Home / Rumah Tangga / Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku / #3 Pesta, Permainan, dan Bayang-Bayang Mantan

Share

#3 Pesta, Permainan, dan Bayang-Bayang Mantan

Author: laliza mpoet
last update Last Updated: 2025-08-23 09:37:43

Pintu lift terbuka, mengantarkanku ke lantai ballroom hotel berbintang lima. Suara obrolan bercampur tawa, dentingan gelas, dan musik orkestra mengalun samar. Udara penuh aroma parfum mahal, bunga segar, dan makanan yang menggoda. Semua itu melukiskan satu hal: dunia orang-orang berpengaruh.

Jantungku berdegup keras. Gaun hitam panjang yang membalut tubuhku terasa lebih seperti kostum daripada pakaian. Heels yang kupakai membuatku lebih tinggi, tapi juga lebih canggung. Aku mencoba meyakinkan diriku: ini bukan Alexa yang basah kuyup ditelan hujan. Ini Alexa yang baru, Asisten Direktur Yayasan ALCORP.

Mataku langsung menangkap sosok Alvaro di pintu masuk, menyambut tamu dengan sikap tenang dan wibawa yang khas. Saat ia melihatku, sesuatu berubah. Pandangannya membeku sepersekian detik, lalu bergeser dari ujung rambut hingga ke ujung sepatu. Ada keterkejutan, lalu sorot yang begitu dalam—seolah ia melihat sisi diriku yang bahkan belum sempat kukenal.

“Demi…” gumamnya, hampir tak terdengar di tengah keramaian. Ia melangkah mendekat, aromanya—campuran kayu sandalwood dan segar yang maskulin—langsung merayapi inderaku. “Alexa. Kamu terlihat... luar biasa.”

Pipi terasa panas. Aku mencoba bersikap profesional. “Terima kasih, Bos.”

Ia menggeleng pelan, senyum kecil muncul. “Malam ini, panggil aku Alvaro saja. Kita berdiri sebagai mitra di sini.”

Tangannya terulur, menawarkan lengannya. Isyaratnya sederhana, tapi entah mengapa terasa begitu intim. Aku menyambutnya, melingkarkan tanganku di sikunya. Kain jasnya dingin, tapi otot lengan yang kukenali di baliknya terasa kuat dan nyata. Peran yang harus kami mainkan malam ini tiba-tiba berubah jadi sesuatu yang lebih personal.

Sepanjang kami menyusuri karpet merah, tatapan dan bisik-bisik para undangan mengikuti langkah kami. “Siapa itu?” “Dengan Alvaro?” Aku menegakkan punggung, berusaha menyingkirkan rasa gugup. Malam ini bukan tentang diriku—ini tentang yayasan, tentang beasiswa, tentang perjuangan.

Presentasi berjalan mulus. Alvaro berbicara dengan wibawa, menghadirkan angka-angka dan strategi. Lalu giliranku. Aku menceritakan kisah Ibu Sari, perempuan tangguh yang anaknya bisa kuliah kedokteran berkat program kami. Kata-kataku meluncur jernih, bukan sekadar hafalan. Aku melihat mata-mata yang berkaca-kaca, bahkan ada yang mengangguk pelan. Dan ketika selesai, ballroom meledak dengan tepuk tangan.

Alvaro menatapku seolah aku baru saja menciptakan keajaiban. “Kamu tadi luar biasa,” bisiknya.

Senyum tulus mengembang di wajahku. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa benar-benar diakui.

Pesta pun dimulai. Alvaro tetap berada di dekatku, memperkenalkan aku pada para tamu dengan kalimat yang selalu membuatku menahan napas: “Ini Alexa, rekan kerjaku yang brilian.” Ia menempatkanku di sisinya, bukan di belakangnya.

Lalu tiba-tiba, tubuh Alvaro menegang. Pandangannya mengeras, tertuju ke seberang ruangan. Aku mengikutinya—dan dunia seakan berhenti.

Rendy. Dan Nadine.

Rendy tampak kikuk dalam tuksedo, wajahnya kaget saat melihatku. Matanya menelusuri gaunku, caraku berdiri di samping Alvaro. Ada penyesalan mentah di sana, jelas sekali.

Nadine berbeda. Ia seperti ular dalam gaun merah menyala. Tatapannya penuh racun, senyumnya tipis, puas melihatku. Dan ketika matanya bertemu dengan Alvaro, aku tahu—ia sedang merencanakan sesuatu.

