Janeetha terbaring di atas ranjang dengan tubuh yang gemetar. Kamar yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, baginya berubah menjadi ruang penyiksaan.
Dengan mata yang basah, ia menatap langit-langit, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang segera berakhir.
Namun, kenyataan berkata lain.
Dikara, suaminya, tak menunjukkan tanda-tanda berhenti. Gerakan pria itu semakin liar, seolah menegaskan kekuasaan atas tubuhnya yang lemah.
Janeetha merasa seperti boneka tak bernyawa, terjebak dalam permainan brutal yang tak pernah ia minta.
“M-mas…berhenti…,” pintanya sekali lagi dengan suara yang semakin lirih.
Namun, kata-katanya terabaikan begitu saja. Rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya membuat Janeetha menggigit bibirnya lebih keras, mencoba menahan jeritan yang nyaris meledak.
”Berhenti?” Dikara tertawa kecil membuat bulu kuduk Janeetha meremang. “Aku baru saja mulai, Jani. Jadi nikmati saja!” katanya dengan nada suara serak pun penuh kepuasan.
Seringai yang terlukis di wajahnya seakan menambah penderitaan yang dirasakan Janeetha.
Tak ada rasa kasih atau cinta dalam tindakan Dikara. Malam itu, hanya ada keinginan untuk mendominasi dan meremukkan istrinya.
"Buka kakimu!" desis Dikara penuh otoritas. Kilatan gairah bercampur dengan emosi begitu mendominasi manik hitam pekatnya.
"..."
Merasa jengkel karena Janeetha tak memberi respon, Dikara melebarkan kaki istrinya dengan paksa lalu kembali berusaha menyatukan bagian bawah tubuh mereka.
Air mata mengaliri begitu saja si atas pipi Janeetha. Ia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi agar suaminya mengerti dan berhenti.
"Jadi aku akan mengingatkanmu lagi dan lagi…" Dikara berkata dengan lenguhan karena ia berhasil masuk meski baru setengah. "Bahwa kamu adalah milikku!"
Janeetha menutup matanya, mencoba melupakan rasa sakit yang terus menggerogoti jiwanya.
Air mata terus mengalir di pipi pucat Janeetha, menciptakan jejak-jejak kepedihan yang tak bisa ia sembunyikan.
Tangannya yang dicengkeram erat oleh Dikara bergetar, tetapi ia tahu, perlawanan hanyalah mimpi di malam yang kelam ini.
Pikiran Janeetha melayang ke masa lalu, saat perasaan mereka masih murni dan penuh kebahagiaan.
Ah, tidak! Sepertinya hanya diriya yang sempat memiliki perasaan seperti itu…
Kini, semua itu tinggal kenangan. Hubungan mereka yang dulunya tampak indah, perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang tak berkesudahan.
***
Janeetha duduk di pinggiran tempat tidur, menahan napas sembari mendesis perlahan. Rasa perih yang terasa di bagian inti tubuhnya terus berdenyut, mengingatkan dirinya pada apa yang baru saja terjadi.
Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha mengalihkan rasa sakit itu, tetapi bayangan wajah Dikara yang penuh nafsu tanpa kasih sayang terus mengganggu pikirannya.
Padahal semalam dan subuh tadi, Dikara sudah menagih jatahnya, untuk melayani tanpa peduli pada kelelahan dan ketidaknyamanan yang Janeetha rasakan.
Dan kini, hanya satu jam sebelum pria itu harus berangkat ke kantor, ia kembali meminta hal yang sama. Bukan, bukan meminta—memaksa, seperti biasanya.
Janeetha sebenarnya tak mempermasalahkan kebutuhan suaminya itu. Bagi dirinya, kewajiban seorang istri adalah hal yang biasa.
Namun, yang ia tidak bisa terima adalah cara Dikara memperlakukannya—baik dalam hubungan intim maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Sudah dua tahun mereka menikah, tetapi tak sekalipun Dikara menunjukkan kelembutan atau kasih sayang yang dulu pernah ia impikan dari seorang suami. Sebaliknya, pria itu cenderung kasar, dingin, dan akhir-akhir ini sikap posesifnya semakin menjadi-jadi.
