Pagi itu, matahari menyinari jendela besar rumah Alexa. Aroma kopi memenuhi ruang makan, namun suasana hatinya tidak setenang biasanya. Malam sebelumnya ia menerima pesan misterius, dan ia tahu betul siapa pengirimnya.
Alexa menatap ponselnya di atas meja. Pesan itu masih ada: “Aku akan mengambil semua milikmu—termasuk pria barumu.” Tangannya mengepal. Bukan karena takut, melainkan karena muak. “Kenapa dia selalu muncul lagi dalam hidupku?” gumam Alexa, suaranya lirih. Langkah kaki terdengar dari arah tangga. Alvaro muncul dengan kemeja putih, dasi hitam yang baru saja ia kenakan. Senyum tipisnya menghiasi wajah, seakan membawa ketenangan di pagi itu. “Pagi, Alexa.” Ia mendekat, mencium kening wanita itu dengan lembut. Alexa mencoba membalas senyum itu, meski hatinya masih diliputi resah. “Ada yang mengganggumu?” tanya Alvaro tajam, ia bisa merasakan perubahan ekspresi di wajah Alexa. Alexa ragu sejenak. Haruskah ia bercerita soal pesan dari Nadine? Atau lebih baik menyimpannya sendiri? Akhirnya, ia memilih menggeleng. “Tidak. Hanya sedikit lelah.” Alvaro menghela napas, tangannya mengusap pipi Alexa. “Kalau begitu istirahatlah. Aku ada rapat pagi ini, tapi sore nanti kita bisa makan malam bersama. Aku ingin kau tersenyum lagi.” Alexa hanya mengangguk. Namun di dalam hatinya, ada perasaan tidak tenang yang semakin kuat. Sementara itu, di sebuah apartemen mewah, Nadine berdiri di depan cermin. Ia mengenakan gaun merah berpotongan rendah, bibirnya dilapisi lipstik senada. Tatapannya penuh ambisi. “Kau pikir aku akan kalah, Alexa?” bisiknya pada bayangan dirinya sendiri. “Aku sudah merebut Rendy darimu dulu, dan aku bisa merebut pria barumu juga.” Ia meraih ponselnya, menatap layar dengan senyum licik. Malam ini, ia sudah menyiapkan langkah berikutnya untuk mendekati Alvaro. Nadine meneguk segelas anggur merah di tangannya, lalu berjalan ke balkon apartemennya. Dari sana, lampu-lampu kota berkelap-kelip, seolah ikut menjadi saksi ambisinya. Ia membuka laptop, menampilkan jadwal pertemuan bisnis Alvaro. Ia berhasil mendapatkan dokumen itu melalui kenalan lamanya di salah satu perusahaan partner. “Jam sebelas siang… rapat dengan investor di hotel bintang lima. Sempurna,” gumamnya. Nadine sudah menyiapkan strategi. Ia akan datang ke sana seolah-olah kebetulan bertemu, lalu berpura-pura menawarkan kerjasama bisnis. Dari situ, ia akan perlahan masuk ke dalam dunia Alvaro. Tangannya mengetik pesan singkat kepada seorang pria misterius yang menjadi informannya. “Pastikan aku masuk dalam daftar tamu undangan siang ini. Aku tak mau ada celah.” Balasan datang cepat. “Sudah diurus. Kau hanya perlu datang dan memainkan peranmu.” Nadine tersenyum puas. “Alvaro… pria sepertimu butuh wanita sepertiku. Kau akan tahu nanti.” Di sisi lain kota, Alexa duduk di ruang kerjanya dengan tumpukan berkas. Namun matanya tidak fokus pada dokumen di depannya. Ia masih memikirkan pesan ancaman dari Nadine. Ia tahu betul Nadine bukan sekadar bicara kosong. Wanita itu bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya. Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk. Alexa menatap layar dan terkejut. Nama itu membuat jantungnya berdegup keras—Rendy. Tangannya hampir menjatuhkan ponsel karena panik. Kenapa dia menelepon sekarang? Setelah semua yang terjadi? Alexa ragu, namun akhirnya mengangkat. “Halo?” suaranya bergetar. “Alexa…” suara Rendy terdengar serak, berat, seperti orang yang mabuk. “…bisakah kita bertemu? Aku… aku harus bicara denganmu.” Alexa terdiam. Rasa marah, sakit hati, dan iba bercampur jadi satu. Ia menutup mata sejenak, mencoba menenangkan diri. “Aku tidak punya alasan lagi untuk bertemu denganmu, Rendy.” “Please…” suara Rendy makin lirih. “Aku menyesal. Sangat menyesal. Nadine… dia bukan seperti yang aku kira. Aku butuh kau kembali, Alexa.” Kalimat itu menusuk hati Alexa. Namun sekaligus membangkitkan luka lamanya. Dengan tegas, ia menjawab, “Kau sudah membuat pilihanmu, dan aku sudah memilih jalanku. Jangan hubungi aku lagi.” Tanpa menunggu jawaban, Alexa memutus panggilan itu. Tangannya gemetar, air mata menggenang di matanya. Namun jauh di dalam lubuk hatinya, Alexa sadar: Rendy yang menyesal, Nadine yang mengancam, dan Alvaro yang kini menjadi pusat hidupnya—semuanya akan bertabrakan dalam satu lingkaran takdir yang rumit. Dan lingkaran itu baru saja mulai berputar. Hotel bintang lima di pusat kota siang itu dipenuhi orang-orang penting bersetelan rapi. Suara langkah kaki, dering telepon, dan percakapan formal bercampur jadi satu. Alvaro melangkah masuk ke lobi dengan wibawa khasnya. Setelan jas hitam dan dasi biru tua membuatnya tampak berkelas. Para staf hotel menunduk sopan saat ia lewat. Ia sudah terbiasa dengan perhatian semacam itu. Sebagai seorang CEO yang dikenal tegas dan visioner, setiap langkahnya selalu diperhatikan banyak orang. “Pak Alvaro, ruang rapat sudah disiapkan,” kata sekretarisnya, Marina, sambil menyerahkan map berisi agenda. Alvaro hanya mengangguk singkat. “Baik. Pastikan semua investor mendapat berkas presentasi.” Saat ia berjalan menuju lift, sebuah suara lembut menyapanya. “Pak Alvaro?” Alvaro menoleh. Seorang wanita dengan gaun merah elegan berdiri tak jauh darinya, membawa clutch kecil di tangan. Rambut panjangnya tergerai rapi, wajahnya dihiasi senyum ramah. Nadine. Alvaro tidak mengenalnya secara pribadi, tapi wanita itu tampak percaya diri mendekat seakan mereka sudah akrab. “Maaf jika tiba-tiba menyapa. Saya Nadine,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. “Saya pernah bertemu di sebuah acara gala, mungkin Bapak tidak ingat. Saya tertarik dengan proyek perusahaan Anda.” Alvaro menatapnya beberapa detik. Ada sesuatu dalam cara bicara wanita itu yang terasa terlalu… disengaja. Namun ia tidak menunjukkan curiga. “Saya hargai ketertarikan Anda. Namun saat ini saya harus menghadiri rapat,” jawab Alvaro sopan sambil menjabat tangannya sekilas. Nadine tersenyum tipis. “Tentu. Mungkin setelah rapat, kita bisa bicara sebentar? Saya punya proposal yang mungkin menarik perhatian Anda.” Alvaro menimbang sejenak. Biasanya ia tidak meladeni orang asing seenaknya, tapi karena wanita itu sudah bisa masuk ke daftar tamu, mungkin ada alasan tertentu. “Baiklah. Setelah rapat,” katanya akhirnya. Nadine menunduk hormat, tapi begitu Alvaro berbalik, senyum licik muncul di wajahnya. “Langkah pertama berhasil…” bisiknya. Sementara itu, di rumah, Alexa mondar-mandir di ruang tamu. Sejak telepon dari Rendy tadi pagi, pikirannya tidak tenang. Ia membuka jendela, membiarkan angin siang masuk. Tapi kegelisahan tetap tidak hilang. “Kenapa dia kembali sekarang?” gumam Alexa. “Apa karena Nadine? Atau karena dia tahu aku bersama Alvaro?” Bayangan masa lalu kembali menghantui. Malam ketika Rendy meninggalkannya demi Nadine, wajah puas Nadine yang seakan menang—semua itu muncul lagi di benaknya. Alexa menutup mata, menahan air mata yang hampir jatuh. “Tidak. Aku tidak boleh goyah. Aku sudah punya hidupku sendiri sekarang.” Tapi di sudut hatinya, ia tahu badai besar akan segera