Freesia terbangun karena ciuman di pipinya. Freesia panik selama sesaat, tapi suasana hatinya langsung membaik ketika menyadari siapa yang barusan mencium pipinya. Lily dengan senyum cerianya menyambut pagi Freesia bagai sinar mentari yang begitu hangat.
“It’s fleaking molning, Fleesia. Waktunya bangun dan belmain!” seru Lily riang.
“Selamat pagi, Lily,” sapa Freesia. “Itu yang harus kau ucapkan ketika bangun di pagi hari.”
“Kenapa?” tanya Lily.
“Karena mendengar orang menyapamu setiap pagi tentu terasa menyenangkan,” jawab Freesia.
“Begitukah?” Mata Lily berbinar. “Baiklah. Selamat pagi, Fleesia.” Lily tersenyum lebar.
“Good girl,” puji Freesia sembari menepuk lembut kepala Lily.
“Fleesia, ayo mandi belsama. Aku ingin belendam denganmu,” ucap Lily.
Freesia mengangguk. “Baiklah. Aku akan menyiapkan air hangatnya.”
Lily bersorak dan berusaha turun dari tempat tidur. Freesia membantunya.
“Aku akan memanggil Allen untuk mandi belsama kita,” ucap Lily sembari berlari ke pintu.
Fressia seketika melotot kaget. Apa katanya? Freesia hendak turun dari tempat tidur, tapi terserimpet selimut dan akhirnya mendarat di lantai kamar itu sambil mengaduh keras.
Lily yang tadinya berjinjit-jinjit dalam usahanya meraih kenop pintu, seketika berlari menghampiri Freesia.
“Fleesia!” Lily tampak cemas. “Allen! Allen!” Lily berteriak panik.
Freesia mengerjap kaget. “Tidak, Lily, aku baik-baik saja, kau tak perlu memanggil Allen. Aku …”
Terlambat. Pintu kamar Freesia sudah terbuka seolah Allen sudah menunggu di balik pintu itu. Pria itu tampak terkejut dan bergegas menghampiri Freesia. Freesia menarik selimut untuk menutup bagian bawah tubuhnya.
“Allen, aku baik-baik saja. Aku hanya terserimpet selimut dan jatuh,” Freesia buru-buru menjelaskan.
Allen menghela napas lega.
“Kau benal-benal tidak sakit?” tanya Lily dengan wajah cemas.
Freesia tersenyum pada Lily untuk menenangkannya. “Ya. Aku sama sekali tidak sakit. Meski pantatku sedikit nyeri.”
“Pantatmu?” Lily hendak menarik selimut Freesia. “Bial aku peliksa dulu.”
Freesia memegangi selimutnya dengan panik. “Sekarang sudah baik-baik saja,” ucapnya cepat.
“Allen bilang, meski sudah tidak telasa sakit, jika jatuh halus dipeliksa,” balas Lily keras kepala.
Freesia menatap Allen, meminta bantuan. Allen lantas mengangkat Lily dalam gendongannya.
“Aku akan meminta dokter memeriksa Freesia nanti,” Allen membujuk Lily. “Sekarang, kau harus mandi.”
Lily seolah teringat akan misi awalnya tadi. “Benal juga. Aku tadi balu akan memanggilmu untuk mengajakmu mandi belsama, Allen.”
Allen tersenyum. “Baiklah. Kita mandi di kamar mandi kamarku,” Allen berkata.
Lily menggeleng. “Kita mandi di sini. Fleesia bilang, dia akan menyiapkan ail hangatnya. Dia akan mandi belsama kita.”
Allen terbatuk dan menatap Freesia. Freesia bisa meraskan wajahnya panas.
“Aku tidak tahu jika dia akan mengajakmu juga, aku hanya akan menyiapkan air hangat untuk kami berdua,” Freesia menjelaskan.
“Kenapa?” tanya Lily. “Fleesia, apa kau tak suka Allen?”
“Bukan karena itu, Lily, tapi …”
“Tapi, apa?” kejar Lily.
“Tapi … aku dan Allen bukan keluarga, dan dia bukan anak-anak sepertimu, jadi … kami tak bisa mandi bersama,” Freesia berhasil membuat satu alasan.
“Kalau begitu, kita bisa mandi belsama jika kau menjadi kelualga Allen?” tanya Lily.
“Well … mungkin …”
“Kalau begitu, tak bisakah kau menjadi kelualga Allen?” pinta Lily.
Menjadi keluarga Allen? Ha ha. Freesia bahkan baru bertemu dengan Allen tidak sampai dua puluh empat jam lalu.
“Ba-bagaimana aku bisa menjadi keluarga Allen?” Freesia tertawa tanpa humor.
“Kau bisa menjadi kakakku,” ucap Lily. “Dan kau bisa menjadi anak Allen.”