Janeetha sering merasa tercekik, seolah-olah tak ada ruang baginya untuk bernapas, apalagi untuk menjadi dirinya sendiri.
Saat ia sedang sibuk menepis rasa sakit yang menjalar, sebuah getaran dari ponsel Dikara yang tergeletak di atas nakas menarik perhatiannya. Layarnya berkelip, menandakan adanya pesan masuk.
Nama "Ameera" muncul di sana, membuat Janeetha terdiam sejenak.
Biasanya, Janeetha tak pernah tertarik untuk mengurusi urusan pribadi Dikara. Sejak awal pernikahan mereka, kesepakatan itu sudah dibuat: masing-masing mengurusi hidup sendiri.
Namun, entah mengapa, karena telah berkali-kali mendapatkan nama wanita yang sama dalam waktu yang cukup lama dan cukup sering, kali ini ada dorongan kuat dalam diri Janeetha untuk meraih ponsel tersebut dan membukanya.
Meski sedikit heran karena Dikara tidak memasang pengamanan apapun pada ponselnya, Janeetha lebih fokus untuk membuka pesan dari Ameera.
Perasaan aneh menjalar di hatinya, campuran antara rasa penasaran dan ketidaknyamanan yang tak bisa ia jelaskan.
[Ameera: Terima kasih tasnya. Kutunggu pagi ini]
Janeetha membaca pesan yang diakhiri dengan emoticon hati itu berulang kali, seakan ingin memastikan bahwa matanya tidak salah melihat.
Ia bahkan melihat foto sebuah tas mewah yang disertakan Ameera dalam pesan itu—tas yang jelas sangat mahal, bahkan lebih mahal dari apa yang pernah Dikara berikan padanya.
Tidak, Janeetha tidak merasa cemburu. Ia sudah lama kehilangan rasa cinta dan sayang terhadap suaminya. Yang ia rasakan sekarang adalah kemarahan dan kekecewaan yang mengalir deras dalam dirinya.
Bagaimana mungkin Dikara bisa bersenang-senang dengan wanita lain di luar sana, sementara ia diperlakukan dengan kejam di rumah ini? Apa yang membuat Dikara berpikir bahwa ia bisa memiliki segalanya, tanpa sedikit pun memperhitungkan perasaan orang lain?
Ketika Ketika Janeetha membuka matanya, ruangan putih terang menyambutnya. Kelopak matanya terasa berat, tubuhnya lemah, dan ada rasa sakit luar biasa di perutnya.Dia berkedip beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Aroma khas rumah sakit menyengat hidungnya. Infus terpasang di tangannya, dan tubuhnya terasa begitu lemah, seolah hanya tersisa separuh jiwa dalam dirinya.Kemudian, ingatan itu kembali.Darah.Rasa sakit.Jeritan yang tidak terdengar.Tangannya perlahan bergerak ke perutnya yang datar.Tidak…Tidak mungkin…Matanya membelalak saat kepanikan merayapi tubuhnya. Nafasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya menolak. Air matanya mulai menggenang di sudut mata.“Bayi…” suaranya hampir tak terdengar. “Bayi ku…”Maria, yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, segera menghampirinya dan menggenggam tangannya dengan erat. “Janeetha… aku di sini.”
