Hatiku semakin menjerit. Aku merasa terpojok seakan-akan ini semua adalah kesalahanku. Ibuku sepertinya tidak bisa memahami perasaanku selama tinggal bersamanya di dalam rumah ini.
Atau memang ibuku pura-pura tidak tahu apa yang aku rasakan selama ini. Selama tinggal di rumah ini aku sekalipun tidak pernah membantah mereka. Apa yang mereka rencanakan dan lakukan terhadap hidupku aku selalu menurut.
“Ya ampuuun, tensi ayah mertua tidak sampai naikkan? Kasihan ayah mertua. Padahal ayah mertua sudah stress memikirkan perkerjaannya di kantor juga. Dan masalah keluarga ini juga tidak berjalan sesuai dengan keinginannya.
Tapi kalau adik ipar tidak mau, ya mau gimana lagi. Palingan harga diri suamiku yang akan tercoreng dia hadapan rekan bisnisnya. Tapi daripada itu, aku lebih khawatir dengan perasaan ayah mertua” kata Renata yang ingin membuat perasaan ibu menjadi tidak enak. Dia berusaha memanas-manasin hati ibu.
“Masa sih dia semarah itu? Kalau dibicarakan dengan baik-baik pasti….” Belum selesai ibu berbicara aku langsung memotong pembicaraan ibu. Aku tahu kalau kakak iparku itu hanya menakut-nakuti ibuku saja.
“Apakah orang itu tahu kalau aku bukan anak kandung keluarga ini?” tanyaku langsung.
Aku tidak mau memperpanjang masalah ini lagi. Aku di sini hanya sebagai anak pungut saja yang kapanpun aku dibutuhkan harus siap. Ibuku sangat tidak senang mendengar saat aku mengajukan pertanyaan tadi. Rasa cemas dan khawatir terlihat bersamaan di raut wajahnya. Sementara kakak iparku sangat senang melihat reaksi ibuku tadi.
“Fira, kenapa kamu harus berkata seperti itu lagi?” tanya ibuku. Mungkin ibuku berpikir setelah aku tinggal dan hidup bersama-sama dengan mereka, aku tidak akan pernah berkata seperti tadi. Tapi, bagaimana bisa aku melupakan statusku di rumah ini. Setiap hari kata-kata hinaan saja yang aku dengar.
“Jika aku menutupi statusmu di dalam keluarga ini siapa, itu namanya aku menipu orang itu. Jadi, aku sudah memberitahukan yang sebenarnya dan yang bersangkutan sudah mempertimbangkannya juga” kata Renata dengan dengan senyum yang dibuat-buat.
“Baiklah kalau begitu. Orang itu sudah tahu aku tidak menguntungkan baginya tapi dia masih tetap mau. Bisa jadi mungkin dia orang yang baik” jawabku menanggapi penjelasan dari kakak iparku tadi.
Aku sekilas menatap raut wajahnya yang tidak suka melihat aku yang terlihat baik-baik saja. Mungkin respon yang aku tunjukkan barusan tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan.
Setelah itu aku langsung pergi meninggalkan Ibu dan kakak ipar. Saat dikamar aku terpikir dengan laki-laki yang mau dijodohkan denganku itu. Aku tidak habis pikir kenapa laki-laki itu masih mau dijodohkan padahal saat ini bukan jaman dahulu yang dimana orangtua masih berperan penting mencari pasangan buat anak-anak mereka.
Tapi aku tidak mau terlalu pusing memikirkan hal itu. Tidak apa-apa aku mengikuti perjodohan ini karena jika kami tidak cocok satu sama lain bisa saja perjodohan ini akan dibatalkan.
Tidak mungkin laki-laki itu mau bertahan jika sesuatu yang dia harapkannya tidak sesuai dengan keinginannya. Dan akan baik juga kedepannya buat aku karena tidak akan ada lagi aku dengarkan ceramah dan pertanyaan-pertanyaan yang nggak jelas.
Biarkanlah ini yang terakhir kalinya aku menuruti permintaan mereka. Biar mereka tidak selalu menggangguku lagi. Dan aku bisa membuat laki-laki yang mau dijodohkan kali itu cepat menyerah supaya tidak meminta pertemuan berikutnya lagi.
