Share

Mengadu Pada Akbar

Bab 2 

Mengadu Pada Akbar

"Ya Bu, ada apa?"  Aku segera menghambur ke depan begitu mendengar teriakan ibu yang memekikkan telinga.

"Lagi ngapain kamu di dapur?!" tanya Ibu sambil melotot. Jari telunjuk dan jari tengahku ingin sekali mencolok matanya andai tidak berdosa.

"Aku lagi mengaduk teh, Bu."

"Kamu itu ya, kalau dipanggil sama orang tua bukannya langsung nyahut malah diam aja. Kamu beg* atau kenapa sebenarnya, sih?!"

"Ya Allah, Bu. Dina kan langsung datang. Memangnya apa sih masalahnya?! Lagian bisa nggak sih ibu nggak usah teriak-teriak gitu. Malu di dengar tetangga, Bu."

"Apa, apa kamu bilang!! Kamu itu bisanya cuma ngelawan orang tua, ya. Awas kalau Akbar datang, Ibu aku akan adukan semuanya sama dia!! Lagian hari gini mana ada tetangga yang kepo urusan orang?!"

Ya Tuhan entah harus seperti apa aku menghadapi tingkah wanita itu, yang seperti mau mencari gara-gara denganku. Sabar Dina, sabar  … kalau nggak sabar, sianida beredar. 

Eh, astagfirullah!

"Dina udah ada di depan Ibu, Ibu sekarang mau apa, coba jelaskan tanpa harus pake urat."

"Minumanku, Dina. Minumnya mana? Ibu haus. Kamu pikir ibu di jalan nggak kepayahan apa?!"

Membuang napas yang bercokol di dada, aku segera berlalu ke dapur tanpa bicara lagi dengan wanita itu.

Percuma!

Berkali-kali kubuang sesak dalam dada. Kenapa wanita itu tidak pernah menghargaiku sedikitpun.

 Saat aku kembali ke ruang tamu, Ibu sedang berdiri di sana sambil menghubungi seseorang. Yang kutahu kalau tidak anak pertama, Mbak Mika, mungkin anak keduanya; yaitu Mas Akbar suamiku.

….

"Iya cepat pulang. Ibu nggak betah di sini, lama-lama bicara dengan istrimu bikin Ibu pusing, stres rasanya."

Kuusap dada berkali-kali.  Ingin sekali kuteriakkan di depan wajahnya, bukan hanya Ibu saja yang stress, aku juga sama,  Bu. 

Tiba-tiba ibu datang mengganggu kehidupanku yang nyaman dan tentram. Ibu bahkan datang sambil membawa bom Hiroshima, yang tanpa diduga membuat hidup dan pikiranku berantakan.

Ibu berbalik dengan wajah yang tidak sedap dipandang. Mirip topeng Bali persisnya. Dia kembali duduk di kursi, meraih minumnya  sambil memastikan panas atau tidaknya. Beruntung beberapa kue kering selalu nangkring di atas meja.

 Aku tersenyum miris dan kembali ke dapur. Segera kuambil ayam yang sudah diungkep sebelumnya, hingga akhirnya aku menggorengnya dengan api sedang, agar tidak gosong dan kering luar dalam. 

Tumis kangkung, tahu tempe goreng, ayam dan sambal tomat, sudah tersedia di atas meja makan. Namun wanita itu sepertinya masih betah berada di dalam kamar.  Entah Ibu sedang mengobrol dengan siapa, hingga bunyi dari ponselnya yang terus-terusan memanggil.

"Bu, makan dulu." Setelah berkali-kali kuketuk pintu kamar Ibu, wanita itu baru menyahut setelah aku berteriak. Barang bawaan Ibu masih teronggok dekat pintu masuk kecuali tas miliknya. Ragu aku membawanya ke dalam, takutnya itu oleh-oleh untuk Mbak Mika.

