Share

Buang Muka

Penulis: Bun say
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-08 20:03:54

Bab 4 Buang Muka

Ya ampun … Aku terhenyak dari tidurku saat mendengar suara ibu terbahak, cukup jelas. Sepertinya suamiku dan ibunya masih mengobrol. Entah jam berapa mereka pulang, aku tidak tahu. Yang jelas, selepas isya aku langsung terlelap karena tidak tidur siang.

Aku duduk dan mendengar percakapan mereka. Ah, bukan mendengar hanya tak sengaja percakapan mereka begitu jelas masuk ke telingaku.

"Ibu aja yang lanjutin makannya. Aku udah kenyang. Lagian makan dua potong aja udah eneg. Keju dan kental manisnya kebanyakan."

"Tapi kalau dibiarkan besok juga basi.  Kamu kan belum punya kulkas. Mau disimpan di mana coba? Mana mahal belinya" Suara Ibu mertua menimpali.

"Nggak apa-apa, di meja makan juga nggak akan basi, Bu. Nanti subuh-subuh biar dihangatkan dengan cara dikukus. Ya udah, Akbar mau tidur dulu. Ibu juga harus istirahat, kan? Ibu pasti  lelah karena perjalanan jauh."

Aku kembali  merebahkan badan, berpura-pura tidur. Semoga saja Ibu mertua tidak mengadu yang macam-macam ketika aku tidur tadi.

Pintu terbuka diikuti dengan langkah pelan suamiku yang disusul dengan suara resleting yang dibuka. Tak berapa lama kemudian, kasur berderit diikuti dengan tubuh Mas Akbar yang merapat. Pria itu  memeluk dari bagian belakang. Ada sejuta kehangatan saat dia melingkarkan tangannya di perutku, mencium rambutku beberapa kali, hingga akhirnya terdengar helaan nafas berat dan deru nafas yang teratur, menandakan jika pria itu sudah masuk ke alam bawah sadar.

**

Alarm suara ayam jago membuatku membuka mata. Perasaan masih kantuk  membuatku mau tak mau harus duduk terlebih dahulu, sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri. 

"Udah waktunya, ya? Padahal perasaan baru aja tidur." Suara serak Mas Akbar menyambut ketika aku baru selesai membersihkan diri.

"Kamu kan masih ngantuk, tidur lagi aja, Mas. Lagian kan kamu harus kerja juga. Biar aku sendiri aja yang belanja," sahutku. Pria itu semalam masuk ke kamar hampir jam sebelas. Sepertinya ibu mertua puas curhat tanpa ada yang mengganggunya.

"Nggak apa-apa, mana tega aku ngebiarin kamu belanja seorang diri. Bentar, aku cuci muka dulu."  Pria itu bangkit setelah membaca doa bangun tidur. Aku memilih shalat tahajud dua rakaat sambil menunggunya.

Memanaskan mesin mobil pukul 2 subuh, ngeri-ngeri sedap, takut ada tetangga yang terganggu dengan deru mesinnya.

 Akhirnya kendaraan yang sedang dibawa oleh suamiku, membelah jalanan yang masih tampak gelap disinari lampu jalan. Beruntung jaket tebal dan masker yang kami kenakan, sedikit cukup untuk menghalau angin yang menyiksa. Cuaca di ibukota itu tidak terlalu dingin di tengah malam dan akan sangat tarik di tengah hari. 

Beruntung kami sudah mulai beradaptasi di sini, dan justru sedikit bersyukur karena kulit yang kusam berangsur memutih dengan sendirinya, meskipun tidak memerlukan perawatan yang ekstra. Aneh sekali cuaca di sini. Panas bukannya membuat kulit hitam, namun justru sebaliknya, membuat  kulit lebih cerah.

"Pak, biasa, ya, diantar ke mobil," ujarku pada pemilik kios.

"Siap, Neng!"

Aku berjalan dari satu jongko ke jongko lainnya. Kami memang selalu belanja di pasar induk, yang mana tengah malam adalah saat-saat yang sedang ramai-ramainya. 

Para kuli panggul mulai menaikkan barang-barang ke atas mobil, sementara yang terakhir aku dan Mas Akbar berjalan menuju ke bagian perdagingan.

Jam empat subuh, kami sudah kembali ke rumah dan langsung membongkar barang dagangan di depan warung.

Biasanya setelah semua teronggok di dekat pintu masuk, Mas Akbar  akan kembali ke rumah untuk melanjutkan tidurnya. Pukul setengah enam pagi dia akan sholat, membantu sebentar di warung, lalu bersiap untuk pergi ke kantor. Sementara aku akan langsung memilah sayuran dan menimbangnya kemudian memasukkannya ke dalam plastik bening.