Anak … Allen? Freesia menatap Allen was-was. Tidak mungkin pria itu akan setuju, kan?
“Tidak,” tolak Allen. “Dia terlalu tua untuk menjadi anakku.”
Apa itu poin pentingnya di sini?
“Kalau begitu, dia akan menjadi apamu?” tanya Lily. “Saudalamu sudah tidak ada, jadi kita tidak bisa membuatnya menjadi saudalamu.”
Saudara Allen sudah tidak ada? Apa maksudnya itu? Freesia memperhatikan ekspresi Allen yang masih tampak datar.
“Um … dalam kelualga, ada ayah, ibu, dan anak. Kau ayahnya, aku anaknya, jadi Fleesia bisa menjadi ibunya. Bagaimana?” Lily tersenyum lebar.
Jika Freesia menanggapi ide gila Lily itu, apa dia masih bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup? Hanya itu yang dikhawatirkan Freesia saat ini.
***
Ayah, ibu, dan anak, huh? Allen harus menahan dengusan mendengar kata-kata Lily itu. Namun, ia terkejut juga karena Freesia berhasil menahan umpatannya, mengingat betapa gadis itu sangat menyukai hal yang satu itu.
Meski, Allen tak ingat ia pernah mengajarkan konsep itu pada Lily. Satu-satunya yang diajarkan Allen adalah,
“Lily, kau sudah punya aku. Kau tidak butuh Ibu atau siapa pun lagi,” ucap Allen.
Lily menatap Allen dengan mata menyipit. “Tidak. Alia bilang, aku butuh ibu,” ucapnya mantap.
Allen mendengus pelan. “Apa kau lupa, apa yang dilakukan ibu tiri pada anaknya di dongeng yang biasa dibacakan Alia itu?” tembaknya.
Lily lantas menoleh pada Freesia. “Kau tidak akan melakukan itu padaku, kan?” tanya Lily dengan muka memelas.
“Melakukan apa?” Freesia tampak bingung.
“Menyuluhku membelsihkan lumah sehalian, tidak membelikanku baju bagus, tidak membialkanku beltemu pangelan …”
Namun tiba-tiba, Freesia malah tertawa. Begitu keras hingga gadis itu terbungkuk-bungkuk.
“Fleesia, kau kenapa?” Lily menatap gadis itu cemas. Lily sampai meronta minta turun dari gendongan Allen untuk melihat lebih dekat. Well, mungkin ketika jatuh tadi, bukan hanya pantatnya yang terbentur, tapi kepalanya juga.
Freesia menggeleng, tapi kemudian dia menahan kedua bahu Lily, lalu menatap Lily dan berkata,
“Dengarkan aku, Lily. Zaman sudah berkembang. Tidak ada lagi ibu tiri yang bisa sekejam itu pada anaknya. Anak zaman sekarang tidak akan diam saja diperlakukan sekejam itu oleh ibu tirinya. Kalaupun ada ibu tiri yang kejam padamu, kau harus mengalahkannya dan jangan biarkan dia menyiksamu, kau mengerti?”
Allen mendengus tak percaya. Apa yang gadis itu ajarkan pada anak Allen? Meski … itu tidak terdengar buruk juga.
Mata Lily seketika berbinar dan kepala kecilnya mengangguk-angguk keras.
“Tentu saja, jika aku menjadi ibu tirimu, aku tidak akan melakukan hal murahan seperti itu.” Freesia mengibaskan tangan santai. “I mean, trend sekarang adalah menjadi bestie dengan ibu tirimu. Terutama jika ibu tirimu masih sangat muda dan mengerti banyak hal menyenangkan. Kau bisa shopping bersama, clubbing bersama, party bersama, bukankah itu sangat menyenangkan?” Freesia menjelaskan dengan begitu seru.
Mata Lily semakin bersinar-sinar ketika kepalanya mengangguk semakin keras. Lalu, bibir mungilnya bertanya,
“Kalau begitu, kau akan menjadi ibu tiliku, kan, Fleesia?”
“Eh?” Keseruan di mata gadis itu seketika lenyap dan dia menoleh pada Allen, meminta bantuan.
Seolah Allen akan membantu gadis itu keluar dari kekacauannya sendiri. Allen tidak pernah mengajari Lily untuk itu, jadi dia tidak akan melakukan hal itu untuk Freesia juga.
“Yeah,” timpal Allen. “Kurasa, kau akan menjadi ibu tiri yang baik untuk Lily. Benar, kan, Freesia?” Allen mengangkat alis meledek sambil tersenyum pada gadis itu.
Allen menggigit bagian dalam pipinya untuk menahan tawa ketika melihat ekspresi bengong Freesia kemudian, sementara di depannya, Lily sudah bersorak kegirangan.
