Hari berikutnya, setelah semalaman melampiaskan amarah yang teramat menggebu dengan rasa sakit atas pengkhianatan yang mengoyak hatinya, Elsa pergi ke tempat di mana gaun pernikahannya dibuat.
“Oh, Mbak Elsa, ada yang bisa saya bantu? Gaun pengantinnya sudah disimpan, tinggal menunggu hari H saja.”Intan—orang yang khusus mendesain gaun itu—seketika menghampiri Elsa. Karena mungkin kliennya itu akan membicarakan tentang gaun yang akan dipakainya.“Iya. Tolong ambilkan gaun itu sekarang, Mbak,” jawab Elsa mengembangkan senyumnya.“Oh, baik, Mbak.”Tak menunggu lama, gaun pengantin berwarna putih sudah berada di hadapan Elsa.“Aku akan memakainya lagi,” ucap Elsa seraya melangkah ke arah fitting room.Intan heran. Namun, tak bisa berkata apa-apa karena Elsa langsung masuk untuk berganti pakaian.“Cantik, tapi sayang, aku nggak bisa memakainya saat resepsi yang akan kugagalkan. Lebih baik aku pakai sekarang,” gumam Elsa di depan cermin memandangi tubuhnya yang berbalut gaun putih itu.“Mbak, kalau boleh saya tahu, ada masalah apa ya, Mbak? Bukankah kemarin gaunnya sudah sesuai permintaan.”Intan yang rasa penasarannya sudah ada di ubun-ubun langsung bertanya ketika Elsa mendatanginya dengan memakai gaun yang di desain olehnya.“Aku mau pakai sekarang, Mbak,” jawab Elsa seraya menyunggingkan senyum manisnya.“Maksudnya gimana ya, Mbak?” Intan mengernyitkan kening.“Ini sudah dibayar kan, Mbak? Aku hanya ingin memberikan kejutan untuk calon mertuaku, eh, maksudku orang tuanya bekas tunanganku. Aku membatalkan pernikahan, Mbak. Aku harus pergi sekarang. Gaunnya cantik.”Intan ternganga kala mendengar alasan yang terdengar tak masuk akal. Namun, Elsa tak menghiraukan pandangan orang. Ia melangkah ke arah mobil dan bergegas pergi ke rumah Rio.“Mas, hari ini kamu libur kan? Aku lagi jalan ke rumahmu. Bentar lagi sampai kok.”Ponsel yang sedang melakukan panggilan itu diletakan di phone holder tepat di hadapan Elsa.“Beneran? Kalau gitu, aku mau siap-siap dulu. Nggak enak kalau ketemu kamu masih berantakan gini.” Suara laki-laki menjawab dari ujung panggilan.“Iya, aku juga lagi nyetir. Aku matiin.”“Baik, Sayang. Hati-hati ya, nggak biasanya kamu pergi sendiri. Bye, Sayang.”Elsa membuang napasnya setelah menyelesaikan panggilan itu. Gemuruh di dalam dada kembali mendatanginya. Matanya sudah terasa panas. Bahkan sudah mulai mengembun.“Jangan nangis Elsa, kamu harus kuat.” Elsa hanya bisa menguatkan dirinya sendiri yang kembali terluka.Beberapa kali, Elsa menarik napas kuat-kuat. Dadanya terasa sesak dan terimpit. Secara perlahan, udara yang dihirup di keluarkan dari mulut untuk mengurangi rasa tak nyaman itu.Mobil Elsa memasuki halaman rumah Rio. Sebelum keluar, wanita berambut panjang itu sengaja merobek gaun bagian bawah yang dikenakan.Elsa melihat senyum yang merekah dari orang-orang yang menyambutnya. Mereka yang sebentar lagi menjadi keluarga, pada akhirnya, semua akan gagal.Pintu mobil terbuka, Elsa membalas senyuman mereka. Secara perlahan, ia turun dari mobil. Detik yang sama, keluarga Rio termasuk Rio sendiri tampak sangat terkejut melihat pakaian yang dikenakan oleh Elsa. Bukan hanya memakai gaun pernikahan, tetapi gaun itu sudah disobek di beberapa bagian.