“Wah, pagi-pagi, Mama sudah menggedor pintuku hanya untuk mengusik pendengaranku?” tanya Elsa sambil mengernyitkan kening.Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Elsa secara tiba-tiba.“Nggak sopan kamu ya! Sekarang sudah berani membantah perkataan Mama! Ingat Elsa! Kamu hanya anak pungut! Ayah terpaksa mengambilmu dari panti asuhan hanya untuk menemukan istrinya yang nggak tahu diri! Kamu itu bukan siapa-siapa di sini, Elsa!”Ada yang berdenyut di dada Elsa. Kini, Nani sengaja menjelekkan istri pertama Handi yang diketahui adalah ibu kandung Elsa.Apakah Nani memang sejak dulu sudah membenci Wulan? Hingga ia mengatakan kalau istri pertama Handi sebagai wanita yang tidak tahu diri?“Iya, Mbak. Lebih baik, kamu batalkan semua rencana pernikahanmu dengan Bian kalau hidupmu masih ingin tenang dan dianggap sebagai bagian keluarga ini.” Vela berucap menambah amarah di dalam hati.“Apakah Ayah akan setuju? Bukankah dia harus meminta persetujuan pada Kakek untuk bisa membuangku? Dan tentang t
Mobil yang dikendarai Bian memasuki halaman rumahnya. Laki-laki itu memutuskan untuk pulang dan siap menerima konsekuensinya. Dia juga akan meneruskan perjanjian yang sudah disepakati. Caranya tentu saja dengan memberitahukan niatnya untuk menikahi Elsa pada orang tuanya secara langsung.“Mudah-mudahan, udah pada tidur,” gumam Bian sembari turun dari mobil.Keadaan rumah sudah sepi. Orang-orang sudah beristirahat di kamarnya masing-masing. Untuk sementara, Bian selamat dari omelan orang tuanya.***“Bian! Jam berapa kamu pulang? Mama sampai pusing gara-gara tindakanmu!”Setelah sarapan, Bian menanti perkataan-perkataan yang akan menghujaninya. Pasti akan ada ucapan yang akan menghunus perasaannya. Terutama perkataan yang akan terlontar dari lisan Erwin. Membandingkan. Itu sudah menjadi hal biasa yang akan dilakukan.“Sampai rumah hampir sekitar tengah malam, Ma,” jawab Bian.Laras menghela napasnya. Pagi-pagi sudah harus memendam emosi dan berdebat dengan anaknya.“Sudah puas main-mai
Ponsel Bian tiba-tiba berbunyi. Ia harus menepiskan amarahnya dan mengangkat panggilan yang sedang terjadi.“Mona? Mau apa lagi dia?” gumam Bian setelah mengetahui siapa yang sedang meneleponnya.“Halo, Mon. Ada apa lagi?” tanya Bian tak mau basa-basi karena memang perasaannya sedang tidak baik.“Gimana? Viral bukan? Apa pun tentang dirimu memang laris terjual, Mas Bi. Aku bahagia loh,” jawab seorang wanita dari ujung sambungan. Ia tertawa kecil.“Oh, jadi kamu ya? Suka banget bikin huru-hara! Tahu nggak sih! Gara-gara jarimu yang nulis sembarangan, hidupku jadi nggak tenang. Memangnya kamu bisa mengganti kerugian yang sangat fatal itu?” Bian menyemburkan amarahnya. Tepat pada waktunya pula karena Bian memang sedang marah besar.Mona malah tertawa lepas saat mendengar omelan dari Bian.“Wanita nggak waras! Malah ketawa!” hardik Bian lagi.“Mas Bi, jangan marah-marah gitu dong. Tahu sendiri kan, kerjaanku apa? Deritamu adalah cuan bagiku tahu, Mas Bi. Jadi, ikhlaskan saja dong, Mas Bi.