***
Freesia tidak tahu bagaimana akhirnya dia bisa mandi sendiri di kamar mandi kamarnya, tanpa Lily maupun Allen, untungnya. Ia tidak tahu apa yang dikatakan Allen untuk membujuk putri kecilnya itu hingga dia tidak lagi memaksa mereka bertiga mandi bersama.Namun, ketika Freesia dipanggil dan disuruh turun untuk sarapan, dia melihat sebuntal … tidak, sesosok lebah, yang tampak begitu bulat, terutama bagian pantatnya. Freesia tak bisa menahan tawa ketika akhirnya melihat wajah Lily yang tampak begitu bulat karena rambutnya terbuntel kepala lebah.Meski begitu, Freesia segera menghentikan tawa karena setidaknya ada belasan pria berjas hitam bertubuh besar yang menatapnya tajam, sementara Lily tampak merengut. Allen yang sudah duduk di kursinya dan menikmati sarapannya tak sedikit pun tampak peduli.Freesia berdehem dan mendekati Lily. “Kenapa kau tiba-tiba menjadi lebah?” tanya Freesia penasaran.“Cause Allen so f***ing stupid idiot!” maki Lily kesal.Seperti tadi, Allen tak bereaksi dan d
Freesia tak tahu apa yang membuat Lily begitu takut berenang karena ketika dia masuk ke kolam renang bersama Freesia, dia tampak baik-baik saja, meski tangan kecilnya sejak tadi terus berpegangan di kaus Freesia. Allen memang menepati kata-katanya bahwa pagi ini dia sudah menyiapkan pakaian ganti untuk Freesia, tapi tidak ada baju renang di sana. Jadi, Freesia mengenakan kaus dan celana pendek untuk menemani Lily berenang. Yang membuat Freesia heran, tidak ada bagian kolam untuk tinggi anak kecil seperti Lily di kolam renang itu. Bagian kolam paling rendah adalah sepinggang Freesia. Tentu saja, itu masih lebih tinggi dari Lily. Karena itu juga, Freesia masih menggendong Lily sejak mereka turun ke kolam itu tadi. Freesia lalu memperhatikan jika tidak ada pelampung untuk Lily. Freesia menoleh pada Allen yang duduk dengan santainya di kursi santai di tepi kolam renang, di bawah naungan payung besar di samping kursi itu. “Apa kau tidak punya pelampung untuk Lily?” tanya Freesia. “Tid
Allen memperhatikan bagaimana Lily tertawa dan tampak bersenang-senang ketika belajar berenang dengan Freesia. Meski, Allen tidak tahu butuh waktu berapa lama dia bisa berenang nantinya. Masih banyak hal yang harus dia pelajari. Namun, setidaknya untuk saat ini, melihat Lily tampak bersenang-senang, itu sudah cukup. Namun, Allen lebih terkejut melihat bagaimana reaksi Freesia tadi. Bahkan di bawah belasan senjata api, dia masih bisa dengan berani melawan Allen. Apa yang gadis itu pikirkan? Tadinya, Allen tak berencana menunjukkan hal-hal berbahaya di depan gadis itu karena tak ingin membuatnya kabur ketakutan. Ia sudah menyelidiki latar belakang keluarga gadis itu dan menyadari jika dirinya menemukan harta karunnya. Tidak. Atau … bisakah ia menyebutnya kotak Pandora? Gadis itu mungkin tak tahu apa pun, tapi … itu tidaklah penting. Karena Allen tahu segalanya. Dan sekarang ia punya alasan untuk menahan gadis itu di sampingnya. Karena … bukankah itu sudah tradisi keluarga mereka ber
Freesia tersentak bangun dan langsung memanggil satu nama, “Lily …” “Fleesia!” Seruan itu datang dari samping Freesia. Freesia menoleh ke sana dan melihat Lily ada di sana. Tidak hanya Lily, tampak Allen yang sepertinya tadi tidur dalam posisi telungkup di tempat tidur di sebelahnya, kini membuka matanya. “Lily, jangan melompat ke arahnya, jangan menyentuhnya, dan jangan berteriak-teriak,” Allen memperingatkan Lily. “Turun dari tempat tidur tanpa melompat, lalu panggil Val.” Lily mengangguk patuh, lalu turun dari tempat tidur dengan cara memerosotkan tubuhnya yang menghadap tempat tidur. Lalu, gadis itu berlari ke pintu kamar dan berjinjit-jinjit, mencoba membuka pintu. Dia baru berhasil membuka pintu berkat seseorang yang membukakan pintu dari luar. Beberapa pengawal dan pelayan tampak sudah menunggu di luar pintu. “Aku akan pelgi memanggil Doktel Val,” Lily mengumumkan. “Fleesia sudah bangun. Aku tidak boleh menyentuhnya sampai dia diperiksa Doktel Val.” Pintu kamar itu kemba
