Share

6 – Good Morning

Freesia terbangun karena ciuman di pipinya. Freesia panik selama sesaat, tapi suasana hatinya langsung membaik ketika menyadari siapa yang barusan mencium pipinya. Lily dengan senyum cerianya menyambut pagi Freesia bagai sinar mentari yang begitu hangat.

It’s fleaking molning, Fleesia. Waktunya bangun dan belmain!” seru Lily riang.

“Selamat pagi, Lily,” sapa Freesia. “Itu yang harus kau ucapkan ketika bangun di pagi hari.”

“Kenapa?” tanya Lily.

“Karena mendengar orang menyapamu setiap pagi tentu terasa menyenangkan,” jawab Freesia.

“Begitukah?” Mata Lily berbinar. “Baiklah. Selamat pagi, Fleesia.” Lily tersenyum lebar.

Good girl,” puji Freesia sembari menepuk lembut kepala Lily.

“Fleesia, ayo mandi belsama. Aku ingin belendam denganmu,” ucap Lily.

Freesia mengangguk. “Baiklah. Aku akan menyiapkan air hangatnya.”

Lily bersorak dan berusaha turun dari tempat tidur. Freesia membantunya.

“Aku akan memanggil Allen untuk mandi belsama kita,” ucap Lily sembari berlari ke pintu.

Fressia seketika melotot kaget. Apa katanya? Freesia hendak turun dari tempat tidur, tapi terserimpet selimut dan akhirnya mendarat di lantai kamar itu sambil mengaduh keras.

Lily yang tadinya berjinjit-jinjit dalam usahanya meraih kenop pintu, seketika berlari menghampiri Freesia.

“Fleesia!” Lily tampak cemas. “Allen! Allen!” Lily berteriak panik.

Freesia mengerjap kaget. “Tidak, Lily, aku baik-baik saja, kau tak perlu memanggil Allen. Aku …”

Terlambat. Pintu kamar Freesia sudah terbuka seolah Allen sudah menunggu di balik pintu itu. Pria itu tampak terkejut dan bergegas menghampiri Freesia. Freesia menarik selimut untuk menutup bagian bawah tubuhnya.

“Allen, aku baik-baik saja. Aku hanya terserimpet selimut dan jatuh,” Freesia buru-buru menjelaskan.

Allen menghela napas lega.

“Kau benal-benal tidak sakit?” tanya Lily dengan wajah cemas.

Freesia tersenyum pada Lily untuk menenangkannya. “Ya. Aku sama sekali tidak sakit. Meski pantatku sedikit nyeri.”

“Pantatmu?” Lily hendak menarik selimut Freesia. “Bial aku peliksa dulu.”

Freesia memegangi selimutnya dengan panik. “Sekarang sudah baik-baik saja,” ucapnya cepat.

“Allen bilang, meski sudah tidak telasa sakit, jika jatuh halus dipeliksa,” balas Lily keras kepala.

Freesia menatap Allen, meminta bantuan. Allen lantas mengangkat Lily dalam gendongannya.

“Aku akan meminta dokter memeriksa Freesia nanti,” Allen membujuk Lily. “Sekarang, kau harus mandi.”

Lily seolah teringat akan misi awalnya tadi. “Benal juga. Aku tadi balu akan memanggilmu untuk mengajakmu mandi belsama, Allen.”

Allen tersenyum. “Baiklah. Kita mandi di kamar mandi kamarku,” Allen berkata.

Lily menggeleng. “Kita mandi di sini. Fleesia bilang, dia akan menyiapkan ail hangatnya. Dia akan mandi belsama kita.”

Allen terbatuk dan menatap Freesia. Freesia bisa meraskan wajahnya panas.

“Aku tidak tahu jika dia akan mengajakmu juga, aku hanya akan menyiapkan air hangat untuk kami berdua,” Freesia menjelaskan.

“Kenapa?” tanya Lily. “Fleesia, apa kau tak suka Allen?”

“Bukan karena itu, Lily, tapi …”

“Tapi, apa?” kejar Lily.

“Tapi … aku dan Allen bukan keluarga, dan dia bukan anak-anak sepertimu, jadi … kami tak bisa mandi bersama,” Freesia berhasil membuat satu alasan.

“Kalau begitu, kita bisa mandi belsama jika kau menjadi kelualga Allen?” tanya Lily.

Well … mungkin …”

“Kalau begitu, tak bisakah kau menjadi kelualga Allen?” pinta Lily.

Menjadi keluarga Allen? Ha ha. Freesia bahkan baru bertemu dengan Allen tidak sampai dua puluh empat jam lalu.

“Ba-bagaimana aku bisa menjadi keluarga Allen?” Freesia tertawa tanpa humor.

“Kau bisa menjadi kakakku,” ucap Lily. “Dan kau bisa menjadi anak Allen.”