Cara seperti ini sungguh praktis dan memudahkan para pembeli, hingga aku sendiri tidak perlu repot lagi untuk menimbang dadakan.

Jam setengah lima adzan berkumandang. Kebiasaanku shalat di warung ini karena terdapat kamar mandi kecil di bagian belakang.

Setelah selesai berdoa sebentar, segera kubuka warung dan kunyalakan lampu luar, para pelanggan pun sudah pada berdatangan. Mereka yang sudah hafal, sebentar saja akan kehabisan stok jika telat.

Di lingkungan ini kebanyakan mereka adalah para pekerja aktif yang akan berangkat pagi-pagi dan pulang menjelang sore hari. Maka tak heran jika di pagi buta seperti ini, para pembeli sudah bejibun  memenuhi warung. Berdesak-desakan, saling memilih bahan. Tentu saja mereka akan memberi sayuran yang baik dan bahan makanan yang segar untuk membuat sarapan.

Itu juga salah satu alasan kenapa aku tidak membuka warung sampai  tengah hari, karena umumnya para pembeli akan membutuhkannya di pagi hari. Lagi pula tengah hari para pembeli sudah jarang sekali membeli, sayuran pun akan mulai sedikit layu.

Jam setengah  enam pagi, masih dengan memakai baju koko dan sarung, Mas Akbar turun ke warung untuk membantuku. Dia meletakkan sarapan yang kami beli tadi di pasar untuk kunikmati, sementara pria itu melayani pelanggan dengan ramah.

"Sarapan buat Ibu, udah, Mas?"

"Udah, Ibu lagi makan sambil nonton ceramah."

"Oh." Semoga di TV ada kajian tentang kasih sayang pada menantunya.

"Dina, sop-sopan abis, ya?" 

Aku menoleh. Savika berdiri di sana dengan kimono mandinya. Rambutnya tampak dicepol dengan asal.

"Iya, bentar ya, aku siapkan dulu."

"Jangan lama-lama ya, aku mau berangkat pagi pagi, nih, takut telat,"  ujar wanita itu berdesakkan dengan pembeli yang lain.

"Kalau telat, hamil dong." Ada seseibu yang menimpali obrolannya. Aku dan yang lainnya bahkan tak sengaja tergelak begitu saja. Spontan dan lucu.

Akupun turun tangan, memotong bulatan kol menjadi 4, memasukkan wortel 3 biji, kentang ukuran sedang  1 biji, plus Masako dilengkapi dengan merica sachet dan daun bawang seledri secukupnya, kemudian memasukkan ke dalam plastik ukuran 1 kg dan menyerahkannya padanya. Satu bungkus itu dihargai dengan harga lima ribu rupiah.

"Ini, Kak, langsung bayar aja ke Mas Akbar," ucapku yang dibalas olehnya langsung.

"Ok, Dina. Aku senang belanja di sini karena pelayanan kalian itu cepat, lagi pula bahan-bahannya juga udah komplit, praktis, tinggal langsung masak aja," ujar wanita itu sambil mengumpulkan beberapa bahan makanan, agar segera dihitung.

 Aku kagum dengan wanita karir yang bekerja sebagai sekretaris itu. Wanita itu selalu membawa bekalnya dari rumah hasil masakannya sendiri.

 Tak jarang wanita itu juga memesan beberapa daging segar seperti beef slice untuk bekalnya.

"Din, kamu terusin aja makannya, biar Mas yang layani pembelinya."  Mas Akbar tersenyum padaku sambil mengusap kepalaku yang ditutupi hijab instan.

 Di halaman depan, Ibu mertua tampak berdiri dengan wajah cemberut. Hanya lima menit wanita itu kemudian berlalu lagi.  Sengaja aku berpura-pura tidak memperhatikannya karena malas.

"Udah jam tujuh pagi, Mas. Udah sana kamu siap-siap kerja."

"Ya udah, deh, Mas tinggal dulu, ya." Aku mengangguk sambil memperhatikan punggung suamiku yang berlalu dari warung.

"Senangnya punya suami yang apa-apa mau bantuin  istrinya. Mana dia juga harus kerja seharian," goda salah satu tetanggaku.

Aku tersenyum dan mengangguk cepat.

"Ya Bu, Alhamdulillah." 

"Beda dengan suamiku Bu, kalau disuruh jaga anak sebentar aja, malesnya minta ampun. Ngomel-ngomel nggak jelas, bahkan kadang malah mikirin hp-nya daripada lihatin anaknya yang lagi nangis."  Salah satu tetanggaku menyahuti sambil menggendong anaknya. Tampak wanita itu memakai daster kedodoran.  

