Share

2

Author: Maitra Tara
last update Last Updated: 2024-08-21 13:14:06

Hooam. Mulutku tidak berhenti menguap, tetapi mataku sulit terpejam padahal ini sudah pukul tiga pagi. Rasanya badanku remuk seperti remahan kerupuk. Terlebih lagi aku masih belajar menggunakan smartphone pemberian Robert. 

Meskipun itu adalah ponsel bekas pakai dari Robert, tetapi masih bagus dan sangat layak digunakan. Tidak seperti ponsel hitam putih milikku yang belum bisa tersambung dengan internet. Beberapa kali aku ingin membeli smartphone, tetapi Mas Patno selalu bilang. Katanya pemborosan, kan bisa telepon manual, dan banyak lagi alasannya. Padahal kalau menggunakan smartphone, kami bisa video call lewat WA. Aku juga bisa lihat foto anak-anak dan bisa setiap saat video call kalau sedang kangen berat. 

Karena pulang lima tahun sekali untuk menghemat biaya, aku tidak bisa melihat kedua anakku tumbuh dewasa. Ingin minta dikirimin foto, tapi HP tidak mendukung.

Restu yang kini sudah berusia duapuluh, aku tinggalkan waktu usianya enam bulan. Sedangkan Risma lahir enam tahun kemudian. Dia lahir secara tidak sengaja dan tidak diinginkan. Saat itu aku sedang cuti dan berhubungan dengan Mas Patno, bodohnya aku tidak pakai pengaman. Dan saat kembali ke Singapura, rupanya Risma sudah bersemayam dalam kandunganku. 

Saat itu aku hendak pulang, tetapi bosku melarang. Mereka tidak masalah aku hamil selama bekerja. Begitu usia kehamilan menuju delapan bulan, aku pulang kampung dan melahirkan Risma. Belum genap enam bulan, aku sudah meninggalkan anak itu dan kembali bekerja. 

Tadinya aku ingin di kampung saja. Membesarkan anak-anak dan bekerja serabutan seperti orang di kampungku. Namun, Mas Patno melarang. Menghidupi dua anak dengan pekerjaan serabutan bukanlah hal mudah. Terlebih lagi jika aku ingin mereka sekolah tinggi sampai lulus sarjana. 

Terpaksa aku kembali ke Singapura dan bosku selalu menerimaku dengan tangan terbuka. 

Ah, aku rasanya tidak sabar menunggu pagi dan menelepon Mas Patno. Aku ingin sekali melihat wajahnya dan juga wajah anak-anak. 

Selain memasukkan nomor Mas Patno dan beberapa teman yang kebetulan rumahnya satu komplek denganku di kontak WA, Robert juga membantuku membuat akun F******k, tetapi karena masih bingung cara menggunakannya, nanti lagilah kuotak-atik. Sekarang pakai WA saja pun rasanya cukup.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 05.40. Rupanya aku terbangun lebih dulu dibanding alarm yang sudah disetel Robert semalam.

Bergegas aku ke kamar mandi untuk ambil air wudhu karena sebentar lagi memasuki waktu solat subuh. 

Di Singapura sebetulnya ada azan di masjid-masjid, hanya saja mereka tidak boleh menggunakan pengeras suara seperti di Indonesia. Alhasil, siapa pun perantau di Singapura yang beragama Islam, pasti akan sangat merindukan suara azan. 

Setelah selesai beribadah, aku memasak bubur dan membuat telur bacem serta menumis sayur pakcoy bumbu bawang putih. Di hari libur begini, biasanya mereka akan ada yang bangun pagi untuk sarapan dan ada yang bangun siang. 

Seperti biasa tugasku hanya perlu menyiapkan semua makanan di atas kompor dan nanti mereka akan mengambil sendiri-sendiri ketika bangun.

Begitu selesai dengan urusan dapur, aku langsung menyapu dan mengepel lantai atas dan bawah. Kebetulan di keluarga bosku bukanlah chinese tradisional yang tidak boleh bebersih selama Chinese New Year. Di sini justru sebaliknya, semuanya harus serba bersih. 

Kurang dari jam sepuluh aku sudah selesai membersihkan rumah dan merendam baju yang akan kucuci. Aku kembali ke dapur dan meminum lagi kopi yang sudah dingin. Samar-samar aku mendengar suara koran dibalik dan aku langsung pergi ke ruang tengah. 

"Good morning, Sir."

"Morning, Sumi. Sudah breakfast?"

"Belum, Sir. Baru selesai kemas rumah."

Majikan lelakiku itu meminum teh yang tadi dibuatnya sendiri lalu melihatku. "Breakfast dululah. Tak perlu masak buat lunch and dinner. We going out."

"Yes, Sir. Thank you."

