Share

#2 Di Balik Pintu Kekuatan dan Luka

Penulis: laliza mpoet
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-21 11:24:40

Pintu kayu mahoni itu menjulang kokoh di hadapanku, seperti gerbang menuju dunia yang sama sekali berbeda. Di belakangku masih ada sisa-sisa kekacauan: lobi megah yang terasa asing, rasa malu karena nekat datang tanpa janji, juga bayangan Rendy dan pesan kejam Nadine yang terus menghantui kepalaku. Di depan, ada ketidakpastian. Bagaimana kalau Alvaro hanya bersikap sopan kemarin? Bagaimana kalau sekarang aku malah dianggap mengganggu dan dipermalukan asistennya?

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan jantungku yang berdebar begitu keras hingga terasa di pelipis. Aroma kopi mahal bercampur wangi kayu tua memenuhi koridor ini. Hangat, tapi juga membuatku gugup. Rasanya jelas sekali: aku memasuki wilayah orang-orang kuat. Dan aku? Aku hanya seorang perempuan patah hati yang masih belajar berdiri lagi.

Sebelum sempat mengetuk, pintu terbuka.

Dan dia ada di sana.

Alvaro. Tanpa jas formal yang basah kuyup seperti malam itu. Sekarang ia hanya mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung, dipadukan dengan celana abu-abu sederhana. Lebih santai, lebih mudah didekati, tapi auranya tetap kuat. Tatapannya menyapu wajahku sejenak, cukup untuk membuatku merasa telanjang dalam segala kecemasan yang kupendam.

"Alexa," ucapnya. Namaku terdengar berbeda di bibirnya. Ada kehangatan di sana. Bukan datar seperti Rendy dulu, atau sinis seperti Nadine.

Aku menunduk gugup. "Saya… tidak bermaksud mengganggu, Tuan Alvaro."

"Tidak mengganggu," katanya tenang. "Dan panggil saja Alvaro." Ia membuka pintu lebih lebar. "Masuklah."

Aku ragu sejenak, lalu melangkah masuk. Ruangannya luas dengan dinding kaca menampilkan pemandangan Jakarta. Buku, lukisan, dan penghargaan berjejer rapi, tapi bukan untuk pamer—ruangan ini jelas digunakan, bukan hanya dipoles untuk kesan.

"Baru saja buat espresso. Mau secangkir?" tanyanya sambil melangkah ke mesin kopi.

Aku hanya bisa mengangguk. Dia sendiri yang menuangkan dan membawanya padaku. Duduk berhadapan, bukan bersembunyi di balik meja besar. Seakan ingin bicara sejajar.

"Jadi," katanya sambil menyerahkan cangkir itu. Jari-jarinya sempat bersentuhan dengan tanganku. Hangat. "Apa yang membawamu kemari? Masih kehujanan?"

Dia mencoba melucu. Aku berusaha tersenyum tipis. "Tidak. Hujan sudah berhenti. Saya… datang karena ucapan Anda semalam. Tentang pekerjaan. Dan… teman bicara."

Aku menatap cairan hitam pekat di cangkirku. Apa aku terlalu nekat?

Dia tidak langsung menanggapi. Hanya meneguk espressonya, lalu menatapku. "Kamu terlihat seperti habis bertemu hantu," ujarnya akhirnya.

Tawa getir lolos dari bibirku. "Hampir saja. Saya bertemu mantan suami. Dan beberapa menit sebelumnya, saya mendapat pesan dari perempuan yang… merebutnya."

Seketika mata hazelnya mengeras. "Pesan apa?"

Aku mengulang singkat isi pesan itu, tanpa menyebut nama Nadine. Nada suaraku dingin, seolah bercerita tentang orang lain. Kalau tidak begitu, aku pasti akan pecah menangis.

Dia mendengarkan, serius. Tidak ada rasa iba yang merendahkan. Hanya empati—dan ketajaman. Seperti ia sedang memecahkan persoalan rumit.

"Alexa," katanya pelan. "Aku tidak akan memberimu kata-kata manis kosong. Dunia kadang kejam. Orang jahat memang bisa tampak menang. Tapi mereka yang bangkit, yang menolak terus jadi korban—merekalah yang akhirnya menentukan akhir cerita."

Dia beranjak, mengambil tablet dari mejanya. "ALCORP sedang merintis divisi baru: yayasan sosial. Fokusnya beasiswa dan pemberdayaan perempuan. Aku butuh seseorang yang tidak hanya paham administrasi, tapi punya empati. Seseorang yang tahu rasanya berjuang."

Tatapannya menembusku. "Portofoliomu mungkin tidak seindah lulusan Ivy League. Tapi aku melihat sesuatu di matamu, Alexa. Keteguhan yang bersembunyi di balik luka. Aku percaya instingku, dan instingku bilang kamu cocok memimpin divisi ini. Asisten direktur, untuk awal."