"Memang benar-benar dia wanita rubah licik ya. Sepertinya hubungan kalian tidak akan pernah aku selamanya. Dari kita masih kuliah dulu dia sudah sering mengganggumu. Sekarang juga begitu. Selalu membuatmu susah dan di rumahmu juga kamu selalu diganggu" kata Sua dengan nada kesal."Aku tahu maksudnya dia. Dia ingin mengajakmu ke mall dan membelikanmu sesuatu dan ingin membuatmu berasa berterima kasih kepadanya walaupun sebelumnya dia sudah membuat kesalah.""Kamu mau aku temani tidak? Lumayan buat jaga-jaga jika dia membuatmu tidak nyaman, aku bisa menutup mulutnya?" kata Sua dengan penuh emosi."Kamu tidak perlu khawatir, aku bisa jaga diri kok. Lagian ibuku juga ikutan" balas Safira."Apa...? Ibumu juga dia ajak? Kalau dia mengajakmu ibumu itu tandanya kamu tidak bisa menolak ajakannya itu" kata Sua semakin kesal. 'Tidak apa-apa. Jika dia masih berulah, aku bisa kok membalasnya"' jawab Safira menenangkan temannya itu.Di tempat lain, Daren bersama sekretarisnya sedang membahas perke
Keesokan harinya di tempat kerja Safira..."Apa...? Mengajari bagaimana mengungkapkan perasaan...? Memangnya kamu tidak bisa mengungkapkan perasaanmu sama orang?" ulang Sua saat Safira menceritakan pertemuannya dengan Daren kemarin."Dasar laki-laki licik ya...!!! Padahal kalau dilihat sekilas dia adalah laki-laki yang cuek dan dingin. Ternyata laki-laki seperti dia bisa mengatakan rayuan gombal seperti itu. Bagaimana kalau kamu minta dia ajarin tentang insting dan gaya naluri tubuh sekalian" tanya Sua sambil tersenyum."Aaaah... ternyata kamu sama dia sama-sama otak minus ya. Kalau tahu seperti ini tanggapanmu mending tadi aku tidak usah cerita. Percuma tahu nggak?" kata Safira kesal mendengar respon dari temannya itu."Aku juga kan manusia biasa yang kapan saja bisa kilaf. Kalau kamu nggak cerita, aku juga tidak akan bakalan menyuruh kamu untuk bertanya seperti itu. Dan aku juga cuma bercanda saja kok" balas Sua."Aku jadi merasa yakin jika kamu suka dengan laki-laki itu. Karena sel
"Padahal aku sangat berharap kamu bisa membaca apa yang sedang aku pikirkan. Hal aku pikirkan tentang kamu" kata Daren sambil pura-puraa fokus melihat salah satu foto yang sedang dipajang tepat di hadapan mereka."Hhmmm, aku tidak tahu tentang yang lain. Tapi saat ini ada satuhal yang kau tahu, hal yang kamu pikirkan tentang aku""Apa itu?" tanya Daren langsung memutar badannya ke arah Safira karena penasaran dengan apa yangakan Safira katakan."Kalau tidak salah rasa penasaran dan simpaty. Itu sementara ini hal itu yangbisa aku katakan""Waaah luar biasa. Padahal kita baru dua kali bertemu kamu bisa menyimpulkan kalau aku punya rasa penasaran dan simpaty. Aku jadi ingin tahu bagaimana kedepannya?" kata Daren sambil melihat ke arah Safira. Dia tidak mau melepaskan pandangannya dari wajah Safira."Karena kamu sudah membaca pikiran ku, aku juga akan mencoba membaca pikiran mu. Aku tidak mau hanya aku saja yang dibuka. Ngomong-ngomong kamu perna
FlashBack Masa Kecil Safira"Aduuuuh putri Safira yang cantik. Hari ini bagaimana sekolahnya nak?" kata ayah Fira saat menjemput dirinya pulang sekolah. Waktu itu Safira baru hari pertama sekali masik sekolah SD."Hari ini baik-baik saja sekolah Fira ayah. Tapi ayah, jangan panggil Fira dengan keras-keras dong.""Kenapa kalau ayah memanggil nama anak ayah dengan keras? Tidak boleh?"
Setelah perdebatannya dengan ayah tirinya tadi, Safira berusaha menenangkan dirinya dan berusaha untuk istirahat. Saat dia mau memejamkan mata, tiba-tiba mendengar suara pesan di handphonenya. Ternyata Daren mengirim pesan. Safira kaget membaca pesan tersebut karena Daren memberitahu dirinya sudah di depan rumah Safira dan meminta Safira turun."Bukalah biar kamu tahu isinya apa. Aku habis ngantarin kamu tadi aku langsung ke toko sepatu langganan kakak iparku. Model seperti itu tadi kan yang tidak jadi kamu ambil?"Safira kaget ternyata yang diberikan Daren itu adalah sepatu yang berwana Navy yang tidak jadi tadi diamb
Safira hanya terdiam mendengarkan perkataan Daren. Dia masih tidah bisa mengambil keputusan saat ini. Karen seperti yang dikatakan Daren tadi bahwa dia masih butuh waktu untuk memikirkan itu. "Baik lah... Kamu tidak perlu terburu-buru menjawabnya. Aku akan tetap menunggu keputusan Fira." "Maaf" hanya kata itu yang keluar dari mulutnya. "Turunkan aku di depan sini aja" kata Safira melihat rumah orang tuanya tidak jauh lagi, tinggal tiga rumah lagi dari posisi dia diturunkan Daren. Dirinya masih tidak mau terlihat bersama dengan Daren, takut orangtuanya semakin marah nanti. "Aku masuk dulu. Hati-hati di jalan Daren. Terima kasih juga buat hari" kata Safira pamit dan berjalan ke arah rumahnya. Sementara Daren hanya menanggapi dengan wajah datar saja sambil membunyikan klakson mobilnya kemudian pergi. Mungkin responnya itu efek dari Safira yang tidak mau menjawab pertanyaan nya yang terakhir tadi. Safira yang melihatnya pun merasa ti