Share

6

Penulis: Maitra Tara
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-21 13:16:37

Sumi mengira kalau ucapan suaminya itu hanya gertakan semata, tetapi dia salah besar. Ketika sore itu juga dia pergi ke rumah emaknya dan menunggu emaknya pulang dari sawah, rupanya apa yang dikatakan Patno adalah sesuatu yang sungguh-dungguh dan bukan omong kosong belaka. Legi sama sekali tidak membelanya. Wanita paruh baya itu justru meminta Sumi untuk berbagi dengan adiknya dan mengalah. 

"Apa salahnya berbagi suami dengan adikmu, Sum? Kamu tahu sendiri mereka sudah punya anak, gak mungkin lagi untuk dipisahkan. Memangnya kamu mau adikmu jadi janda?" kata Legi tanpa merasa kasihan pada Sumi sedikit pun. Padahal Sumi juga anak kandungnya. 

"Ini bukan soal berbagi, Mak. Apa yang dilakukan Santi sudah sangat keterlaluan! Dia menggunakan uangku untuk membeli mobil, menikahi suamiku, dan memakai uang yang aku hasilkam dengan susah payah!"

"Apa salahnya to uangmu dipakai adikmu? Toh kalian ini sekandung meski beda bapak!"

Astagfirullah. Sumi mengelus dadanya. Kenapa ibunya sama sekali tidak mengerti perasaannya?

"Mak ...." Sumi menyahut sambil menahan tangis. "Kenapa Emak sama sekali nggak ngerti? Duapuluh tahun aku kerja ke luar negeri dan berpisah dengan anak-suamiku, dan di belakangku suamiku menikah dengan adik kandungku sendiri! Mengambil semua milikku! Emak tau gak sih sakitnya gimana dan sekarang nyuruh aku berbagi dengan Santi?"

"Wis to Sum. Jangan merengek seperti anak kecil! Apa salahnya poligami? Di agama kita juga tidak dilarang!"

Sumi lari dari dapur dan masuk ke dalam kamarnya yang usang dan berdebu karena tidak pernah dibersihkan. Di sana dia tidak hanya menangis, tetapi juga memukuli dadanya yang terasa sangat sakit karena emaknya sendiri pun sama sekali tidak mengerti perasaannya. Dan justru emaknya membela Santi serta Patno. 

"Ya Allah, cabut nyawaku ya, Allah. Aku tidak sanggup lagi hidup seperti ini," ucap Sumi terisak dalam tangisnya. Dia benar-benar merasa hancur dan tidak ingin hidup lagi. Dan ternyata, hal yang membuat hancur Sumi bukan hanya itu saja. Risma anaknya, bahkan tidak mau dekat-dekat dengannya dan terlihat sangat membencinya.

"Buat apa sih Ibu pulang? Kenapa gak selamanya aja sih di Singapur?" ucap Risma ketus ketika keesokan paginya Sumi menemuinya. Sengaja Sumi menunggu Risma keluar rumah karena tak ingin masuk ke dalam rumah yang dihuni adik dan suaminya itu. 

Sumi pun mendekati Risma yang masih duduk sambil menali sepatunya. Ingin rasanya dia memeluk anaknya itu, tetapi diurungkannya. Kemarin, saat Risma pulang dari les Sumi ingin memeluknya, menciumi wajahnya, tetapi anak itu histeris dan langsung lari entah ke mana. Sumi ingin sekali mengejar, tetapi saat itu keadaan sedang tidak memungkinkan.

Pagi ini, berharap Risma akan menerimanya, tetapi ternyata sama saja. Risma begitu jutek pada ibunya. 

"Ibuk kangen kamu, Nduk. Memangnya kamu gak kangen sama Ibuk?"

"Gak!" jawab Risma judes. 

Hati Sumi bukan hanya sakit saat ini, tetapi hatinya sangat hancur. Saat masih di Singapura, Sumi pikir anaknya akan berubah kalau mereka berdekatan, tetapi justru sebaliknya. Risma begitu dingin dan menganggap ibunya seolah-olah adalah musuhnya. 

"Ibuk antar sekolah ya, Nduk. Biar bisa ngobrol di jalan."

Risma menyunggingkan senyum sinis. "Anter pakai apa? Jalan kaki?"

Teriris rasanya hati Sumi. "Memangnya kamu pengen motor apa, Nduk? Biar Ibuk belikan."

"Emangnya kamu punya uang? Setiap gajian selalu dikirim ke Bapak dan Bulik! Mana mungkin Ibuk punya uang!"