“Mereka di sini,” bisikku, dadaku mendadak sesak.

“Aku tahu,” jawab Alvaro tenang, tangannya menyentuh punggungku. Genggaman halus tapi protektif. “Abaikan. Jangan biarkan mereka merusak malam ini.”

Namun Nadine tidak berniat diam. Dengan langkah penuh percaya diri, ia menyeret Rendy mendekat.

“Wah, wah... pemandangan yang menarik,” suaranya manis tapi beracun. “Rendy, lihatlah. Mantanmu sudah naik kelas. Dari istri seorang direktur jadi... apa sekarang, Lex? Asisten pribadi? Atau ada gelar lain yang lebih... intim?”

Rendy terlihat tersiksa. “Nadine, cukup.” Tapi matanya tak lepas dariku. “Alexa... kau terlihat luar biasa.”

Nadine mendesis. “Tentu saja. Dengan uang dan kekuasaan Tuan Atmajaya, siapa yang tidak?” Ia lalu menatap Alvaro, tatapannya menusuk. “Kau pasti murah hati, Tuan Atmajaya. Mengambilnya begitu saja dari jalanan.”

Suasana di sekeliling kami membeku. Alvaro tidak bereaksi dengan marah, tapi ekspresinya berubah tajam seperti pisau.

“Bu,” katanya halus, tapi setiap kata mengandung ancaman. “Alexa ada di ALCORP karena kecerdasan dan integritasnya. Hal yang tampaknya... asing bagi Anda.” Pandangannya lalu beralih ke Rendy. “Pak. Saya dengar bisnis properti sedang lesu. Semoga keadaan Anda membaik.”

Kata-kata itu menohok seperti tamparan. Nadine terdiam, wajahnya merah menahan amarah. Rendy meringis. Alvaro tidak berhenti di situ.

“Alexa adalah aset paling berharga yayasan ini,” katanya lebih lantang, cukup untuk menarik perhatian tamu lain. “Presentasinya malam ini menghasilkan komitmen donasi yang akan memberdayakan ratusan perempuan. Jika Anda berdua tidak berniat menyumbang, saya sarankan percakapan kita selesai di sini.”

Dengan tekanan ringan di punggungku, ia menuntunku pergi. Aku berjalan bersamanya, meninggalkan Nadine yang membara dan Rendy yang terpuruk.

Aku menarik napas dalam-dalam setelah beberapa langkah. “Ya Tuhan... terima kasih.”

Alvaro menatapku. “Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya menyampaikan kebenaran. Kamu lebih baik dari mereka. Selamanya.”

Kata-katanya seperti pelukan tak kasat mata.

Namun malam belum berakhir.

Di lorong menuju toilet, Rendy menghadangku. Wajahnya muram, matanya merah. Bau alkohol menyengat.

“Lex, tolong. Kita harus bicara,” desisnya.

“Lepaskan aku, Rendy,” kataku keras, berusaha menepis tangannya.

“Aku salah. Nadine gila, dia memaksaku... aku masih mencintaimu.” Air mata menggenang di matanya. “Alvaro hanya memanfaatkanmu. Dia akan meninggalkanmu begitu bosan—”

“Diam!” potongku, marah. “Kau tidak tahu apa-apa tentang dia. Atau tentang aku yang sekarang. Aku bukan lagi perempuan yang kau tinggalkan.”

Aku hendak pergi, tapi ia kembali meraih tanganku.

“Lepaskan dia.”

Suara Alvaro menggema di koridor. Wajahnya dingin, penuh amarah yang nyaris tak terkendali.

Rendy buru-buru melepaskan genggamannya. “Ini bukan urusanmu, Atmajaya.”

“Saya yang menjadikannya urusan saya,” jawab Alvaro tegas, berdiri di depanku, melindungi tubuhku. “Dia sudah bilang tidak. Jika kau mendekatinya lagi, kau akan berurusan denganku. Dan percayalah, itu urusan yang tak ingin kau hadapi.”

Rendy menunduk, kalah.

Alvaro menggenggam tanganku. “Ayo kita pulang.”

Ia tidak melepaskannya sepanjang perjalanan. Dalam mobil, ia diam, tapi energi panas kemarahannya terasa jelas.

Sesampainya di depan apartemen, ia akhirnya bicara. “Alexa... aku tidak tahan melihatnya menyentuhmu.”

Aku menatapnya, jantungku berdebar. “Aku baik-baik saja.”