datang. Ruang rapat lantai 10 hotel itu dipenuhi atmosfer serius. Investor-investor berusia matang duduk rapi dengan setumpuk berkas, sementara layar besar menampilkan grafik pertumbuhan perusahaan Alvaro. Alvaro berdiri tegak di depan, menyampaikan presentasinya dengan suara mantap. “Target kita tahun depan bukan hanya ekspansi di pasar domestik, tapi juga menembus Asia Tenggara. Infrastruktur sudah siap, dan data mendukung langkah ini.” Setiap kata yang keluar dari mulutnya memikat perhatian hadirin. Wibawa seorang pemimpin terpancar jelas. Bahkan beberapa investor tampak mengangguk puas. Di sudut ruangan, Nadine duduk dengan ekspresi datar. Ia sebenarnya tidak begitu peduli dengan angka-angka itu. Yang ia perhatikan hanyalah sosok Alvaro—gaya bicara, tatapan mata, hingga senyum tipisnya. “Pria seperti ini…” gumamnya dalam hati, “…akan jadi kekuatan besar jika berada di sisiku.” Rapat berakhir dengan tepuk tangan. Para investor berdiri, beberapa menghampiri Alvaro untuk berjabat tangan. Nadine pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menunggu hingga kerumunan agak mereda, lalu berjalan anggun mendekat. “Presentasi yang luar biasa, Pak Alvaro. Anda benar-benar tahu cara memikat bukan hanya investor, tapi juga audiens.” Alvaro menatapnya sebentar, lalu memberi anggukan singkat. “Terima kasih, Nona Nadine. Tadi Anda bilang punya proposal?” Nadine tersenyum puas. “Ya. Saya tidak ingin mengambil banyak waktu Anda. Hanya sepuluh menit, cukup untuk memberi gambaran. Bagaimana kalau di lounge hotel saja? Lebih santai.” Alvaro menimbang sejenak. Biasanya ia menghindari pertemuan mendadak, apalagi dengan orang yang belum jelas latar belakangnya. Namun ada sesuatu pada Nadine yang membuatnya ingin tahu, entah apa. “Baik,” ujarnya akhirnya. Mereka pun berjalan menuju lounge mewah di lantai bawah. Nadine dengan cekatan duduk berhadapan dengannya, meletakkan clutch di meja, lalu menatap Alvaro dengan sorot mata menggoda. “Pak Alvaro,” ia memulai dengan nada lembut, “saya tahu Anda pria sibuk. Jadi saya akan langsung ke inti. Saya punya koneksi dengan beberapa investor luar negeri. Jika Anda bekerja sama dengan saya, saya bisa membuka akses itu.” Alvaro menyilangkan tangan di dada, menatapnya tajam. “Dan imbalannya?” Nadine tersenyum miring. “Hanya kesempatan untuk lebih sering berada di sisi Anda. Bisnis hanyalah awal, Pak Alvaro. Saya percaya kita bisa menjadi lebih dari sekadar rekanan.” Ucapan itu jelas mengandung maksud pribadi. Alvaro mengernyit samar, tidak menyukai permainan yang terlalu cepat. Namun ia tetap menjaga ketenangan. “Saya menghargai tawaran Anda, Nona Nadine. Tapi saya membatasi diri. Bisnis adalah bisnis.” Nadine tidak menyerah. Ia mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat, suaranya berbisik. “Anda bisa bilang begitu sekarang… tapi cepat atau lambat, Anda akan melihat saya berbeda.” Sementara itu, di rumah, Alexa menatap layar ponselnya. Ada pesan baru dari nomor tak dikenal. Pesan itu singkat tapi menusuk: “Hati-hati. Nadine sedang mendekati Alvaro. Kau pikir dia akan tetap milikmu selamanya?” Alexa terperangah. Jantungnya berdegup kencang. “Nadine… apa lagi yang kau rencanakan?” Alexa duduk di ruang tamu rumahnya, ponsel masih tergenggam erat di tangan. Pesan misterius tadi terus berputar di kepalanya. Nadine. Nama itu seperti duri yang menusuk dalam-dalam. Ia menggigit bibir, mencoba menenangkan diri. “Tidak… aku tidak boleh terjebak dalam permainan Nadine lagi. Alvaro bukan Rendy. Dia berbeda. Dia setia. Dia tidak mungkin mudah digoyahkan.” Namun hatinya tetap gelisah. Kenangan masa lalu bersama Rendy kembali menyeruak—bagaimana ia dulu begitu percaya, begitu yakin, lalu dikhianati dengan cara paling menyakitkan. Luka itu belum benar-benar sembuh, dan kini rasa takut yang sama kembali menghantui. Langkah kaki terdengar. Alvaro masuk ke ruang tamu, jasnya sudah dilepas, hanya mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Senyum hangatnya menyambut Alexa. “Kamu kelihatan pucat,” ucapnya lembut sambil duduk di sampingnya. “Ada apa?” Alexa menoleh cepat, menyembunyikan layar ponselnya. “Tidak, aku hanya lelah.” Alvaro mengerutkan kening, jelas tidak puas dengan jawaban itu. Ia menyentuh pipi Alexa dengan jemarinya. “Sayang, jangan sembunyikan apa pun dariku. Aku bisa merasakannya. Ada sesuatu yang mengganggumu, kan?” Pandangan Alexa melembut. Dalam hatinya, ada pergulatan besar. Ia ingin jujur, ingin bercerita soal pesan itu, tapi ia juga takut terlihat lemah. “Aku… hanya takut,” bisiknya akhirnya. “Takut apa?” “Takut kehilanganmu.” Alvaro menatapnya dalam-dalam, lalu menarik tubuh Alexa ke pelukannya. “Kamu tidak akan pernah kehilangan aku, Alexa. Aku bukan pria yang bisa digoyahkan oleh wajah cantik atau kata-kata manis. Aku hanya mencintaimu.” Kalimat itu menenangkan, tapi Alexa tahu Nadine bukan sekadar ancaman kosong. Wanita itu licik, cerdik, dan berani. Ia tidak akan berhenti hanya karena satu atau dua penolakan. Sementara itu, di apartemen mewahnya, Nadine menatap cermin besar sambil merapikan gaun malam berwarna merah darah. Ia menyeringai puas melihat refleksinya. “Alvaro memang sulit… tapi semua pria punya titik lemah. Aku hanya perlu menemukan miliknya.” Di meja rias, ada sebuah amplop terbuka. Di dalamnya foto-foto lama—Alexa dan Rendy saat masih harmonis. Nadine menatap foto itu dengan tatapan penuh kebencian. “Kau pikir kau sudah menang, Alexa? Kau pikir kau bahagia dengan Alvaro? Aku akan merebutnya darimu… sama seperti dulu aku merebut Rendy.” Malam itu, restoran eksklusif di lantai paling atas sebuah hotel ternama berkilau dengan lampu gantung kristal. Musik jazz lembut mengalun, menciptakan suasana elegan. Alvaro duduk di sebuah meja privat dekat jendela besar yang menampilkan pemandangan kota. Ia sudah terbiasa dengan jamuan makan malam bisnis, tapi malam ini terasa berbeda. Pintu restoran terbuka. Nadine masuk, gaun hitamnya sederhana namun memikat, dengan senyum penuh percaya diri. Tatapan tamu-tamu lain pun sempat teralihkan padanya. “Pak Alvaro,” sapa Nadine sambil melangkah mendekat. “Terima kasih sudah meluangkan waktu.” Alvaro mengangguk singkat. “Anda bilang punya proposal bisnis. Silakan duduk.” Nadine duduk, namun tatapannya jelas tidak sekadar profesional. Ia menatap Alvaro seperti seorang pemburu yang baru saja menemukan mangsanya. “Proposal itu hanya alasan,” ucap Nadine dengan nada menggoda. “Sebenarnya… aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Pria seperti Anda jarang sekali ada.” Alvaro menatapnya datar, tidak terpengaruh. “Kalau begitu, saya anggap pertemuan ini selesai.” Ia hendak berdiri, tapi Nadine cepat menahan dengan kata-kata yang menusuk. “Tunggu dulu. Kau tidak penasaran siapa aku? Siapa wanita yang pernah menjadi bagian dari masa lalu Alexa?” Alvaro menoleh dengan tajam. “Apa maksudmu?” Senyum licik muncul di bibir Nadine. Ia menyandarkan tubuh ke kursi, menikmati keterkejutan itu. “Namaku Nadine. Aku… wanita yang merebut suami Alexa darinya dulu.” Kalimat itu seperti petir di telinga