Anak … Allen? Freesia menatap Allen was-was. Tidak mungkin pria itu akan setuju, kan?

“Tidak,” tolak Allen. “Dia terlalu tua untuk menjadi anakku.”

Apa itu poin pentingnya di sini?

“Kalau begitu, dia akan menjadi apamu?” tanya Lily. “Saudalamu sudah tidak ada, jadi kita tidak bisa membuatnya menjadi saudalamu.”

Saudara Allen sudah tidak ada? Apa maksudnya itu? Freesia memperhatikan ekspresi Allen yang masih tampak datar.

“Um … dalam kelualga, ada ayah, ibu, dan anak. Kau ayahnya, aku anaknya, jadi Fleesia bisa menjadi ibunya. Bagaimana?” Lily tersenyum lebar.

Jika Freesia menanggapi ide gila Lily itu, apa dia masih bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup? Hanya itu yang dikhawatirkan Freesia saat ini.

***

Ayah, ibu, dan anak, huh? Allen harus menahan dengusan mendengar kata-kata Lily itu. Namun, ia terkejut juga karena Freesia berhasil menahan umpatannya, mengingat betapa gadis itu sangat menyukai hal yang satu itu.

Meski, Allen tak ingat ia pernah mengajarkan konsep itu pada Lily. Satu-satunya yang diajarkan Allen adalah,

“Lily, kau sudah punya aku. Kau tidak butuh Ibu atau siapa pun lagi,” ucap Allen.

Lily menatap Allen dengan mata menyipit. “Tidak. Alia bilang, aku butuh ibu,” ucapnya mantap.

Allen mendengus pelan. “Apa kau lupa, apa yang dilakukan ibu tiri pada anaknya di dongeng yang biasa dibacakan Alia itu?” tembaknya.

Lily lantas menoleh pada Freesia. “Kau tidak akan melakukan itu padaku, kan?” tanya Lily dengan muka memelas.

“Melakukan apa?” Freesia tampak bingung.

“Menyuluhku membelsihkan lumah sehalian, tidak membelikanku baju bagus, tidak membialkanku beltemu pangelan …”

Namun tiba-tiba, Freesia malah tertawa. Begitu keras hingga gadis itu terbungkuk-bungkuk.

“Fleesia, kau kenapa?” Lily menatap gadis itu cemas. Lily sampai meronta minta turun dari gendongan Allen untuk melihat lebih dekat. Well, mungkin ketika jatuh tadi, bukan hanya pantatnya yang terbentur, tapi kepalanya juga.

Freesia menggeleng, tapi kemudian dia menahan kedua bahu Lily, lalu menatap Lily dan berkata,

“Dengarkan aku, Lily. Zaman sudah berkembang. Tidak ada lagi ibu tiri yang bisa sekejam itu pada anaknya. Anak zaman sekarang tidak akan diam saja diperlakukan sekejam itu oleh ibu tirinya. Kalaupun ada ibu tiri yang kejam padamu, kau harus mengalahkannya dan jangan biarkan dia menyiksamu, kau mengerti?”

Allen mendengus tak percaya. Apa yang gadis itu ajarkan pada anak Allen? Meski … itu tidak terdengar buruk juga.

Mata Lily seketika berbinar dan kepala kecilnya mengangguk-angguk keras.

“Tentu saja, jika aku menjadi ibu tirimu, aku tidak akan melakukan hal murahan seperti itu.” Freesia mengibaskan tangan santai. “I mean, trend sekarang adalah menjadi bestie dengan ibu tirimu. Terutama jika ibu tirimu masih sangat muda dan mengerti banyak hal menyenangkan. Kau bisa shopping bersama, clubbing bersama, party bersama, bukankah itu sangat menyenangkan?” Freesia menjelaskan dengan begitu seru.

Mata Lily semakin bersinar-sinar ketika kepalanya mengangguk semakin keras. Lalu, bibir mungilnya bertanya,

“Kalau begitu, kau akan menjadi ibu tiliku, kan, Fleesia?”

“Eh?” Keseruan di mata gadis itu seketika lenyap dan dia menoleh pada Allen, meminta bantuan.

Seolah Allen akan membantu gadis itu keluar dari kekacauannya sendiri. Allen tidak pernah mengajari Lily untuk itu, jadi dia tidak akan melakukan hal itu untuk Freesia juga.

Yeah,” timpal Allen. “Kurasa, kau akan menjadi ibu tiri yang baik untuk Lily. Benar, kan, Freesia?” Allen mengangkat alis meledek sambil tersenyum pada gadis itu.

Allen menggigit bagian dalam pipinya untuk menahan tawa ketika melihat ekspresi bengong Freesia kemudian, sementara di depannya, Lily sudah bersorak kegirangan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status