Share

Retakan dan Perang Sayap

Penulis: laliza mpoet
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-23 09:37:43

Hujan turun deras malam itu, memantul di kaca jendela rumah mereka. Alexa berdiri memandang keluar, tubuhnya kaku, wajahnya sembab. Ia bahkan tak menyadari Alvaro sudah lama berdiri di belakangnya, memperhatikannya dengan hati yang hancur.

“Alexa…” suara Alvaro nyaris tenggelam oleh suara hujan.

Alexa berbalik perlahan, matanya merah. “Aku tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang jebakan, Alvaro. Semuanya terasa sama. Foto, gosip, cerita… semuanya menyakitiku.”

Alvaro melangkah maju, berusaha menggenggam tangannya. Namun Alexa menepis dengan halus.

“Berhenti mencoba meyakinkanku dengan kata-kata. Aku butuh bukti, Alvaro. Bukti nyata kalau aku masih yang kau pilih.”

Kalimat itu bagai pisau. Alvaro terdiam, tidak ada yang bisa ia ucapkan.

Di sisi lain kota, Nadine duduk anggun di meja lounge hotel bersama Clara. Segelas martini di tangannya berkilau.

“Kau lihat? Alexa mulai retak,” ujar Nadine dengan senyum licik. “Hanya butuh sedikit lagi, dan dia akan menyerah.”

Clara mengangkat alis. “Tapi hati-hati, Nadine. Alvaro bukan tipe pria yang mudah ditaklukkan. Kalau dia tahu semua ini permainanmu, bisa berbalik.”

Nadine menatap kosong ke kaca, bibirnya melengkung. “Itu risiko yang sudah kuperhitungkan. Kadang, untuk merebut sayap emas, kau harus rela membakar bulu orang lain.”

Mereka tertawa pelan, seolah sedang merayakan kemenangan kecil.

Malamnya, Alvaro duduk sendirian di ruang kerjanya. Tatapannya jatuh pada foto pernikahan mereka yang terpajang di meja. Senyum Alexa di hari itu masih begitu jelas—tulus, penuh cinta, tanpa ragu.

“Tidak… aku tidak akan biarkan siapa pun merusak ini.” Alvaro mengepalkan tangan.

Ia tahu, perang ini bukan lagi sekadar soal bisnis. Ini adalah perang mempertahankan hatinya sendiri, juga melindungi rumah tangganya dari retakan yang makin membesar.

Pagi itu, suasana rumah terasa dingin. Alexa menyiapkan sarapan seperti biasa, tapi hampir tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Alvaro berulang kali mencoba membuka percakapan, namun hanya mendapat balasan singkat.

Saat Alvaro berangkat ke kantor, Alexa menatap punggungnya dengan mata berkaca. Ia menghela napas panjang, lalu menyalakan ponselnya. Ada satu pesan yang sejak semalam belum ia buka: dari nomor asing.

“Kalau kau ingin tahu siapa Nadine sebenarnya, datanglah ke Café Artemis jam dua siang. Jangan bawa siapa pun.”

Alexa menggenggam ponselnya erat. Jantungnya berdebar kencang.

“Ini mungkin jebakan… tapi aku harus tahu,” bisiknya pada diri sendiri.

Jam dua siang, Alexa duduk di sudut café, menyamar dengan kacamata hitam. Tak lama, seorang wanita paruh baya menghampirinya. Wajahnya asing, namun sorot matanya penuh urgensi.

“Anda Alexa, istri Alvaro?” tanyanya lirih.

Alexa mengangguk hati-hati. “Ya. Siapa Anda?”

Wanita itu menoleh ke sekeliling sebelum duduk. “Nama saya Rania. Saya mantan sekretaris Nadine. Saya tahu banyak tentangnya… termasuk bagaimana dia menghancurkan rumah tangga orang lain demi ambisinya.”

Alexa terperangah. Tangannya gemetar di atas meja. “Apa maksud Anda…?”

Rania membuka tas kecilnya, lalu mengeluarkan sebuah flashdisk. “Semua bukti ada di sini. Email, rekaman suara, dan dokumen. Nadine sengaja menjebak Alvaro. Dan percayalah… ia tidak akan berhenti sebelum benar-benar merebutnya.”

Alexa menatap benda itu lama, seperti sedang memegang kunci rahasia besar.

Di tempat lain, Nadine berdiri di depan cermin kamarnya. Ia tersenyum puas melihat headline baru di portal gosip:

“CEO Muda Terjerat Cinta Terlarang dengan Nadine Prasetya?”

Dengan anggun ia merapikan lipstiknya, lalu bergumam pelan, “Satu sayap sudah retak… sebentar lagi akan patah.”

Alexa pulang sore itu dengan wajah datar, seakan-akan tidak ada yang terjadi. Namun di dalam tas tangannya, flashdisk dari Rania terasa berat, seolah berisi bom yang bisa meledakkan segalanya kapan saja.