Aku kembali ke dapur dan menyesap lagi kopi di depanku. Setelah itu aku mengambil beberapa lembar roti dan juga selai kacang. 

Setelah mengoleskan selai kacang di atas roti, aku memakannya pelan-pelan sambil memeriksa hp. 

"Apa kutelepon sekarang, ya?" gumamku sambil menggigit roti. 

"Kutelepon sajalah." Aku langsung memencet video call pada layar dan beberapa detik kemudian Mas Patno mengangkatnya. Mula-mula dia terlihat kaget dan bingung, serta nampak cemas. Lalu beberapa saat kemudian dia terlihat lari ke luar rumah. 

"S—sum?"

"Ya, Mas. Assalamualaikum!" sahutku dengan nada riang. Lima tahun aku tidak bertemu Mas Patno,sekarang dia nampak gemuk dan kulitnya lebih bersih. "Masih di rumah ya, Mas? Ga ke sawah?"

"A—anu, Sum," jawab suamiku itu terbata. "A—aku lagi istirahat."

"Oalah. Kalau capek ya istirahat saja, Mas. Oya, aku mau lihat rumahnya, Mas. Arahin kameranya ke sana, ya."

"I—iya. Tunggu, ya."

Aku mengernyitkan dahi, kenapa Mas Patno seperti bingung dan kaget begitu? 

"Ayaaah!" 

Samar-samar aku mendengar suara seorang anak kecil yang memanggil ayahnya. Karena penasaran, aku bertanya pada suamiku.

"Anaknya siapa, Mas? Kok manggil-manggil ayahnya?"

"Mana ada? Salah dengar kamu, Sum. Gak ada suara anak kecil."

Aku yakin aku tidak salah dengar dan memang ada suara anak kecil.

"Anaknya Santi ya, Mas? Memangnya dia sudah kawin? Kapan? Kok gak ngasih tahu aku?"

"Ssu—sudah dulu ya, Sum. Ada urusan ndadak. Nanti aku video call kamu." Mas Patno terlihat buru-buru menutup teleponnya. Memangnya urusan apa, sih? Kalau minta uang saja semua harus serba cepet, giliran ditelepon istrinya, maunya cepet-cepet ditutup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   24

    Kamu sudah bangun, San?" tanya Sumi ketika melihat adiknya yang pingsan sudah membuka mata. "Tadi Pak Polisi bawa kamu ke rumas sakit dan dimintai tolong Emak untuk nelpon aku. Makanya aku ke sini.""Mmmba—." Santi ingin membalas, tapi bibirnya sulit digerakkan. Ketika dia ingin mencoba menggerakkan tangannya pun tidak bisa. Tubuhnya, bibirnya, lidahnya, semua terasa kaku. "Cepat panggil dokter, Sum!" suruh Legi yang panik melihat keadaan anaknya seperti itu."Iya, Mak." Sumi langsung memanggil dokter sambil berpikir dengan cemas. "Ya Allah ... sepertinya Santi terkena stroke."Begitu dokter datang dan memeriksa, Santi disarankan untuk melakukan CT-scan dan juga cek darah. Tanpa pikir panjang Sumi pun meminta tolong pada dokter agar mengurus semua yang perlu dilakukan oleh adiknya. "Semua ini salahmu, Sum!" ucap Legi ketika mereka berdua sedang berada di luar radiologi menunggu Santi yang sedang melakukan CT-scan. "Sampai kapan Emak akan berhenti menyalahkanku soal Santi, Mak?" tan

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   23

    Apa yang Santi takutkan terjadi. Siang itu sekitar jam dua Patno pulang sambil berteriak-teriak. Santi yang mendengar suara suaminya langsung ketakutan. "San, kamu di mana?" panggil Patno yang sudah mencari-cari di mana istrinya. Dia tahu kalau istrinya itu ada di rumah karena Santi jarang ke rumah tetangga. "Santi, ini ada makanan. Cepat siapkan piring."Makanan? Santi yang sejak tadi bersembunyi di dalam lemari langsung berlari ke luar kamar. Patno yang melihat istrinya pun langsung memberikan bungkusan plastik kresek berisi sate kambing dan juga gulai. "Dapat dari mana, Mas?" tanya Santi heran."Sudahlah. Jangan banyak tanya. Ini ada uang juga," kata Patno memberikan uang lima juta pada istrinya. Uang itu berwarna merah semua dan terlihat masih baru. "Dapat dari mana, Mas? Menang judol?""Nggak. Judol kalah terus. Udah sana siapkan makan. Aku lapar! Oya, mana Khalisa?""Main, Mas. Nanti aku panggil suruh pulang."Buru-buru Santi menyiapkan makan untuk suaminya. Dia tak ingin m