“Kau benar-benar tidak akan ikut berlatih?” tanya Val setelah dia membangungkan paksa Allen yang melanjutkan tidur di kamar Freesia tadi. “Latihan apa?” tanya Allen. “Latihan menikah,” jawab Val. “Apa?” Allen tidak salah dengar, kan? “Putrimu berkeras untuk melakukan latihan upacara pernikahan atau semacamnya dengan calon ibu tirinya,” urai Val. “Dan kudengar, mereka sedang sibuk mencari pengganti untuk mempelai prianya.” Allen mendengus tak percaya. Lihat ke mana kekacauan gadis itu membawanya. “Apa kau benar-benar akan menikah dengannya?” tanya Val, dengan nada serius kali ini. “Seolah itu mungkin,” dengus Allen. “Kau tahu hubungan keluarga kami.” “Tapi, Lily …” “Gadis itu akan tinggal di sini hanya sampai Lily bosan,” tukas Allen. “Dia bisa sekalian mengajarkan beberapa hal berguna pada Lily.” “Jangan mengentengkan masalah ini,” sengit Val. “Kau lihat sendiri bagaimana reaksi Lily kemarin.” Allen mengernyit. “Itu hanya karena dia merasa dekat. Itu tidak akan bertahan lam
Allen tak tahu bagaimana Freesia bisa mengikuti jadwal bersenang-senang Lily yang seolah tak ada habisnya itu. Setelah mereka masuk tadi, Allen memerintahkan ada pesta dadakan dan berbagai makanan disiapkan. Ada kue, es krim, dan camilan kesukaan Lily. Dan dua orang yang paling menikmati pesta itu adalah Lily dan Freesia. Lily, bisa dimaklumi, tapi Freesia? Apa yang gadis itu pikirkan? Namun, mengingat alasan gadis itu kabur dari neneknya demi mengejar kebebasan, seharusnya Allen tak bertanya. Bukankah sudah jelas kenapa dia berekasi sama persis seperti Lily? Itu adalah kehidupan yang dia inginkan. Sejak dia berada di bawah pengasuhan neneknya, dia hanya boleh berteman dengan orang-orang yang dipilih neneknya. Mulai dari A hingga Z, hidupnya diatur oleh neneknya. Meski, Allen tak bisa menyalahkan wanita tua itu. Tentu saja dia ketakutan setelah kehilangan orang tua Freesia. Itu adalah kecelakaan yang mengerikan dan Freesia bahkan menjadi korban juga dalam kecelakaan itu. Meski kab
Sore itu, Allen mendapat laporan jika orang yang harus dihukumnya berulah di penjara basemen. Sepertinya, Allen terlalu lama menunda hukumannya hingga dia tak sabar untuk dihukum. Apa boleh buat? Allen mendadak mendapat kejutan kecil di pelukannya. Dan kejutan kecil itu … di mana dia sekarang? Sore Allen yang begitu tenang itu pasti karena Lily sedang bersama gadis itu. Ketika Allen keluar dari kamarnya, pengawal kepercayaannya, Sean, sudah ada di sana. Setelah dia menangkap target yang seharusnya dibunuh Allen di malam dia bertemu dengan Freesia itu, Allen menugaskannya untuk mengawasi gerak-gerik nenek Freesia. “Ada pergerakan?” tanya Allen. “Mereka masih belum bisa melacak kita,” jawab Sean. “Dan saya sudah mengirim orang untuk mengurus teman gadis itu yang tahu posisi gadis itu.” Allen mendengus pelan. Karena malam itu Allen keluar untuk membunuh, tentu dia membawa kendaraan yang tidak akan bisa dilacak dengan mudah. Dia juga melewati banyak jalur tanpa kamera CCTV. Menemuka
Setelah berjalan sekitar setengah kilometer di hutan itu, Allen tiba di gudang senjatanya yang dijaga ketat oleh puluhan orangnya. Memasuki gudang itu, ada kontainer-kontainer berjejer di sana. Namun, apa yang ada di kontainer-kontainer itu adalah senjata yang dimiliki Allen secara legal. Hanya yang ada di dalam kontainer itu saja, tidak termasuk yang ada di bawahnya. Allen mendekat ke salah satu kontainer yang dijaga empat orang. Bukan pengawalan ketat. Hanya ada dua tempat yang bisa menjadi lokasi yang menimbulkan situasi berbahaya. Di luar gudang, dan di bawah tanah. Terutama yang ada di bawah tanah. Jika ada orang luar yang masuk ke sana, tidak ada yang bisa keluar dalam keadaan hidup. Begitulah aturannya. Ah, orang luar itu termasuk para pengkhianat. Seperti yang akan ditemui Allen sekarang. Allen masuk ke kontainer itu dan salah satu orangnya membukakan pintu menuju basemen bawah tanah. Allen menuruni tangga yang ujungnya hanya menunjukkan kegelapan itu. Melewati kegelapan