“Dek! Apa ini? Kamu memakai gaun pernikahan kita? Lalu, gaunnya kenapa robek begini? Apa yang terjadi, Dek?”Rio seketika menghampiri Elsa. Wajahnya khawatir bercampur emosi.“Iya, Mbak. Apa yang terjadi?” tanya Raya—adik Rio.“Aduh, menantuku. Apa yang telah terjadi padamu? Kamu baik-baik saja kan?” tanya Tika—ibu Rio. Dia juga sangat cemas.“Aku baik-baik saja kok. Terima kasih sudah mencemaskanku. Apa aku boleh masuk?” Elsa berbicara seolah hatinya tak terluka.“Iya, menantuku. Ayo, masuk,” jawab Tika.“Dek, ada apa sih, sebenarnya?” tanya Rio lagi sesaat memasuki rumah.“Aku pun nggak mau berlama-lama di sini. Jadi, kenapa aku memakai gaun pernikahan ini sekarang dan malah sudah robek begini? Aku memang sengaja melakukan semua ini ....““Maksudmu apa, Dek?” Rio memotong perkataan Elsa. Alisnya hampir bertabrakan.“Dengarkan dulu, jangan potong perkataanku.”Tika dan Raya ikut cemas. Namun, mereka diam mengikuti keinginan Elsa. Pun dengan Rio sekarang.“Jadi, dengan kedatanganku ke sini, aku ingin menyampaikan, kalau pernikahan yang sebentar lagi terlaksana, pada akhirnya gagal. Aku memutuskan untuk membatalkannya.”“Dek! Apaan sih?”“Mbak, kok gitu?”“Kamu nggak bisa membatalkannya begitu saja, Elsa.”Tiga orang di hadapan Elsa seketika melontarkan kalimat penolakan.“Ini sudah menjadi keputusanku. Kalian nggak bisa memaksa orang yang akan menjalani kehidupannya. Jadi, terima saja keputusanku ini.”Meski perasaan di dalam dada bergejolak hebat, Elsa tidak mau menunjukkan kelemahan itu di hadapan laki-laki yang sudah membuatnya sakit hati. Laki-laki yang nantinya akan menambah luka kalau pernikahan ini tetap terjadi.“Apa alasanmu, Dek? Kenapa kamu begini?” Rio berusaha meraih tangan Elsa, tapi ditepis.“Pikirkan sendiri, Mas. Intinya, aku sudah membatalkan pernikahan kita. Hubungan kita sampai di sini saja. Aku harus pulang sekarang.”“Elsa, aku mohon. Jangan begini. Kamu menantu Ibu yang sangat baik. Tolong jangan seperti ini.”Tika ikut mencegah kepergian Elsa. Ia berharap, Elsa mau mencabut semua perkataannya.“Nggak bisa, Bu. Tenang saja, semua masalah biaya pernikahan sudah aku lunasi. Jadi tolong, jangan halangi kepergianku.”“Mana janjimu, Mbak! Katanya mau bantu bayar kontrakan kami. Kamu malah sengaja membatalkan pernikahan secara sepihak. Kamu harus tepati janjimu, Mbak,” ucap Raya.“Oh, jadi tujuan kalian memang seperti ini? Mau jadikan aku sebagai mesin pencetak uang? Dulu aku memang bodoh, demi cinta, malah setuju saja dengan semua permintaan kalian. Sekarang, mataku baru terbuka sangat lebar. Mulai detik ini, jangan pernah mengusik kehidupanku lagi.”Elsa berbalik badan. Ia berjalan keluar dari rumah bekas calon suaminya itu.“Elsa! Dasar munafik! Wanita kurang ajar!” bentak Tika berusaha mengejar Elsa.“Bu! Jangan, Bu! Biarkan dia pergi. Jangan sampai Ibu melakukan kekerasan padanya. Kita bisa bahaya, Bu,” cegah Rio.“Jangan biarkan dia membatalkan pernikahanmu, Rio! Kamu harus menikahinya! Jangan bertindak bodoh!”