“Dasar bajingan! Pergi kau!”Dikara tersentak.Suara itu begitu familiar, mengandung kemarahan yang meledak-ledak. Sebelum ia bisa sepenuhnya mengangkat kepalanya, seseorang sudah menarik kerah bajunya dengan kasar, hampir membuatnya terjatuh dari kursi.Fabian.Pria itu berdiri di depannya dengan wajah merah padam, tatapan penuh kebencian terpancang kuat di matanya. Napasnya memburu, dadanya naik turun seolah menahan emosi yang hendak meledak.“Sudah cukup kau menghancurkan hidupnya! Apa kau belum puas?!” Fabian menggeram, suaranya bergetar oleh amarah. “Dia hampir mati, Dikara! Kau dengar itu? HAMPIR MATI karena kau!”Dikara hanya menatapnya, matanya kosong.Jika ini terjadi beberapa bulan lalu, ia mungkin sudah membalas Fabian dengan kepalan tangan. Ia mungkin sudah melayangkan tinju ke wajah pria itu tanpa pikir panjang.Tetapi malam ini… tidak ada amarah dalam dirinya. Hanya keham
Setelah semalaman berjaga, Dikara berdiri dengan tubuh tegang di depan ruang ICU, menunggu dokter yang baru saja masuk untuk memeriksa Janeetha. Begitu juga Maria dan Sam.Pikiran pria itu berkecamuk, memutar kembali kejadian-kejadian yang telah terjadi. Keguguran. Trauma. Janeetha telah kehilangan bayinya. Anak mereka.Suatu kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun.Pintu ICU terbuka, dan Dokter Arief melangkah keluar dengan ekspresi lebih tenang dari sebelumnya. “Kondisinya mulai stabil. Jika tidak ada komplikasi lain, kami akan memindahkannya ke ruang perawatan dalam beberapa jam.”Dikara mengangguk pelan, meskipun perasaannya masih berantakan.Maria, yang berdiri tak jauh darinya, bersedekap dengan tatapan tajam. “Bagus. Itu artinya kau tak perlu di sini lagi.”Dikara menoleh, menatap Maria dengan pandangan dingin. “Aku akan tetap di sini.”Sam, yang berdiri di samping Maria, mendengus sinis. &l
Maria menatapnya penuh kebencian. “Kau tidak bisa mengambilnya kembali begitu saja.”Dikara menatapnya sejenak, lalu perlahan berjalan mendekat.“Aku tidak mengambil apa pun.” Suaranya rendah, tetapi ada nada mengancam di dalamnya. “Aku hanya datang untuk menjemput istriku.”Maria mengepalkan tangannya, sementara Sam berdiri lebih dekat di sampingnya.Di balik pintu ruang operasi, Janeetha sedang berjuang antara hidup dan mati.Suara alat-alat medis yang berbunyi nyaring, berpadu dengan suara dokter dan perawat yang berusaha menyelamatkan dua nyawa sekaligus.Tubuh Janeetha terbaring tak berdaya di atas meja operasi, darah masih mengalir dari tubuhnya meskipun tim medis sudah berusaha menghentikannya.Dokter yang bertugas berdiri di dekat kepala Janeetha, menatap monitor dengan rahang mengatup rapat. “Tekanan darahnya turun drastis! Beri tambahan cairan!”Seorang perawat buru-buru
Malam semakin larut, hujan turun perlahan di luar jendela klinik kecil itu. Di dalam ruangan yang remang, Janeetha terbaring dengan tubuh lemah, wajahnya pucat pasi. Napasnya pendek dan tersengal, sementara tangannya menggenggam erat sprei ranjang seakan mencoba menahan rasa sakit yang semakin menggigit perutnya.Maria duduk di sisi ranjang, memegang tangan Janeetha dengan erat. Sam mondar-mandir di ruangan dengan wajah tegang, sesekali menoleh ke arah dokter Arief yang sedang memeriksa tekanan darah Janeetha.Beberapa waktu lalu Janeetha kembali mengeluh kesakitan dan tampak lebih parah dari sebelumnya karena itu Sam segera memanggil dokter Arief.Tiba-tiba, tubuh Janeetha menegang. Napasnya memburu, dan bibirnya mengeluarkan erangan tertahan sebelum tubuhnya mulai bergetar hebat.“Maria… sakit…” Suaranya nyaris tidak terdengar.Maria langsung menegang, sementara Sam menghentikan langkahnya dan bergegas mendekat.&