"Masa' sih, kebangetan, ya."

"Iya. Kadang saya juga pusing. Akhirnya kami bertengkar, deh," tambahnya lagi.

Jika sudah seperti ini, biasanya akan merembet ke hal-hal yang lainnya. Warung yang dikunjungi oleh para tetangga untuk membeli bahan makanan, tak jarang juga dijadikan ajang untuk bergosip.

Aku tersenyum saja sambil melayani mereka. Sedikit banyak jadi tahu watak mereka.

Suara motor di halaman menandakan jika suamiku akan berangkat kerja. Aku melambaikan tangan saat pria itu melakukan hal yang sama dari atas motornya. Mas Akbar tampak keren dengan jaket hitam yang dipakainya. Di kepalanya, ada helm impian berwarna biru yang kubeli sebagai hadiah pernikahan pertama kami. Matanya menyipit menandakan jika priaku itu tengah tersenyum padaku.

Tak kusangka, Ibu mertua juga berdiri di sana. Semakin memperlihatkan ketidaksukaannya padaku. Aku tersenyum tipis sambil menghitung belanjaan. Tak kusangka, Ibu memilih membuang muka dan menghilang begitu saja.

Ya ampun, Ibu ….  Aku melayani pelanggan yang menimbang bawang-bawangan dengan hati perih.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Saat Ibu Mertua Berkunjung   Ending

    Bab 32"Jangan bercanda, Mika! Bagaimana mungkin kau menyuruh seseorang untuk menikahi Savika. Padahal jelas kau tahu kalau anak yang ada di dalam kandungannya adalah benihku!" Broto langsung menggeram mendengar pernyataan istrinya, yang hari itu sudah menikahkan Savika dengan Ilham. Lebih parahnya lagi, Dina ikut mendukungnya. "Harusnya kamu bersyukur karena aku tidak melaporkan kalian ke polisi atas dugaan perzinahan, Mas!!""Tapi, 'kan ….!" Broto mengacak-acak rambutnya karena kesal. Padahal dia sudah merencanakan pernikahan dengan wanita itu beberapa hari lagi, tentunya tanpa sepengetahuan Mika. Siapa sangka wanita itu bergerak lebih cepat dan memutus harapannya untuk menyunting wanita selingkuhannya."Aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi, Mika. Aku akan pastikan mereka bercerai dan Savika kembali padaku!!" Mika yang tidak takut, hanya melipat tangannya di dada dengan pandangan sinis."Kenapa kau tidak menerima kenyataan, Mas? Wanita itu sudah menikah dengan orang lain, me

  • Saat Ibu Mertua Berkunjung   Hijrah

    Bab 31 Hijrah 'Ku tatap pesan dari pria itu yang menggunakan nomor ponsel kakak iparku. Aneh. Kali ini tidak ada kesedihan ataupun hal yang mengganjal dalam pikiranku. Mungkin karena hatiku yang terlanjur kecewa dan kesal karena dia tidak pernah memikirkan perasaanku, makanya kepergian Mas Akbar kembali ke Jepang justru membuat hatiku sedikit tenang.Aku berharap setelah dia kembali nanti, hatiku sudah siap untuk memberi maaf padanya.Hari-hari kulewati dengan perasaan tenang. Ibu mertua juga tak lagi kudengar kabarnya. Waktu Ayah berkunjung ke mari, ayah janji akan mengunjungi mereka dan memberi nasihat kepada orang tua Mas Akbar.Hingga di hari siang itu, Mbak Mika datang ke rumah."Masya Allah … Alhamdulillah. Mbak Mika hijaban sekarang?" Kupandangi wanita yang tampak anggun menggunakan gamis panjang serta hijab menutup dadanya itu. Mbak Mika, sejak kapan wanita itu berubah dengan menutup auratnya. Benar-benar hidayah yang indah."Dina, boleh Mbak masuk?" "Tentu saja, Mbak." Kup

  • Saat Ibu Mertua Berkunjung   Sebuah Pilihan

    Bab 30 Sebuah Pilihan Aroma masakan yang kubuat menguar di seluruh ruangan. Kali ini aku memasak ayam kecap, sayur sop dan tempe mendoan. Meski aku sedang marah dan malas bertutur kata pada Mas Akbar, tapi perutnya 'tak boleh kelaparan. Makanya setelah berdebat kuputuskan pergi ke dapur dan meracik masakan.Kuketuk pintu kamar depan untuk membangunkan pria itu. Mas Akbar tahu diri. Dia tak lagi menggangguku dan memilih istirahat di kamar lain. Rencananya setelah beres makan aku akan mengajaknya bicara serius."Tumben kamu masak, Din?!" Aku memutar bola mata malas, menatap sebal ke arahnya."Bukankah aku memang sudah biasa melakukannya, ya? Ada atau tidak ada Mas dan Ibu. Eumh, atau jangan-jangan ibu mertua mengatakan hal yang bukan bukan lagi tentangku. Ck, padahal aku sudah memberinya peringatan!!" Rupanya pengaruh fitnah Ibu mertua begitu besar. Dari hal yang ringan sampai hal yang serius, dia selalu melebih-lebihkan dan berkata bohong kepada orang-orang di sekitarnya."Dina, Ken

