Share

5

Author: Maitra Tara
last update Last Updated: 2024-08-21 13:15:42

"Aku bisa menjelaskan semuanya, Sum," kata suamiku yang duduk di samping Santi, adikku. Wanita itu tertunduk entah karena malu atau karena apa aku tak tahu.

Sementara aku masih berdiri dan mengamati foto-foto yang ada di ruang tamu. Di sana, ada foto pernikahan dengan ukuran yang paling besar, tetapi foto itu bukan milikku dan Mas Patno ketika kami menikah dulu. Foto itu adalah foto Santi dan suamiku.

Ya Allah. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Rasanya semua pertanyaan berlalu lalang di dalam kepalaku dan aku berharap semua ini hanyalah mimpi.

Kemudian mataku bergeser pada foto di sebelahnya. Foto seorang anak yang masih dibedong dan bertuliskan nama Khalisa Ayudhia Pratama. Di bawahnya juga tertulis tanggal lahirnya. Bukankah itu enam bulan setelah aku kembali ke Singapura setelah cutiku selesai? 

Jika dihitung, berarti saat itu Santi sudah hamil sekitar tiga bulanan. Yang jadi pertanyaan adalah dengan siapa Santi hamil? Saat aku cuti, adikku itu tidak pernah sedikit pun bercerita tentang kekasihnya. Saat itu juga dia tidak terlihat sedang hamil. Apakah karena tubuhnya yang kurus dan mungil, jadi dia tidak terlihat sedang mengandung?

Aku termenung sesaat dan langsung ingat nama itu. Khalisa. Nama yang sama dan digunakan sebagai akun F******k suamiku. Kini perlahan tabir itu telah terbuka. Apakah Khalisa adalah anak Mas Patno dari hasil penyelewengannya dengan adikku sendiri?

Sejak kapan mereka mulai tertarik satu sama lain? Sejak kapan mereka berdua memadu kasih? Ya, Allah. Rasanya aku tak sanggup lagi menghadapi semua ini.

"Jelaskanlah, Mas. Kamu memang berutang itu padaku!" kataku sinis sambil melirik Santi. Aku tidak menyangka bahwa adik yang kubesarkan dengan tanganku tega mengkhianati dan tidur dengan suamiku."Kalian benar-benar memalukan! Zina di rumahku di siang bolong begini!"

"Siapa yang zina, Mbak? Aku dan Mas Patno sudah menikah!" bantah adikku dengan cepat.

Hah! Rupanya dia punya nyali juga padahal sejak tadi dia hanya diam dan menunduk. 

"Semua orang tahu kami sudah menikah. Dan kami juga sudah punya anak."

"Anakmu anak haram!" sahutku jengkel. "Dia ada sebelum kalian menikah! Sampai kapan pun anakmu adalah anak hasil zina!"

"Tidaaak!" Santi berteriak. "Khalisa bukan anak haram!"

"Suatu saat anakmu akan merasakan apa yang aku rasakan, San! Suaminya akan direbut oleh perempuan lain!"

"Tidak! Aku tidak pernah merebut Mas Patno! Aku tidak pernah merebut suami siapa pun! Buktinya sampai sekarang Mas Patno masih jadi suami Mbak Sumi."

"Kalau bukan merebut, lalu apa perbuatan kalian ini, San? Aku jadi bertanya-tanya, sejak kapan kalian berbuat zina?"

Wanita itu diam lagi dan aku memalingkan pandanganku pada suamiku. "Sejak kapan kamu naksir adikku, Mas? Sejak kapan kalian bercumbu di rumahku? Mas yang menggodanya atau dia yang menggodamu? Atau jangan-jangan kalian sama-sama gatal, itu sebabnya kalian saling menggaruk!"

"Rumahmu?" Tanpa rasa bersaah sedikit pun Mas Patno berkata seperti itu. "Siapa bipang ini rumahmu, Sum? Ini adalah rumahku. Aku membangunnya sendiri. Semua orang juga tahu kalau ini rumahku!"

"Heh? Dasar laki-laki tidak tahu malu! Sejak kapan kamu punya duit, Mas? Selama menikah denganku, kamu cuma pengangguran dan kamu bilang ini rumahmu?"

Lelaki itu berdiri lalu masuk ke dalam kamar. Dan begitu dia kembali, dia membawa sebuah amplop coklat dan langsung ditaruh ke atas meja. 

"Bukalah," katanya tegas tanpa gentar sedikit pun. 

Tanpa berpikir panjang, aku langsung membuka amplop coklat itu dan setelah membaca semua isinya, lututku terasa lemas dan mulai kehilangan keseimbangan. 

