“Benar ayah, jika perjodohan itu berjalan dengan lancar sangat baik buat posisiku dan juga buat perusahaan kita” kata Doni menimpali.
Melihat semua orang yang ada di ruangan itu setuju aku menerima perjodohan itu, ibu merasa tidak enak. Ditambah lagi aku hanya diam berdiri dan tidak memberikan respon apa-apa. Ibuku datang menghampiriku dan mecoba meraih tanganku. Aku tahu dia berusaha menenangkan hatiku. Hidupku benar-benar diatur di rumah ini. Tidak bisa melakukan sesuatu sesuai dengan keinginanku.
“Maaf… tapi aku tidak tertarik dengan perjodohan. Aku Lelah, aku izin ke kamarku dulu” kataku sambil meninggalkan mereka di ruang tamu tadi.
Aku lelah dengan semua ini, aku ingin istirahat. Saat aku menaiki tangga menuju ke lantai dua di mana kamar tidurku berada, aku masih mendengar kakak iparku memanggil. Tapi aku tidak menggubris sedikitpun. Aku sudah muak dengan segala peraturan yang harus aku turuti di rumah ini. Jika mereka mengusirku dari rumah ini sekarang juga aku siap.
“Adik ipar, jangan seperti itu, dengarkan aku dulu” panggil Renata.
“Ciih… dia selalu saja seperti itu. Hanya melakukan apa yang dia inginkan saja” kata ayah tiriku melihat kepergianku dari hadapan mereka yang tidak menyetujui rencana mereka untuk menjodohkan aku.
“Mungkin dia sekarang sangat lelah, aku akan mencoba berbicara dengannya nanti” kata ibuku menenangkan ayah tiriku.
Kelihatan dari raut wajahnya, ayah tiriku sangat tidak senang. Itu sudah hal biasa bagiku. Dia tidak pernah membiarkan aku memilih sendiri apa aja yang mau aku lakukan dan aku inginkan. Semuanya ada dalam kendali ayah tiriku.
“Lagian ini sudah jam berapa? Anak gadis baru pulang jam segini? Siapa suruh dia berkeliaran di luar sana sampai malam begini. Kamu tidak bisa mendidiknya dengan benar” kata ayah sambil membuang pandangannya dari hadapan ibu.
Saat aku meraih gagang pintu kamarku, ternyata kakak iparku menyusul sampai ke lantai dua. Dia buru-buru menyuruhku berhenti dan spontan aku menuruti perintahnya. Aku masih dalam posisi membelakanginya.
“Hei… berhenti. Aku kan belum selesai berbicara. Aku hanya menawarkannya samamu. Apa salahnya kamu untuk setuju. Belum juga kamu melihat orangnya kamu sudah langsung menolak, itu tidak sopan tahu nggak?” suara kakak iparku terdengar keras dari sebelumnya.
“Kakak ipar, sebenarnya nggak sopan berbicara itu siapa? Bukankah kakak ipar?” tanyaku malas menanggapinya sambil berbalik menghadap ke arahnya. Aku tahu dia punya maksud kurang baik, karena bukan sekali dua kali dia menjelek-jelekkan aku di depan kakak dan ayah tiriku.
“Kamu ya selalu aja begitu. Padahal kamu juga nggak punya apa-apa. Hanya harga dirimu saja yang kamu tinggikan. Sebenarnya aku tidak sudi menawarkan perjodohan ini samamu karena apa? Karena menurutku posisi itu terlalu bagus untukmu jika kamu benaran jadi sama dia. Jadi, kamu jangan sok jual mahal deh. Mendingan kamu terima saja perjodohan ini. Setidaknya dengan cara ini kamu bisa berbakti terhadap keluarga ini. Ini juga kan keluargamu. Maka dari itu, kamu harusnya juga tahu malu dan sadar diri. Kamu di keluarga ini hanya menjadi benalu saja” kata Renata membuat hatiku rasanya terbakar api yang sangat berkobar.
Panas di wajahku rasanya seperti air yang mendidih. Aku sudah terbiasa mendengar hinaan seperti ini keluar dari mulutnya. Jika aku lawan apa gunanya. Toh nanti semuanya juga bakalan berpihak kepadanya.
“Fira, bagaimana bisa kamu pergi begitu saja dari hadapan ayahmu. Kamu telah membuat dia marah” kata ibu tiba-tiba.