Begitu masuk ke kamar, ia buru-buru mengunci pintu. Tangannya gemetar saat memasukkan flashdisk ke laptop. Layar terbuka menampilkan deretan folder: rekaman, email, dokumen rahasia.

Alexa memutar salah satu rekaman suara.

> “Pastikan wartawan itu mendapat foto. Jangan khawatir, aku akan buat Alvaro terlihat seolah mengejarku. Istrinya hanya butuh sedikit goyangan… lalu ia akan jatuh dengan sendirinya.”

Suara Nadine terdengar jelas. Alexa menutup mulutnya, menahan isak. Air mata jatuh tanpa bisa dibendung. Kini ia yakin—semua yang terjadi adalah jebakan.

Namun sebelum sempat memutar file lain, terdengar suara pintu kamar dibuka dari luar.

“Alexa?” suara Alvaro.

Panik, Alexa buru-buru mencabut flashdisk dan menyelipkannya ke dalam laci meja rias. Ia menghapus air matanya secepat mungkin, lalu berusaha tersenyum saat Alvaro masuk.

“Kau… baru sampai?” tanyanya.

Alvaro mengangguk, menatap wajahnya yang jelas masih basah. “Aku lihat matamu merah. Kau menangis?”

Alexa menggeleng cepat. “Hanya… lelah.”

Alvaro menatap dalam, tapi tidak mendesak. Ia hanya menghela napas, lalu mendekat dan memeluknya. Alexa membalas pelukan itu, namun dalam hatinya ia menyimpan rahasia yang belum bisa dibagi.

Di tempat lain, Nadine duduk di ruang kerjanya dengan gelisah. Clara baru saja melaporkan sesuatu.

“Ada yang aneh, Nadine. Rania… mantan sekretarismu… aku dengar ia terlihat bersama Alexa siang tadi.”

Mata Nadine langsung menyipit. “Rania? Wanita itu berani bermain-main di belakangku?”

Clara menelan ludah. “Kalau benar Alexa sudah tahu sesuatu, semua rencana bisa berantakan.”

Nadine menggenggam gelas anggurnya begitu kuat hingga hampir pecah. Senyumnya hilang, diganti tatapan penuh bara.

“Kalau begitu… kita pastikan Alexa tidak pernah sempat membuka rahasia itu.”

Rania duduk di kamarnya yang sempit, berulang kali menatap pintu dengan gelisah. Sejak siang, ia merasa ada yang mengikutinya. Nafasnya pendek, tangannya gemetar saat meraih telepon. Ia mencoba menghubungi Alexa, namun belum sempat menekan tombol panggil—

Dorr!

Suara pintu didobrak. Dua pria berbadan tegap masuk, wajah mereka dingin tanpa ekspresi.

“Rania Prasetyo?” suara berat salah satu dari mereka.

Rania mundur ketakutan, punggungnya menempel pada dinding. “K-Kalian siapa?!”

Pria itu tak menjawab, hanya melemparkan amplop cokelat di meja. “Pesan dari Ibu Nadine: jangan pernah coba membuka mulut lagi.”

Setelah itu mereka pergi, meninggalkan kamar yang penuh ketakutan. Rania meraih amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya hanya ada satu kertas bertuliskan:

“Sekali lagi kau menyentuh Alexa, aku pastikan kau lenyap.”

Sementara itu, Alexa duduk di balkon rumahnya. Flashdisk itu kini ia sembunyikan di bawah rak buku, namun pikirannya tidak tenang.

Ia menatap bulan, wajahnya muram. “Kalau aku ceritakan ini pada Alvaro, mungkin dia akan lega… tapi bagaimana kalau Nadine membalas lebih kejam? Bagaimana kalau dia justru memutarbalikkan keadaan lagi?”

Suara Alvaro tiba-tiba terdengar dari dalam rumah. “Lexa? Kau di luar?”

Alexa buru-buru menghapus air matanya, lalu menjawab, “Iya, Mas. Aku… hanya butuh udara segar.”

Alvaro mendekat, lalu berdiri di sampingnya. Mereka sama-sama diam, hanya suara jangkrik menemani. Namun bagi Alexa, diam itu penuh retakan. Ia ingin bicara, tapi ketakutan menahannya.

Di sisi lain kota, Nadine duduk di ruang VIP klub malam. Ia menyesap anggur merah dengan senyum tipis. Clara duduk di sebelahnya, resah.

“Kau yakin langkah ini tidak terlalu jauh?” tanya Clara.

Nadine mengibaskan tangan, seolah tak peduli. “Perang sayap tidak pernah dimenangkan oleh burung yang penakut, Clara. Kalau ingin terbang tinggi, kadang kau harus mematahkan sayap lawanmu.”

