Dering ponsel yang cukup nyaring membangunkan Viona. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu kepalanya diputar ke samping seraya mengusap-usapkan tangannya di tempat sebelumnya Noah berbaring. Tak ada kehangatan di sana, menandakan bahwa pria itu sudah pergi cukup lama ketika dia masih lelap.
Pandangan matanya lurus menatap langit-langit kamar hotel, lalu memejamkan matanya sejenak dan menghela napas panjang.
Tadi malam, Viona dan Noah memang tidur satu ranjang. Namun, tidak terjadi apa pun meski sebelumnya suasana di antara mereka nyaris tidak terkendali. Bahkan, pria itu terus memunggunginya dalam keheningan malam.
Berniat tidak peduli, tetapi tidak bisa. Melihat pria yang biasanya selalu perhatian dan over protektif padanya tiba-tiba bersikap kebalikannya, Viona merasa tak nyaman. Hatinya terusik oleh sesuatu yang baru dia rasakan.
Beranjak dari ranjang, Viona sontak merogoh tasn dan mengambil ponselnya yang sempat berdering. Satu panggilan
Viona meronta-ronta mencoba melepaskan diri, namun tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan seorang pria yang notabene fisiknya lebih kuat dibanding dirinya yang hanya seorang gadis bertubuh kecil. Seketika bahu Viona turun ke bawah dengan perasaan lega, begitu pria itu melepaskan bungkaman di mulutnya. Namun, detik selanjutnya perasaan lega tersebut berganti menjadi perasaan takut. Viona berjalan mundur hingga punggungnya menyentuh dinding, terpojok di dalam gang buntu. Sepi, tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan. Di balik topi dan masker yang menutup wajahnya, pria itu tersenyum miring. Sejurus kemudian, masker dan topinya dilepas, pria itu lantas mengangkat kepalanya dan maju satu langkah lebih dekat dengan Viona. “Hai!” Seketika mata Viona membulat seperti bulan purnama, terkejut dengan wajah yang tak asing di hadapannya. Mendengus pelan dan melemparkan tatapan tajam kepada pria tersebut. “Apa yang kau lakukan di sini, Bar
Setelah melihat punggung Bardi menjauh, Viona sontak mengusap wajahnya dan membuang napas kasar. Tak pernah terpikir olehnya bahwa pria itu akan menemukan keberadaannya, padahal dia sudah lama memutuskan kontak dan bersembunyi di kota Berlin yang luas. Sejenak Viona menundukan kepala, memejamkan mata dan memikirkan kembali perkataan Bardi. Ah, mungkin lebih tepat jika disebut sebuah ancaman. Bardi bukan orang yang akan menyerah begitu saja, meskipun nanti Viona memberinya uang, belum tentu pria itu akan berhenti mengganggunya. “Sial! Mengapa hal ini terjadi padaku?!” Dia bahkan baru akan memulai rencana balas dendamnya yang sesungguhnya, namun kemunculan Bardi yang memegang rahasianya akan membuat Viona sulit untuk mengambil langkah. Viona mengepalkan tangannya sejenak sebelum akhirnya meninggalkan gang tersebut. Untuk saat ini, dia akan menuruti keinginan Bardi dengan membungkam mulutnya menggunakan uang. Setelahnya dia harus memikirkan cara untuk le
Jerman adalah negara bebas. Wajar bagi sepasang kekasih jika melakukan kontak fisik yang lebih dari sekadar berpegangan tangan dan saling memagut bibir. Namun, ada segelintir orang yang takut melewati tahap itu, termasuk Viona. Seketika, Noah memegang tangan Viona dan menariknya ke dalam pelukan. Alasan dia tidak berangkat ke kantor adalah karena terlalu memikirkan rasa bersalahnya tadi malam. Namun, dia bersyukur karena ternyata dia tidak menyakiti hati kekasihnya. “Maaf karena meninggalkanmu sendiri di hotel,” lirih pria itu. “Tidak apa-apa. Omong-omong, bagaimana dengan ayahmu? Apa dia juga tidak pergi ke kantor?” Viona bertanya sembari melepaskan pelukan Noah, lalu duduk di samping pria itu. Mengembalikan jas Noah hanya sebuah kamuflase, tujuan sebenarnya adalah menukar obat Daniel dengan miliknya. “Ayah tidak pernah absen ke kantor, kecuali di hari-hari penting baginya.” Perkataan Noah membuat Viona mengangkat sebelah alisnya. Jad
Tanpa melepas pandangannya, Viona lantas mendekati lukisan tersebut dan melihatnya dengan teliti. Dilihat dari mana pun, wanita dalam lukisan tersebut memang ibunya. Matanya tidak akan salah melihat, dan dia yakin akan hal itu. Sebulir air mata kemudian jatuh dari matanya, membuat pria di sampingnya menatapnya bingung. Meski sudah bertahun-tahun tidak melihat sosok ibunya, namun Viona tidak pernah lupa, bagaimana bentuk hidung, mata, dan bibir ibunya. “Kau menangis?” Pertanyaan Noah membuat Viona tersadar dan mengusap air matanya yang jatuh. Pria itu mungkin akan menganggapnya aneh karena menangis secara tiba-tiba hanya karena melihat sebuah lukisan. “Ah, lukisannya sangat indah. Tanpa sadar aku melihatnya tanpa berkedip dan membuat mataku perih,” dusta Viona diakhiri dengan tawa kecil. “Apa kau mengenal wanita di lukisan itu? Kau memanggilnya ‘Ibu’?” Viona mengangkat bahu dan memutar matanya ke arah lain. Sepertinya Noah mendengar gumamannya yang
