Share

Jalan-Jalan

"Udah selesai beberesihnya? Ayo ikut Ibu," ajak Ibu mertuaku sambil menarik lengan suamiku, meninggalkanku yang melongo. Kebiasaan Ibu yang tidak punya sopan santun membuatku sedikit kesal. Bagaimana jika tadi aku dan suamiku tengah melakukan hal yang lain-lain, bisa berabe jadinya.

Kuikuti langkah keduanya sambil menutup pintu kamar. Ibu tampak menarik lengan Mas Akbar untuk duduk di kursi yang menghadap ke depan TV.

"Akbar, Ibu mau cerita banyak sama kamu. Makanya Ibu sengaja datang ke sini."

"Iya, cerita aja," sahut suamiku. Terlihat sekali rona kebahagiaan di wajahnya ketika bisa bertemu dengan ibu kandungnya kembali. Hal yang tidak pernah kudapatkan selama ini di mana mama sudah meninggal saat usiaku 5 tahun.

"Bu, apa tidak sebaiknya Mas Akbar disuruh makan dulu. Kasihan, dia pasti lapar habis bekerja seharian," ujarku tanpa peduli akan wajah wanita itu yang tampak serius akan bercerita pada putra bungsunya.

Ibu melirik padaku sambil mencebik. "Apa beneran kamu lapar, Akbar?" Suamiku mengangguk dengan senyum tidak enak hati.

"Iya, Bu. Maklum udah kebiasaan."

Memang kebiasaan pria itu yang ketika pulang kerja pasti langsung makan sore. Kami tidak membiasakan makan malam alasannya tentu saja karena selain untuk menjaga berat badan agar tetap ideal, juga karena selepas isya nanti, kami akan tidur lebih cepat.

"Ya udah, sana makan dulu. Kalau udah, nanti temuin Ibu lagi di sini."

"Maaf ya, Bu, aku memang lapar banget. Lihat aja ini udah jam 5."

"Mana ada makan malam jam lima sore, yang ada tuh jajan buat ngeganjel perut, baru kau makan malam jam tujuh," tukas ibunya. Dia melirik padaku sambil memasang wajah dingin.

Segera kuajak dia ke ruang makan dan membuka tudung saji. Lauk ayam masih ada cukup banyak. Suamiku bisa menikmatinya. Mas Akbar makan dengan lahapnya. Aku menemani dia duduk sambil bercerita tentang jualan tadi subuh. Dia tampak mengangguk-angguk sambil sesekali menyahuti ucapanku.

"Lain kali kalau ada yang utang lebih dari tiga minggu, jangan di kasih. Kecuali sama orang yang benar-benar membutuhkan." Mas Akbar menanggapi ketika aku ceritakan istrinya pak RT nunggak lagi bayar utangnya.

"Iya, sih, Mas. Tapi gimana ya, kasihan juga dia."

"Padahal emasnya banyak. Kenapa nggak dia jual aja untuk bayar hutang?" kekehnya saat kutepuk punggungnya sambil bercanda.

"Kamu ini, Mas." Tawa kami disahuti oleh ibu dengan beberapa kali deheman.

"Enak sambalnya, Din. Pas." Dengan mulutnya yang kepedasan pria itu bersuara bahkan hampir saja tersedak.

"Pelan-pelan aja makannya Mas, nggak akan ada yang ngambil ini," ujarku sambil menyodorkan air minum yang langsung diteguknya hampir setengah gelas.

"Mana bisa Mas pelan-pelan, Din. Masakan kamu memang selalu enak, makanya Mas selalu tak sabar ingin makan sehabis pulang kerja," katanya lagi dengan bibir penuh dengan makanan.

"Apalagi tumis kangkung ini enak banget. Mas cocok dengan masakan kamu, bahkan jika dibandingkan makan di kantin, rasanya beda sekali. Asal."

"Eumh, maaf ya Mas, aku nggak bisa bikinin kamu bekal makan siang. Kamu tahu kan, kalau pagi-pagi aku sibuk," ucapku tak enak hati. Aku bukannya tidak tahu teman-temannya selalu membawa bekal dari rumah. Sedangkan aku, jangankan untuk menyiapkan bekal, melayani pembeli saja kadang keteteran kalau nggak dibantuin oleh Mas Akbar.

Mas Akbar mengangguk dengan senyum cerianya. "Nggak apa-apa, yang penting makan sore selalu tersedia di meja. Lagi pula kalau tengah hari, aku bisa makan bakso pakai nasi atau makan cilok."

Beruntung aku memiliki suami yang pengertian dengan keadaanku, meskipun kadang aku sedikit tidak suka kalau ada orang yang menghasutnya. Dia gampang sekali dipengaruhi oleh orang lain. Belum lagi sekarang, kehadiran Ibu di sini sedikit banyaknya membuatku resah. Semoga saja wanita itu tidak berbuat bermacam-macam yang akan merusak hubungan pernikahan kami.

Mas Akbar sudah mencuci tangan dan menggosok giginya, kemudian berjalan ke arah ruang tengah dimana Ibu masih menonton sinetron yang episodenya sudah ratusan.

Aku memilih membereskan meja makan dan membuatkan teh untuk mereka.

Baru saja aku tiba dan meletakkan dua cangkir gelas di atas meja, Ibu langsung menghentikan obrolannya. Entah kenapa wanita itu tidak pernah suka melihatku, apalagi dekat-dekat dengan putra bungsunya. Kami bahkan tidak pernah mengobrol bertiga. Hal yang sangat aneh sekali. Ingin sekali kutanyakan kepada Mas Akbar jika aku memiliki keberanian nantinya.