Tanah tetangga yang kubeli dengan jerih payahku untuk membangun rumah, rumahku, ternyata semua sertifikat itu bukan atas namaku melainkan atas nama suamiku. Aku juga melihat di sana ada BPKB mobil atas nama adikku Susi Susanti.

"Di mana sertifikat sawah yang kubeli, Mas?"

"Sejak kapan kamu beli sawah? Duit saja gak punya!"

"Mas! Dulu kamu bilang katanya mau beli sawah seratus limapuluh juta! Aku pinjam ke bosku untuk membeli sawah itu."

"Mana? Aku tidak pernah menerima uang seperak pun! Kamu pasti mimpi!"

Dadaku kembang kempis menahan marah. Jelas-jelas saat itu aku memohon pada bosku agar mau meminjamkan uang. Sebagai gantinya, aku tidak mendapat bayaran selama kurang lebih dua tahun. 

Dasar iblis! Akhirnya aku melihat lagi BPKB mobil di tanganku dan melihat kapan pembelian mobil itu. Sekarang, aku tahu ke mana uang seratus lima puluh juta itu. Rupanya pria tak tahu diri itu membeli mobil dan mengatas namakan Santi. Hah, benar-benar ular berbisa!

"Sekarang kamu lihat sendiri, kan? Kamu tidak punya apa-apa di sini dan tidak berhak satu sen pun!" ucap Mas Patno seolah-olah dialah pemenangnya.

"Jangan senang dulu, Mas. Kamu pikir Tuhan tidak melihat perbuatanmu yang keji itu? Aku masih menyimpan semua bukti transfer ke rekeningmu dan aku bisa menuntutnya kalau mau. Dan Ibu ... Ibu juga pasti mau jadi saksi kalau aku menuntut kalian ke pengadilan!"

"Tuntut saja!" balas Mas Patno seperti orang kesetanan. "Kita lihat siapa yang akan membelamu di sini!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   24

    Kamu sudah bangun, San?" tanya Sumi ketika melihat adiknya yang pingsan sudah membuka mata. "Tadi Pak Polisi bawa kamu ke rumas sakit dan dimintai tolong Emak untuk nelpon aku. Makanya aku ke sini.""Mmmba—." Santi ingin membalas, tapi bibirnya sulit digerakkan. Ketika dia ingin mencoba menggerakkan tangannya pun tidak bisa. Tubuhnya, bibirnya, lidahnya, semua terasa kaku. "Cepat panggil dokter, Sum!" suruh Legi yang panik melihat keadaan anaknya seperti itu."Iya, Mak." Sumi langsung memanggil dokter sambil berpikir dengan cemas. "Ya Allah ... sepertinya Santi terkena stroke."Begitu dokter datang dan memeriksa, Santi disarankan untuk melakukan CT-scan dan juga cek darah. Tanpa pikir panjang Sumi pun meminta tolong pada dokter agar mengurus semua yang perlu dilakukan oleh adiknya. "Semua ini salahmu, Sum!" ucap Legi ketika mereka berdua sedang berada di luar radiologi menunggu Santi yang sedang melakukan CT-scan. "Sampai kapan Emak akan berhenti menyalahkanku soal Santi, Mak?" tan

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   23

    Apa yang Santi takutkan terjadi. Siang itu sekitar jam dua Patno pulang sambil berteriak-teriak. Santi yang mendengar suara suaminya langsung ketakutan. "San, kamu di mana?" panggil Patno yang sudah mencari-cari di mana istrinya. Dia tahu kalau istrinya itu ada di rumah karena Santi jarang ke rumah tetangga. "Santi, ini ada makanan. Cepat siapkan piring."Makanan? Santi yang sejak tadi bersembunyi di dalam lemari langsung berlari ke luar kamar. Patno yang melihat istrinya pun langsung memberikan bungkusan plastik kresek berisi sate kambing dan juga gulai. "Dapat dari mana, Mas?" tanya Santi heran."Sudahlah. Jangan banyak tanya. Ini ada uang juga," kata Patno memberikan uang lima juta pada istrinya. Uang itu berwarna merah semua dan terlihat masih baru. "Dapat dari mana, Mas? Menang judol?""Nggak. Judol kalah terus. Udah sana siapkan makan. Aku lapar! Oya, mana Khalisa?""Main, Mas. Nanti aku panggil suruh pulang."Buru-buru Santi menyiapkan makan untuk suaminya. Dia tak ingin m