Viona mengejar Noah yang sudah keluar lebih dahulu dan memukul kepalanya dengan kencang. Gadis itu lantas terkikik-kikik dan berlari kecil menuju ruang tengah saat Noah mengerang sakit sembari memegang belakang kepalanya yang dipukul. Tak terima dengan tindakan kekasihnya, Noah mengejar Viona untuk membalas perbuatan gadis itu. Tangan besarnya meraih tangan feminim gadis itu, namun naas, saat dia menarik Viona menghadapnya, kakinya tergelincir hingga membuatnya terjungkal ke belakang. Punggung Noah menghantam lantai yang terbuat dari marmer, sedangkan Viona berada di atasnya, menindih tubuh kekarnya. Daniel baru saja pulang dari kantor meski belum waktunya untuk pulang. Pria paruh baya itu lantas terkejut ketika melihat pemandangan yang disuguhkan di hadapannya, membuat tubuhnya mematung sejenak, sebelum akhirnya menggelengkan kepala. Daniel berdeham. “Jangan melewati batas. Aku tidak menginginkan cucu di luar pernikahan.” Seketika Noah dan Vi
Setelah rutinitas paginya, Viona pergi ke bank untuk menarik sejumlah uang yang akan dia berikan kepada Bardi. Uang 200 juta sangatlah besar, sehingga dia memasukkannya ke dalam tas jinjing besar yang bisa menyimpan semuanya.Ini sudah dua hari sejak Viona mengunjungi kediaman Rutherford. Mengembalikan jas Noah, menukar obat Daniel, dan bahkan melihat lukisan ibunya yang hingga kini membuatnya bertanya-tanya.“Berat sekali.”Viona mengeluh lantaran harus membawa uang yang ada di dalam tas dengan kedua tangannya sendiri. Dia sangat kesal karena uang yang susah payah dia kumpulkan harus diserahkan kepada Bardi sebagai penutup mulut.Pria itu memang perampok kejam! Memikirkannya saja sudah membuat Viona ingin memukulnya.Viona berjalan tergopoh-gopoh dan berhenti di depan sebuah gang yang terhimpit oleh dua bangunan besar. Itu adalah tempat yang Bardi inginkan untuk pertemuan. Entah dari mana pria itu memiliki nomor ponselnya, namun Viona cukup terkejut karena
Sejujurnya Daniel tidak terlalu mengerti dengan Demian. Dipikir berulang kali pun, tidak ada alasan yang mengharuskan Daniel melarang hubungan Viona dengan putranya. Apalagi Viona sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri. Dia akan sangat berbahagia jika gadis itu menikah dengan Noah dan menjadi bagian dari keluarga Rutherford.Seketika, Demian menundukkan kepala dan menghela napas. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya, menghela napas meski pekerjaan menumpuk bagaikan gunung yang sangat besar.“Presdir, saya tidak tahu, apakah Anda berpura-pura bodoh atau semacamnya. Namun, Direktur Noah tidak seharusnya menjalin hubungan dengan Nona Viona.”Sekali lagi, Demian menegaskan pendapatnya dengan bersikeras. Nadanya sedikit meninggi, hingga membuat Daniel menatapnya tak percaya. Sebab, Demian sendiri adalah orang yang berkepribadian tenang. Baru kali ini dia berbicara dengan mengandung emosi.Daniel menatap tajam ke arah Demian. Tangannya di simpan di atas meja sembari memangku dagu.“Kat
Tiga orang manusia tengah berkumpul dalam satu ruangan, di hadapan meja makan yang terdapat banyak makanan dengan aroma harum di sekitarnya.Viona duduk di samping Noah, sedangkan Daniel duduk sendirian di kursi yang hanya bisa diduduki oleh kepala keluarga. Tidak ada percakapan. Hanya suara benturan sendok dan piring yang terdengar.Sekali-kali, Daniel melirik Viona melalui ekor matanya. Memorinya kembali pada percakapannya dengan Demian tadi siang; Viona adalah putri Sylvia. Kalimat itu terus terngiang di kepalanya, membuat pekerjaannya terganggu karena terus memikirkan hal itu.Di sisi lain, Viona tahu bahwa dirinya terus diperhatikan oleh Daniel. Namun, dia tetap fokus mencerna makanan dan mengabaikan tatapan Daniel yang sebenarnya membuatnya risih. Belum lagi dengan suasana hening yang menyelimuti area ruang makan. Sungguh tidak nyaman!‘Aku ingin segera pergi dari sini.’Pikir Viona, ada hal penting yang ingin Daniel bicarakan padanya sehingga mengajaknya m