“Permisi, Mbak, pasien atas nama Pak Wicaksono yang ada di ruang VVIP kenapa nggak ada? Apa sudah pulang?”Nani nekat mendatangi Wicaksono seorang diri hanya untuk menghasut agar mau membuang Elsa dari keluarganya.Namun, saat kakinya memasuki ruangan tempat Wicaksono dirawat, sudah tidak ada batang hidungnya lagi. Kamar itu sudah kosong, bahkan sudah rapi dan bersih, siap dipakai oleh penghuni baru.“Sebentar, Bu. Saya cari datanya terlebih dulu.”Nani hanya mengangguk. Ia sangat berharap akan mendapatkan informasi sesuai harapannya.“Pasien atas nama Pak Wicaksono, yang dirawat di ruangan VVIP sudah keluar dari rumah sakit ini tadi pagi sekitar pukul delapan, Bu.”“Sudah keluar? Maksudnya sudah pulang ke rumah, gitu, Mbak?” tegas Nani untuk memperjelas informasi yang membuatnya terkejut.“Keterangan yang tertulis di sini, beliau dipindahkan ke rumah sakit lain. Tapi, tidak ditulis nama rumah sakit tujuannya, Bu. Itu permintaan dari pihak keluarga. Kalau boleh tahu, apakah Ibu ini ke
Bian membuang napas setelah memutuskan rencananya secara sepihak dan mendadak pula. Keinginan untuk melihat serta menghabiskan waktu berdua tiba-tiba saja muncul. Belum lama mereka kenal, tetapi keadaan yang membuatnya menjalin sebuah hubungan. Bahkan menuju ke jenjang pernikahan yang sakral.“Nggak perlu dandan, aku sudah cantik.” Balasan dari Elsa membuat senyum Bian mengembang.“Iya, aku tahu. Pokoknya nanti malam harus terlihat lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada kata protes. Udah ya! Aku sibuk kerja untuk modal menikahimu dan menafkahi istriku.”Apa-apaan aku ini? Tapi, aku memang nyaman saat bersamanya dan merasa bahagia. Apa benar, aku susah jatuh cinta? Bian berkata dalam hati dan menanyakan pada dirinya sendiri tentang perasaannya saat ini.“Bian! Isengmu berlebihan!” balas Elsa mengomeli sikap Bian.Perbincangan dalam pesan itu diakhiri oleh Bian karena sengaja tidak membalasnya. Ia beralih ke kontak bernama Mona, lantas menghubunginya.“Halo, Mas Bi, ada apa? Kangen sam
“Malem, Tan,” sapa Bian pada Nani. Meski ada Vela, laki-laki itu enggan menyapa.“Iya, Mas Bian. Ada apa ya, Mas Bian kok, malam-malam datang ke sini?” Nani bertanya sangat berhati-hati.“Oh, Mas Bian. Silakan masuk,” ajak Handi ketika melihat Bian yang berdiri di luar pintu.“Nggak usah, Om. Saya ke sini hanya mau menjemput Elsa untuk diajak makan malam. Sekalian meminta izin sama Om, dan juga Tante. Apa saya boleh mengajak Elsa pergi?”Vela yang mendengar ajakan itu tentu saja hatinya terbakar. Bukan hanya cemburu, rasa irinya juga bergejolak hebat dan menimbulkan amarah yang luar biasa.Di dalam hati, seakan ada yang mengimpit. Napas Vela terasa berat. Ia pun tak mau melihat wajah Bian. Kekecewaannya jelas tergambar di raut wajahnya.Elsa tersenyum saat melihat ekspresi saudara tirinya itu. Ia sengaja memperhatikannya secara sembunyi-sembunyi. Berkat Bian, balas dendam yang direncanakan sukses besar. Rasa sakit yang menggerogotinya, kini dirasakan pula oleh Vela.Dadamu terasa sesa
“Iya, tentu saja aku mau menikah denganmu. Bukankah itu yang sangat aku harapkan?”Elsa menepis keanehan yang tadi dirasakan. Apa yang dilakukan Bian saat ini pasti hanya sekadar sandiwara dengan sepenuh hati. Wanita bergaun silver itu tak mau mengacaukan sandiwara yang susah payah Bian perankan.Jemari lentik Elsa, lebih tepatnya di jari manis, Bian memasang cincin yang sengaja ia pesan secara khusus dalam waktu yang begitu singkat.Bian tersenyum. Dengan tiba-tiba, ia mengecup punggung tangan Elsa dengan mesra.“Bi! Apa yang kamu lakukan?” Kening Elsa mengerut gara-gara tindakan Bian.“Sesuatu yang biasa dilakukan oleh seseorang yang baru melamar pacarnya kan?”“Kamu nggak perlu berlebihan begitu, Bi.”Secara perlahan, Elsa menarik tangannya yang dipegang Bian.“Aku harus melakukannya. Bukankah kita ingin cepat menikah sesuai rencanamu?”“Iya, tapi kamu terlalu berlebihan, Bi. Tempat ini sudah sangat luar biasa, ditambah lamaranmu yang tiba-tiba ini. Aku ....” Elsa menghentikan perk
Amarah yang memuncak, membuat dada terasa sesak. Aliran darah pun seakan menghangat. Vela sesenggukan di dalam kamar dengan seribu kepedihan bersama dirinya.“Kenapa malah aku yang jadi nangis begini? Kenapa Mbak Elsa bisa sama Bian sih? Harusnya dia milikku. Dia yang sangat tampan dan sikapnya tak bisa ditebak sudah membuatku jatuh cinta, kenapa malah pergi bersama Mbak Elsa? Harusnya Mas Rio yang menikahi Mbak Elsa, bukan begini!”Air mata yang berlinang menemani Vela yang sedang meratapi nasib buruknya.Ponsel yang tergeletak di atas kasur, tiba-tiba berbunyi. Sambil menghapus air mata, Vela mengambilnya.“Vel, nonton ini deh. Sweet banget tahu!”Sebuah pesan yang menandai Vela pada video segera dibuka.“Mereka! Apa ini! Nggak mungkin! Kenapa Bian melamar Mbak Elsa seromantis ini? Harusnya aku yang mendapatkan semua itu. Bukan Mbak Elsa!”Ponsel yang digenggam, seketika terbang dan terjatuh di atas kasur. Vela melempar ponselnya gara-gara geram melihat adegan yang ada di dalam vide