Share

Buang Muka

Bab 4 Buang Muka

Ya ampun … Aku terhenyak dari tidurku saat mendengar suara ibu terbahak, cukup jelas. Sepertinya suamiku dan ibunya masih mengobrol. Entah jam berapa mereka pulang, aku tidak tahu. Yang jelas, selepas isya aku langsung terlelap karena tidak tidur siang.

Aku duduk dan mendengar percakapan mereka. Ah, bukan mendengar hanya tak sengaja percakapan mereka begitu jelas masuk ke telingaku.

"Ibu aja yang lanjutin makannya. Aku udah kenyang. Lagian makan dua potong aja udah eneg. Keju dan kental manisnya kebanyakan."

"Tapi kalau dibiarkan besok juga basi.  Kamu kan belum punya kulkas. Mau disimpan di mana coba? Mana mahal belinya" Suara Ibu mertua menimpali.

"Nggak apa-apa, di meja makan juga nggak akan basi, Bu. Nanti subuh-subuh biar dihangatkan dengan cara dikukus. Ya udah, Akbar mau tidur dulu. Ibu juga harus istirahat, kan? Ibu pasti  lelah karena perjalanan jauh."

Aku kembali  merebahkan badan, berpura-pura tidur. Semoga saja Ibu mertua tidak mengadu yang macam-macam ketika aku tidur tadi.

Pintu terbuka diikuti dengan langkah pelan suamiku yang disusul dengan suara resleting yang dibuka. Tak berapa lama kemudian, kasur berderit diikuti dengan tubuh Mas Akbar yang merapat. Pria itu  memeluk dari bagian belakang. Ada sejuta kehangatan saat dia melingkarkan tangannya di perutku, mencium rambutku beberapa kali, hingga akhirnya terdengar helaan nafas berat dan deru nafas yang teratur, menandakan jika pria itu sudah masuk ke alam bawah sadar.

**

Alarm suara ayam jago membuatku membuka mata. Perasaan masih kantuk  membuatku mau tak mau harus duduk terlebih dahulu, sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri. 

"Udah waktunya, ya? Padahal perasaan baru aja tidur." Suara serak Mas Akbar menyambut ketika aku baru selesai membersihkan diri.

"Kamu kan masih ngantuk, tidur lagi aja, Mas. Lagian kan kamu harus kerja juga. Biar aku sendiri aja yang belanja," sahutku. Pria itu semalam masuk ke kamar hampir jam sebelas. Sepertinya ibu mertua puas curhat tanpa ada yang mengganggunya.

"Nggak apa-apa, mana tega aku ngebiarin kamu belanja seorang diri. Bentar, aku cuci muka dulu."  Pria itu bangkit setelah membaca doa bangun tidur. Aku memilih shalat tahajud dua rakaat sambil menunggunya.

Memanaskan mesin mobil pukul 2 subuh, ngeri-ngeri sedap, takut ada tetangga yang terganggu dengan deru mesinnya.

 Akhirnya kendaraan yang sedang dibawa oleh suamiku, membelah jalanan yang masih tampak gelap disinari lampu jalan. Beruntung jaket tebal dan masker yang kami kenakan, sedikit cukup untuk menghalau angin yang menyiksa. Cuaca di ibukota itu tidak terlalu dingin di tengah malam dan akan sangat tarik di tengah hari. 

Beruntung kami sudah mulai beradaptasi di sini, dan justru sedikit bersyukur karena kulit yang kusam berangsur memutih dengan sendirinya, meskipun tidak memerlukan perawatan yang ekstra. Aneh sekali cuaca di sini. Panas bukannya membuat kulit hitam, namun justru sebaliknya, membuat  kulit lebih cerah.

"Pak, biasa, ya, diantar ke mobil," ujarku pada pemilik kios.

"Siap, Neng!"

Aku berjalan dari satu jongko ke jongko lainnya. Kami memang selalu belanja di pasar induk, yang mana tengah malam adalah saat-saat yang sedang ramai-ramainya. 

Para kuli panggul mulai menaikkan barang-barang ke atas mobil, sementara yang terakhir aku dan Mas Akbar berjalan menuju ke bagian perdagingan.

Jam empat subuh, kami sudah kembali ke rumah dan langsung membongkar barang dagangan di depan warung.

Biasanya setelah semua teronggok di dekat pintu masuk, Mas Akbar  akan kembali ke rumah untuk melanjutkan tidurnya. Pukul setengah enam pagi dia akan sholat, membantu sebentar di warung, lalu bersiap untuk pergi ke kantor. Sementara aku akan langsung memilah sayuran dan menimbangnya kemudian memasukkannya ke dalam plastik bening.

Cara seperti ini sungguh praktis dan memudahkan para pembeli, hingga aku sendiri tidak perlu repot lagi untuk menimbang dadakan.

Jam setengah lima adzan berkumandang. Kebiasaanku shalat di warung ini karena terdapat kamar mandi kecil di bagian belakang.

Setelah selesai berdoa sebentar, segera kubuka warung dan kunyalakan lampu luar, para pelanggan pun sudah pada berdatangan. Mereka yang sudah hafal, sebentar saja akan kehabisan stok jika telat.

