Dalam perjalanan ke Changi Airport, Mam Lusi tidak berhenti menangis padahal dia sedang menyetir. Setelah beberapa hari berpikir dan rembukan dengan suaminya, akhirnya mereka memperbolehkan aku untuk pulang. Namun, mereka masih berharap aku bisa kembali lagi bekerja di keluarga mereka.
"Kalau nak balik sini, chat I saje. Oke? I, Sir, Robert, and all family selalu welcome." "Baik, Mam. Thank you so much." "Hati-hati bawa duit. Saye tak nak tanya ade ape masalah you and family, tapi I berdoa masalah you cepat selesai." "Terima kasih, Mam." Hanya itu yang bisa aku katakan pada Mam Lusi sebelum akhirnya mobil yang kami kendarai berhenti di depan terminal 3. Aku memeluknya untuk yang terakhir kali lalu turun dan mengambil tasku yang tak terlalu besar dari bagasi. Begitu Mam Lusi menjalankan mobilnya, aku terus melambaikan tangan hingga mobil itu hilang di ujung jalan. Kepulanganku kali ini adalah sebuah kejutan. Aku tidak memberitahu siapa pun termasuk suami dan anak-anakku. Kata Mbak Sugi, jika aku ingin mengetahui kebenaran, aku harus mencari tahu dan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Mbak Sugi curiga jika suamiku menikah lagi dan punya anak, itu sebabnya akun medsosnya diberi nama Ayahnya Khalisa. Semula aku tidak percaya atas asumsi Mbak Sugi, tapi kalau dirunutkan lagi hal itu bukan tak mungkin. Apalagi ditambah Restu dan Risma yang seolah menghindariku? Kalau tidak diiming-iming uang atau barang, mereka tak mau membalas pesanku. Ya, Allah. Sebenarnya didikan seperti apa yang diberikan suamiku kepada anak-anakku? *** "Turun di sini saja, Pak," ucapku pada supir travel yang mengantarku dari bandara ke kampung halamanku. Sengaja aku memintanya untuk berhenti jauh dari rumahku agar tidak ada yang menyadari bahwa aku pulang. "Masih jauh gak Mbak rumahnya?" tanya bapak ity seperti penasaran. "Deket kok, Pak. Itu di depan sana." Aku menunjuk ke arah jalan beton yang ada di depan sana. "Pulang cuti ya, Mbak? Makanya bawa tas saja? Biasanya orang kalau dari luar negeri, bawanya koper besar-besar, lho." Tanpa menjawab aku langsung turun dari mobil sambil menenteng tas warna hitam milikku. "Makasih ya, Pak." "Makasih kembali, Mbak. Selamat berkumpul bersama keluarga!" sahut supir travel itu dengan penuh semangat, sama seperti aku yang bersemangat untuk pulang ke rumahku. Rumah yang dibangun dengan tangis dan keringat selama bekerja di Singapura. Aku berjalan pelan sambil menenteng tas dan melihat ke sekitar. Rupanya masih sama seperti dulu. Sepi kalau sore. Maklum, di kampung yang rata-rata penduduknya petani ini dari siang sampai sore mereka berada di sawah dan baru akan pulang menjelang magrib. "Akhirnya sampai juga di depan rumahku." Aku menarik napas pelan-pelan. Rumah itu memang tidak semewah seperti di perumahan elite, tetapi aku merasa bangga karena lantainya sudah dikeramik dan temboknya pun terlihat baru. Yaitu perpaduan warna ungu dan putih. Ah, sejak kapan Mas Patno menyukai warna ungu? Pikirku penuh tanda tanya sambil memandangi rumahku dan rumah ibuku yang bersebelahan. Rumah itu sekarang sudah banyak berubah, tidak lagi rumah beralaskan tanah melainkan sudah dipasangi keramik dengan cat tembok warna hijau. "Mobil siapa itu?" Aku berpikir keras saat melihat mobil warna merah di samping rumah ibuku. Tidak mungkin kan ibuku punya mobil? Sejak kapan dia punya duit? Orang rumah saja aku yang memperbaiki semuanya. Setelah termenung lama di pelataran rumah, aku memutuskan untuk berjalan mendekati rumah dan di sana aku melihat beberapa sandal anak kecil dan juga sandal hak tinggi dewasa. Milik siapa sandal-sandal itu? Apakah milik Restu? Ah, tidak. Dia pernah bilang tidak menyukai sandal atau sepatu hak tinggi. Milik Risma? Ah, masak iya sih anak usia tiga belas sudah pakai sandal hak tinggi? Selain itu juga ukurannya terlalu besar untuk Risma. Dengan rasa penasaran sekaligus takut, aku mencoba membuka pintu yang tidak terkunci. Dan begitu masuk, alangkah terkejutnya aku mendengar suara desahan seorang perempuan yang dibarengi suara seorang pria yang paling kukenal. Siapa wanita yang yang bersama Mas Patno? Dengan kalap aku masuk ke dalam rumah dan memeriksa kamar satu persatu dan alangkah terkejutnya aku ketika melihat