Sam memapah Janeetha keluar dari rumah persembunyian mereka. Langkah Janeetha lemah, tubuhnya nyaris limbung jika saja Sam tidak menggenggamnya erat.Maria berjalan cepat di depan, sesekali menoleh dengan wajah tegang. Mereka tahu mereka tidak bisa sembarangan ke rumah sakit besar—terlalu berisiko.“Kita harus menemukan tempat yang aman untuk memeriksanya,” gumam Maria sambil melihat layar ponselnya. “Ada sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Aku punya kenalan di sana. Dia bisa membantu tanpa terlalu banyak bertanya.”Sam mengangguk tanpa ragu. “Ayo.”Mereka menaiki mobil tua yang telah disiapkan Maria sebelumnya. Sam duduk di belakang bersama Janeetha, memastikan kepalanya bersandar nyaman di bahunya. Wanita itu tampak semakin pucat, bibirnya sedikit gemetar akibat kehilangan darah.“Bertahanlah,” bisik Sam pelan.Janeetha hanya mengangguk lemah, matanya mengerjap samar. Setiap detik ya
"Ya Tuhan, Janeetha!" Maria buru-buru melangkah keluar, mendekat dengan wajah panik. Tatapannya langsung tertuju pada wanita itu yang hampir tidak bisa berdiri tanpa dukungan Sam. "Apa yang terjadi?"Sam menghela napas berat. "Dia terluka, tapi dia menolak untuk mendapatkan pertolongan medis."Maria mengumpat pelan sebelum meraih lengan Janeetha dengan lembut, mencoba menuntunnya masuk. "Kita tidak bisa membiarkanmu dalam keadaan seperti ini. Kau butuh dokter.""Tidak," gumam Janeetha lemah, meskipun tubuhnya sudah hampir tidak bisa menahan rasa sakit yang semakin tajam di perutnya. "Kita tidak bisa pergi ke rumah sakit. Dikara pasti akan menemukanku."Maria mengatupkan rahangnya dengan frustasi. "Dan kau pikir apa yang akan terjadi jika kau mati di sini?!" suaranya sedikit meninggi. "Ini bukan tentang Dikara lagi, Janeetha. Ini tentang kau. Tentang nyawamu!"Janeetha menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang bercampur dengan rasa sakit. Ia s
Sam membantu Janeetha memasuki sebuah mobil kecil yang mereka dapatkan dari seseorang yang bersedia mengantarkan mereka ke luar kota dengan imbalan cukup besar.Pria paruh baya yang mengemudikan mobil itu tidak banyak bicara—hanya sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion dengan ekspresi waspada.Duduk di kursi belakang, Janeetha bersandar lemah pada jendela. Napasnya pendek-pendek, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya meskipun udara di dalam mobil terasa dingin. Sam, yang duduk di sampingnya, tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya."Janeetha, kau harus bilang apa yang sebenarnya terjadi," ujar Sam pelan, tapi dengan tekanan yang jelas.Janeetha mengerjap, mencoba menegakkan tubuhnya, tapi rasa sakit yang menusuk perutnya semakin menjadi. "Aku baik-baik saja," gumamnya, meski suaranya hampir tak terdengar.Sam tidak lagi percaya. Tadi di terminal, dia melihatnya berdarah—dan itu bukan sesuatu yang bisa diabaika
Angin dingin menusuk kulit saat Janeetha turun dari bus dengan langkah goyah. Hujan gerimis masih turun, membuat jalanan becek dan licin.Sam berjalan di sampingnya, sesekali melirik dengan khawatir. Wajah Janeetha pucat, bibirnya tampak lebih kering dari biasanya, dan sorot matanya mengisyaratkan kelelahan yang amat sangat. Sekilas, ia tampak seperti seseorang yang bisa roboh kapan saja.Di sekitar mereka, terminal kecil itu masih cukup ramai meski hari sudah mulai menginjak petang. Orang-orang berlalu lalang dengan jaket atau payung seadanya, beberapa tampak bergegas menuju bus yang siap berangkat, sementara yang lain sibuk berbincang dengan pedagang kaki lima di sekitar area tunggu.Sam menoleh ke Janeetha, kemudian menarik lengannya pelan. “Kita harus cari tempat istirahat sebentar,” katanya, mencoba berbicara selembut mungkin agar Janeetha tidak langsung menolaknya.Seperti yang sudah diduga, Janeetha segera menggeleng cepat. “Tidak