Alvaro. Ia menatap Nadine lebih serius sekarang, ekspresi wajahnya berubah dingin. “Kau datang padaku dengan kebanggaan seperti itu?” tanyanya tajam. Nadine tertawa pelan. “Aku hanya ingin kau tahu, Alvaro. Alexa mungkin tampak kuat, tapi dia rapuh. Dia pernah kalah, dan dia akan kalah lagi. Semua wanita bisa direbut—kau hanya butuh orang yang tepat.” Alvaro mengepalkan tangan di atas meja. Kata-kata Nadine membangkitkan rasa marah sekaligus tekad dalam dirinya. “Dengar baik-baik. Aku bukan Rendy. Kau tidak akan pernah bisa merebut aku dari Alexa. Bahkan keberadaanmu di dekatku hanya membuatku semakin ingin melindunginya.” Nadine tidak tersinggung. Justru ia tersenyum makin lebar. “Kita lihat saja, Alvaro. Kau mungkin pria yang kuat, tapi bahkan pria paling kuat pun punya celah. Dan aku selalu tahu cara menemukannya.” Sementara itu, di rumah, Alexa berdiri di balkon, menatap langit malam. Hatinya terusik tanpa alasan jelas. Ia memegang liontin di lehernya, hadiah dari Alvaro saat ulang tahun. “Kenapa aku merasa seperti sesuatu sedang terjadi?” gumamnya lirih. Ia tidak tahu, malam itu Nadine sedang memulai permainan berbahaya—permainan yang bisa mengancam kebahagiaannya. Alvaro menyetir mobilnya malam itu dengan kecepatan sedang. Jalanan kota yang ramai terasa sepi dalam pikirannya. Pertemuan dengan Nadine barusan membuat dadanya sesak. Kata-kata wanita itu terus terngiang, menusuk telinganya. "Aku wanita yang merebut suami Alexa darinya dulu…" Ia menggenggam erat setir, menahan amarah. Berani sekali dia datang padaku, membawa masa lalu Alexa untuk memancing reaksi. Kalau Alexa tahu, dia pasti terluka lagi. Tidak, aku tidak boleh membiarkan itu terjadi. Mobil berhenti di depan rumah. Lampu-lampu teras sudah menyala. Alvaro menarik napas panjang sebelum masuk, berusaha menghapus jejak emosi dari wajahnya. Di ruang tamu, Alexa masih duduk di sofa dengan buku di tangannya. Begitu melihat Alvaro, senyum lembut terukir di wajahnya. “Kamu baru pulang? Bagaimana meeting bisnisnya?” Alvaro sempat terdiam. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya, tentang siapa wanita itu, tentang ancaman yang mungkin datang. Tapi tatapan Alexa yang polos dan hangat membuat lidahnya kelu. “Ya, hanya urusan kecil,” jawabnya singkat. Ia meletakkan jas di sandaran kursi dan duduk di samping Alexa. Alexa menatapnya lama, seolah ingin menembus pikirannya. “Kamu kelihatan lelah.” “Aku hanya butuh istirahat,” sahut Alvaro, mencoba tersenyum. Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu ia sedang menyembunyikan sesuatu. Dan itu membuat rasa bersalah menghantui. Di sisi lain kota, Nadine duduk di depan meja kerja, menatap layar laptop yang penuh data tentang perusahaan Alvaro. Senyum puas merekah di wajahnya. “Langkah pertama selesai,” gumamnya. “Sekarang aku harus masuk lebih dalam ke hidupnya. Bisnis hanyalah pintu masuk. Setelah itu… Alexa tidak akan bisa berbuat apa-apa.” Ia menutup laptop, lalu menatap cermin besar di depannya. Matanya berkilat penuh ambisi. “Alvaro, aku akan membuatmu ragu. Aku akan membuatmu bertanya-tanya, apakah Alexa benar-benar pantas untukmu. Dan ketika waktunya tiba, aku yang akan berdiri di sampingmu.” Keesokan paginya, Alexa terbangun lebih dulu. Ia melihat Alvaro masih terlelap di sampingnya, napasnya teratur. Wajah pria itu terlihat damai, tapi Alexa merasakan ada sesuatu yang berat di balik ketenangan itu. Ia mengusap lembut pipi Alvaro. “Apa yang kau sembunyikan dariku, sayang?” bisiknya lirih. Pagi itu, suasana rumah terasa hangat. Aroma kopi menyebar dari dapur, bercampur dengan wangi roti panggang. Alexa menyiapkan sarapan sederhana—pancake, buah segar, dan secangkir kopi hitam kesukaan Alvaro. Alvaro turun dengan kemeja kerja rapi, dasinya belum terikat. Ia berhenti sejenak di ambang pintu dapur, menatap pemandangan Alexa yang sedang sibuk menata meja makan. Ada rasa damai, rasa yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya bersama siapa pun. “Selamat pagi,” sapa Alexa sambil tersenyum. “Pagi,” jawab Alvaro, suaranya sedikit serak namun lembut. Ia menghampiri Alexa, meraih tangannya, lalu mencium punggung tangan itu dengan hangat. Alexa terkejut kecil, matanya membesar. “Ada apa tiba-tiba begini?” tanyanya heran. Alvaro hanya tersenyum samar. Aku hampir kehilanganmu karena seseorang dari masa lalumu. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Tapi kata-kata itu hanya bergema dalam hatinya, tak pernah ia ucapkan. “Tidak apa-apa. Aku hanya bersyukur bisa sarapan denganmu hari ini,” ucapnya. Alexa tersipu, meski masih diliputi rasa penasaran. Ia merasa ada sesuatu yang Alvaro simpan rapat-rapat, namun belum siap diungkapkan. Di kantor, suasana berbeda sama sekali. Rapat direksi berlangsung tegang ketika Nadine muncul sebagai perwakilan investor baru. Semua mata menoleh ketika wanita itu melangkah anggun memasuki ruang rapat, seolah ia memang milik ruangan itu. “Perkenalkan, saya Nadine,” katanya dengan percaya diri. “Mulai hari ini, saya akan menjadi mitra bisnis di proyek pengembangan properti Anda.” Alvaro yang duduk di ujung meja langsung menegang. Tatapannya menusuk ke arah Nadine, tapi wanita itu hanya menanggapinya dengan senyum menantang. Direksi lain tampak antusias dengan kehadiran Nadine. Mereka tidak tahu siapa dia sebenarnya, apalagi hubungannya dengan masa lalu Alexa. “Senang sekali bisa bekerja sama dengan perusahaan sebesar ini,” lanjut Nadine, matanya tak lepas dari Alvaro. “Saya harap hubungan bisnis ini bisa berkembang… lebih dari sekadar angka.” Kalimat terakhir itu membuat Alvaro mengepalkan tangan di bawah meja. Ia tahu apa maksudnya. Nadine tidak hanya mengincar bisnis, tapi dirinya. Sore harinya, Alvaro kembali ke rumah. Alexa menyambutnya dengan senyum, tapi Alvaro terlihat lebih murung daripada pagi tadi. “Kamu baik-baik saja?” tanya Alexa sambil menaruh gelas teh hangat di meja. Alvaro menatap wajah istrinya lama sekali, seolah ingin bercerita. Namun pada akhirnya, ia hanya menggeleng. “Hanya urusan kerja. Tidak usah khawatir.” Alexa menunduk, menahan rasa kecewa. Ia tahu ada yang disembunyikan, dan itu membuat hatinya gelisah. Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Alvaro? batinnya. Alexa duduk di ruang kerja kecilnya malam itu. Laptop terbuka di hadapannya, jari-jarinya mengetik cepat di keyboard. Pikirannya dipenuhi rasa penasaran. Alvaro semakin sering pulang dengan wajah lelah dan penuh beban, tapi tak pernah mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. "Kalau aku hanya diam, aku tidak akan pernah tahu. Aku harus mencari tahu sendiri," gumamnya. Ia membuka laman berita bisnis, lalu mulai mencari artikel tentang perusahaan Alvaro. Beberapa menit kemudian, matanya membelalak ketika membaca nama yang tak asing lagi. Nadine Pratama – Investor Baru yang Menggebrak Dunia Properti Alexa menggulir artikel itu dengan hati berdegup cepat. Nama itu, wajah itu… sama persis dengan wanita yang pernah menghancurkan rumah tangganya dulu. Tangannya bergetar. “Jadi ini alasannya kamu berubah, Alvaro? Kamu bertemu dengannya lagi?” bisiknya lirih, matanya memanas menahan air mata. Di kamar sebelah, Alvaro sedang menatap langit-langit. Ia tak bisa tidur, meski tubuhnya lelah. Bayangan Nadine terus menghantui. Wanita itu tidak berubah, tetap licik, tetap manipulatif. Namun yang lebih ia takutkan adalah reaksi Alexa bila tahu. Aku tidak bisa membiarkan Alexa terluka lagi. Aku harus melindunginya, meski harus menanggung beban sendiri. Keesokan paginya, Alexa menatap Alvaro dengan tatapan berbeda. Ada pertanyaan di matanya, tapi juga ada luka yang tersembunyi. “Kamu ada rapat lagi hari ini?” tanyanya singkat saat mereka sarapan. Alvaro menoleh, sedikit heran dengan nada dingin itu. “Ya… memangnya kenapa?” Alexa menunduk, menahan emosinya. Ia ingin bertanya tentang Nadine, tapi lidahnya kelu. Aku tidak boleh gegabah. Aku harus memastikan dulu, apakah benar dia yang sama atau hanya kebetulan. Sementara itu, Nadine berdiri di depan cermin di apartemennya yang mewah. Ia memegang foto lama—foto dirinya bersama Rendy, mantan suami Alexa. Senyum sinis terukir di bibirnya. “Kau menyesal, kan, Rendy? Kau kira dengan meninggalkan Alexa untukku kau akan bahagia. Tapi lihat dirimu sekarang, hancur, jatuh, tanpa apa-apa. Semua harta itu bukan milikmu… melainkan milik Alexa.” Ia menatap bayangannya sendiri dengan tatapan penuh ambisi. “Sekarang aku akan merebut Alvaro darinya. Aku akan membuat Alexa hancur dua kali. Dan kali ini, dia tidak akan bisa bangkit lagi.” Alexa tidak bisa lagi berdiam diri. Malam itu setelah Alvaro tertidur, ia kembali menyalakan laptopnya. Jari-jarinya bergerak lincah, mencari segala informasi tentang Nadine. Semakin banyak yang ia baca, semakin jelas bahwa wanita itu bukan hanya sekadar investor baru. Nadine muncul di banyak berita bisnis, selalu dengan gaya glamor dan ambisi besar. Tapi di balik semua itu, ada komentar-komentar samar yang menyebut bahwa modal besar yang ia miliki berasal dari “hubungan gelap” dengan beberapa pengusaha ternama. Alexa menggertakkan giginya. Jadi benar… dia kembali. Dan dia tidak hanya ingin bisnis, dia ingin Alvaro juga. Keesokan harinya, Alexa menyamar. Ia mengenakan kacamata hitam, blazer sederhana, dan datang ke sebuah acara bisnis yang juga dihadiri oleh Nadine. Ia berdiri di sudut ruangan, memperhatikan dari jauh. Nadine tampak anggun, bergaul dengan para investor lain, lalu matanya sesekali melirik ke arah Alvaro yang sibuk berbicara dengan klien. Senyuman licik tersungging di wajahnya setiap kali pandangannya jatuh pada pria itu. Alexa mengepalkan tangan. Aku tidak akan membiarkanmu mengambil segalanya dariku lagi, Nadine. Di sisi lain, Nadine seolah merasakan tatapan seseorang. Ia menoleh sebentar, dan matanya menangkap sosok Alexa di kerumunan. Tatapannya membeku sepersekian detik, lalu bibirnya melengkung dalam senyum penuh kemenangan. Jadi kau sudah tahu aku kembali, Alexa? Bagus. Aku ingin kau melihat sendiri bagaimana aku akan merebut segalanya darimu. Usai acara, Alexa pulang dengan hati campur aduk. Di ruang tamu, Alvaro menunggunya. “Kamu dari mana?” tanyanya lembut, tapi ada nada curiga di balik suara itu. Alexa terdiam sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati. “Ada urusan.” Alvaro mendesah pelan, lalu meraih tangan istrinya. “Alexa… kalau ada sesuatu, katakan padaku. Jangan hadapi sendirian.” Mata Alexa berkaca-kaca. Ia ingin mengatakan kebenaran, ingin berteriak bahwa Nadine kembali dan mengincarnya. Namun ia menahan diri. Jika aku bilang sekarang, Alvaro hanya akan merasa bersalah dan semakin terjebak. Aku harus punya bukti dulu. Sementara itu, Nadine duduk di apartemennya yang mewah sambil menyesap wine. Ia tersenyum puas mengingat pertemuan matanya dengan Alexa tadi. “Permainan baru saja dimulai.” Suasana ruang kerja Alvaro sore itu terasa tegang. Tumpukan dokumen berserakan di meja, laptop terbuka dengan laporan keuangan yang harus ia tinjau. Namun pikirannya tidak bisa fokus. Kata-kata Nadine dari malam sebelumnya terus menghantui. "Aku wanita yang merebut suami Alexa darinya dulu…" Alvaro menghela napas panjang, lalu memijat pelipisnya. Ia tahu, jika Alexa mengetahui kebenaran itu, luka lama yang baru saja mulai sembuh bisa kembali menganga. Dan ia tidak ingin melihat wanita yang ia cintai hancur untuk kedua kalinya. Pintu ruang kerjanya diketuk pelan. Marina, sekretaris pribadinya, masuk dengan map di tangan. “Pak, ini agenda untuk rapat besok bersama investor. Dan…” Marina ragu sejenak sebelum melanjutkan, “…Nadine meminta waktu tambahan setelah rapat. Katanya penting.” Alvaro mendongak, tatapannya tajam. “Batalkan.” “Tapi, Pak—” “Tidak ada diskusi. Katakan padanya, urusan bisnis cukup dibahas di rapat. Tidak ada urusan pribadi di luar itu.” Marina mengangguk pelan, meski wajahnya tampak canggung. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar bisnis antara Alvaro dan wanita bernama Nadine itu. Begitu pintu tertutup kembali, Alvaro bersandar di kursi, menghela napas berat. Aku harus mencari cara menghentikan Nadine sebelum semuanya semakin rumit. Malam itu, di rumah, Alexa menunggu di ruang tamu. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan, namun Alvaro belum juga pulang. Ia duduk dengan gelisah, ponselnya tergenggam erat. Ketika suara pintu terbuka, Alexa langsung menoleh. Alvaro masuk dengan wajah letih. Jasnya dilepas, dasi dilonggarkan, namun sorot matanya masih dipenuhi beban pikiran. “Kamu pulang terlambat,” ucap Alexa, suaranya pelan namun penuh arti. Alvaro menatapnya sejenak, lalu berusaha tersenyum. “Maaf. Ada urusan mendesak di kantor.” Alexa menunduk, lalu berkata lirih, “Urusan itu… ada hubungannya dengan Nadine, bukan?” Pertanyaan itu membuat Alvaro terdiam. Dadanya terasa sesak. Alexa sudah tahu. Ia tidak bisa lagi berpura-pura. “Alexa…” Alvaro mendekat, duduk di samping istrinya. Tangannya berusaha meraih jemari Alexa, tapi wanita itu sempat menepisnya. “Kenapa kau tidak pernah bilang? Kenapa aku harus tahu dari orang lain, bukan dari mulutmu sendiri?” Mata Alexa berkaca-kaca. “Aku sudah cukup hancur sekali karenanya. Kenapa sekarang kau malah menyembunyikan hal itu dariku?” Alvaro menatapnya dalam-dalam, suaranya berat. “Aku hanya ingin melindungimu. Aku tidak ingin kau mengingat lagi luka lama itu. Percayalah, aku tidak akan pernah tergoyahkan olehnya.” Air mata Alexa jatuh juga. Ia ingin percaya, sungguh. Tapi bayangan masa lalu bersama Rendy membuatnya takut. “Kalau begitu, buktikan, Alvaro,” bisiknya dengan suara bergetar. “Buktikan kalau aku tidak akan kehilanganmu.” Alvaro meraih wajah Alexa, menatapnya penuh ketegasan. “Kau tidak akan pernah kehilangan aku, Alexa. Aku berjanji.” Namun di luar sana, Nadine sedang menyusun langkah berikutnya. Dan kali ini, ia tidak akan bermain sendirian. Di apartemennya, Nadine menutup telepon setelah berbicara dengan seseorang. Senyum licik merekah di bibirnya. “Baik, besok kita mulai. Buat dia meragukan Alexa sedikit demi sedikit. Kalau aku bisa membuat retakan kecil… sisanya akan runtuh dengan sendirinya.” Ia meneguk anggurnya, menatap ke luar jendela. Lampu kota berkilau, seakan bersorak menyambut perang yang baru saja dimulainya. Pagi itu, suasana kantor Alvaro penuh kesibukan. Investor besar dari luar negeri datang, membuat semua staf bekerja ekstra. Alexa, yang kini sudah mulai membantu di perusahaan suaminya, ikut terlibat dalam persiapan acara. Ia berjalan di koridor bersama Marina, membicarakan detail presentasi. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat Nadine keluar dari ruang rapat sambil tersenyum puas. Alexa merasakan dadanya bergetar aneh. Tatapan mata Nadine saat berpapasan dengannya membuat bulu kuduknya meremang. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum itu. “Nyonya, Anda tidak apa-apa?” tanya Marina pelan. Alexa mengangguk cepat. “Aku baik-baik saja.” Tapi dalam hati, ia tidak bisa mengabaikan firasat buruk itu. Beberapa jam kemudian, saat jeda rapat, Nadine mendekati Alexa yang sedang duduk di lounge perusahaan. Ia membawa dua cangkir kopi, salah satunya diletakkan di hadapan Alexa. “Untukmu. Kau pasti lelah.” Nadine tersenyum ramah, terlalu ramah. Alexa menatapnya ragu. “Terima kasih… tapi tak perlu repot.” “Ah, tidak seberapa. Lagi pula, kita sudah lama tidak berbicara dari hati ke hati, bukan?” Nadine duduk tanpa diundang. “Kau tahu, aku kagum padamu, Alexa. Kau bisa tetap kuat meski pernah dikhianati.” Alexa menegang. Ia tidak suka arah pembicaraan ini. Nadine mencondongkan tubuhnya, suaranya dipelankan. “Tapi aku hanya ingin kau tahu… laki-laki seperti Rendy dan Alvaro itu mirip. Mereka mudah bosan jika terus bersama satu wanita. Aku tahu, karena aku pernah merasakannya.” Alexa terdiam, jantungnya berdetak kencang. Kata-kata itu seperti racun yang merembes ke dalam pikirannya. Melihat wajah Alexa yang mulai goyah, Nadine tersenyum puas. Ia berdiri sambil meraih cangkir kopinya. “Jangan salah paham, Alexa. Aku hanya tidak ingin kau terluka… lagi.” Kemudian ia pergi, meninggalkan Alexa dalam kebingungan dan ketakutan. Malamnya, di rumah, Alexa tampak gelisah. Alvaro yang baru pulang langsung menyadarinya. “Ada apa?” tanyanya sambil melepas jas. Alexa berusaha menggeleng, tapi akhirnya tak tahan. “Alvaro… katakan padaku. Apa aku cukup untukmu?” Pertanyaan itu membuat Alvaro terkejut. Ia menatap istrinya lekat-lekat. “Apa maksudmu? Tentu saja kau lebih dari cukup.” “Tapi… kalau suatu hari nanti kau bosan denganku? Kalau… kau meninggalkanku seperti Rendy dulu?” Alvaro langsung memegang kedua bahunya dengan tegas. “Alexa, lihat aku.” Suaranya berat, penuh penekanan. “Aku bukan Rendy. Aku tidak akan pernah melakukan itu padamu. Siapa pun yang menanamkan keraguan di kepalamu… aku tidak akan membiarkannya menang.” Air mata Alexa mengalir. Ia ingin percaya, sungguh, tapi kata-kata Nadine terus terngiang di kepalanya. Dan tanpa sepengetahuan mereka berdua, Nadine sudah berhasil menanam benih pertama: keraguan. Hari berikutnya, Alexa sengaja datang lebih pagi ke kantor. Ia ingin fokus pada pekerjaannya agar pikirannya tidak terus dihantui ucapan Nadine. Namun saat ia melangkah ke lobi, matanya menangkap pemandangan yang membuat dadanya berdegup keras. Nadine sedang berdiri dekat dengan Alvaro. Dari kejauhan, seolah-olah mereka sedang berbicara akrab. Nadine bahkan menyentuh lengan Alvaro sebentar, membuat darah Alexa seakan berhenti mengalir. Alexa mencoba menepis pikirannya. Itu mungkin hanya kebetulan… hanya bisnis. Namun sebelum ia bisa mendekat, seseorang menghampirinya. Seorang staf perempuan bernama Clara, yang dikenal dekat dengan Nadine, berbisik pelan. “Nyonya Alexa… saya tidak tahu apakah sebaiknya saya mengatakan ini, tapi… banyak orang di kantor berbisik, sepertinya Bu Nadine masih punya hubungan khusus dengan Tuan Alvaro.” Alexa menoleh kaget. “Apa maksudmu?” Clara menunduk pura-pura canggung, tapi sebenarnya ia memainkan peran yang sudah diatur Nadine. “Saya hanya… tidak ingin Nyonya tersakiti. Tadi malam saya melihat mereka keluar dari ruang rapat bersama… dan sepertinya bukan sekadar urusan pekerjaan.” Wajah Alexa memucat. Clara buru-buru menambahkan, “Tapi mungkin saya salah. Tolong jangan sebutkan kalau saya yang bilang. Saya hanya peduli.” Clara pun pergi, meninggalkan Alexa yang kini benar-benar dilanda badai pikiran. Di ruangannya, Alvaro tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Ia memang bicara dengan Nadine, tapi itu murni tentang kontrak kerja. Namun Nadine menyadari kehadiran Alexa dari kejauhan. Ia tersenyum licik, tahu rencananya mulai berhasil. “Bagus,” gumamnya pelan. “Sekarang, biar orang-orang di sekitarnya yang membuat Alexa percaya kalau aku masih bagian dari hidup Alvaro.” Malam itu, suasana rumah Alvaro dan Alexa kembali menegang. Alexa diam sepanjang makan malam, hampir tidak menyentuh makanannya. Alvaro akhirnya menatapnya dalam. “Alexa, apa lagi yang mengganggumu?” Alexa mendongak dengan mata berkaca-kaca. “Aku ingin percaya padamu, Alvaro. Tapi… kenapa aku terus mendengar hal-hal yang membuatku ragu? Orang-orang di kantor bilang kau… masih dekat dengan Nadine.” Alvaro terdiam, wajahnya berubah dingin. “Siapa yang bilang?” Alexa menggigit bibirnya, tidak menjawab. Ia tidak ingin menyeret orang lain. Alvaro menghela napas berat, lalu bangkit dari kursinya. “Dengar aku baik-baik. Aku tidak peduli apa yang mereka katakan. Satu-satunya wanita yang ada dalam hidupku sekarang hanyalah kau.” Ia menggenggam tangan Alexa dengan kuat. Namun Alexa masih bisa merasakan racun keraguan mengalir di dalam hatinya. Dan di tempat lain, Nadine menatap ponselnya yang berisi pesan dari Clara. Clara: Semuanya berjalan sesuai rencana. Alexa sudah mulai goyah. Nadine: Bagus. Terus lakukan. Biar Alexa sendiri yang menghancurkan pernikahannya. Senyum puas Nadine semakin lebar. Permainan baru saja dimulai. Hari itu, Alvaro dijadwalkan menghadiri pertemuan bisnis dengan klien penting di sebuah restoran mewah. Ia sempat mengajak Alexa untuk ikut, namun Alexa menolak dengan alasan ingin beristirahat di rumah. Namun Nadine melihat kesempatan emas. Ia sengaja menyusun rencana bersama Clara untuk “mengatur skenario” agar Alexa berada di tempat yang sama pada waktu yang tepat. Sore menjelang malam, Alexa menerima pesan singkat dari nomor tak dikenal: > “Jika kau ingin tahu siapa Alvaro yang sebenarnya, datanglah ke restoran Lumière pukul tujuh. Jangan beri tahu siapa pun.” Alexa terpaku membaca pesan itu. Tangannya gemetar. Pesan anonim itu menusuk rasa penasarannya yang sudah dipenuhi keraguan sejak beberapa hari terakhir. Ia mencoba mengabaikan, tapi bayangan ucapan Nadine dan gosip Clara terus menghantui. Akhirnya, dengan hati berdebar, Alexa memutuskan pergi diam-diam. Di restoran, Alexa berusaha menenangkan diri. Ia memilih tempat agak jauh dari area utama. Matanya langsung mencari sosok Alvaro. Dan benar, di meja VIP, ia melihat suaminya duduk berhadapan dengan Nadine. Mereka tampak serius berbicara, tapi dari sudut pandang Alexa, itu terlihat intim. Nadine sengaja sesekali tertawa kecil sambil menyentuh tangan Alvaro di atas meja. Gerakan yang