"Ibu!" ucap Rangga ketika memasuki ruangan yang ditempati oleh Ratih. Pria itu mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah wanita paruh baya itu. Raut wajah wanita yang sedang mengenakan busana serba putih itu seperti tidak asing baginya."Kamu mengenal saya?" tanya Ratih dengan penuh tanda tanya. Seingat wanita paruh baya itu, dia tidak pernah mengenal ataupun melihat pemuda yang sedang berada dihadapannya kini."Oh, iya. Saya ingat sekarang. Bukankah Anda itu adalah Bu Ratih, salah satu donatur tetap di Panti Asuhan 'Sahabat Sejati'?" ucap Rangga penuh dengan keyakinan."Benar itu saya. Saya adalah salah satu pemilik dan pengurus yayasan itu. Kamu siapa? Kenapa kamu tahu tentang yayasan itu?" Ratih balik bertanya pada pemuda yang baru saja memasuki ruangannya itu."Oh, perkenalkan. Nama saya Rangga Adiyasa, saya adalah salah satu anak penghuni Panti Asuhan itu tempo dulu. Senang bisa bertemu dengan anda kembali." Dengan ramah, pemuda yang memilik
"Kenapa Mama pergi, Sayang? Apa mama masih benci sama Mas?" tanya Dimas ketika melihat ibunya langsung pergi begitu dia baru sampai. Tanpa menyapa apalagi bertanya tentang keadaannya terlebih dahulu."Sudah, Mas. Tidak usah dipikirkan. Ayo kita masuk." Dwi langsung menarik lengan suaminya agar ikut masuk dengannya. "Apa Mas sudah sarapan? Mau Dwi buatin kopi, atau apa?""Sebenarnya belum, sih. Tapi ketika melihat kamu, Mas sudah kenyang.""Ilih, Mas Dimas suka gombal, deh. Jangan-jangan sudah dibuatin sarapan sama Lena tadi, iya kan?" Mengingat nama itu sebenarnya hati Dwi terasa perih, namun nama itu tidak akan bisa dia lupakan begitu saja dari dalam hidupnya."Kok ngomongin dia lagi, sih? Apa Dwi belum bisa percaya seutuhnya sama Mas?""Dwi percaya kok sama Mas. Jika Dwi tidak percaya sama Mas Dimas, untuk apa juga Dwi nyuruh Mas pulang." Dwi meralat kembali ucapannya agar suaminya tidak jadi marah."Eh, suasana rumah kok sepi? Bik Siti kemana?" tanya Dimas begitu menyadari tidak ad
"Maaf, Dwi. Papa udah nggak ada. Tidak ada gunanya lagi kita lanjutkan pernikahan ini." Bagai tersambar petir hatiku saat mendengar Mas Dimas mengucapkan kata itu. Laki-laki yang baru saja menikahiku dua minggu yang lalu. Kini tepat setelah tahlil malam ketiga berpulangnya mertua laki-lakiku, dia ingin kami berpisah begitu saja."Ma__maksud Mas..., apa? Salah Dwi apa, Mas?" Genangan air telah penuh mengisi rongga di tiap sudut netraku. "Kamu tahu sendiri alasan Mas mau menikahi kamu, kan? Sekarang alasan itu udah nggak ada. Mas udah memenuhi permintaan Papa saat dia masih hidup. Namun Mas juga punya hak mengambil keputusan untuk diri Mas sendiri."Air mataku mengalir deras begitu saja. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang Mas Dimas maksudkan. Yang aku tahu kami menikah atas persetujuan kedua belah pihak. Sama sekali tak ada paksaan.Aku memang yatim piatu yang diasuh oleh keluarga Mas Dimas. Papanya yang telah lama menjalin persahabatan dengan ayahku, membuat orang tua Mas Dimas
"Apa Mas menyalahkan Dwi karena kematian Papa?" Aku mencari-cari di mana letak salahku.Mas Dimas memejamkan mata perlahan."Mas ingin jujur sama kamu, Dwi." Pria berperawakan tinggi tegap itu menatapku sendu. "Ada apa?""Mas punya pacar. Dan Mas berniat menikahi Lena."Bibirku bergetar mendengar nama yang dia sebutkan. Selama aku tinggal bersama mereka, tak pernah sekali pun kulihat Mas Dimas membawa atau mengenalkan seorang gadis pada keluarganya. Apa wanita itu baru saja dikenalnya?"Ma__maksud Mas, Mas sudah selingkuh di belakang Dwi?" Aku memberanikan diri bertanya. Tentu saja karena aku merasa punya hak sebagai istrinya."Tidak, Dwi. Sebelum menikah, Mas sudah lama menjalani hubungan dengan Lena. Dan pernikahan kita, hanya keinganan dari papa saja. Mas nggak pernah memiliki perasaan apa-apa sama kamu."Deg!Jantung ini rasa seperti diremas. Tanpa perasaan, dia bilang kalau aku tidak berarti apa pun di hatinya. "Lalu kenapa Mas terima permintaan papa? Kenapa waktu itu tidak men