Aku terdiam. Jantungku berhenti sepersekian detik. Aku kira paling banter ia menawarkan pekerjaan administrasi, bukan tanggung jawab sebesar ini.

"Tapi… saya bukan siapa-siapa. Latar belakang saya seni, kurator…" suaraku gemetar.

Dia tersenyum tipis. "Seni adalah bahasa hati. Yayasan ini pun begitu. Bukan sekadar angka. Kita butuh cerita, butuh empati. Dan aku butuh partner yang bisa dipercaya." Ia condong sedikit ke depan. Energinya fokus, intens. "Apa kamu berani ambil kesempatan ini? Bukan untukku, tapi untuk membuktikan pesan itu salah."

Air mataku tumpah, kali ini bukan karena sedih, melainkan lega. Rasanya seperti ada tangan yang menarikku keluar dari dasar jurang.

"Iya," bisikku, serak. "Iya, saya mau. Terima kasih. Saya tidak akan mengecewakan."

Senyum Alvaro mengembang. "Bagus. Mulai besok. HR akan mengurus administrasimu. Selamat datang di ALCORP, Alexa."

Dua minggu kemudian.

Hidupku berubah drastis. Tiap pagi aku melangkah ke menara ALCORP dengan setelan murah hasil berburu diskon. Ruang kerjaku kecil, tapi cukup nyaman dengan jendela yang memandang ke jalan raya. Tugasku berat—menyusun proposal, rapat dengan NGO, menyiapkan strategi. Tapi anehnya, aku justru merasa hidup kembali.

Alvaro… dia bos yang menantang. Perfeksionis, tapi juga membimbing. Setiap kali rapat, ia benar-benar mendengarkan. Memberiku ruang untuk bicara, bahkan saat idenya terdengar naif. Dia memperlakukanku sebagai mitra, bukan sekadar bawahan.

Dan entah bagaimana, perlahan tumbuh sesuatu di antara kami. Bukan sekadar ketertarikan fisik—meski jelas sulit mengabaikan betapa memikatnya dia—tapi lebih pada keselarasan pikiran. Dia memberiku rasa percaya diri, sementara aku, entah bagaimana, memberinya perspektif yang segar.

Suatu sore kami lembur. Kantor sudah sepi. Hanya suara keyboard dan lampu neon yang menemani.

"Data dampak sosial ini masih kurang kuat," katanya, menatap grafik di layar. "Dewan akan langsung menyerangnya."

Aku mendekat, membaca layar. Jarak kami hanya sejengkal. Aku bisa mencium aroma kayu halus bercampur kopi dari tubuhnya.

"Bagaimana kalau ditambahkan testimoni langsung? Misalnya video Ibu Sari, yang anaknya sekarang kuliah kedokteran berkat beasiswa. Angka bisa diperdebatkan, tapi cerita nyata sulit diabaikan."

Dia menoleh, menatapku. Sorot mata itu membuat nafasku tercekat. "Ide brilian," ujarnya, dengan nada bangga yang membuat dadaku hangat.

Tepat saat itu, ponselku bergetar. Pesan dari nomor asing. Nadine.

Isi pesan: Dengar-dengar udah kerja di ALCORP ya? Jadi main cantik deketin bos biar cepat naik jabatan? Rendy cerita kau ketemu dia. Jangan mimpi bisa menang. Kau cuma papan loncatan.

Tanganku gemetar. Dunia kembali berputar. Dia tahu. Bagaimana?

"Alexa? Kenapa pucat?" suara Alvaro memecah lamunanku.

Aku menyerahkan ponsel itu padanya. Tidak ada lagi tenaga untuk menyimpan semuanya sendiri.

Ia membaca. Rahangnya mengeras, matanya menyipit penuh amarah dingin. "Dia ini siapa?"

"Istri mantan suamiku," jawabku, bergetar. "Perempuan itu."

Alvaro menatapku lama, lalu mengambil ponselku. Dengan tenang ia menekan beberapa tombol. Nomor itu diblokir.

"Kamu tidak perlu terus-terusan disakiti," katanya datar. Matanya menatapku serius. "Kalau dia mencoba lagi lewat cara lain, beritahu aku. Ini bukan hanya urusanmu lagi. Ini juga urusanku—sebagai atasanmu, dan… temanmu."

Kata itu—teman—terdengar dalam, penuh makna. Dadaku sesak oleh rasa lega. Ada seseorang yang berdiri di sisiku.

"Terima kasih," bisikku.

Dia hanya tersenyum tipis, lalu menggenggam tanganku sebentar. Hangat. Tegas. Seperti janji.