dibuat-buat, namun cukup untuk menghancurkan hati seorang istri. Alexa merasa darahnya mendidih. Dadanya sesak. Matanya panas menahan air mata. “Jadi… ini yang mereka maksud,” bisiknya lirih. Sementara itu, Nadine melirik sekilas ke arah pojok restoran, seolah sudah tahu Alexa ada di sana. Senyum tipis muncul di bibirnya. Ia sengaja mendekatkan wajahnya sedikit pada Alvaro saat berbicara, membuatnya tampak seolah sedang bermesraan. Padahal, Alvaro sama sekali tidak menyadari kehadiran Alexa. Bagi dirinya, ini hanyalah diskusi bisnis yang harus diselesaikan cepat. Namun bagi Alexa, itu adalah pengkhianatan yang nyata. Alexa tidak tahan lagi. Ia bangkit dari kursinya, bergegas keluar dengan langkah gontai. Air matanya akhirnya pecah, mengalir deras di pipi. “Kenapa, Alvaro… kenapa kau membuatku percaya lalu menghancurkan semuanya?” Tanpa ia sadari, dari kejauhan Clara diam-diam memperhatikannya, lalu segera mengirim pesan pada Nadine. Clara: Target sudah melihat. Dia pergi dengan wajah hancur. Nadine: Sempurna. Kini keraguan itu berubah jadi luka. Tinggal tunggu waktu, Alexa akan hancur sendirian. Nadine tersenyum puas. Bidak catur pertama telah jatuh ke tempatnya. Alexa tiba di rumah lebih dulu dari Alvaro. Ia masuk dengan langkah gontai, matanya sembab, hatinya penuh amarah bercampur sakit. Ia duduk di ruang tamu, menunggu. Pukul sembilan malam, pintu akhirnya terbuka. Alvaro masuk dengan wajah letih, melepas jasnya, lalu melihat Alexa yang duduk diam menatapnya. “Alexa?” suaranya pelan. “Kau belum tidur?” Alexa berdiri. Napasnya berat, matanya masih berkaca-kaca. “Apa yang kau lakukan malam ini, Alvaro?” Alvaro mengernyit. “Pertemuan dengan klien, kau tahu itu.” “Klien?” Alexa mendengus pahit. “Jangan bohong padaku. Aku melihatmu dengan mataku sendiri. Kau bersama Nadine… di restoran itu.” Alvaro terdiam, tidak menyangka Alexa datang ke sana. “Alexa, dengarkan aku dulu. Itu memang pertemuan kerja—” “Kerja?” suara Alexa meninggi. “Kerja macam apa yang membuat seorang wanita bisa menyentuh tanganmu di atas meja? Kerja macam apa yang membuatmu tertawa-tawa dengannya, seolah aku tak pernah ada?” Alvaro mendekat, mencoba menggenggam tangan Alexa, namun Alexa menepisnya. “Aku sudah cukup, Alvaro. Kau bilang hanya aku yang ada di hatimu, tapi kenyataan berkata lain. Aku bukan wanita bodoh!” Alvaro menarik napas panjang, menahan amarahnya sendiri. “Alexa, aku bersumpah… aku tidak melakukan apa pun dengan Nadine. Dia yang memaksakan sikapnya, dan aku tidak ingin mempermalukan klien di depan orang banyak. Itu saja.” “Tapi kau tidak menolaknya!” Alexa menangis. “Kenapa kau membiarkannya berlaku begitu? Apa aku memang tak cukup bagimu?” Alvaro menatap Alexa dalam-dalam, wajahnya tegang, nadanya meninggi. “Cukup! Jangan merendahkan dirimu sendiri. Kau adalah satu-satunya yang aku cintai. Tapi kalau kau terus-terusan membiarkan racun dari luar masuk ke dalam pikiranmu, kita yang akan hancur!” Alexa terdiam, tersengal menahan tangis. Kata-kata Alvaro terasa seperti tamparan. “Aku hanya… aku hanya ingin percaya padamu,” bisiknya lirih, hampir putus asa. Alvaro melembut, mendekat lagi, kali ini berhasil menggenggam wajah Alexa. “Maka percayalah padaku, Alexa. Jangan pada apa yang mereka buat untuk menghancurkan kita.” Namun jauh di lubuk hati Alexa, bayangan Nadine yang menyentuh tangan Alvaro terus menghantui. Ia tidak bisa dengan mudah menghapusnya. Dan Nadine tahu, luka itu sudah cukup dalam untuk menjadi senjata berikutnya. Malam itu, setelah pertengkarannya dengan Alvaro, Alexa berbaring di kamar sendirian. Meski Alvaro ada di ruang kerja, jarak di antara mereka terasa begitu jauh. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Dengan hati waswas, Alexa membuka. Pesan itu berisi foto. Foto Alvaro… sedang duduk bersama Nadine di restoran Lumière, wajah mereka tampak begitu dekat, seolah sedang berbisik mesra. Tangan Nadine jelas terlihat berada di atas tangan Alvaro. Pesan itu hanya bertuliskan: > “Beginikah suami yang selalu kau banggakan?” Alexa terhenyak. Matanya membesar, jantungnya berdentum keras. Tangannya gemetar memegang ponsel. Ia tahu apa yang dilihatnya tadi nyata, tapi melihat foto itu membuat luka di hatinya semakin dalam. “Tidak… ini… ini tidak mungkin,” bisiknya, mencoba menyangkal. Tapi air matanya kembali jatuh. Sementara itu, di sisi lain kota, Nadine tengah duduk santai dengan Clara di sebuah bar lounge. Di tangannya, ia menggulir galeri ponsel, memandangi hasil bidikan fotografer bayaran yang sengaja ia sewa untuk memotret momen di restoran tadi. “Tinggal edit sedikit angle, maka seolah-olah mereka benar-benar berciuman,” ujar Clara, tersenyum licik. Nadine meneguk minumannya, matanya berkilat penuh kemenangan. “Bagus. Biarkan Alexa hancur oleh matanya sendiri. Tak ada wanita yang bisa menahan sakit ketika dikhianati dengan bukti seperti ini. Dan saat dia runtuh, aku akan ada di sisi Alvaro, menawarkan bahu yang lebih ‘pantas’ untuknya.” Clara tertawa kecil. “Kau benar-benar licik, Nadine. Tapi aku suka.” Di kamar, Alexa masih memandangi foto itu berulang kali. Hatinya berteriak ingin percaya pada kata-kata Alvaro tadi—bahwa ia tak bersalah. Tapi gambar itu terlalu jelas, terlalu menyakitkan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, terisak. “Kalau kau benar-benar mencintaiku, Alvaro… kenapa kau membuatku harus melihat ini?” Rasa ragu semakin menyesakkan. Dan di celah rapuh itulah, Nadine tahu ia sudah mulai menang. Pagi itu, mata Alexa sembab. Ia hampir tidak tidur semalaman. Foto yang dikirim orang tak dikenal itu terus terbayang, menusuk hatinya. Ketika Alvaro keluar dari ruang kerja, masih mengenakan kemeja yang sedikit kusut, ia mendapati Alexa duduk di meja makan dengan tatapan kosong. “Sayang, kau belum makan?” tanya Alvaro, mencoba mencairkan suasana. Alexa menoleh perlahan, lalu menggeser ponselnya di atas meja. Layar menyala, menampilkan foto dirinya bersama Nadine. “Ini… apa maksudnya, Alvaro?” suaranya pelan, tapi tegas. Alvaro menghentikan langkahnya, wajahnya langsung menegang. Ia mendekat, mengambil ponsel itu, lalu menghela napas berat. “Alexa, dengarkan aku. Ini tidak seperti yang kau pikirkan.” Alexa berdiri, air matanya menetes lagi. “Kau selalu berkata begitu! Tidak seperti yang kupikirkan… tapi mata ini tidak buta, Alvaro! Aku melihatmu… dan sekarang ada bukti ini.” “Foto ini bisa saja dimanipulasi,” Alvaro berusaha menahan diri. “Kau tahu aku tidak pernah mengkhianatimu.” “Tapi kenapa kau tidak menolak saat dia menyentuhmu?” suara Alexa pecah. “Kau membiarkan dia mempermalukanku sebagai istrimu. Dan sekarang… sekarang aku jadi wanita yang tampak bodoh di hadapan dunia!” Alvaro menutup mata sejenak, menahan emosinya. Ia berjalan mendekati Alexa, berusaha memegang bahunya, tapi Alexa mundur selangkah. “Kalau kau tidak percaya padaku, apa lagi yang bisa kulakukan?” suaranya dalam, nyaris putus asa. Alexa menggigit bibirnya, hatinya berperang hebat. Ia ingin mempercayai Alvaro, tapi luka dari pengkhianatan masa lalu terlalu kuat. “Buktikan, Alvaro,” ujarnya