Matanya berkilat kejam, seolah sudah bertekad: Rania harus dibungkam, dan Alexa akan segera jatuh ke dalam jebakan terakhirnya.

Malam itu Alexa terjaga sendirian di ruang kerjanya. Flashdisk kecil di tangannya terasa seberat batu. Ia menatap benda itu lama sekali, seolah sedang menimbang seluruh hidupnya.

“Aku bisa saja memberikannya pada Alvaro sekarang juga…” bisiknya lirih. “Tapi kalau aku salah langkah, Nadine pasti menyerang balik. Dan aku… aku belum cukup kuat.”

Dengan tangan gemetar, ia menyembunyikan flashdisk itu ke dalam kotak perhiasan yang jarang ia buka. Setelah menutupnya rapat, ia menarik napas dalam-dalam.

“Untuk saat ini, biarlah hanya aku yang tahu.”

Di sisi lain kota, Rania duduk di ranjang sambil menggenggam kertas ancaman dari Nadine. Matanya merah, ketakutan bercampur penyesalan. Ia tahu, masuk ke perang ini berarti mempertaruhkan nyawanya.

“Apa aku sudah salah menyerahkan bukti pada Alexa? Tuhan, lindungilah dia…” bisiknya sambil menangis.

Sementara itu di sebuah penthouse mewah, Nadine berdiri di depan jendela besar. Lampu kota berkelap-kelip seperti bintang jatuh di bawah sana.

Clara melaporkan sesuatu. “Rania sudah diberi peringatan. Alexa… belum melakukan apa pun. Sepertinya dia masih diam.”

Nadine tersenyum sinis. “Bagus. Itu artinya dia sedang ketakutan. Dan wanita yang takut… lebih mudah untuk dihancurkan.”

Ia menyesap anggurnya, lalu menambahkan dengan nada penuh racun:

“Persiapkan langkah berikutnya. Aku ingin Alexa percaya bahwa bahkan di rumahnya sendiri… ia tidak pernah benar-benar aman.”

Malam terasa panjang.

Retakan yang tadinya kecil kini mulai membesar, dan perang sayap baru saja dimulai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Bayangan yang Mengusik

    Malam itu, setelah rapat panjang, Rafa dan Alexa akhirnya pulang. Namun, suasana rumah yang biasanya hangat terasa sedikit berat. Alexa berusaha tersenyum sambil menyiapkan makan malam, tapi pikirannya masih tertinggal di kantor.“Rafa…” ia membuka suara pelan. “Aku merasa Isabella bukan hanya sekadar konsultan. Ada sesuatu dalam caranya menatapmu… seperti dia ingin lebih dari sekadar kerja sama.”Rafa yang sedang melepas dasi menoleh, matanya serius. “Aku tahu kau melihatnya. Tapi jangan khawatir, aku tidak pernah memberi ruang untuk hal itu. Fokusku hanya padamu… dan kita.”Alexa menunduk, sedikit lega, tapi ada rasa gelisah yang tak bisa hilang.Sementara itu, di sebuah café mewah, Isabella duduk sendirian dengan segelas anggur. Ponselnya bergetar—sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Pastikan Rafa tetap dalam tekanan. Semakin dia terpojok, semakin mudah kita masuk.”Isabella tersenyum tipis. “Permainan baru saja dimulai,” gu

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Kehidupan Baru

    Sinar matahari pagi menembus jendela besar rumah Rafa. Alexa membuka matanya perlahan, masih merasakan hangatnya malam yang damai kemarin. Tawa Rania terdengar dari halaman belakang, sementara Rafa sedang menyiapkan sarapan sederhana tapi hangat.“Selamat pagi, Alexa,” sapa Rafa sambil menyerahkan secangkir kopi hangat. Matanya menatap lembut, penuh perhatian. “Tidur nyenyak?”Alexa tersenyum, menerima kopi itu. “Iya… aku rasa untuk pertama kalinya sejak lama, aku benar-benar merasa tenang.”Rania muncul membawa beberapa kertas gambar. “Aku menggambar semua kejadian seru kita selama beberapa bulan terakhir!” katanya antusias. Alexa tersenyum melihat hasil karyanya. Momen sederhana ini, tawa dan kegembiraan mereka, terasa jauh lebih berharga daripada semua kekayaan dunia.Namun, di balik kedamaian itu, Rafa mulai menerima kabar dari kantornya—proyek baru yang menantang menuntut perhatian segera. Alexa menatap Rafa dengan sedikit khawatir. “Apakah kau yakin kita masih bisa menikmati pag