 Ceklek, pintu yang terbuka disertai dengan wajah ibu yang melotot menyambutku. Berbeda ketika tengah menelpon barusan, terdengar cekikikan dan heboh.

Melenggang pergi, wanita itu berlalu ke ruang makan. Bukannya duduk dan mencuci tangan, wanita itu mencicipinya terlebih dahulu dengan ujung jarinya, kemudian tanpa bicara duduk begitu saja.  Bahkan sama sekali tidak menawariku makan. Padahal perutku juga kelaparan.

Aku memilih kembali ke dalam kamar. Biasanya setelah aku menutup warung pukul setengah sepuluh pagi, aku membaringkan diri di kamar sambil memainkan ponsel. Membaca novel-novel online yang selalu berhasil membuatku tertawa, menangis dan kadang terinspirasi dengan kisahnya. Tapi sepertinya kehadiran Ibu di sini akan makin mengganggu me time-ku. 

Setengah jam kemudian, kubuka pintu dan mendapati ruang makan yang berantakan. Pintu keluar terbuka dengan lebarnya. Bagaimana jika ada kucing tetangga yang masuk, bisa-bisa ayam di atas meja digondol oleh mereka. Bahkan  bukan sekali dua kali aku mengalaminya, mengingat kebiasaan Mas Akbar dan Ibunya tidak jauh berbeda.

Perut yang lapar membuatku tak berpikir dua kali untuk makan. Aku langsung duduk dan menikmati makanan. Menggeser piring bekas Ibu yang berantakan dengan sisa-sisa nasi yang tidak rapi. Padahal wanita itu tinggal di desa dan adiknya adalah seorang petani, seharusnya wanita itu tidak menyia-nyiakan beras yang dijaga sepenuh hati oleh pemiliknya, hingga akhirnya menjadi makanan siap santap, tanpa perlu memikirkan ataupun berpanas-panasan di sawah.

****

Mas Akbar pulang pukul empat sore.  Terdengar deru suara motornya di halaman. Aku segera mendekat setelah menyelesaikan ibadah shalat ashar. Sebelum aku menyambut suamiku, Ibu terlebih dahulu sudah berdiri di ambang pintu.

"Assalamualaikum, Bu?"  sapa Mas Akbar dengan sumringah sambil mencium tangan wanita itu. Aku masih berdiri dari jarak tiga meter memperhatikan mereka. 

"Akbar untunglah kamu segala pulang, kalau nggak pusing kepala Ibu."

"Apalagi sih, Bu?!"

"Itu si Dina. Kamu tahu nggak kelakuan istrimu di rumah ini benar-benar menyebalkan. Baru juga Ibu datang, Ibu sudah disuguhi teh panas yang membakar lidah Ibu. Kamu lihat nih bibir Ibu, sampai merah begini,"  ujarnya seperti tengah menunjukkan bibirnya pada suamiku itu. 

Mas Akbar melirik ke arahku sambil melepas sepatu kemudian mengajak Ibu untuk masuk.

"Ibu duduk dulu ya, biarkan Akbar membersihkan diri dulu. Kerjaan di kantor sangat berat, apalagi para staf seperti sengaja memberi pekerjaan itu untuk aku kerjakan."

  Keluhan Mas Akbar tiap hari tidak jauh berbeda. Dimana dia selalu didiskriminasi oleh rekan-rekannya yang lain. Kasihan suamiku itu, pria yang sudah bekerja selama 8 bulan itu harus mendapat perlakuan tidak adil.  Sementara saat pulang pun langsung dirongrong dengan mulut Ibu yang mengadu secara berlebihan.

Mas Akbar menarik tanganku ke dalam kamar. Aku menutup pintu pelan-pelan agar jangan sampai membuat Ibu salah paham. Wanita itu selain selalu membuat ulah, juga kadang-kadang perbuatanku sedikit saja selalu dilebih-lebihkan dan menjadi jalan untuk memulai pertengkaran.