"Udah Dina, kamu masuk kamar sana. Ibu mau ngobrol dengan Akbar, boleh, kan? Kamu sudah berbulan-bulan tinggal dengan dia, tanpa ada yang mengganggu. Bisa nggak sih kamu sehari aja kasih Ibu waktu untuk quality time bersama dengan anak Ibu sendiri?"

"Iy-iya, Bu. Silahkan."

Aku yang hampir mendaratkan bokong di atas kursi langsung berdiri dengan senyum yang kubuat paksa. Mas Akbar tampak melirik padaku dan menyentuh tanganku. Dengan langkah gontai aku kembali ke dapur, meletakkan baki dan membuang nafas kasar.

"Oh, jadi Lina mau pulang, Bu?"

"Nggak usah panggil nama Lina, panggil dia Linlin. Sekarang di medsosnya juga namanya udah diganti. Dia udah pulang minggu lalu. Nanti kita temui dia. Dia pasti bahagia ketemu sama kamu lagi. Kamu tahu kan, kepergiaannya waktu itu juga karena terpaksa. Linlin terpaksa mencari uang karena ingin kehidupannya berubah. Ibu yakin sekarang wanita itu sudah sukses, mengingat gaji di Jepang itu di atas 30 juta." Ibu mertua sumringah ketika berbicara dengan putranya yang tidak kutahu tengah membicarakan siapa.

"Iya Bu, aku juga senang bertemu dengan dia. Lagian waktu itu dia pergi tanpa pamit."

"Itu karena dia nggak mau membuatmu sedih."

"Iya, mungkin."

"Ya udah, besok sehabis kamu pulang kerja kita pergi ke rumahnya. Kebetulan Ibu bawa banyak oleh-oleh untuk Linlin dan juga mbakmu."

Tuh kan bener, untung aja aku nggak sok-sokan bawa dus Ibu dan membongkarnya.

*****

Adzan maghrib baru saja usai bergema. Aku sudah membersihkan diri dan bersiap sambil menggelar sajadah. Mas Akbar dan ibunya baru saja selesai bicara lebih dari satu jam lamanya. Bahkan sesekali terdengar tawa dari bibir pasangan ibu dan anak tersebut. Mereka sama sekali tidak memikirkan kehadiranku yang duduk sendirian di kamar. Rasanya aku mirip seperti orang yang terbuang.

"Din, kamu mau shalat?" tanya Mas Akbar begitu membuka pintu kamar. Aku mengangguk dan segera berdiri. Sementara suamiku itu terdengar masuk ke kamar mandi untuk berwudhu. Sudah kusiapkan baju koko dan sarungnya di atas tempat tidur. Pria itu memang biasa shalat di masjid.

Selesai sholat dilanjutkan dengan dzikir dan bacaan ayat-ayat suci Alquran, saat Mas Akbar masuk dan mulai membuka baju koko dan sarungnya. Kemudian berganti dengan celana jeans dipadupadankan dengan kaos yang dilapisi dengan jaket tebal.

Aku yang sedang melipat mukena mendadak heran melihatnya. Dia tampak berpakaian rapi seperti mau pergi.

"Tumben, tidak biasanya kamu ganti baju lagi, Mas. Memangnya mau ke mana?"

"Oh ini, kebetulan Ibu ingin jajan sate taichan. Ibu juga ingin beli martabak Pecenongan, katanya."

"Asyik dong, kebetulan aku juga mau, Mas. Sebentar aku dandan dulu." Aku tersenyum manis. Kupercepat melipat mukena dengan gerakan asal. Saat aku melirik lagi padanya, Mas Akbar tampak salah tingkah.

"Kenapa, Mas?" tanyaku dengan perasaan yang sudah mulai curiga. Sampai-sampai alisku bertautan.

"Eumh, sepertinya Ibu ingin pergi dengan Mas berdua aja, katanya. Lagi pula motornya kan tidak mungkin dipakai buat bertiga. Nah, kamu di rumah aja ya. Kamu kan juga harus istirahat, nanti jam 2 pagi kamu udah harus bangun dan ke pasar."

"Tapi—"

"Dina, Ibu kan nggak tiap hari datang ke sini. Lagi pula apa salahnya aku mengantar Ibu jalan-jalan sesekali. Mas berharap kamu sedikit pengertian, ya?!" Aku mengangguk dengan lesu. Melepaskan rasa kesal yang bercokol, lalu duduk di pinggir ranjang memperhatikan priaku itu yang tampak menyemprotkan parfum di bagian ketiak dan lehernya. Seketika aroma woody menguar di seisi ruangan.

Mas Akbar benar. Aku nggak boleh egois. Biarkan Ibu mertua dan anaknya bahagia, lagipula kapan memuliakan mereka jika tidak sekarang.

Astaghfirullah … semoga aku dijauhkan dari pikiran-pikiran negatif pada ibu mertuaku itu.

"Jangan lupa belikan Ibu daster merk kencana ungu Mas."

Mas Akbar tersenyum manis. "Kamu masih ingat aja apa yang Ibu sukai."

Mana mungkin aku tidak ingat, wong tiap kali jalan-jalan selalu itu-itu saja yang disebut oleh ibunya.

'Jangan lupa kalau jalan-jalan beliin ibu daster merk kencana ungu.'

Hal itu akan beliau ulang-ulang hingga kami naik kendaraan dan berlalu. Jika saja pesanannya tidak dibeli, maka dia akan mengomel sepanjang hari dan membanting banting barang sesuka hatinya.

Pria itu mencium keningku dengan takzim, sebelum akhirnya menghilang di balik pintu. Entahlah, disaat seperti ini aku bahkan enggan untuk mengantarnya ke depan pintu. Biar saja dia pergi bersama dengan ibunya, meskipun sama sekali tidak ada basa-basi padaku.

Sabar Dina, sabar ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status