Dimas masih duduk bersandar di kursi kantornya saat jam makan siang. Selera makannya berkurang akhir-akhir ini. Sejak Arya muncul dan terlihat dekat dengan Dwi, pikirannya selalu tidak tenang. Apalagi Arya berencana untuk mengajak wanita yang telah Dimas nikahi untuk ikut serta di perusahaan. Otomatis kedua orang yang baru saling mengenal itu akan bertemu setiap hari.Tengah asyik melamun, tiba-tiba pintu kantornya dibuka dengan paksa. Seorang wanita masuk dengan wajah marah."Apa-apaan kamu, Dimas? Kenapa kamu nggak ngangkat telepon dari aku? Kenapa kamu terus menghindar dari aku?" Wanita itu menatap Dimas dengan tajam."Lena, aku sudah bilang, jangan sembarangan lagi masuk ke kantorku. Kamu nggak dengar?" Dimas juga tak kalah marah. "Aku ini pacar kamu, Dim. Kamu ini kenapa, sih? Kamu berubah tau, nggak!" Wanita yang dandanannya terlihat dewasa itu mencoba bersikap manja. Dia mendekati Dimas dan hendak duduk di pangkuannya."Minggir, Lena." Dimas menepikan tubuh Lena, lalu bangki
Dimas langsung menarik Lena ke luar pagar agar tidak ada yang melihatnya. "Kenapa kamu ke sini?" Dimas tampak ketus."Abis kamu nggak ngubung-ngubungi aku lagi. Emang kamu sibuk ngapain?" Lena sedikit merajuk. Dimas enggan bersikap baik lagi. Hatinya terlanjur kecewa dengan sikap dan sifat matrealistis wanita yang ada di hadapannya."Maaf, Lena. Aku nggak bisa menjadi laki-laki yang sesuai keinginan kamu. Aku nggak bisa membantah atau melawan mama. Mungkin sebaiknya kita nggak usah berhubungan lagi." Dimas berucap dengan sungguh-sungguh.Lena begitu terkejut. Dia sama sekali tak menyangka kalau Dimas yang selama ini begitu mencintainya begitu mudah menyerah dan mengucapkan kata-kata itu. Lena sama sekali tidak terima."Kamu jangan main-main, Dimas. Aku nggak suka. Mana mama kamu, aku mau bicara!" tantang gadis tak tahu malu itu."Jangan berani-berani kamu ganggu mamaku. Pergi dari sini! Aku nggak mau ketemu sama kamu lagi." Dimas mulai emosi."Dim!""Aku bilang pergi! Aku nggak akan
Dimas mengerutkan alis melihat tingkah istrinya yang sedang menantang. Dia menutup buku yang dia baca, lalu menatap wanita yang sama sekali belum pernah dia sentuh."Kamu kenapa?" tanya Dimas."Mas Dimas kenapa nggak minta maaf sama mama?" Dwi bertanya dengan lantang.Dimas menatap istrinya sebentar, namun tak menyahut. Lantas membuka kembali buku yang tadi dia baca. Tak peduli dengan pertanyaan dari Dwi yang diajukan untuknya."Mas Dimas!" Dwi kembali memanggil. Lalu menarik bukunya dari tangan lelaki itu."Apa lagi?" Dimas masih berucap dengan lembut."Jawab dulu. Kenapa mas Dimas mendiamkan mama seperti itu? Bukannya mobil dan juga atm mas Dimas udah dibalikin? Seharusnya Mas Dimas berterima kasih. Bukan malah marah-marah kek gini.""Memangnya kapan Mas marah-marah sama mama?""Dengan Mas Dimas diemin mama seperti ini, itu artinya Mas Dimas marah. Sekarang Mas Dimas ke kamar mama dan minta maaf." Wanita yang meski sudah berstatus menikah namun masih gadis itu memerintah dengan kesa
"Emang kamu mau?" tanya dia.Kini mata Dwi yang melotot menatap wajah suaminya. Tanpa rasa canggung sedikit pun laki-laki itu bertanya pertanyaan bodoh yang dia sendiri tahu jawabannya."Mas jangan mimpi! Lebih baik Dwi jadi janda daripada berbagi suami dengan wanita itu!" Dwi dengan ketus menjawab."Oh, kamu nggak rela. Baguslah. Makanya jangan sok-sokan minta cerai." Dimas menahan senyum mendengar jawaban jujur istrinya.Dwi tergagap. Dia sama sekali tidak bermaksud membuat laki-laki itu menjadi besar kepala."Udah ngomongnya? Ngapain lagi?" Dimas mengulurkan tangannya. "Sini, balikin bukunya!" "Ini milik Dwi. Ngapain Mas minta?""Itu cuma pelajaran dasar. Kalau cuman seperti itu, kamu bisa tanyain ke Mas nanti.""Nggak perlu! Dwi nggak butuh apa pun dari Mas Dimas!" Dwi mengentakkan kaki, lalu berjalan menjauh memeluk buku itu."Mau ke mana?" "Tidur!""Lupa, kalau ini kamar kamu?"Dwi mendengus kesal, lalu berbalik dan memanjat naik ke tempat tidur."Kapan mulai masuk kantor?" Di