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   22

    "Mana makanannya, San?" teriak Patno dari dapur. Saat membuka tudung saji tidak apa-apa di atas meja. Jangankan sayur atau ikan, nasi putih saja tidak ada. "Ada apa sih Mas teriak-teriak? Kayak orang hutan aja!" Santi yang baru muncul dari kamar menjawab dengan gemas. Padahal dia kan baru saja istirahat rebahan di kamar, ee malah suaminya mengganggu. "Lho kok malah nanya ada apa? Piye to kowe ki? Mana makananya?" Patno membuka lagi tudung saji yang tadi sempat dia tutup."Lha, kok nanya aku?" Sumi yang dimarahi jadi ikutan marah juga. Nada bicaranya juga tak kalah tinggi dengan nada bicara suaminya."Emange Mas Patno ngasih aku uang belanja? Ora, to? Lha kok minta makan!"Patno yang geram langsung membanting tudung saji ke lantai. Dia menganggap sekarang Santi tak semanis dulu. Sekarang semuanya serba sepet dan pahit! "Kamu itu uang belanja terus yang dipikirin! Selama ini uang yang aku kasih ke mana? Kamu itu wis boros, gak bisa nyari duit kayak Sumi, tapi kebanyakan gaya!"Sumi?

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   21

    Palu telah diketuk. Sumi dan Patno sudah resmi bercerai dengan pembagian harta gono-gini yang menurut Sumi semua itu sudah lebih dari cukup meski terkesan tidak adil.Dia memperoleh sebuah mobil atas nama Santi dan juga sebuah sepeda motor yang akhirnya dia jual setelah melalui banyak pertimbangan. Dia memutuskan untuk membiarkan rumah itu dihuni oleh mantan suami dan adiknya. Bukan karena dia baik, sama sekali bukan. Namun, bagaimana pun Sumi merasa Santi tetap adiknya bagaimanapun rasa sakit yang telah diberikan olehnya. Selain itu juga dia tak ingin ribut dengan Legi dan semakin dibenci oleh emaknya sendiri.Dengan uang penjualan kendaraan, Sumi memutuskan untuk membeli rumah daerah perkotaan. Rumah itu adalah rumah bekas pakai dan tak begitu luas. Meskipun demikian, Sumi sudah cukup senang karena dia masih memiliki sedikit sisa uang dari hasil penjualan kendaraan. "Seneng deh, Buk punya rumah baru!" celoteh Risma yang sekarang punya kamar lebih luas daripada yang dulu. Barang-ba

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   20

    "Jadi pulang hari ini, Res?" tanya teman sekamar Restu ketika melihat gadis itu sedang mengemasi barang-barangnya ke dalam tas. Semalam ibunya meminta Restu untuk pulang karena ada hal penting yang ingin dibicarakan. Sebetulnya Restu sudah tahu apa yang hendak dibicarakan ibunya karena Risma sudah memberitahu kejadian apa yang sedang mengguncang keluarganya, tetapi Restu memang sengaja tidak ingin banyak bicara pada Sumi. Bagi Restu, apa pun masalah yang terjadi di rumahnya, bagi gadis itu tetap saja hubungan antara dirinya dan Sumi sulit diperbaiki. "Jadi, Zi. Males, sih. Tapi mau gimana lagi?" Restu menjawab sambil memeriksa dompetnya dan memastikan bahwa uang, SIM, dan surat motor sudah ada di sana. "Kenapa sih lo gitu banget sama nyokap, Res? Gimana pun juga kan itu nyokap lo. Waktu dulu ke sini itu, lo usir pula. Kagak takut dicap anak durhaka?" tanya Zia penasaran sambil ngemil bakwan goreng yang tadi dia beli di

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   19

    "Habis nangis, Nduk?" tanya Sumi terus terang ketika menjemput Risma sekolah. Anak gadis yang sedang membonceng ibunya itu langsung mengeratkan pegangan tangannya di perut Sumi lalu menyandarkan kepalanya di punggung Sumi yang hangat karena tersengat matahari."Aku malu dihina temen sekolah, Buk. Katanya Risma punya bapak penjahat dan calon napi."Ya, Allah. Hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir Sumi karena dia benar-benar tidak tahu harus bicara bagaimana. "Risma jengkel karena sering jadi bahan bully temen-temen, Buk. Sering dikatain punya dua ibu dan sekarang dikatain anak penjahat. Risma gak mau sekolah lagi, Bu," kata Risma lagi dengan jengkel sambil sesekali menghapus air matanya. "Maafin Ibuk ya, Nduk," balas Sumi yang tidak pernah tahu bahwa selama ini anaknya menjadi bahan ejekan teman-teman sekolahnya. Sekarang dia mengerti, itukah sebabnya tempo hari Risma menanyakan soal perceraian? Karena dia tak mau di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status