Share

Safira Pasrah

Hatiku semakin menjerit. Aku merasa terpojok seakan-akan ini semua adalah kesalahanku. Ibuku sepertinya tidak bisa memahami perasaanku selama tinggal bersamanya di dalam rumah ini.

Atau memang ibuku pura-pura tidak tahu apa yang aku rasakan selama ini. Selama tinggal di rumah ini aku sekalipun tidak pernah membantah mereka. Apa yang mereka rencanakan dan lakukan terhadap hidupku aku selalu menurut.

“Ya ampuuun, tensi ayah mertua tidak sampai naikkan? Kasihan ayah mertua. Padahal ayah mertua sudah stress memikirkan perkerjaannya di kantor juga. Dan masalah keluarga ini juga tidak berjalan sesuai dengan keinginannya.

Tapi kalau adik ipar tidak mau, ya mau gimana lagi. Palingan harga diri suamiku yang akan tercoreng dia hadapan rekan bisnisnya. Tapi daripada itu, aku lebih khawatir dengan perasaan ayah mertua” kata Renata yang ingin membuat perasaan ibu menjadi tidak enak. Dia berusaha memanas-manasin hati ibu.

“Masa sih dia semarah itu? Kalau dibicarakan dengan baik-baik pasti….” Belum selesai ibu berbicara aku langsung memotong pembicaraan ibu. Aku tahu kalau kakak iparku itu hanya menakut-nakuti ibuku saja.

“Apakah orang itu tahu kalau aku bukan anak kandung keluarga ini?” tanyaku langsung.

Aku tidak mau memperpanjang masalah ini lagi. Aku di sini hanya sebagai anak pungut saja yang kapanpun aku dibutuhkan harus siap. Ibuku sangat tidak senang mendengar saat aku mengajukan pertanyaan tadi. Rasa cemas dan khawatir terlihat bersamaan di raut wajahnya. Sementara kakak iparku sangat senang melihat reaksi ibuku tadi.

“Fira, kenapa kamu harus berkata seperti itu lagi?” tanya ibuku. Mungkin ibuku berpikir setelah aku tinggal dan hidup bersama-sama dengan mereka, aku tidak akan pernah berkata seperti tadi. Tapi, bagaimana bisa aku melupakan statusku di rumah ini. Setiap hari kata-kata hinaan saja yang aku dengar.

“Jika aku menutupi statusmu di dalam keluarga ini siapa, itu namanya aku menipu orang itu. Jadi, aku sudah memberitahukan yang sebenarnya dan yang bersangkutan sudah mempertimbangkannya juga” kata Renata dengan dengan senyum yang dibuat-buat.

“Baiklah kalau begitu. Orang itu sudah tahu aku tidak menguntungkan baginya tapi dia masih tetap mau. Bisa jadi mungkin dia orang yang baik” jawabku menanggapi penjelasan dari kakak iparku tadi.

Aku sekilas menatap raut wajahnya yang tidak suka melihat aku yang terlihat baik-baik saja. Mungkin respon yang aku tunjukkan barusan tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan.

Setelah itu aku langsung pergi meninggalkan Ibu dan kakak ipar. Saat dikamar aku terpikir dengan laki-laki yang mau dijodohkan denganku itu. Aku tidak habis pikir kenapa laki-laki itu masih mau dijodohkan padahal saat ini bukan jaman dahulu yang dimana orangtua masih berperan penting mencari pasangan buat anak-anak mereka.

Tapi aku tidak mau terlalu pusing memikirkan hal itu. Tidak apa-apa aku mengikuti perjodohan ini karena jika kami tidak cocok satu sama lain bisa saja perjodohan ini akan dibatalkan.

Tidak mungkin laki-laki itu mau bertahan jika sesuatu yang dia harapkannya tidak sesuai dengan keinginannya. Dan akan baik juga kedepannya buat aku karena tidak akan ada lagi aku dengarkan ceramah dan pertanyaan-pertanyaan yang nggak jelas.

Biarkanlah ini yang terakhir kalinya aku menuruti permintaan mereka. Biar mereka tidak selalu menggangguku lagi. Dan aku bisa membuat laki-laki yang mau dijodohkan kali itu cepat menyerah supaya tidak meminta pertemuan berikutnya lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status