"Baik," katanya kembali ke layar, seolah tak ada yang terjadi, meski aku tahu semuanya sudah berubah. "Mari kita selesaikan presentasi ini. Besok, dewan direksi menunggu."

Sementara itu, di sebuah klub malam mewah, Nadine memandangi ponselnya. Pesannya tak terkirim. Diblokir. Ia menyeringai tipis. Jadi Alexa sudah menemukan pelindung? Seorang CEO tampan dan berkuasa?

"Menarik," gumamnya, matanya menyala dengan racun.

Rendy duduk di depannya, wajah lelah, mabuk. Hidupnya bersama Nadine tidak seperti yang ia bayangkan. Wanita itu penuh intrik, manipulatif, tamak.

"Kau tahu Alexa sekarang kerja di ALCORP?" tanya Nadine, dengan senyum beracun.

Rendy terkejut. "Apa? Bagaimana bisa?"

Nadine mengelus tangannya dengan kuku tajam. "Sepertinya dia cepat move on. Merayu bosnya yang jauh lebih kaya darimu. Kau lihat? Dia memang tidak pernah benar-benar cinta padamu. Sekarang uangmu berkurang karena pernikahan kita, dia lari ke yang lebih mapan."

Kata-kata itu menancap tepat di titik rapuh Rendy. Ia sedang goyah, keuangannya kacau. Fakta bahwa Alexa sudah punya jalan sendiri, bahkan dengan pria seperti Alvaro, membuatnya panas terbakar.

Ia menenggak whiskey sekali teguk. Penyesalan yang ia tahan meledak jadi cemburu dan amarah.

Nadine tersenyum puas melihatnya. Api sudah menyala. Dan sekarang, permainan baru dimulai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Putri Ramadhani
Geregetan bgt nadin ih...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #44 Bahasa Hujan dan Lagu yang Belum Selesai

    Musim hujan datang tanpa banyak peringatan. Awalnya cuma gerimis lembut yang membasahi jalan, lalu berubah jadi rintik-rintik yang menetap, mengetuk jendela dengan ritme tenang. Buat kami, hujan bukan sekadar cuaca. Ia seperti bab baru—bukan yang menutup, tapi yang menyembuhkan.Surya menemukan kesenangan aneh dari suara hujan. Sore itu, dia duduk di dekat jendela, dagunya bertumpu di lutut, dahinya menempel di kaca dingin.“Dengerin, Bu,” katanya pelan, matanya setengah terpejam. “Hujannya nyanyi.”Aku ikut diam, mencoba mendengar seperti dia. Suaranya bukan sekadar rintik air—ada dentuman kecil di talang, desisan lembut di daun, dan ketukan acak di teras. Seperti melodi yang nggak butuh alat musik.“Lagu apa yang dia nyanyikan?” tanyaku.“Lagu tentang yang hilang terus ketemu lagi,” jawabnya lirih. “Tentang bumi yang haus, terus akhirnya bisa minum. Kayak kita.”Aku tersenyum. Anak ini... selalu punya cara sendiri buat memahami hal-hal besar dengan kata-kata sederhana.Alvaro yang

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #43 Jejak Kaki di Pasir dan Luka yang Belum Kering

    Kemenangan hari itu kami rayakan dengan cara sederhana. Tidak ada pesta, tidak ada balon atau tumpeng. Hanya semangkuk es krim cokelat—favorit Surya—yang dia habiskan dengan penuh konsentrasi, seperti seseorang yang sedang menikmati sesuatu yang sakral. Setiap sendok yang masuk ke mulutnya adalah pengingat bahwa tubuhnya masih sanggup menerima kebahagiaan kecil."Enak," gumamnya sambil menjilat sendok. Matanya berbinar, cahaya itu kembali—belum sekuat dulu, tapi cukup untuk membuat dadaku sesak oleh rasa syukur."Pelan-pelan, Sayang," kataku, sambil menatapnya dengan senyum yang nggak bisa kutahan.Alvaro duduk di seberang, merekam dengan ponselnya. Gambar itu goyah, tapi justru di situlah keindahannya—rekaman tangan seorang ayah, bukan sinematografer. Bukan untuk dibagikan, hanya untuk disimpan. Sebuah kenangan kecil yang ingin kami genggam selamanya.Malamnya, setelah Surya tertidur dengan perut kenyang dan senyum yang masih menempel di bibirnya, aku dan Alvaro duduk di dapur. Teh c

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #42 Jejak-jejak Keberanian di Lantai Rumah Sakit