  • Saat Ibu Mertua Berkunjung   Pesan Ayah

    Bab 29 Pesan Ayah Aku menjalani hariku seperti biasa sekarang. Aku tidak mau pikiranku berakibat buruk kepada anakku nantinya. Biarlah urusan Mas Akbar aku selesaikan setelah kami bertemu nanti. Sedangkan untuk urusan dengan ibu mertua, aku merasa jika semuanya sudah selesai.Tak lupa kuceritakan semuanya kepada ayah. Pria itu harus mengetahui semua yang terjadi pada hidupku, agar Ayah kembali memikirkan kebaikannya kepada besannya tersebut. Bagaimana orang-orang yang dia tolong dan penuhi kebutuhannya selama ini malah tega-teganya menyakiti putrinya sendiri, bahkan tak menganggapku sebagai menantunya."Kau harus tenang, Dina. Sabar. Ayah bersamamu dan ayah akan selalu mendoakan agar kamu selalu bahagia di sana. Jangan terlalu dipikirkan apa yang terjadi, semua adalah bagian dari ujian rumah tanggamu." "Pesan ayah akan kuingat baik-baik. Makasih, ya.""Insya Allah minggu depan kami sekeluarga akan datang untuk berkunjung."Aku tersenyum lagi dan menutup sambungan telepon. Hanya b

  • Saat Ibu Mertua Berkunjung   Mengalah Setelah Lelah

    Bab 28 Mengalah setelah Lelah"Saya masih percaya dengan hati dan pikiran suami saya, Bu. Tapi karena Ibu ngotot terus-terusan meminta saya untuk menjauhi suami dan berpisah, maka baiklah.""Bagus itu, makin cepat makin baik!" Aminah menatap sinis."Baik, Bu. Ada beberapa hal yang ingin saya berikan kepada Ibu. Semoga ini bermanfaat, ya," ujar Dina sambil menekan tombol off pada rekaman ponselnya. Tentu saja Aminah yang sedikit gaptek tidak tahu apa yang dilakukan oleh menantu tersebut.Dina lalu mengambil beberapa berkas dari dalam tas yang kemudian disimpan di atas meja. Melihat gambar yang ada di halaman depannya, wajah Aminah berubah gusar. Dia melirik ke arah suaminya yang biasa saja melihat logo bergambar Ka'bah itu, meski membuat otaknya berpikir keras."Apa ini, Dina? Apa yang hendak kamu berikan kepada kami? Jangan katakan jika ini adalah surat utang atau semacamnya," tukas wanita itu meski sedikit ragu. Dina mengulas senyum."Tadinya ini sebagai bukti kasih sayang say

  • Saat Ibu Mertua Berkunjung   Mengunjungi Mereka

    Bab 27 Mengunjungi Mereka "Ya ampun, Dina. Kamu jauh-jauh dari kota cuma buat nemuin kami. Kamu sama siapa datang ke sini?!" Bahar tergopoh-gopoh menyambut menantunya. Wanita itu ditemani oleh Ilham di belakangnya yang tampak membawa dus oleh-oleh dan koper."Iya, Pak. Kebetulan ada yang ingin saya obrolkan dengan Ibu," ujar wanita itu langsung pada intinya. Aminah yang mendengar suara menantunya dari arah depan buru-buru mengenakan kerudung dan pergi ke luar.Wanita itu memasang wajah ketus dan mengumpat dalam hati. Dia tak menyangka baru beberapa hari pulang dari rumah Dina, wanita itu sudah datang saja bertandang ke rumahnya."Mau ngapain kamu ke sini? Jika tujuanmu hanya untuk mengklarifikasi keadaanmu yang sekarang mengandung benih yang tak jelas siapa bapaknya, mending sekarang kamu pulang saja. Kamu tidak diterima di rumah ini. Terlebih saat si Akbar pergi ke luar negeri untuk mencari rezeki, kamu malah memasukkan pria lain ke dalam rumahmu!!" hardik Aminah dengan lantan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status