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   22

    "Mana makanannya, San?" teriak Patno dari dapur. Saat membuka tudung saji tidak apa-apa di atas meja. Jangankan sayur atau ikan, nasi putih saja tidak ada. "Ada apa sih Mas teriak-teriak? Kayak orang hutan aja!" Santi yang baru muncul dari kamar menjawab dengan gemas. Padahal dia kan baru saja istirahat rebahan di kamar, ee malah suaminya mengganggu. "Lho kok malah nanya ada apa? Piye to kowe ki? Mana makananya?" Patno membuka lagi tudung saji yang tadi sempat dia tutup."Lha, kok nanya aku?" Sumi yang dimarahi jadi ikutan marah juga. Nada bicaranya juga tak kalah tinggi dengan nada bicara suaminya."Emange Mas Patno ngasih aku uang belanja? Ora, to? Lha kok minta makan!"Patno yang geram langsung membanting tudung saji ke lantai. Dia menganggap sekarang Santi tak semanis dulu. Sekarang semuanya serba sepet dan pahit! "Kamu itu uang belanja terus yang dipikirin! Selama ini uang yang aku kasih ke mana? Kamu itu wis boros, gak bisa nyari duit kayak Sumi, tapi kebanyakan gaya!"Sumi?

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   21

    Palu telah diketuk. Sumi dan Patno sudah resmi bercerai dengan pembagian harta gono-gini yang menurut Sumi semua itu sudah lebih dari cukup meski terkesan tidak adil.Dia memperoleh sebuah mobil atas nama Santi dan juga sebuah sepeda motor yang akhirnya dia jual setelah melalui banyak pertimbangan. Dia memutuskan untuk membiarkan rumah itu dihuni oleh mantan suami dan adiknya. Bukan karena dia baik, sama sekali bukan. Namun, bagaimana pun Sumi merasa Santi tetap adiknya bagaimanapun rasa sakit yang telah diberikan olehnya. Selain itu juga dia tak ingin ribut dengan Legi dan semakin dibenci oleh emaknya sendiri.Dengan uang penjualan kendaraan, Sumi memutuskan untuk membeli rumah daerah perkotaan. Rumah itu adalah rumah bekas pakai dan tak begitu luas. Meskipun demikian, Sumi sudah cukup senang karena dia masih memiliki sedikit sisa uang dari hasil penjualan kendaraan. "Seneng deh, Buk punya rumah baru!" celoteh Risma yang sekarang punya kamar lebih luas daripada yang dulu. Barang-ba

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   20

    "Jadi pulang hari ini, Res?" tanya teman sekamar Restu ketika melihat gadis itu sedang mengemasi barang-barangnya ke dalam tas. Semalam ibunya meminta Restu untuk pulang karena ada hal penting yang ingin dibicarakan. Sebetulnya Restu sudah tahu apa yang hendak dibicarakan ibunya karena Risma sudah memberitahu kejadian apa yang sedang mengguncang keluarganya, tetapi Restu memang sengaja tidak ingin banyak bicara pada Sumi. Bagi Restu, apa pun masalah yang terjadi di rumahnya, bagi gadis itu tetap saja hubungan antara dirinya dan Sumi sulit diperbaiki. "Jadi, Zi. Males, sih. Tapi mau gimana lagi?" Restu menjawab sambil memeriksa dompetnya dan memastikan bahwa uang, SIM, dan surat motor sudah ada di sana. "Kenapa sih lo gitu banget sama nyokap, Res? Gimana pun juga kan itu nyokap lo. Waktu dulu ke sini itu, lo usir pula. Kagak takut dicap anak durhaka?" tanya Zia penasaran sambil ngemil bakwan goreng yang tadi dia beli di

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   19

    "Habis nangis, Nduk?" tanya Sumi terus terang ketika menjemput Risma sekolah. Anak gadis yang sedang membonceng ibunya itu langsung mengeratkan pegangan tangannya di perut Sumi lalu menyandarkan kepalanya di punggung Sumi yang hangat karena tersengat matahari."Aku malu dihina temen sekolah, Buk. Katanya Risma punya bapak penjahat dan calon napi."Ya, Allah. Hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir Sumi karena dia benar-benar tidak tahu harus bicara bagaimana. "Risma jengkel karena sering jadi bahan bully temen-temen, Buk. Sering dikatain punya dua ibu dan sekarang dikatain anak penjahat. Risma gak mau sekolah lagi, Bu," kata Risma lagi dengan jengkel sambil sesekali menghapus air matanya. "Maafin Ibuk ya, Nduk," balas Sumi yang tidak pernah tahu bahwa selama ini anaknya menjadi bahan ejekan teman-teman sekolahnya. Sekarang dia mengerti, itukah sebabnya tempo hari Risma menanyakan soal perceraian? Karena dia tak mau di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status