Mas Patno sedang berada di kamar dengan seorang perempuan. "Mas Patno?" Aku memanggil lelaki itu sambil berharap bahwa itu bukanlah suamiku. Lelaki itu seperti berhenti bergerak dan menatap ke arahku. Mungkin dia sedang memastikan aku ini nyata atau halusinasi saja. Dan di sanalah aku percaya bahwa harapanku sia-sia belaka. "Sumi? Itukah kamu, Sum?" Dengan mata yang panas dan berkabut, aku masuk ke dalam kamar dan mencari saklar lampu. Setelah lampu menyala, kamar menjadi terang benderang. Mereka bisa melihatku dengan sangat jelas dan aku juga bisa melihat dengan jelas siapa perempuan yang tubuhnya masih menempel di bawah Mas Patno. "Mba— Mbak Sumi? Kapan pulang, Mbak? Kenapa gak ngasih tahu dulu?" kata wanita itu sambil buru-buru mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya. Semantara Mas Patno tanpa rasa bersalah dan tanpa rasa malu sedikit pun mendekatiku. "Kapan pulang, Sum? Kok gak ngasih tahu aku? Aku kan bisa jemput kamu?" Aku tidak menjawab pertanyaan mereka. Kupandangi lelaki dan perempuan itu secara bergantian. Ada perasaan jijik dan perutku terasa mual melihat bagaimana tingkah laku mereka yang tidak beradab. Bagaimana bisa suami dan adikku sampai tak punya hati sehingga memadu kasih di kamarku?Kamu sudah bangun, San?" tanya Sumi ketika melihat adiknya yang pingsan sudah membuka mata. "Tadi Pak Polisi bawa kamu ke rumas sakit dan dimintai tolong Emak untuk nelpon aku. Makanya aku ke sini.""Mmmba—." Santi ingin membalas, tapi bibirnya sulit digerakkan. Ketika dia ingin mencoba menggerakkan tangannya pun tidak bisa. Tubuhnya, bibirnya, lidahnya, semua terasa kaku. "Cepat panggil dokter, Sum!" suruh Legi yang panik melihat keadaan anaknya seperti itu."Iya, Mak." Sumi langsung memanggil dokter sambil berpikir dengan cemas. "Ya Allah ... sepertinya Santi terkena stroke."Begitu dokter datang dan memeriksa, Santi disarankan untuk melakukan CT-scan dan juga cek darah. Tanpa pikir panjang Sumi pun meminta tolong pada dokter agar mengurus semua yang perlu dilakukan oleh adiknya. "Semua ini salahmu, Sum!" ucap Legi ketika mereka berdua sedang berada di luar radiologi menunggu Santi yang sedang melakukan CT-scan. "Sampai kapan Emak akan berhenti menyalahkanku soal Santi, Mak?" tan
Apa yang Santi takutkan terjadi. Siang itu sekitar jam dua Patno pulang sambil berteriak-teriak. Santi yang mendengar suara suaminya langsung ketakutan. "San, kamu di mana?" panggil Patno yang sudah mencari-cari di mana istrinya. Dia tahu kalau istrinya itu ada di rumah karena Santi jarang ke rumah tetangga. "Santi, ini ada makanan. Cepat siapkan piring."Makanan? Santi yang sejak tadi bersembunyi di dalam lemari langsung berlari ke luar kamar. Patno yang melihat istrinya pun langsung memberikan bungkusan plastik kresek berisi sate kambing dan juga gulai. "Dapat dari mana, Mas?" tanya Santi heran."Sudahlah. Jangan banyak tanya. Ini ada uang juga," kata Patno memberikan uang lima juta pada istrinya. Uang itu berwarna merah semua dan terlihat masih baru. "Dapat dari mana, Mas? Menang judol?""Nggak. Judol kalah terus. Udah sana siapkan makan. Aku lapar! Oya, mana Khalisa?""Main, Mas. Nanti aku panggil suruh pulang."Buru-buru Santi menyiapkan makan untuk suaminya. Dia tak ingin m
"Mana makanannya, San?" teriak Patno dari dapur. Saat membuka tudung saji tidak apa-apa di atas meja. Jangankan sayur atau ikan, nasi putih saja tidak ada. "Ada apa sih Mas teriak-teriak? Kayak orang hutan aja!" Santi yang baru muncul dari kamar menjawab dengan gemas. Padahal dia kan baru saja istirahat rebahan di kamar, ee malah suaminya mengganggu. "Lho kok malah nanya ada apa? Piye to kowe ki? Mana makananya?" Patno membuka lagi tudung saji yang tadi sempat dia tutup."Lha, kok nanya aku?" Sumi yang dimarahi jadi ikutan marah juga. Nada bicaranya juga tak kalah tinggi dengan nada bicara suaminya."Emange Mas Patno ngasih aku uang belanja? Ora, to? Lha kok minta makan!"Patno yang geram langsung membanting tudung saji ke lantai. Dia menganggap sekarang Santi tak semanis dulu. Sekarang semuanya serba sepet dan pahit! "Kamu itu uang belanja terus yang dipikirin! Selama ini uang yang aku kasih ke mana? Kamu itu wis boros, gak bisa nyari duit kayak Sumi, tapi kebanyakan gaya!"Sumi?