“Iya, Mas! Kejar dia! Aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan emas yang sudah ada di depan mata, Mas!” Raya ikut berargumen.Klakson berbunyi menyapa tiga orang yang sedang berdebat. Elsa sudah pergi meninggalkan rumah Rio mengendarai mobil mewahnya.“Bodoh kamu! Bagaimana bisa melepaskan harta karun seperti Elsa. Kalian ada masalah apa, Rio? Kenapa Elsa bertindak seenaknya seperti itu?”“Iya, Mas. Kamu ini bego banget. Naklukin wanita aja nggak becus.”“Kalian harusnya diam saja. Aku saja bingung. Kenapa Elsa malah membatalkan pernikahan kami.”Sial! Kalau begini, bagaimana hubunganku sama Vela? Padahal dengan menikahi Elsa, aku bisa tetap menjalin hubungan dengan Vela. Kalau Vela tahu akhirnya jadi begini, dia pasti kecewa sama aku. Batin Rio meronta mengetahui kenyataan yang kini terjadi.***“Satu langkah sudah bisa dilewati. Ya, mungkin ini awal dari segalanya, setidaknya, aku berhasil melepaskan hubungan palsu ini. Hanya aku yang mencintai, buat apa? Buang sebelum menambah luka.”Elsa menepikan mobilnya untuk mengganti pakaian. Ia tak mau memakai gaun yang hanya menambah lara.***“Bian! Kamu tahu kan, dalam waktu dua bulan ini kamu sudah harus menikah. Kalau tidak, kamu nggak akan mendapat sepeser warisan dari kakekmu. Kamu sudah bertemu sama anaknya Pak Handi kan? Gadis bernama Vela itu cantik. Kenapa sampai sekarang kamu nggak meresponsnya dengan serius? Kamu setuju sama perjodohan itu kan?”Laras—ibunya Bian—selalu cerewet tentang pernikahan yang terus diabaikan oleh Bian.“Ma, apakah sangat penting dalam hidup kalian selalu saja ikut campur dalam setiap tarikan napasku? Aku masih 28 tahun, Ma. Ngapain nyuruh cepat-cepat nikah sih? Kakek juga, kalau mau kasih warisan, ya udah, kasih aja. Repot-repot bikin syarat yang membuat orang jadi marah saja,” jawab Bian secara ketus.“Bian! Kalau ngomong dipikir dulu. Coba dong, kasih Mama sedikit kebahagiaan karena sudah melahirkanmu, Bi. Selama ini, Mama mendapatkan kebahagiaan dan kebanggaan malah dari kakakmu yang bukan darah daging Mama. Coba tunjukan keberadaanmu, Bian. Nurut untuk sekali ini saja ya?” pinta Laras. Harapannya begitu besar agar Bian mau mendengar perkataannya.“Terus aja dibandingin sama Leo si munafik itu. Dia hanya pintar bersandiwara saja, Ma. Caranya licik. Demi nama baik, dia gunakan berbagai cara. Dia memperlakukanku sangat buruk, Ma.”“Bi, dari dulu, kenapa kamu selalu menjelekkan kakakmu sih? Meski bukan keluar dari rahim yang sama, dia tetap kakakmu. Kalian punya ayah yang sama.”“It
“Huwa! Mbak! Apa yang kamu lakukan!” pekik Vela seraya mengusap wajahnya yang baru disiram air.“Katamu, aku boleh memilih kebahagiaanku sendiri. Menyiram wajahmu dengan air adalah sesuatu yang bikin aku bahagia, Vel,” ucap Elsa seraya meletakan gelas kembali ke nampan. Raut wajahnya terlihat puas dengan senyum yang mengembang di bibir.“Apa maumu sebenarnya sih, Mbak? Aku hanya menasihatimu untuk kembali pada orang yang kamu cintai kok. Itu biar kamu bahagia, Mbak!”“Jangan sok peduli sama aku, Vel. Aku tahu akal busukmu. Kamu yang selalu ingin membuat hidupku menderita. Keluar sekarang juga dari kamarku, Vel!” usir Elsa.“Diberi kesempatan untuk bahagia malah dibuang begitu saja. Sombong banget kamu, Mbak.”“Nggak apa-apa kalau aku sombong. Lebih baik merasa sakit saat ini, daripada nantinya semakin sakit hati. Atau silakan kalau kamu mau memungut bekasku, Vel. Mas Rio sangat baik kan? Kamu pasti bahagia kalau hidup sama dia. Itu yang baru saja kamu katakan padaku bukan?”Tanpa menj