    Kata remisi itu seperti udara segar yang tiba-tiba masuk ke paru-paru setelah berbulan-bulan menahan napas. Bukan akhir dari perjuangan, tapi sebuah jeda—izin untuk bernapas lega, untuk berharap lagi, untuk percaya bahwa hidup masih punya ruang bagi keajaiban. Pulang dari rumah sakit tak seperti yang sering digambarkan film. Tidak ada tawa besar atau musik ceria. Yang menyambut kami justru keheningan yang lembut, seperti doa yang baru saja selesai dibisikkan. Rumah kami yang selama ini dipenuhi bau obat, botol antiseptik, dan langkah perawat kini terasa seperti tempat yang baru. Seperti ruang yang telah disucikan oleh air mata dan keberanian. Surya berdiri di ambang pintu. Tubuhnya masih kurus, gerakannya hati-hati, tapi matanya—mata itu sudah kembali bersinar. “Rumah,” katanya pelan, seolah mencicipi arti kata itu lagi. Alvaro berdiri di belakangnya, dan aku melihat bahunya bergetar. Dia tak berkata apa pun. Air matanya jatuh diam-diam, bukan karena kesedihan, tapi karena lega.

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #41 Simfoni yang Baru

    Pameran “Keluarga Seutuhnya” memang telah berakhir, tapi gema emosinya masih terasa di mana-mana. Surat-surat mulai berdatangan ke kampus Sri Wirawan—dari orang-orang yang bercerita tentang keluarganya sendiri, tentang rahasia yang dulu mereka sembunyikan, tentang luka yang akhirnya mereka berani hadapi. Kampus itu, yang dulu hanya menjadi tempat belajar, kini menjelma menjadi ruang penyembuhan. Tempat di mana orang datang bukan hanya untuk mencari ilmu, tapi juga untuk berdamai dengan masa lalu mereka.Di dalam keluarga kami sendiri, suasana damai itu terasa nyata, tapi berbeda dari sebelumnya. Ini bukan ketenangan karena tidak ada masalah, melainkan karena kami tahu, apapun masalah yang datang nanti, kami bisa menghadapinya bersama.Alvaro dan Siska terlihat semakin dekat. Hubungan mereka yang dulu rumit kini berubah jadi sesuatu yang tulus—aneh, tapi hangat. Mereka bukan sekadar paman dan keponakan, bukan juga hanya teman seperjuangan, tapi dua jiwa yang saling memahami karena pern

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #40 Jejak-jejak yang Terlupakan

    Ketenangan setelah pengungkapan terakhir tentang Ibu Sari terasa seperti tarikan napas pertama setelah lama menyelam. Ada kelegaan yang hampir bisa kurasakan secara fisik—seolah-olah beban yang selama ini menekan punggung kami akhirnya terangkat. Rumah baru kami yang sederhana bukan lagi tempat berlindung dari ancaman, melainkan ruang yang benar-benar meneduhkan, tempat di mana kami belajar bernapas dengan damai. Alvaro dan Siska melewati minggu-minggu berikutnya dengan cara mereka sendiri. Mereka sering pergi berdua, mengunjungi tempat-tempat yang dulu berarti bagi ibu mereka. Bukan untuk mencari jawaban lagi, tapi untuk berdamai dengan kenangan. Kadang, aku melihat mereka duduk di taman sambil berbagi cerita lama. Ada tawa, ada air mata, tapi selalu ada kedekatan yang tulus di antara keduanya. Rasanya seperti menyaksikan luka lama perlahan berubah jadi sesuatu yang lembut. Sementara itu, Diana yang sudah mulai pulih kembali menemukan semangatnya lewat musik. Ia memutuskan untuk men

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #39 Simfoni yang Baru

    Kehidupan di rumah baru berjalan dengan irama yang sama sekali berbeda. Tidak lagi terburu-buru, tidak lagi dibayang-bayangi agenda rapat atau dering telepon tanpa henti. Pagi hari dimulai dengan tawa Surya yang sibuk menceritakan mimpinya sambil menyendokkan sereal. Alvaro, yang dulu bahkan jarang turun ke dapur, kini punya ritual baru: membuat kopi dengan metode tuang perlahan. Aku sering memperhatikan caranya menuang air panas di atas bubuk kopi dengan kesabaran yang tak pernah kubayangkan darinya. Aku sendiri menemukan ketenangan sederhana dalam menanam basil dan rosemary di pot-pot kecil di jendela dapur. Ada rasa puas yang aneh saat memetik daun segar untuk masakan malam.Perubahan ini merembes ke segala hal. Alcorp, di bawah kepemimpinan generasi baru, mulai bergerak ke arah yang lebih berani, menekankan pada keberlanjutan dan bisnis yang etis. Sementara kampus Sri Wirawan semakin ramai. Tidak lagi sekadar ruang kuliah, tapi pusat dialog lintas budaya. Festival tahunan yang mer

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status