Palu telah diketuk. Sumi dan Patno sudah resmi bercerai dengan pembagian harta gono-gini yang menurut Sumi semua itu sudah lebih dari cukup meski terkesan tidak adil.Dia memperoleh sebuah mobil atas nama Santi dan juga sebuah sepeda motor yang akhirnya dia jual setelah melalui banyak pertimbangan. Dia memutuskan untuk membiarkan rumah itu dihuni oleh mantan suami dan adiknya. Bukan karena dia baik, sama sekali bukan. Namun, bagaimana pun Sumi merasa Santi tetap adiknya bagaimanapun rasa sakit yang telah diberikan olehnya. Selain itu juga dia tak ingin ribut dengan Legi dan semakin dibenci oleh emaknya sendiri.Dengan uang penjualan kendaraan, Sumi memutuskan untuk membeli rumah daerah perkotaan. Rumah itu adalah rumah bekas pakai dan tak begitu luas. Meskipun demikian, Sumi sudah cukup senang karena dia masih memiliki sedikit sisa uang dari hasil penjualan kendaraan. "Seneng deh, Buk punya rumah baru!" celoteh Risma yang sekarang punya kamar lebih luas daripada yang dulu. Barang-ba
"Jadi pulang hari ini, Res?" tanya teman sekamar Restu ketika melihat gadis itu sedang mengemasi barang-barangnya ke dalam tas. Semalam ibunya meminta Restu untuk pulang karena ada hal penting yang ingin dibicarakan. Sebetulnya Restu sudah tahu apa yang hendak dibicarakan ibunya karena Risma sudah memberitahu kejadian apa yang sedang mengguncang keluarganya, tetapi Restu memang sengaja tidak ingin banyak bicara pada Sumi. Bagi Restu, apa pun masalah yang terjadi di rumahnya, bagi gadis itu tetap saja hubungan antara dirinya dan Sumi sulit diperbaiki. "Jadi, Zi. Males, sih. Tapi mau gimana lagi?" Restu menjawab sambil memeriksa dompetnya dan memastikan bahwa uang, SIM, dan surat motor sudah ada di sana. "Kenapa sih lo gitu banget sama nyokap, Res? Gimana pun juga kan itu nyokap lo. Waktu dulu ke sini itu, lo usir pula. Kagak takut dicap anak durhaka?" tanya Zia penasaran sambil ngemil bakwan goreng yang tadi dia beli di
"Habis nangis, Nduk?" tanya Sumi terus terang ketika menjemput Risma sekolah. Anak gadis yang sedang membonceng ibunya itu langsung mengeratkan pegangan tangannya di perut Sumi lalu menyandarkan kepalanya di punggung Sumi yang hangat karena tersengat matahari."Aku malu dihina temen sekolah, Buk. Katanya Risma punya bapak penjahat dan calon napi."Ya, Allah. Hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir Sumi karena dia benar-benar tidak tahu harus bicara bagaimana. "Risma jengkel karena sering jadi bahan bully temen-temen, Buk. Sering dikatain punya dua ibu dan sekarang dikatain anak penjahat. Risma gak mau sekolah lagi, Bu," kata Risma lagi dengan jengkel sambil sesekali menghapus air matanya. "Maafin Ibuk ya, Nduk," balas Sumi yang tidak pernah tahu bahwa selama ini anaknya menjadi bahan ejekan teman-teman sekolahnya. Sekarang dia mengerti, itukah sebabnya tempo hari Risma menanyakan soal perceraian? Karena dia tak mau di