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Ketenangan dan Awal Baru

    Beberapa minggu setelah penangkapan Nadine, kehidupan Alexa, Rania, dan Rafa perlahan kembali normal. Gudang yang dulu menjadi sarang ancaman kini sepi, hanya menyisakan bekas-bekas ketegangan yang kini berubah menjadi kenangan yang memberi pelajaran. Alexa duduk di teras rumahnya, menyesap kopi hangat sambil menatap matahari terbit. Udara pagi segar, seolah menyapu semua rasa takut dan ketegangan dari malam-malam sebelumnya. Rania berjalan menghampiri dengan senyum tipis, masih terlihat lemah tapi matanya bersinar dengan rasa lega. “Aku tidak pernah menyangka bisa merasa bebas lagi,” katanya. Alexa tersenyum lembut. “Itu karena kau berani menghadapi semuanya. Dan kau tidak sendirian. Rafa, aku, kita selalu bersamamu.” Rafa muncul dari dapur membawa beberapa camilan. “Dan jangan lupa, sekarang kita bisa tidur tanpa waspada setiap malam,” canda Rafa, membuat Rania tertawa pelan. Alexa menatap kedua sahabatnya, rasa syukur mengalir di hatinya. Mereka telah melewati badai, menghadap

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Konfrontasi Terakhir

    Beberapa hari setelah penyelamatan Rania, Alexa duduk di ruang kerjanya, menatap peta dan catatan yang menumpuk di meja. Nadine tidak hanya licik; ia brutal dan cerdas. Kali ini, Alexa tahu mereka harus menyerang dengan strategi matang, bukan sekadar mengandalkan keberanian. Rafa masuk membawa secangkir kopi dan duduk di seberang meja. “Aku sudah memeriksa semua jalur keluar dan masuk, serta anak buah Nadine. Ada titik lemah yang bisa kita manfaatkan,” katanya. Alexa mencondongkan badan, matanya berbinar. “Bicara.” Rafa menunjuk pada peta. “Gudang terakhir yang mereka gunakan untuk latihan atau penyimpanan barang berisiko tinggi. Tapi ada terowongan lama yang dulunya untuk evakuasi darurat. Nadine kemungkinan besar tidak menggunakannya lagi.” Alexa tersenyum tipis. “Jadi kita masuk melalui sana. Kita buat Nadine lengah.” Rania duduk di sudut ruangan, masih lemah setelah pengalaman mengerikan itu, tapi tatapannya penuh tekad. “Aku ingin ikut. Aku tahu aku lemah, tapi aku ingi

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Jejak yang Terlacak

    Pagi itu, Alexa duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang hampir dingin. Matanya masih menatap dokumen-dokumen Rania, menyusun potongan teka-teki yang semakin kompleks. Nadine bukan hanya licik; ia strategis, dan setiap langkahnya harus diperhitungkan dengan cermat. Alexa membuka laptop dan mulai menelusuri jejak digital Nadine. Ia meneliti transaksi, media sosial, dan bahkan lokasi-lokasi yang mungkin dikunjungi Nadine. Setiap detil kecil bisa menjadi petunjuk untuk menemukan Rania. Setelah beberapa jam, Alexa menemukan sesuatu yang mengejutkan: sebuah alamat yang sering dikunjungi Nadine dalam beberapa minggu terakhir. Itu bukan rumah biasa—lebih seperti gudang atau tempat tersembunyi. “Ini… mungkin tempat Rania disembunyikan,” bisiknya, menelan ludah. Tanpa membuang waktu, Alexa menyiapkan rencana. Ia tahu sendirian ia akan sulit menembus rahasia itu. Ia perlu bantuan, tapi harus hati-hati memilih orang yang bisa dipercaya. Ia menghubungi seseorang dari lingkaran kepercay

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Rahasia dalam Bayangan

    Pesan Rania masih tergantung di layar ponsel Alexa. Jantungnya berdetak tak beraturan. Setiap kata seperti menancap di dada, membuatnya sulit bernapas.“Jangan percaya siapa pun… semua ini ada hubungannya dengan Nadine…”Alexa menatap langit-langit kamarnya, mata berkaca-kaca. Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa yang bisa ia lakukan sendirian?Dengan tangan gemetar, ia mulai menelpon Rania berkali-kali. Nada sambung terdengar, lalu berhenti. Nada itu seperti terputus di tengah harapannya. Ponsel Alexa berdering tanpa henti, tapi tak ada jawaban.Rasa takut perlahan berubah menjadi kepanikan. Ia menelpon rumah Rania, nomor darurat, bahkan teman-teman lain yang mungkin tahu keberadaannya. Semua sia-sia.“Apa yang terjadi padamu, Rania…?!” bisiknya, suaranya hampir pecah.Alexa duduk di sofa, mencoba menenangkan diri. Namun pikirannya tidak bisa berhenti memutar pertanyaan: apa yang sebenarnya dilakukan Nadine? Dan seberapa jauh ancamannya?Di luar, lampu jalan berpendar di trotoar basa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status