“Aku tahu. Tapi aku tidak.” Pandangannya menusukku, pertahanannya runtuh. “Pertemuan kita mungkin kebetulan. Tapi perasaanku padamu bukan. Aku tidak bisa hanya diam. Aku ingin melindungimu. Bukan sebagai bosmu. Tapi sebagai seorang pria... yang menginginkanmu.”

Tangannya terangkat, menyentuh pipiku pelan, menghapus air mata yang bahkan tak kusadari masih tersisa. Sentuhan itu membuat tubuhku gemetar.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya mengangguk.

Itu cukup. Senyum lega muncul di wajahnya. “Tidurlah, Alexa. Besok kita mulai lagi.”

Ia pergi, meninggalkanku dengan hati yang berdebar hebat dan pilihan baru yang mulai terbuka.

Sementara itu, di dalam taksi yang melaju, Nadine menempelkan ponsel ke telinganya, matanya berkilat penuh rencana.

“Rencana B. Ambil semua dokumen dia dan Rendy—pernikahan, properti, apapun. Akan ada celah yang bisa kita gunakan. ALCORP bukan hanya incarannya. Itu juga harus menjadi milikku.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #44 Bahasa Hujan dan Lagu yang Belum Selesai

    Musim hujan datang tanpa banyak peringatan. Awalnya cuma gerimis lembut yang membasahi jalan, lalu berubah jadi rintik-rintik yang menetap, mengetuk jendela dengan ritme tenang. Buat kami, hujan bukan sekadar cuaca. Ia seperti bab baru—bukan yang menutup, tapi yang menyembuhkan.Surya menemukan kesenangan aneh dari suara hujan. Sore itu, dia duduk di dekat jendela, dagunya bertumpu di lutut, dahinya menempel di kaca dingin.“Dengerin, Bu,” katanya pelan, matanya setengah terpejam. “Hujannya nyanyi.”Aku ikut diam, mencoba mendengar seperti dia. Suaranya bukan sekadar rintik air—ada dentuman kecil di talang, desisan lembut di daun, dan ketukan acak di teras. Seperti melodi yang nggak butuh alat musik.“Lagu apa yang dia nyanyikan?” tanyaku.“Lagu tentang yang hilang terus ketemu lagi,” jawabnya lirih. “Tentang bumi yang haus, terus akhirnya bisa minum. Kayak kita.”Aku tersenyum. Anak ini... selalu punya cara sendiri buat memahami hal-hal besar dengan kata-kata sederhana.Alvaro yang

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #43 Jejak Kaki di Pasir dan Luka yang Belum Kering

    Kemenangan hari itu kami rayakan dengan cara sederhana. Tidak ada pesta, tidak ada balon atau tumpeng. Hanya semangkuk es krim cokelat—favorit Surya—yang dia habiskan dengan penuh konsentrasi, seperti seseorang yang sedang menikmati sesuatu yang sakral. Setiap sendok yang masuk ke mulutnya adalah pengingat bahwa tubuhnya masih sanggup menerima kebahagiaan kecil."Enak," gumamnya sambil menjilat sendok. Matanya berbinar, cahaya itu kembali—belum sekuat dulu, tapi cukup untuk membuat dadaku sesak oleh rasa syukur."Pelan-pelan, Sayang," kataku, sambil menatapnya dengan senyum yang nggak bisa kutahan.Alvaro duduk di seberang, merekam dengan ponselnya. Gambar itu goyah, tapi justru di situlah keindahannya—rekaman tangan seorang ayah, bukan sinematografer. Bukan untuk dibagikan, hanya untuk disimpan. Sebuah kenangan kecil yang ingin kami genggam selamanya.Malamnya, setelah Surya tertidur dengan perut kenyang dan senyum yang masih menempel di bibirnya, aku dan Alvaro duduk di dapur. Teh c

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #42 Jejak-jejak Keberanian di Lantai Rumah Sakit