akhirnya. “Buktikan kalau semua ini bohong. Kalau kau benar-benar bersih, tunjukkan padaku. Karena kalau tidak… aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan.” Ucapan itu menusuk dada Alvaro. Untuk pertama kalinya, ia melihat istrinya seolah sudah separuh kehilangan kepercayaan padanya. Dan jauh di luar sana, Nadine tersenyum puas ketika mendengar laporan Clara: “Foto itu berhasil. Alexa sudah runtuh.” Setelah pertengkaran pagi itu, Alvaro pergi ke kantor dengan hati kacau. Ia tidak bisa membiarkan rumah tangganya hancur hanya karena jebakan seseorang. Begitu sampai di ruangannya, ia langsung memanggil sekretarisnya, Dimas. “Cari tahu siapa yang ada di restoran Lumière malam itu. Aku ingin daftar pengunjung dan kamera CCTV di sekitar meja kami,” perintahnya dengan nada tegas. Dimas mengangguk, meski heran. “Ada masalah, Pak?” Alvaro menatap layar ponselnya—foto itu. Rahangnya mengeras. “Ya. Dan aku akan pastikan siapa yang berani memainkan ini.” Sementara itu, Nadine masuk ke ruangan lain di gedung yang sama. Dengan percaya diri ia melangkah menuju ruang meeting, mengenakan dress biru elegan yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Beberapa karyawan menoleh kagum. Ia tahu Alvaro akan ada di sana untuk rapat divisi. Dan benar saja, ketika pintu terbuka, tatapan mereka bertemu. “Selamat pagi, Tuan CEO,” sapanya manis, seolah tak ada yang salah. Alvaro hanya mengangguk singkat, matanya dingin. Namun Nadine justru tersenyum lebih lebar. Saat rapat selesai, Nadine sengaja menunggu di depan pintu. “Alvaro,” panggilnya, “bolehkah aku bicara sebentar?” Alvaro menatapnya lama, lalu menjawab datar, “Tidak ada yang perlu dibicarakan di luar rapat.” Tapi Nadine melangkah lebih dekat, mencondongkan tubuh. “Ah… jadi kau benar-benar ingin menjauh dariku? Padahal istrimu mungkin sedang meragukanmu habis-habisan sekarang.” Ucapan itu membuat Alvaro menoleh tajam. Nadine tertawa kecil, lalu berbisik, “Kau tidak bisa menyembunyikan sesuatu dariku. Dan cepat atau lambat, Alexa akan tahu siapa sebenarnya yang lebih pantas di sisimu.” Alvaro mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak terpancing. Ia berbalik meninggalkan Nadine, tapi di dalam hatinya kini ada kepastian: foto itu memang permainan Nadine. Dan ia bertekad, sebelum Alexa benar-benar hancur, ia akan membongkar semua tipu daya itu. Alvaro mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak terpancing. Ia berbalik meninggalkan Nadine, tapi di dalam hatinya kini ada kepastian: foto itu memang permainan Nadine. Dan ia bertekad, sebelum Alexa benar-benar hancur, ia akan membongkar semua tipu daya itu. Sore itu, Alvaro sedang duduk di ruangannya, sibuk dengan laporan, ketika Dimas mengetuk pintu. “Pak, saya sudah dapat rekaman CCTV dari Lumière,” ujarnya sambil meletakkan flashdisk di meja. Alvaro segera menyalakan laptop, memasukkan file itu, dan menonton dengan seksama. Di layar terlihat ia memang sedang makan malam dengan Nadine. Tapi ada sesuatu yang janggal—kamera lain menangkap momen saat Nadine dengan sengaja menggeser kursinya mendekat, lalu menaruh tangannya di atas tangan Alvaro. Yang lebih mengejutkan, dari sudut lain terlihat seorang pria dengan kamera profesional diam-diam memotret mereka. Alvaro mengepalkan tangan. “Aku tahu ini permainanmu, Nadine…” gumamnya dingin. Sementara itu, Alexa pergi menemui sahabat lamanya, Maya, di sebuah café kecil. Maya menatapnya prihatin begitu Alexa bercerita. “Lex, aku dengar-dengar… Nadine itu bukan orang baru. Dia memang sudah lama mengincar Alvaro. Banyak gosip di kalangan sosialita, dia terkenal lihai merebut suami orang.” Alexa terdiam, wajahnya pucat. “Jadi… semua ini benar? Nadine benar-benar menginginkan Alvaro?” Maya menggenggam tangan Alexa. “Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi satu hal yang pasti—jangan biarkan dia menang dengan membuatmu hancur sendiri.” Kata-kata itu menancap dalam. Alexa menunduk, matanya berkaca. Hatinya terombang-ambing antara ingin percaya pada Alvaro, tapi juga takut disakiti lagi. Di sisi lain, Nadine sedang bersulang dengan Clara di lounge hotel. Dengan penuh percaya diri ia berkata, “Alexa sudah mendengar gosip itu. Perlahan dia akan percaya aku lebih pantas untuk Alvaro. Dan saat dia menyerah… dialah yang akan keluar dari hidup Alvaro, bukan aku.” Clara tertawa puas. “Tinggal tunggu waktu, Nadine. Wanita rapuh seperti Alexa tak akan mampu bertahan menghadapi permainan sekejam ini.” Malam itu, rumah terasa dingin. Alexa duduk di ruang tamu, memeluk bantal, tatapannya kosong. Pintu berderit ketika Alvaro masuk dengan langkah berat. Tanpa banyak bicara, ia menaruh laptop di meja. “Alexa, lihat ini,” katanya serius. Alexa menoleh dengan hati-hati. Alvaro memutar rekaman CCTV—terlihat jelas Nadine yang memulai sentuhan, dan seorang pria asing yang memotret mereka diam-diam. “Ini buktinya,” suara Alvaro dalam, penuh tekad. “Aku tidak pernah mengkhianatimu. Foto itu hanya jebakan, permainan kotor untuk membuatmu membenciku.” Alexa menatap layar itu lama, dadanya sesak. Bukti itu memang jelas, tapi suara Maya siang tadi terus menggema: Nadine memang sudah lama mengincar Alvaro. “Kalau kau tahu dia berbahaya,” suara Alexa bergetar, “kenapa kau masih mau bertemu dengannya? Kenapa kau beri dia kesempatan untuk mendekat?” Alvaro mendekat, matanya tajam namun penuh luka. “Karena itu pekerjaanku, Alexa. Aku CEO, aku harus bertemu banyak orang, termasuk klien sepertinya. Tapi demi kau, aku siap menolak semuanya. Aku tidak butuh siapa pun kalau pada akhirnya harus kehilanganmu.” Air mata Alexa jatuh. Ia ingin percaya, tapi bayangan Nadine begitu mengganggu. “Alvaro…” suaranya nyaris pecah. “Aku lelah. Aku takut kalau suatu saat aku benar-benar kalah. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.” Alvaro berlutut di hadapannya, menggenggam tangannya dengan kuat. “Kau tidak akan kalah, Alexa. Aku tidak akan biarkan dia merebutku darimu. Percayalah padaku, sekali ini saja.” Untuk pertama kalinya setelah lama, Alexa melihat ketulusan penuh di mata suaminya. Namun di dalam hatinya, masih ada ketakutan yang tak bisa ia enyahkan. Keesokan harinya, suasana kantor masih terasa tegang. Dimas menyerahkan beberapa data tambahan ke Alvaro: pria yang memotret malam itu ternyata sering terlihat bersama Clara—teman dekat Nadine. “Berarti semua memang sudah direncanakan…” Alvaro mendesis. Sore harinya, setelah rapat panjang, Alvaro berjalan menuju parkiran basement. Saat ia membuka pintu mobil, tiba-tiba sebuah tangan menyentuh lengannya. “Alvaro…” suara itu lembut namun penuh maksud. Nadine. Ia mengenakan gaun merah menyala, sengaja menunggu di sana. “Jangan pura-pura tidak merasakan apa-apa. Kau tahu kita bisa lebih dari sekadar mitra bisnis.” Alvaro segera menepis tangannya. “Hentikan permainanmu, Nadine. Aku sudah tahu kau yang menjebakku.” Namun sebelum ia sempat masuk mobil, Nadine tiba-tiba memeluknya dari belakang. “Kau bisa menyangkal di depan dunia, tapi tidak di depan dirimu sendiri…” bisiknya. Dan sialnya, suara