Kehadiran Elsa di dalam ruang VVIP sebuah rumah sakit ternama di negara ini disambut oleh senyuman hangat Wicaksono.Tumben, Kakek jadi bisa senyum gini. Sebelumnya, wajahnya ditekuk terus. Apa gara-gara penyakitnya kambuh lagi. Jadi bikin otaknya agak terganggu.Elsa yang heran dengan sikap kakek angkatnya yang tak biasanya itu hanya bisa membatin.Semenjak Nani dan Vela hadir di tengah-tengah keluarga, Elsa mulai terabaikan dan dianggap orang yang kebetulan menumpang sebab syarat untuk menemukan Wulan dan anaknya. Ada perjanjian pula yang mengikat keduanya. Wicaksono pun sikapnya makin dingin karena mendapat hasutan dari Nani.Namun, kali ini seakan berbeda, senyuman dan wajah yang tampak bahagia menghiasi wajah Wicaksono kala bertemu dengan Elsa.“Kakek senang, masih bisa bertemu denganmu, El.”Elsa makin bingung dengan perkataan yang baru saja terucap.“Kakek sudah membaik? Elsa juga senang bisa melihat Kakek tersenyum begitu.”Meski merasa aneh, Elsa tak mungkin bisa mengutarakan
“Apakah kamu punya informasi pribadi tentang Bian Abimana? Saat ini aku membutuhkannya.”Elsa dan Rendi baru keluar dari ruangan tempat Wicaksono dirawat. Tanpa mengulur waktu, Elsa segera memulai rencananya untuk bertemu empat mata dengan Bian.“Memangnya kenapa, Mbak?” Bagaimanapun info yang Rendi miliki tidak boleh tersebar secara sembarangan meski pada Elsa sekalipun.“Aku sangat membutuhkannya. Bisakah kamu membantuku? Kalau kamu mau mengetahui cerita selengkapnya, ayo, kita cari tempat yang lebih nyaman. Aku harap, kamu bisa membantuku. Terima kasih juga sudah mau merawat Kakek selama ini. Setelah nanti Kakek dipindahkan, tolong jaga kerahasiaannya dari siapa saja.”“Iya, saya akan mendengarkan alasan Anda terlebih dulu. Tentang Direktur Utama, itu memang sudah menjadi tugas saya.”Elsa tak menjawab lagi, hanya anggukan dan senyum tipis yang menghiasi bibirnya. Mereka berjalan beriringan menuju ke tempat yang lebih nyaman.Suasana di sebuah kafe tampak ramai. Elsa dan Rendi suda
“Kamu bagaimana sih, Mas? Kenapa Mbak Elsa bisa membatalkan pernikahan kalian begitu saja? Apa kalian ada masalah? Kamu bikin dia marah kan, Mas?”Di Restoran Laria sudah ada Vela dan Rio. Sejak tadi, percakapan mereka dipenuhi emosi. Terlebih Vela yang banyak mencecar tuduhan demi tuduhan pada Rio.“Kamu ini, kenapa ikut saja menyalahkanku? Sayang, aku nggak tahu alasan Elsa membatalkan pernikahannya. Tiba-tiba saja dia melakukannya. Nggak ada masalah sama sekali sebelumnya. Kamu lihat kemarin kan, setelah mencoba gaun, kami baik-baik saja? Seharinya malah Elsa melakukan tindakan tak terduga sama sekali,” bela Rio.“Harusnya, kamu bisa mencegahnya, Mas.” Kemarahan tampak jelas di wajah Vela.“Bagaimana caranya? Elsa sudah lebih dulu bertindak. Dari gaun sampai masalah KUA sudah dibatalkan secara sepihak oleh Elsa, Sayang. Maafkan aku.”Rio bermaksud meraih tangan Vela yang tergelatak di meja, tetapi detik yang sama ditepis oleh Vela.“Sayang, apa lebih baik kita berkata jujur di hada