Apa yang dikatakan anak gadis Sumi memang betul. Selama bekerja, dia sama sekali tidak pernah menyimpan uang untuk dirinya sendiri. Semuanya ia kirimkan untuk Patno dan naifnya Sumi sangat percaya bahwa suaminya itu akan mengatur uangnya dengan baik.

"Ma—maafkan Ibuk, Nduk."

"Sudahlah. Aku mau pergi sekolah dulu!"

Dengan jengkel Risma meninggalkan ibunya yang terus memandanginya dari belakang. Dia jadi ingat kejadian lima tahun lalu saat dirinya hendak kembali ke Singapura setelah dua minggu cuti untuk pulang ke kampung halaman. 

Saat itu Risma yang berumur sekitar 8 tahunan merengek dan melingkarkan tubuh ibunya saat Sumi hendak masuk ke dalam travel yang akan mengantarkannya ke bandara. "Jangan pergi, Buk. Risma masih kangen Ibu. Ibu gak boleh kerja."

Saat itu bukan hanya Risma saja yang menangis, tetapi Sumi juga. Dia menunduk dan memeluk anaknya sambil menangis. "Ibuk harus kerja Nduk. Biar kamu dan Mbak Restu bisa sekolah. Bisa jajan."

"Risma gak mau jajan! Risma gak mau sekolah. Risma maunya cuma Ibuk!" rengek Risma kecil yang memeluk ibunya dengan erat. 

"Risma ikut Bapak dulu, ya. Ibuk janji besok akan pulang cuti lagi."

"Gak mau! Risma gak mau ikut Bapak! Maunya ikut Ibuk!"

Saat itu Sumi terpaksa menyuruh suaminya untuk mengambil Risma dan menahan gadis cilik itu biar bisa masuk ke dalam mobil. Dan begitu mobil yang ditumpanginya perlahan menjauh, Sumi melihat Risma yang berlari mengejar mobil. 

Sungguh hancur hati Sumi yang melihat pemandangan itu. Dia berpikir, mungkin masa kecil Risma yang ditinggal ibunya itulah yang membuat anak itu membencinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   24

    Kamu sudah bangun, San?" tanya Sumi ketika melihat adiknya yang pingsan sudah membuka mata. "Tadi Pak Polisi bawa kamu ke rumas sakit dan dimintai tolong Emak untuk nelpon aku. Makanya aku ke sini.""Mmmba—." Santi ingin membalas, tapi bibirnya sulit digerakkan. Ketika dia ingin mencoba menggerakkan tangannya pun tidak bisa. Tubuhnya, bibirnya, lidahnya, semua terasa kaku. "Cepat panggil dokter, Sum!" suruh Legi yang panik melihat keadaan anaknya seperti itu."Iya, Mak." Sumi langsung memanggil dokter sambil berpikir dengan cemas. "Ya Allah ... sepertinya Santi terkena stroke."Begitu dokter datang dan memeriksa, Santi disarankan untuk melakukan CT-scan dan juga cek darah. Tanpa pikir panjang Sumi pun meminta tolong pada dokter agar mengurus semua yang perlu dilakukan oleh adiknya. "Semua ini salahmu, Sum!" ucap Legi ketika mereka berdua sedang berada di luar radiologi menunggu Santi yang sedang melakukan CT-scan. "Sampai kapan Emak akan berhenti menyalahkanku soal Santi, Mak?" tan

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   23

    Apa yang Santi takutkan terjadi. Siang itu sekitar jam dua Patno pulang sambil berteriak-teriak. Santi yang mendengar suara suaminya langsung ketakutan. "San, kamu di mana?" panggil Patno yang sudah mencari-cari di mana istrinya. Dia tahu kalau istrinya itu ada di rumah karena Santi jarang ke rumah tetangga. "Santi, ini ada makanan. Cepat siapkan piring."Makanan? Santi yang sejak tadi bersembunyi di dalam lemari langsung berlari ke luar kamar. Patno yang melihat istrinya pun langsung memberikan bungkusan plastik kresek berisi sate kambing dan juga gulai. "Dapat dari mana, Mas?" tanya Santi heran."Sudahlah. Jangan banyak tanya. Ini ada uang juga," kata Patno memberikan uang lima juta pada istrinya. Uang itu berwarna merah semua dan terlihat masih baru. "Dapat dari mana, Mas? Menang judol?""Nggak. Judol kalah terus. Udah sana siapkan makan. Aku lapar! Oya, mana Khalisa?""Main, Mas. Nanti aku panggil suruh pulang."Buru-buru Santi menyiapkan makan untuk suaminya. Dia tak ingin m