klik! terdengar. Dari kejauhan, seseorang kembali memotret mereka. Malam itu, Alexa menerima pesan anonim. Tangannya bergetar ketika membuka pesan berisi beberapa foto baru—Alvaro dipeluk Nadine di parkiran kantor. Pesan itu singkat: “Beginikah suamimu menjaga kesetiaan?” Alexa terdiam lama, matanya panas. Ia baru saja mencoba mempercayai Alvaro, tapi bukti ini terasa lebih menusuk daripada sebelumnya. Ketika Alvaro pulang malam itu, Alexa sudah menunggunya dengan wajah penuh air mata. “Kenapa, Alvaro?” suaranya pecah. “Kenapa kau biarkan dia terus mendekat? Aku sudah mencoba percaya… tapi lihat apa yang kulihat sekarang!” Alvaro terkejut, buru-buru mendekat. “Alexa, itu jebakan lagi. Aku tidak pernah—” “Tapi buktinya selalu sama!” Alexa memotong dengan tangis. “Sampai kapan aku harus berperang melawan bayangan perempuan itu?!” Hening memenuhi ruangan. Untuk pertama kalinya, Alexa benar-benar tampak ingin menyerah. Alvaro berdiri kaku, hatinya hancur. Ia tahu, jika ia tidak segera menemukan cara menghancurkan Nadine, ia bisa kehilangan Alexa selamanya.Malam itu, setelah rapat panjang, Rafa dan Alexa akhirnya pulang. Namun, suasana rumah yang biasanya hangat terasa sedikit berat. Alexa berusaha tersenyum sambil menyiapkan makan malam, tapi pikirannya masih tertinggal di kantor.“Rafa…” ia membuka suara pelan. “Aku merasa Isabella bukan hanya sekadar konsultan. Ada sesuatu dalam caranya menatapmu… seperti dia ingin lebih dari sekadar kerja sama.”Rafa yang sedang melepas dasi menoleh, matanya serius. “Aku tahu kau melihatnya. Tapi jangan khawatir, aku tidak pernah memberi ruang untuk hal itu. Fokusku hanya padamu… dan kita.”Alexa menunduk, sedikit lega, tapi ada rasa gelisah yang tak bisa hilang.Sementara itu, di sebuah café mewah, Isabella duduk sendirian dengan segelas anggur. Ponselnya bergetar—sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Pastikan Rafa tetap dalam tekanan. Semakin dia terpojok, semakin mudah kita masuk.”Isabella tersenyum tipis. “Permainan baru saja dimulai,” gu
Sinar matahari pagi menembus jendela besar rumah Rafa. Alexa membuka matanya perlahan, masih merasakan hangatnya malam yang damai kemarin. Tawa Rania terdengar dari halaman belakang, sementara Rafa sedang menyiapkan sarapan sederhana tapi hangat.“Selamat pagi, Alexa,” sapa Rafa sambil menyerahkan secangkir kopi hangat. Matanya menatap lembut, penuh perhatian. “Tidur nyenyak?”Alexa tersenyum, menerima kopi itu. “Iya… aku rasa untuk pertama kalinya sejak lama, aku benar-benar merasa tenang.”Rania muncul membawa beberapa kertas gambar. “Aku menggambar semua kejadian seru kita selama beberapa bulan terakhir!” katanya antusias. Alexa tersenyum melihat hasil karyanya. Momen sederhana ini, tawa dan kegembiraan mereka, terasa jauh lebih berharga daripada semua kekayaan dunia.Namun, di balik kedamaian itu, Rafa mulai menerima kabar dari kantornya—proyek baru yang menantang menuntut perhatian segera. Alexa menatap Rafa dengan sedikit khawatir. “Apakah kau yakin kita masih bisa menikmati pag
Beberapa minggu setelah penangkapan Nadine, kehidupan Alexa, Rania, dan Rafa perlahan kembali normal. Gudang yang dulu menjadi sarang ancaman kini sepi, hanya menyisakan bekas-bekas ketegangan yang kini berubah menjadi kenangan yang memberi pelajaran. Alexa duduk di teras rumahnya, menyesap kopi hangat sambil menatap matahari terbit. Udara pagi segar, seolah menyapu semua rasa takut dan ketegangan dari malam-malam sebelumnya. Rania berjalan menghampiri dengan senyum tipis, masih terlihat lemah tapi matanya bersinar dengan rasa lega. “Aku tidak pernah menyangka bisa merasa bebas lagi,” katanya. Alexa tersenyum lembut. “Itu karena kau berani menghadapi semuanya. Dan kau tidak sendirian. Rafa, aku, kita selalu bersamamu.” Rafa muncul dari dapur membawa beberapa camilan. “Dan jangan lupa, sekarang kita bisa tidur tanpa waspada setiap malam,” canda Rafa, membuat Rania tertawa pelan. Alexa menatap kedua sahabatnya, rasa syukur mengalir di hatinya. Mereka telah melewati badai, menghadap
Beberapa hari setelah penyelamatan Rania, Alexa duduk di ruang kerjanya, menatap peta dan catatan yang menumpuk di meja. Nadine tidak hanya licik; ia brutal dan cerdas. Kali ini, Alexa tahu mereka harus menyerang dengan strategi matang, bukan sekadar mengandalkan keberanian. Rafa masuk membawa secangkir kopi dan duduk di seberang meja. “Aku sudah memeriksa semua jalur keluar dan masuk, serta anak buah Nadine. Ada titik lemah yang bisa kita manfaatkan,” katanya. Alexa mencondongkan badan, matanya berbinar. “Bicara.” Rafa menunjuk pada peta. “Gudang terakhir yang mereka gunakan untuk latihan atau penyimpanan barang berisiko tinggi. Tapi ada terowongan lama yang dulunya untuk evakuasi darurat. Nadine kemungkinan besar tidak menggunakannya lagi.” Alexa tersenyum tipis. “Jadi kita masuk melalui sana. Kita buat Nadine lengah.” Rania duduk di sudut ruangan, masih lemah setelah pengalaman mengerikan itu, tapi tatapannya penuh tekad. “Aku ingin ikut. Aku tahu aku lemah, tapi aku ingi
Pagi itu, Alexa duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang hampir dingin. Matanya masih menatap dokumen-dokumen Rania, menyusun potongan teka-teki yang semakin kompleks. Nadine bukan hanya licik; ia strategis, dan setiap langkahnya harus diperhitungkan dengan cermat. Alexa membuka laptop dan mulai menelusuri jejak digital Nadine. Ia meneliti transaksi, media sosial, dan bahkan lokasi-lokasi yang mungkin dikunjungi Nadine. Setiap detil kecil bisa menjadi petunjuk untuk menemukan Rania. Setelah beberapa jam, Alexa menemukan sesuatu yang mengejutkan: sebuah alamat yang sering dikunjungi Nadine dalam beberapa minggu terakhir. Itu bukan rumah biasa—lebih seperti gudang atau tempat tersembunyi. “Ini… mungkin tempat Rania disembunyikan,” bisiknya, menelan ludah. Tanpa membuang waktu, Alexa menyiapkan rencana. Ia tahu sendirian ia akan sulit menembus rahasia itu. Ia perlu bantuan, tapi harus hati-hati memilih orang yang bisa dipercaya. Ia menghubungi seseorang dari lingkaran kepercay
Pesan Rania masih tergantung di layar ponsel Alexa. Jantungnya berdetak tak beraturan. Setiap kata seperti menancap di dada, membuatnya sulit bernapas.“Jangan percaya siapa pun… semua ini ada hubungannya dengan Nadine…”Alexa menatap langit-langit kamarnya, mata berkaca-kaca. Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa yang bisa ia lakukan sendirian?Dengan tangan gemetar, ia mulai menelpon Rania berkali-kali. Nada sambung terdengar, lalu berhenti. Nada itu seperti terputus di tengah harapannya. Ponsel Alexa berdering tanpa henti, tapi tak ada jawaban.Rasa takut perlahan berubah menjadi kepanikan. Ia menelpon rumah Rania, nomor darurat, bahkan teman-teman lain yang mungkin tahu keberadaannya. Semua sia-sia.“Apa yang terjadi padamu, Rania…?!” bisiknya, suaranya hampir pecah.Alexa duduk di sofa, mencoba menenangkan diri. Namun pikirannya tidak bisa berhenti memutar pertanyaan: apa yang sebenarnya dilakukan Nadine? Dan seberapa jauh ancamannya?Di luar, lampu jalan berpendar di trotoar basa