    Kata remisi itu seperti udara segar yang tiba-tiba masuk ke paru-paru setelah berbulan-bulan menahan napas. Bukan akhir dari perjuangan, tapi sebuah jeda—izin untuk bernapas lega, untuk berharap lagi, untuk percaya bahwa hidup masih punya ruang bagi keajaiban. Pulang dari rumah sakit tak seperti yang sering digambarkan film. Tidak ada tawa besar atau musik ceria. Yang menyambut kami justru keheningan yang lembut, seperti doa yang baru saja selesai dibisikkan. Rumah kami yang selama ini dipenuhi bau obat, botol antiseptik, dan langkah perawat kini terasa seperti tempat yang baru. Seperti ruang yang telah disucikan oleh air mata dan keberanian. Surya berdiri di ambang pintu. Tubuhnya masih kurus, gerakannya hati-hati, tapi matanya—mata itu sudah kembali bersinar. “Rumah,” katanya pelan, seolah mencicipi arti kata itu lagi. Alvaro berdiri di belakangnya, dan aku melihat bahunya bergetar. Dia tak berkata apa pun. Air matanya jatuh diam-diam, bukan karena kesedihan, tapi karena lega.

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #41 Simfoni yang Baru

    Pameran “Keluarga Seutuhnya” memang telah berakhir, tapi gema emosinya masih terasa di mana-mana. Surat-surat mulai berdatangan ke kampus Sri Wirawan—dari orang-orang yang bercerita tentang keluarganya sendiri, tentang rahasia yang dulu mereka sembunyikan, tentang luka yang akhirnya mereka berani hadapi. Kampus itu, yang dulu hanya menjadi tempat belajar, kini menjelma menjadi ruang penyembuhan. Tempat di mana orang datang bukan hanya untuk mencari ilmu, tapi juga untuk berdamai dengan masa lalu mereka.Di dalam keluarga kami sendiri, suasana damai itu terasa nyata, tapi berbeda dari sebelumnya. Ini bukan ketenangan karena tidak ada masalah, melainkan karena kami tahu, apapun masalah yang datang nanti, kami bisa menghadapinya bersama.Alvaro dan Siska terlihat semakin dekat. Hubungan mereka yang dulu rumit kini berubah jadi sesuatu yang tulus—aneh, tapi hangat. Mereka bukan sekadar paman dan keponakan, bukan juga hanya teman seperjuangan, tapi dua jiwa yang saling memahami karena pern

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #40 Jejak-jejak yang Terlupakan

    Ketenangan setelah pengungkapan terakhir tentang Ibu Sari terasa seperti tarikan napas pertama setelah lama menyelam. Ada kelegaan yang hampir bisa kurasakan secara fisik—seolah-olah beban yang selama ini menekan punggung kami akhirnya terangkat. Rumah baru kami yang sederhana bukan lagi tempat berlindung dari ancaman, melainkan ruang yang benar-benar meneduhkan, tempat di mana kami belajar bernapas dengan damai. Alvaro dan Siska melewati minggu-minggu berikutnya dengan cara mereka sendiri. Mereka sering pergi berdua, mengunjungi tempat-tempat yang dulu berarti bagi ibu mereka. Bukan untuk mencari jawaban lagi, tapi untuk berdamai dengan kenangan. Kadang, aku melihat mereka duduk di taman sambil berbagi cerita lama. Ada tawa, ada air mata, tapi selalu ada kedekatan yang tulus di antara keduanya. Rasanya seperti menyaksikan luka lama perlahan berubah jadi sesuatu yang lembut. Sementara itu, Diana yang sudah mulai pulih kembali menemukan semangatnya lewat musik. Ia memutuskan untuk men

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   #39 Simfoni yang Baru

    Kehidupan di rumah baru berjalan dengan irama yang sama sekali berbeda. Tidak lagi terburu-buru, tidak lagi dibayang-bayangi agenda rapat atau dering telepon tanpa henti. Pagi hari dimulai dengan tawa Surya yang sibuk menceritakan mimpinya sambil menyendokkan sereal. Alvaro, yang dulu bahkan jarang turun ke dapur, kini punya ritual baru: membuat kopi dengan metode tuang perlahan. Aku sering memperhatikan caranya menuang air panas di atas bubuk kopi dengan kesabaran yang tak pernah kubayangkan darinya. Aku sendiri menemukan ketenangan sederhana dalam menanam basil dan rosemary di pot-pot kecil di jendela dapur. Ada rasa puas yang aneh saat memetik daun segar untuk masakan malam.Perubahan ini merembes ke segala hal. Alcorp, di bawah kepemimpinan generasi baru, mulai bergerak ke arah yang lebih berani, menekankan pada keberlanjutan dan bisnis yang etis. Sementara kampus Sri Wirawan semakin ramai. Tidak lagi sekadar ruang kuliah, tapi pusat dialog lintas budaya. Festival tahunan yang mer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status