya. Mereka sama-sama penasaran, siapakah Sarah?

Delima menekan bel apartemen bernomor 103, tak lama pintu terbuka. Bukan Ramon yang membuka, tapi seorang perempuan bertubuh agak sedang berisi, berambut pirang panjang sampai perut, dengan tank-top berwarna jingga. Bibirnya yang agak tebal bergincu merah muda. Dari keriput-keriput halus di ujung matanya, bisa diukur kira-kira usianya berkisar tiga puluhan nyaris kepala empat.

"Tante siapa?" tanya Delima keceplosan.

Wajah si wanita esentrik langsung cemberut lantaran dipanggil tante. "Mbak, dong! Masa cantik-cantik seksi begini dipanggil tante!" dampratnya agak centil. Dia julurkan tangannya sampai kuku-kuku panjangnya yang dicat warna merah tua tampak mengintimidasi. Kulit siapapun yang tak sengaja disayat kuku-kuku tajam itu, minimal akan terluka ringan. "Panggil aku Mbak Sarah, aku ini temannya Mas kamu, tapi dia lagi ada kerjaan di luar."

Delima dan Aiza paham sekarang. Keduanya pun memperkenalkan diri secara bergantian, kemudian Sarah mengajak mereka masuk dan duduk di sofa di ruang tamu.

Mata Delima seolah akan melompat menyaksikan betapa mewah rumah Ramon. Apartemen bergaya modern klasik itu diiisi dengan perabot-perabot yang sepertinya mahal harganya. Delima cuma menebak-nebak sebab dia hanya pernah melihat model rumah seperti ini dil film-film tentang orang kaya atau sinetron.

Bahkan TV-nya saja berukuran seperempat dari dinding ruang tamu. Dapur dilengkapi dengan bar, dan pintu balkon terbuat dari kaca.

***

Sambil meletakkan nampan berisi jus jeruk dingin dan beberapa toples kue di atas meja, Sarah bertanya lagi, "Jadi kalian betul-betul datang dari desa? Nekad juga kalian ya." Dia mengulang pengakuan Delima.

"Ya mau gimana lagi, Mbak. Mas Ramon udah lima tahun nggak pulang ke desa, Ibu mau bertemu. Makanya aku disuruh ke sini untuk ngajak Mas Ramon pulang." Delima menjawab usai menenggak sedikit jus jeruknya.

Sarah mengambil tempat di samping Aiza, cukup membuat Aiza gugup. "Tapi .., Ramon mungkin nggak bisa pulang tahun ini. Kami ada rencana mau berlibur ke Hong Kong." Sarah menyayangkan.

"Liburan kan bisa ditunda, Mbak. Masa liburan bisa, ngunjungi keluarga nggak bisa?" protes Delima.

"Kamu kok diam aja dari tadi? Sakit gigi?" Satah menyikut Aiza.

Aiza menggeleng kaku. "Bu-bukan, Mbak! Saya cuma bingung mau bilang apa."

"Kamu sendiri siapanya? Adiknya Ramon juga? Soalnya Ramon pernah bilang, adiknya itu Delima dan Cempaka." selidik Sarah.

"O ..., bukan, Mbak. Saya ini sahabatnya Delima. Saya ikut biar Delima ada teman aja." Aiza menjawab kikuk.

"Kalau Mbak Sarah ini sendiri ..., apa bener hanya teman Mas Ramon?" Delima tak kalah penasaran.

Sarah langsung berdiri. Dengan gaya centilnya dia mengibaskan rambut ke belakang punggung. "Soal itu Mbak nggak berani menjawab, biar nanti kalian tanya aja Ramon, aku ini siapa bagi dia." Senyumnya mengundang tanda tanya. "Itu kamar kalian ya, bawa aja tas ke sana. Kalau mau makan, silakan ambil sendiri. Anggap rumah sendiri aja."

***

Delima menjatuhkan tubuh pegalnya di atas tempat tidur ukuran queen yang ada di kamar tamu. Nalarnya masih sulit menerima apa yang baru saja dia lihat. Sementara Aiza sibuk mengeluarkan pakaian dari dalam tas, dia hendak pergi mandi.

"Kamu tuh merasa Mbak Sarah itu aneh nggak sih, Za?" tanya Delima tak bisa menahan gejolak di dada.

"Jangan mikir aneh-aneh, deh. Kalau Mbak Sarah sampai dengar gimana?"

"Eh, aku kan nggak bilang apa-apa. Cuma ..., kamu liat kan? Dia itu kayak hampir seumuran sama ibumu. Terus juga ..., gayanya genit banget. Kok bisa ya Mas Ramon berteman sama dia?"

"Hush. Itu bukan urusan kamu. Jangan mikir terlalu jauh, kamu kan tau Mas Ramon orangnya gimana, dia orang baik, soleh, pasti nggak ada macem-macemlah."