POV Dwi.Usai perkenalan, aku diberikan meja di ruangan terbuka. Bergabung dengan beberapa karyawan yang lain. Tentu saja ini atas keinginanku sendiri. Aku yang baru lulus SMA dan sama sekali belum berpengalaman tidak mungkin langsung meminta posisi yang sama dengan mas Arya. Apalagi mendampingi mas Dimas yang seorang direktur.Aku juga tak mau orang-orang di kantor ini juga bersikap hormat dan segan hanya karena aku istrinya mas Dimas. Apalagi jika mereka sampai tahu kalau atasan yang mereka hormati itu menikahiku karena terpaksa. Aku pasti akan lebih dipermalukan lagi."Makan siang yuk, Dwi." Mas Arya kini sudah berdiri di depan mejaku. Kulihat beberapa rekan sudah meninggalkan tempat mereka. Aku melirik arloji kecil di pergelangan tangan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas. Pantas saja perutku terasa lapar."Kita makan di mana, Mas?" tanyaku."Terserah kamu aja. Di bawah ada kafetaria. Atau kita keluar cari makanan yang kamu suka.""Di kafetaria aja deh, Mas. Kerjaan Dwi
"Iya, Mas. Makasih ya, traktirannya. Besok-besok gantian Dwi yang bayar."Mas Arya tersenyum manis dan mengangguk.Aku kembali ke mejaku dan membuka laptop untuk melanjutkan pekerjaan."Ciee... Dwi pacarnya Pak Arya, ya?" ledek Suci, wanita yang bersama kami di dalam lift."Wah, beruntung banget, Dwi, ya. Udah ganteng, Pak Aryanya ramah lagi." Sinta, wanita yang satunya ikut menimpali."Selamat ya, Dwi.""Rupanya karyawan baru di kantor kita adalah pasangan.""Kapan kita rayain, Dwi?"Masing-masing dari mereka berseloroh denganku. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya tersenyum mendengar mereka yang telah salah paham pada aku dan mas Arya.Suci dan Sinta pasti menyimpulkan sesuatu saat mas Arya menarik tanganku tadi. Dan pastinya setelah kembali ke kantor, mereka menyampaikan apa yang mereka lihat dan mereka simpulkan pada yang lain.Pantas saja rekan-rekan yang lain ikut meledekku. Aku jadi malu sendiri. Tapi aku merasa senang. Setidaknya orang-orang di sini bersikap ramah dan me
Aku jadi semakin kesal dengan sikap mas Dimas. Bukannya merasa bersalah, malah menuduhku yang bukan-bukan. Aku enggan kembali berdebat dengannya. Sudah ketahuan pun masih juga membela diri dan menyalahkan orang lain. Dasar laki-laki egois.Aku memilih mengabaikannya. Meletakkan tas di atas meja rias, lalu mengambil baju ganti dari lemari. Selama pernikahan, memang seperti inilah yang aku lakukan.Sejak menjadi istri mas Dimas dan pindah ke kamarnya, aku selalu mengganti pakaian di kamar mandi. Hal ini karena mas Dimas sama sekali tak pernah menyentuhku. Otomatis ada rasa canggung dan malu jika harus membuka pakaian di hadapannya.Lagipula mas Dimas juga tidak peduli. Terkadang dia juga keluar saat melihatku bersiap-siap untuk mandi. Harusnya dari situ aku sadar, bahwa mas Dimas benar-benar tidak tertarik dan menganggapku sebagai istrinya."Kenapa kamu nggak jawab pertanyaan Mas?" Mas Dimas masih ngotot. "Ada hubungan apa kamu sama Arya?"Aku yang tadinya diam dan mulai tenang, kembal
Selain statusku yang akan menjadi janda, hubungan keluarga mereka juga akan menjadi canggung. Terlebih lagi di antara mas Dimas dan mas Arya. Kedekatanku dengan mas Arya selama ini hanyalah agar aku tak larut dalam kesedihan karena perselingkuhan suamiku. Aku butuh teman yang lebih dewasa dan juga baik hati seperti mas Arya."Tega sekali mama ingin menikahkan istri Dimas sama orang lain." Mas Dimas kembali memelas."Kamu sendiri bagaimana? Apa bukan tega namanya, berselingkuh di belakang istri kamu sendiri? Coba kamu bayangkan, seandainya Ajeng masih hidup, dan suaminya berselingkuh di belakang dia. Apa kamu juga akan membiarkan adik kamu tersiksa seperti itu?" Mama mulai emosi.Mas Dimas terdiam sejenak. Kembali melirikku lagi. Dia pasti berpikir akulah yang selalu mengadukan semuanya pada mama. Mas Dimas pasti akan membalasku lebih parah lagi dari ini."Dimas nggak selingkuh, Ma. Dimas dan Lena sudah menjalin hubungan sebelum menikah dengan Dwi. Saat itu Lena mengalah dan mau menun