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   22

    "Mana makanannya, San?" teriak Patno dari dapur. Saat membuka tudung saji tidak apa-apa di atas meja. Jangankan sayur atau ikan, nasi putih saja tidak ada. "Ada apa sih Mas teriak-teriak? Kayak orang hutan aja!" Santi yang baru muncul dari kamar menjawab dengan gemas. Padahal dia kan baru saja istirahat rebahan di kamar, ee malah suaminya mengganggu. "Lho kok malah nanya ada apa? Piye to kowe ki? Mana makananya?" Patno membuka lagi tudung saji yang tadi sempat dia tutup."Lha, kok nanya aku?" Sumi yang dimarahi jadi ikutan marah juga. Nada bicaranya juga tak kalah tinggi dengan nada bicara suaminya."Emange Mas Patno ngasih aku uang belanja? Ora, to? Lha kok minta makan!"Patno yang geram langsung membanting tudung saji ke lantai. Dia menganggap sekarang Santi tak semanis dulu. Sekarang semuanya serba sepet dan pahit! "Kamu itu uang belanja terus yang dipikirin! Selama ini uang yang aku kasih ke mana? Kamu itu wis boros, gak bisa nyari duit kayak Sumi, tapi kebanyakan gaya!"Sumi?

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   21

    Palu telah diketuk. Sumi dan Patno sudah resmi bercerai dengan pembagian harta gono-gini yang menurut Sumi semua itu sudah lebih dari cukup meski terkesan tidak adil.Dia memperoleh sebuah mobil atas nama Santi dan juga sebuah sepeda motor yang akhirnya dia jual setelah melalui banyak pertimbangan. Dia memutuskan untuk membiarkan rumah itu dihuni oleh mantan suami dan adiknya. Bukan karena dia baik, sama sekali bukan. Namun, bagaimana pun Sumi merasa Santi tetap adiknya bagaimanapun rasa sakit yang telah diberikan olehnya. Selain itu juga dia tak ingin ribut dengan Legi dan semakin dibenci oleh emaknya sendiri.Dengan uang penjualan kendaraan, Sumi memutuskan untuk membeli rumah daerah perkotaan. Rumah itu adalah rumah bekas pakai dan tak begitu luas. Meskipun demikian, Sumi sudah cukup senang karena dia masih memiliki sedikit sisa uang dari hasil penjualan kendaraan. "Seneng deh, Buk punya rumah baru!" celoteh Risma yang sekarang punya kamar lebih luas daripada yang dulu. Barang-ba

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   20

    "Jadi pulang hari ini, Res?" tanya teman sekamar Restu ketika melihat gadis itu sedang mengemasi barang-barangnya ke dalam tas. Semalam ibunya meminta Restu untuk pulang karena ada hal penting yang ingin dibicarakan. Sebetulnya Restu sudah tahu apa yang hendak dibicarakan ibunya karena Risma sudah memberitahu kejadian apa yang sedang mengguncang keluarganya, tetapi Restu memang sengaja tidak ingin banyak bicara pada Sumi. Bagi Restu, apa pun masalah yang terjadi di rumahnya, bagi gadis itu tetap saja hubungan antara dirinya dan Sumi sulit diperbaiki. "Jadi, Zi. Males, sih. Tapi mau gimana lagi?" Restu menjawab sambil memeriksa dompetnya dan memastikan bahwa uang, SIM, dan surat motor sudah ada di sana. "Kenapa sih lo gitu banget sama nyokap, Res? Gimana pun juga kan itu nyokap lo. Waktu dulu ke sini itu, lo usir pula. Kagak takut dicap anak durhaka?" tanya Zia penasaran sambil ngemil bakwan goreng yang tadi dia beli di

  • Saat Aku Tak Lagi Jadi TKW   19

    "Habis nangis, Nduk?" tanya Sumi terus terang ketika menjemput Risma sekolah. Anak gadis yang sedang membonceng ibunya itu langsung mengeratkan pegangan tangannya di perut Sumi lalu menyandarkan kepalanya di punggung Sumi yang hangat karena tersengat matahari."Aku malu dihina temen sekolah, Buk. Katanya Risma punya bapak penjahat dan calon napi."Ya, Allah. Hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir Sumi karena dia benar-benar tidak tahu harus bicara bagaimana. "Risma jengkel karena sering jadi bahan bully temen-temen, Buk. Sering dikatain punya dua ibu dan sekarang dikatain anak penjahat. Risma gak mau sekolah lagi, Bu," kata Risma lagi dengan jengkel sambil sesekali menghapus air matanya. "Maafin Ibuk ya, Nduk," balas Sumi yang tidak pernah tahu bahwa selama ini anaknya menjadi bahan ejekan teman-teman sekolahnya. Sekarang dia mengerti, itukah sebabnya tempo hari Risma menanyakan soal perceraian? Karena dia tak mau di

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status