"Apa, Mas? Jangan bilang juga kamu juga akan menyalahkan aku. Padahal kamu tahu kan, aku begitu menyayangi ibumu! Kamu juga harus tahu wataknya itu kayak gimana!" 

 Melihat wajah Mas Akbar yang tidak mengenakan, aku berbicara duluan agar jangan sampai pria itu salah paham.

 Aku tidak mau suamiku itu diracuni oleh bibir Ibu mertua yang sangat pintar sekali bersuara. Entahlah,  wanita itu seperti mantan pembawa berita di TV yang bicara jelas, lugas dan lantang.

"Mas percaya sama kamu, Sayang. Cuma Mas mau agar kamu lebih sabar menghadapi Ibu. Ibu nggak akan lama di sini, paling dua tiga hari juga pulang. Tinggal bagaimana sikapmu saja menanggapinya, lagi pula kita kan harus memuliakan tamu. Terlebih itu adalah orang tua sendiri." Aku mengangguk ketika pria itu menjawil hidungku saat aku memasang wajah cemberut.

"Nggak masalah, Mas. Aku akan memuliakan Ibu karena beliau sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Tapi aku juga nggak mau ya sampai Mas terlalu percaya pada perkataan Ibu. Jika sampai Ibu berkata macam-macam, tolong Mas bertanya langsung padaku alih-alih Mas marah dan mendiamkanku seperti waktu kita tinggal di desa dulu!" 

"Iya, Mas ingat. Maafkan mas waktu itu karena lebih percaya sama Ibu, ya."

 Kuingatkan kembali bagaimana sikap pria itu ketika ibunya mengadu hal yang bukan bukan kepada suamiku. Saat itu dia mendiamkanku selama berhari-hari  lamanya. Bahkan aku merasa hidup seorang diri. Meskipun aku tinggal bersama dengan seorang suami dan keluarganya, tapi tak ada seorangpun yang mau bicara padaku. Mereka itu kompak kalau marah. Satu marah, semuanya ikut-ikutan, bahkan kakaknya sendiri Mbak Mika ikut menelepon dan memarahiku habis-habisan.

Mas Akbar masuk ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Sementara aku memilih menunggu sambil memainkan ponsel. Ingin mengobrol dengan ibu, tapi sepertinya ibu yang tidak mau bicara padaku.

Tapi tak apa, daripada hatiku terus-terusan resah dengan ucapan Ibu yang serba salah, mending diam di kamar lebih baik. 

Lagi pula aku orang yang introvert, hanya bicara dengan suami dan jarang bergaul dengan tetangga; kecuali ketika ada ibu-ibu bergosip di depan warung.

 Banyak pesanan untuk hari esok berupa beberapa kilo daging dan ikan. Aku memang sengaja tidak menyetok daging sapi banyak-banyak, karena selain modalnya besar, takutnya nggak laku dan jika didiamkan akan beraroma tidak sedap, yang akhirnya akan membuatku rugi. 

Lewat banner yang dipasang di atas warung, aku menuliskan nomor ponsel agar jika mereka membutuhkan sesuatu, bisa langsung menghubungi ke nomorku. Jadi besok ketika aku membuka warung, mereka hanya tinggal mengambil pesanannya saja.

"Udah seger, Mas?" 

"Udah. Tapi Mas lapar nih."

"Ya udah, ayo makan. Kebetulan aku masak tumis kangkung pake saus tiram kesukaan Mas. Ada ayam goreng juga pake sambal tomat."  Semanis mungkin kupasang wajahku agar tidak membuat suamiku bete. Di kantor dia ditekan oleh orang-orang di sana, dan sebentar lagi akan dijejali ocehan Ibu, Mas Akbar harus kubuat setenang mungkin.

"Alhamdulillah, istriku ini pengertian sekali."

"Karena aku sayang kamu, Mas." Priaku membawaku pada pelukannya yang menenangkan. Hingga terdengar suara pintu dibuka oleh seseorang.

Ehm, ehm ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status