Aiza masih bisa tetap berpikir positif meski dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ada rasa cemas sebenarnya, dia pun agak takut juga apabila memang yang dipikirkan Delima benar adanya. Dia memang masih 18 tahun, tapi dia tak sebodoh itu sampai tak mengerti apa yang ditakutkan Delima. Namun, dia masih tak percaya. Tidak mungkin Ramon punya hubungan dengan Sarah. Tidak mungkin. Dia terus menyangkal.

***

Menjelang pukul 6 petang, Sarah mengetuk kamar tamu. "Delima ..., Mas kamu udah pulang, loh!"

Secepat kilat menyambar, Delima turun dari tempat tidur. Sedangkan Aiza justru emmatung di dalam kamar. Napas Aiza mendadak sesak, grogi sampai keringat mengucur di pelipisnya. Setelah lima tahun, lima tahun penantian, akhirnya dia akan berjumpa kembali dengan pujaan hatinya. Aiza menyiapkan dirinya lebih dulu.

"Mas Ramon ...!" seru Delima yang sudah berada di luar kamar.

Aiza menajamkan telinga, hendak menjangkau suara Ramon. "Delima ..., apa kabar kamu?"

Jantung Aiza mau copot rasanya, mendengar suara Ramon yang berat tapi halus, dalam dan tenang seperti danau. Begitu memikat. Mendengar suaranya saja sudah cukup membuat Aiza kesulitan bernapas.

"Aiza! Kamu kok nggak keluar!?" panggil Delima.

"Aiza ikut juga? Aiza?" Giliran Ramon yang memanggil.

Dengan kaki agak bergetar ringan, Aiza keluar dari kamar tamu, seluruh darahnya seolah langsung berhenti mengalir saat dia tatap lagi Ramon setelah bertahun-tahun lamanya. Pemuda itu jauh lebih tinggi sekarang, tinggi Aiza hanya setara dengan dadanya. Tubuhnya yang tegap berisi dibalut kemeja putih dengan dua kancing atas terbuka, dan sebuah jas kasual biru dongker.

Senyumnya yang manis dengan sorot mata yang tajam bak elang sanggup merubuhkan kaki Aiza kapan saja. Aiza dengan gugup menjulurkan tangan, tapi Ramon justru langsung meraihnya ke dalam pelukan, lebih seperti memeluk seorang adik. "Apa kabar, Aiza?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SWEETHEART MAFIA   PULIH

    Seminggu berada di Jakarta setelah menghirup udara bebas, Ramon dan keluarganya akan kembali ke Solo, tempat kediaman permanen mereka. Sebelum pulang, tentunya dia berpamitan lebih dulu dengan Leo dan Bio yang masih terus melanjutkan pekerjaan mereka."Jadi kamu yakin, betul-betul berhenti selamanya, Mon?" Leo bertanya hal yang sama entah untuk keberapa kali."Iya ... sekali nanya lagi, aku kasih kamu payung." Ramon masih berusaha untuk berkelakar walau ada kekosongan yang mengaga di hatinya, bukan mudah lepas dari bisnis yang sudah membesarkan nama dan memberinya begitu banyak kesejahteraan serta perbaikan kualitas hidup."Jadi, udah yakin nanti di sana kamu akan berbisnis apa?""Kenapa? Kamu mau modalin?" Ramon bertanya balik dengan iseng."Heh, aku tanya karena aku peduli!""Iya. Santai!" Ramon menepuk pundak Leo. "Kamu tenang aja, kamu tau aku, aku sekeras batu, hm? Ha ha! Aku pergi dulu ya! Jaga diri kamu, jaga tuh si Bio! Sesama jomblo

  • SWEETHEART MAFIA   UDARA BEBAS

    Lima tahun kemudian ...Hari yang telah lama dinanti Aiza telah tiba. Hari yang tiap saat dia sebut dalam doanya, dalam harapnya. Kini sudah di depan matanya bahwa saat indah itu telah datang pada akhirnya. Suaminya, Ramon akan bebas. Setelah lima belas tahun mendekam di balik sel jeruji besi, akhirnya mereka bisa kembali bersama ke rumah.Bu Marni, Bu Raras, serta Delima dan Cempaka bahkan jauh-jauh datang dari Solo untuk menjemput Ramon. Mereka siapkan makanan kesukaan Ramon, berikut kue-kue favoritnya.Sayangnya Leo dan Bio tak bisa hadir karena takut nantinya malah menimbulkan salah paham. Tersisa satu masalah, Aini.***"Belum ganti baju juga, Ni? Kita kan mau jemput Papa hari ini. Kan Mama udah bilang dari tadi malam, hari ini papa kamu balik." Aiza mengomel sambil merapikan kamar Aini yang sedikit berantakan.Gadis remaja yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Atas itu tampak cuek bermain ponsel pintar di atas tempat tidurnya yang