Di lingkungan ini kebanyakan mereka adalah para pekerja aktif yang akan berangkat pagi-pagi dan pulang menjelang sore hari. Maka tak heran jika di pagi buta seperti ini, para pembeli sudah bejibun  memenuhi warung. Berdesak-desakan, saling memilih bahan. Tentu saja mereka akan memberi sayuran yang baik dan bahan makanan yang segar untuk membuat sarapan.

Itu juga salah satu alasan kenapa aku tidak membuka warung sampai  tengah hari, karena umumnya para pembeli akan membutuhkannya di pagi hari. Lagi pula tengah hari para pembeli sudah jarang sekali membeli, sayuran pun akan mulai sedikit layu.

Jam setengah  enam pagi, masih dengan memakai baju koko dan sarung, Mas Akbar turun ke warung untuk membantuku. Dia meletakkan sarapan yang kami beli tadi di pasar untuk kunikmati, sementara pria itu melayani pelanggan dengan ramah.

"Sarapan buat Ibu, udah, Mas?"

"Udah, Ibu lagi makan sambil nonton ceramah."

"Oh." Semoga di TV ada kajian tentang kasih sayang pada menantunya.

"Dina, sop-sopan abis, ya?" 

Aku menoleh. Savika berdiri di sana dengan kimono mandinya. Rambutnya tampak dicepol dengan asal.

"Iya, bentar ya, aku siapkan dulu."

"Jangan lama-lama ya, aku mau berangkat pagi pagi, nih, takut telat,"  ujar wanita itu berdesakkan dengan pembeli yang lain.

"Kalau telat, hamil dong." Ada seseibu yang menimpali obrolannya. Aku dan yang lainnya bahkan tak sengaja tergelak begitu saja. Spontan dan lucu.

Akupun turun tangan, memotong bulatan kol menjadi 4, memasukkan wortel 3 biji, kentang ukuran sedang  1 biji, plus Masako dilengkapi dengan merica sachet dan daun bawang seledri secukupnya, kemudian memasukkan ke dalam plastik ukuran 1 kg dan menyerahkannya padanya. Satu bungkus itu dihargai dengan harga lima ribu rupiah.

"Ini, Kak, langsung bayar aja ke Mas Akbar," ucapku yang dibalas olehnya langsung.

"Ok, Dina. Aku senang belanja di sini karena pelayanan kalian itu cepat, lagi pula bahan-bahannya juga udah komplit, praktis, tinggal langsung masak aja," ujar wanita itu sambil mengumpulkan beberapa bahan makanan, agar segera dihitung.

 Aku kagum dengan wanita karir yang bekerja sebagai sekretaris itu. Wanita itu selalu membawa bekalnya dari rumah hasil masakannya sendiri.

 Tak jarang wanita itu juga memesan beberapa daging segar seperti beef slice untuk bekalnya.

"Din, kamu terusin aja makannya, biar Mas yang layani pembelinya."  Mas Akbar tersenyum padaku sambil mengusap kepalaku yang ditutupi hijab instan.

 Di halaman depan, Ibu mertua tampak berdiri dengan wajah cemberut. Hanya lima menit wanita itu kemudian berlalu lagi.  Sengaja aku berpura-pura tidak memperhatikannya karena malas.

"Udah jam tujuh pagi, Mas. Udah sana kamu siap-siap kerja."

"Ya udah, deh, Mas tinggal dulu, ya." Aku mengangguk sambil memperhatikan punggung suamiku yang berlalu dari warung.

"Senangnya punya suami yang apa-apa mau bantuin  istrinya. Mana dia juga harus kerja seharian," goda salah satu tetanggaku.

Aku tersenyum dan mengangguk cepat.

"Ya Bu, Alhamdulillah." 

"Beda dengan suamiku Bu, kalau disuruh jaga anak sebentar aja, malesnya minta ampun. Ngomel-ngomel nggak jelas, bahkan kadang malah mikirin hp-nya daripada lihatin anaknya yang lagi nangis."  Salah satu tetanggaku menyahuti sambil menggendong anaknya. Tampak wanita itu memakai daster kedodoran.  

"Masa' sih, kebangetan, ya."

"Iya. Kadang saya juga pusing. Akhirnya kami bertengkar, deh," tambahnya lagi.

Jika sudah seperti ini, biasanya akan merembet ke hal-hal yang lainnya. Warung yang dikunjungi oleh para tetangga untuk membeli bahan makanan, tak jarang juga dijadikan ajang untuk bergosip.

Aku tersenyum saja sambil melayani mereka. Sedikit banyak jadi tahu watak mereka.

Suara motor di halaman menandakan jika suamiku akan berangkat kerja. Aku melambaikan tangan saat pria itu melakukan hal yang sama dari atas motornya. Mas Akbar tampak keren dengan jaket hitam yang dipakainya. Di kepalanya, ada helm impian berwarna biru yang kubeli sebagai hadiah pernikahan pertama kami. Matanya menyipit menandakan jika priaku itu tengah tersenyum padaku.

Tak kusangka, Ibu mertua juga berdiri di sana. Semakin memperlihatkan ketidaksukaannya padaku. Aku tersenyum tipis sambil menghitung belanjaan. Tak kusangka, Ibu memilih membuang muka dan menghilang begitu saja.

Ya ampun, Ibu ….  Aku melayani pelanggan yang menimbang bawang-bawangan dengan hati perih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status