"Memang benar-benar dia wanita rubah licik ya. Sepertinya hubungan kalian tidak akan pernah aku selamanya. Dari kita masih kuliah dulu dia sudah sering mengganggumu. Sekarang juga begitu. Selalu membuatmu susah dan di rumahmu juga kamu selalu diganggu" kata Sua dengan nada kesal."Aku tahu maksudnya dia. Dia ingin mengajakmu ke mall dan membelikanmu sesuatu dan ingin membuatmu berasa berterima kasih kepadanya walaupun sebelumnya dia sudah membuat kesalah.""Kamu mau aku temani tidak? Lumayan buat jaga-jaga jika dia membuatmu tidak nyaman, aku bisa menutup mulutnya?" kata Sua dengan penuh emosi."Kamu tidak perlu khawatir, aku bisa jaga diri kok. Lagian ibuku juga ikutan" balas Safira."Apa...? Ibumu juga dia ajak? Kalau dia mengajakmu ibumu itu tandanya kamu tidak bisa menolak ajakannya itu" kata Sua semakin kesal. 'Tidak apa-apa. Jika dia masih berulah, aku bisa kok membalasnya"' jawab Safira menenangkan temannya itu.Di tempat lain, Daren bersama sekretarisnya sedang membahas perke
Keesokan harinya di tempat kerja Safira..."Apa...? Mengajari bagaimana mengungkapkan perasaan...? Memangnya kamu tidak bisa mengungkapkan perasaanmu sama orang?" ulang Sua saat Safira menceritakan pertemuannya dengan Daren kemarin."Dasar laki-laki licik ya...!!! Padahal kalau dilihat sekilas dia adalah laki-laki yang cuek dan dingin. Ternyata laki-laki seperti dia bisa mengatakan rayuan gombal seperti itu. Bagaimana kalau kamu minta dia ajarin tentang insting dan gaya naluri tubuh sekalian" tanya Sua sambil tersenyum."Aaaah... ternyata kamu sama dia sama-sama otak minus ya. Kalau tahu seperti ini tanggapanmu mending tadi aku tidak usah cerita. Percuma tahu nggak?" kata Safira kesal mendengar respon dari temannya itu."Aku juga kan manusia biasa yang kapan saja bisa kilaf. Kalau kamu nggak cerita, aku juga tidak akan bakalan menyuruh kamu untuk bertanya seperti itu. Dan aku juga cuma bercanda saja kok" balas Sua."Aku jadi merasa yakin jika kamu suka dengan laki-laki itu. Karena sel
"Padahal aku sangat berharap kamu bisa membaca apa yang sedang aku pikirkan. Hal aku pikirkan tentang kamu" kata Daren sambil pura-puraa fokus melihat salah satu foto yang sedang dipajang tepat di hadapan mereka."Hhmmm, aku tidak tahu tentang yang lain. Tapi saat ini ada satuhal yang kau tahu, hal yang kamu pikirkan tentang aku""Apa itu?" tanya Daren langsung memutar badannya ke arah Safira karena penasaran dengan apa yangakan Safira katakan."Kalau tidak salah rasa penasaran dan simpaty. Itu sementara ini hal itu yangbisa aku katakan""Waaah luar biasa. Padahal kita baru dua kali bertemu kamu bisa menyimpulkan kalau aku punya rasa penasaran dan simpaty. Aku jadi ingin tahu bagaimana kedepannya?" kata Daren sambil melihat ke arah Safira. Dia tidak mau melepaskan pandangannya dari wajah Safira."Karena kamu sudah membaca pikiran ku, aku juga akan mencoba membaca pikiran mu. Aku tidak mau hanya aku saja yang dibuka. Ngomong-ngomong kamu perna
FlashBack Masa Kecil Safira"Aduuuuh putri Safira yang cantik. Hari ini bagaimana sekolahnya nak?" kata ayah Fira saat menjemput dirinya pulang sekolah. Waktu itu Safira baru hari pertama sekali masik sekolah SD."Hari ini baik-baik saja sekolah Fira ayah. Tapi ayah, jangan panggil Fira dengan keras-keras dong.""Kenapa kalau ayah memanggil nama anak ayah dengan keras? Tidak boleh?"
Setelah perdebatannya dengan ayah tirinya tadi, Safira berusaha menenangkan dirinya dan berusaha untuk istirahat. Saat dia mau memejamkan mata, tiba-tiba mendengar suara pesan di handphonenya. Ternyata Daren mengirim pesan. Safira kaget membaca pesan tersebut karena Daren memberitahu dirinya sudah di depan rumah Safira dan meminta Safira turun."Bukalah biar kamu tahu isinya apa. Aku habis ngantarin kamu tadi aku langsung ke toko sepatu langganan kakak iparku. Model seperti itu tadi kan yang tidak jadi kamu ambil?"Safira kaget ternyata yang diberikan Daren itu adalah sepatu yang berwana Navy yang tidak jadi tadi diamb
Safira hanya terdiam mendengarkan perkataan Daren. Dia masih tidah bisa mengambil keputusan saat ini. Karen seperti yang dikatakan Daren tadi bahwa dia masih butuh waktu untuk memikirkan itu. "Baik lah... Kamu tidak perlu terburu-buru menjawabnya. Aku akan tetap menunggu keputusan Fira." "Maaf" hanya kata itu yang keluar dari mulutnya. "Turunkan aku di depan sini aja" kata Safira melihat rumah orang tuanya tidak jauh lagi, tinggal tiga rumah lagi dari posisi dia diturunkan Daren. Dirinya masih tidak mau terlihat bersama dengan Daren, takut orangtuanya semakin marah nanti. "Aku masuk dulu. Hati-hati di jalan Daren. Terima kasih juga buat hari" kata Safira pamit dan berjalan ke arah rumahnya. Sementara Daren hanya menanggapi dengan wajah datar saja sambil membunyikan klakson mobilnya kemudian pergi. Mungkin responnya itu efek dari Safira yang tidak mau menjawab pertanyaan nya yang terakhir tadi. Safira yang melihatnya pun merasa ti