  • SWEETHEART MAFIA   ANAK SEORANG PENJAHAT

    "Aku minta maaf atas perkataan aku waktu lalu, tapi bukan berarti aku minta kamu untuk pindah lagi ke Jakarta, Za," ucap Ramon ketika Aiza datang menjenguk di pertemuan selanjutnya."Kalau nggak ada kata-kata manis yang bisa Mas ucap, jangan bicara. Mas tau sakit rasanya kalau usaha nggak dihargai," tegas Aiza."Maaf, Za ..."Dan sejak itu, Ramon tak pernah lagi bertanya kenapa Aiza masih begitu setia kepadanya, menunggu dia sampai betul-betul kembali. Tak perlu bertanya, cukup menerima saja.***Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Delima resmi dipinang oleh kekasihnya ketika Aini menginjak usia enam tahun, dan Ramon belum juga selesai menjalani hukuman. Setahun berselang, Hasan juga menikah dengan seorang teman kampusnya, dan dia masih menjalankan TK yang telah ditinggal Aiza.Pernah sekali Ramon terpaksa harus diopname karena mukanya babak belur, dihajar habis-habisan oleh senior di penjara. Aiza menangi

  • SWEETHEART MAFIA   CINTA SUMBER SENGSARA

    "Kenapa muka kamu murung, Za?" tanya Ramon ketika dia datang menjenguk beberapa minggu kemudian.Aiza tergagap, tak tahu harus bagaimana menanggapi. Dia bahkan tak menyangka bahwa wajahnya terlihat jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya."Hah? Aku? Ah, nggak kok, Mas. Nggak kenapa-napa, kok." Aiza menutupi keresahannya sendiri."Aku dengar ada guru baru di TK yang kamu kelola. Siapa namanya? Hasan?"Jantung Aiza langsung berdegup kencang, ternyata kabar ini sudah sampai ke telinga Ramon. "Buat apa Mas bahas dia? Kenapa Mas jadi penasaran?""Aku dengar dia dekat sama kamu.""Terus?" Aiza terdengar tak senang. "Mas, waktu jenguknya sebentar, tolong jangan bahas orang lain.""Jangan marah, Za. Mas kan cuma penasaran aja, siapa dia? Dan kenapa kalian jadi dekat. Nggak masalah juga kalau kamu nyaman berada di dekat dia.""Maksud Mas ngomong begini apa sih?""Za, coba kamu pikir-pikir lagi. Apa n

  • SWEETHEART MAFIA   HASAN

    Walau tak ada Ramon di sisinya, Aiza tak mau melalui hari-hari dengan keterpurukan dan kesedihan, perlahan dia bangkit dan menata ulang hidupnya. Ibu dan ibu mertuanya sibuk mengurus perkebunan sementara Aiza dibantu Delima dan Cempaka membangun sebuah TK kecil di lahan kosong di samping rumah ibu mertuanya. Prasekolah itu terbuka gratis untuk anak-anak yang kurang mampu. Guru-guru yang dipilih pun adalah mahasiswa dan mahasiswi sekitar yang tengah membutuhkan pekerjaan sambilan meski dengan gaji yang terbilang rendah, nyaris bisa disebut relawan.Dengan kehadiran banyak bocah di sekelilingnya, rasa sepi di hati Aiza sedikit terusir. Meski tak sepenuhnya dia mampu untuk selalu bersikap positif, terutama saat dia khawatir, jika Ramon tengah sakit, jika Ramon tidak tidur nyenyak atau saat Ramon begitu merindukan keluarganya. Kadang Aiza sendiri merasa tak adil apabila mengingat dia baik-baik saja sedang suaminya entah bagaimana di balik jeruji besi. Tapi mau bagaimana lagi, itu

  • SWEETHEART MAFIA   BERPISAH SEMENTARA

    "Jadi kamu akan berangkat ke Solo sore ini?" ulang Ramon, sudah lebih dari dua kali dia bertanya."Apa nggak ada hal lain yang mau Mas bilang?" protes Aiza, alisnya mengerut.Sejak berada di penjara, sikap Ramon sangat berbeda. Dia tak banyak bicara, tak banyak menunjukkan ekspresi, entah karena dia tak mau membuat Aiza cemas atau memang dia menyimpan ribuan perasaan untuk dirinya sendiri, tapi hal itu memicu rasa gemas dalam hati Aiza, dia ingin Ramon berterus terang tentang perasaannya.Tangan Ramon meraih punggung tangan Aiza. "Hati-hati di jalan, salam sama Ibu, Delima, Cempaka. Bilang kalau Mas baik-baik aja.""Kalau mereka nanti minta ketemu gimana?"Ramon menggeleng. "Nggak. Jangan, Mas nggak mau mereka terlibat hal ini. Sudah cukup, kita harus berhenti di sini. Sekarang, pulanglah, Mas juga harus balik ke sel." Ramon beranjak dari kursinya.Sikap cuek yang ditunjukkan Ramon justru membuat Aiza tambah geram. "Mas Ramon!!" teriaknya ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status