Aku hanya terdiam menyaksikan mama memarahi mas Dimas habis-habisan. Aku yang sedari kecil hanya menumpang tinggal dengan mereka, merasa tak punya hak suara untuk menengahi perdebatan itu. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menanti dengan pasrah keputusan apa yang mereka ambil untukku.Aku yang tidak punya siapa-siapa lagi ini tak tahu harus ke mana jika harus mengalah dan pergi. Kerabat lain pun tak banyak yang aku kenal. Sementara selama ini, makan dan segala kebutuhanku masih dipenuhi oleh orang-orang di rumah ini.Andai aku mengalah dan angkat kaki dari sini, aku harus ke mana? Pengalaman kerja pun aku belum punya. Tidak mungkin aku membiarkan mas Dimas pergi dari rumahnya sendiri. Laki-laki yang masih sah menjadi suamiku itu pasti semakin membenci keberadaanku.Ya, Allah. Apa yang harus aku lakukan?"Kamu jangan khawatir, Dwi." Mama seperti bisa membaca pikiranku. "Kamu tetap menjadi anak Mama. Kalau Dimas menceraikan kamu, Mama akan mencarikan jodoh lain untuk kamu, dan menye
Kamar kita?Aku menelan ludah saat mendengar kata 'kita'. Barusan saja dia mengajakku berpisah, namun belum sampai satu jam dia langsung mengakuiku lagi sebagai istrinya. Aku tahu. Mas Dimas pasti tidak tega melihat kesedihan mama tadi. Dia pasti ingin menenangkan hati orang tua yang tinggal satu-satunya itu. Nanti saat suasana sudah mulai tenang, suamiku ini pasti akan kembali ke niatan awalnya. Mas Dimas memang anak yang baik bagi orang tuanya.Sayangnya dia bukan suami yang baik... untukku."Iya, Mas." Aku Menurut saja. Toh juga saat ini aku masih istrinya. *"Ma, maafin Dimas, ya." Mas Dimas mulai membujuk mama saat sarapan.Pagi ini mas Dimas sudah berpakaian rapi seperti hendak ke kantor. Sejak papa meninggal hingga hari ini, mas Dimas memang tidak masuk kerja. Jika ada hal yang mendesak, asistennya akan datang dari kantor untuk membawakan berkas.Selama papa jatuh sakit, mas Dimas lah yang menggantikan papa memimpin perusahaan. Karena mas Dimas satu-satunya anak mama dan papa.
"Biarin aja, Dwi. Dimas pasti mau bertemu dengan wanita itu. Mama nggak suka. Kamu yang sabar, ya? Mama benar-benar akan ngasi Dimas pelajaran. Biar jangan kurang ajar jadi suami. Sudah menikah, masih saja kelayapan dengan wanita lain."Aku terdiam. Di satu sisi mama benar. Dan harusnya aku memang sakit hati. Tapi karena belum ada rasa cinta di antara kami, aku tak lagi peduli apa yang ingin dilakukan suamiku.Bahkan jika dia tetap pada keputusannya ingin bercerai, aku juga sudah siap. Hanya saja perasaan itu tak mungkin aku ungkapkan pada mama.Malaikat hidupku ini pasti akan bersedih. Mama pasti tahu, jika nanti bercerai aku pasti akan meninggalkan rumah ini. Tidak mungkin nantinya aku hidup serumah dengan istri barunya mas Dimas. "Mama jangan mikir yang macam-macam lagi ya, Ma. Dwi nggak mau kalau mama sampai sakit." Aku memeluk mama dengan erat."Makasih ya, Sayang. Kamu memang anak mama yang paling pengertian." Mama mengusap bahuku dengan lembut."Mulai saat ini, kamu yang pegan
Lagi-lagi ucapan mas Dimas membuat hatiku bagai tersambar petir. Mataku langsung menghangat saat mendengar pengakuannya. Tanpa perasaan dia mengucapkan hal-hal yang tidak masuk akal. Menganggapku sebagai adik, katanya?Dia bahkan tak pernah sekali pun membantuku mengerjakan PR. Hanya mama dan papa yang dengan setia dan telaten mengajari mata pelajaran yang tidak aku mengerti. Dia bahkan sangat jarang membawaku berkumpul bersama teman-teman yang lain saat mama dan papa berkumpul dengan teman-teman bisnisnya. Mas Dimas tak pernah menganggapku apa pun. Baik sebagai adik, ataupun istrinya.Dia hanya berpikir bahwa aku anak yatim piatu yang diasuh oleh kedua orang tuanya.Aku langsung berdiri agar bisa menjauh dari Mas Dimas. Enggan berlama-lama tuk menatap wajahnya yang tengah memelas."Baik! Dwi akan turuti keinginan Mas."Mas Dimas tampak tersenyum mendengar jawabanku."Mas tahu kamu gadis yang baik, Dwi." Pria tanpa perasaan itu mencoba menyentuh kepalaku, namun dengan cepat aku meng