“Apa yang kamu lakukan?” Bian sangat terkejut hingga tubuhnya seakan membeku.“Diamlah. Saya hanya menempelkan sedikit bibir saya yang sangat berharga ke pipi Anda. Jangan salah paham. Karena di dekat sana ada Vela dan mantan calon suamiku yang sedang melihat kita. Bukankah Anda setuju dengan syarat saya tadi?” bisik Elsa tepat di dekat telinga Bian setelah melepas kecupannya.“Mbak Elsa! Apa yang kamu lakukan!” pekik Vela sambil berjalan tergesa makin mendekat.“Eh! Kenapa kamu ada di sini, Vel. Em ... tentang ini ....” Elsa berpura-pura mengalihkan fokusnya ke arah Rio. “Oh, kenapa kamu bersama Mas Rio? Akhirnya kamu mau memungutnya ya, Vel? Menurutmu kan, Mas Rio laki-laki yang sangat baik. Pantas sih, kamu mau menerimanya yang mungkin sedang patah hati gara-gara aku.” Justru Elsa sengaja membuat Vela makin meradang.“Mbak! Bukan itu yang harusnya dibahas, tapi harusnya tentang perbuatanmu tadi. Kamu nggak malu, Mbak? Di tempat umum seperti ini? Dengan calon suamiku?”Elsa berhasil
“Ma! Mama tahu! Vela baru saja melihat Mbak Elsa mencium pipi Bian, Ma! Bukankah itu sangat keterlaluan! Dia bilang, mereka sudah berpacaran secara resmi! Padahal sudah jelas, Bian adalah calon suamiku kan, Ma? Mama harus melakukan sesuatu dong, Ma.”Sampai di rumah, Vela langsung mengadu pada Nani. Perasaan di dalam hatinya merongrong tak mau menerima apa yang baru saja dilihat oleh mata kepalanya sendiri.“Apa, Vel! Kamu nggak salah lihat kan? Beraninya anak pungut itu melampaui batasnya! Sudah bikin malu gara-gara membatalkan pernikahan, sekarang malah bikin ulah lainnya. Anak itu seharusnya tetap dikurung di kamarnya biar nggak bikin orang jadi naik darah!”Kedua mata Nani melotot hampir keluar. Urat di lehernya tampak jelas tergambar. Anak dan ibu itu terbakar amarah yang maha dahsyat sebab sikap Elsa yang sebelumnya tak pernah diduga.“Mama harus melakukan sesuatu, Ma. Pisahkan mereka. Jangan sampai Mbak Elsa merebut Bian dariku. Aku suka sama Bian, Ma. Dia harus menikah dengank
“Apa, Bi? Kamu barusan ngomong apa? Mengantarku?” tegas Elsa.Kebersamaan yang dilakukan beberapa jam itu, ditambah main game bersama, Elsa tanpa sadar telah terbiasa memanggil Bian seperti seorang teman. Hal yang sama pun dilakukan oleh Bian.“Iya! Kita kan sudah sepakat. Lakukan perjanjian itu mulai sekarang bukan? Mungkin saja kamu membutuhkan bantuanku nanti.”Kedua alis Bian naik-turun. Senyum mengembang di bibirnya. Sengaja dilakukan, karena Bian memang pada dasarnya orang yang suka bercanda dan iseng.Entah mengapa, aku suka berlama-lama sama gadis ini. Dia membuatku merasa bersemangat. Di dalam hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Aku juga bingung, kenapa perasaan aneh itu bisa muncul? Degupan jantungku pun terkadang tak bisa terkontrol gara-gara sikapnya.“Bukankah kamu juga harus pulang? Video itu sudah viral. Nggak mungkin kalau kamu malah mengantarku pulang.”“Udah viral kan? Ya udah. Malah membantu rencana kita kan? Pernikahan kita bisa dipercepat?” Bian mengerlingkan mata