Setelah keributan di halaman depan ketika Freesia baru tiba di rumah Allen tadi, ia diantarkan ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Allen, sementara kamar Lily ada di sebelah kamar Allen yang lainnya. Freesia berusaha menenangkan diri dengan berendam air hangat. Ia berpikir panjang sembari berendam.
Pertama, Allen mungkin tidak seperti yang ia pikir. Ia tidak sekadar dari keluarga kaya. Mengingat orang-orang yang ia sebut karyawannya tadi tidak tampak seperti bodyguard yang biasanya mengawal Freesia.
Meski, pria itu tinggal di rumah yang besar dan mewah ini, dengan banyak pelayan, sama seperti di rumah nenek Freesia, tapi Freesia merasa … rumah ini berbeda. Ada aura yang berbeda di sini. Neneknya juga mengerikan dan selalu bersikap tegas pada semua pelayan. Namun, aura di tempat ini berbeda.
Semua orang tampak takut pada Allen, tapi juga menghormatinya. Rasanya seolah semua orang di rumah ini siap untuk berlutut di depan Allen. Tak ada yang berani menatap mata Allen. Tempat ini … terasa berbahaya.
Jika bukan karena keberadaan Lily, mungkin Freesia sudah berusaha melarikan diri. Namun, karena ia ada di sini untuk membalas bantuan Allen, dengan menjadi pengasuh Lily, dia akan bersikap profesional. Terlebih, Allen akan memberinya tempat tinggal sampai berapa lama pun, jadi Freesia bisa bersembunyi dari neneknya dan menghemat tabungannya. Pria itu bahkan sedang menyiapkan kontrak untuk Freesia tandatangani nanti.
Kedua, meski tempat ini terasa berbahaya dan mengerikan, tapi sosok Lily bagai lampu yang mengusir setiap bahaya itu. Ketika mereka masuk ke dalam rumah tadi, Lily menyapa semua orang yang dilewatinya dan membuat mereka tersenyum. Dan Freesia bisa merasakannya. Rasa sayang semua orang di rumah ini pada Lily.
Jadi, selama Freesia berada di samping Lily, dia tidak akan berada dalam bahaya. Gadis kecil itu mungkin begitu mahir mengumpat, tapi dia tetaplah anak berumur tiga tahun. Dan entah kenapa … Freesia seolah melihat dirinya di dalam diri Lily. Mengenai hal mengumpat, maksudnya.
Ketiga, Freesia sebaiknya tidak berusaha melarikan diri. Meski ia belum bisa tahu pasti apa yang dilakukan Allen, apa pekerjaannya, dan siapa orang-orang yang ia sebut karyawannya itu, tapi Freesia tidak bodoh dan setidaknya bisa menebak jika melarikan diri hanya akan membawanya dalam bahaya.
Bahkan meski Freesia memanggil polisi kemari, lalu apa? Terlebih, ini adalah satu-satunya tempat persembunyian Freesia. Dan Allen memberinya keamanan yang ia butuhkan di sini. Untuk apa Freesia kabur dari sini?
Maka, Freesia memutuskan, dia akan menjadi pengasuh Lily. Dia toh suka bermain dengan anak-anak. Dia akan bersahabat baik dengan Lily dan menikmati hidup di sini sembari bersembunyi dari neneknya. Lagipula, sejauh ini Allen memperlakukan Freesia dengan baik.
Ada banyak kesempatan di mana pria itu bisa mencelakai Freesia, tapi dia tak melakukan apa pun. Di mobil tadi, ketika Freesia tertidur, pria itu juga tak melakukan apa pun pada Freesia. Dia bahkan berbaik hati berhenti dan keluar dari mobil untuk bicara di telepon agar tak mengganggu tidur Freesia.
Ya. Tak ada yang perlu Freesia lakukan. Dia aman di sini. Dia pasti aman di sini. Dia yakin itu. Dia akan aman di si–
“Whoaaa!” Freesia berteriak kaget ketika pintu kamar mandi terbuka dan Allen muncul bersama Lily yang menarik tangannya.
“Fleesia! Kau baik-baik saja? Kau membuatku cemas! Kupikil sesuatu teljadi padamu!” seru Lily sembari berlari ke arah bath tub.
Sementara, Allen berhenti di pintu dan memalingkan wajah. “Maaf. Lily berkata jika dia sudah setengah jam mengetuk pintu kamarmu, tapi kau tidak keluar juga. Dia memintaku membuka pintunya dan menyeretku kemari.”
“Bi-bisakah kita bicara di luar? Aku setidaknya harus berpakaian …”
“Ya.” Allen lantas menutup pintu kamar mandi itu.
Freesia menghela napas lega dan menatap Lily yang sudah memainkan tangannya di air bath tub.
“Lily, kau tak bisa menyeret Allen kemari ketika aku sedang ada di sini,” tegur Freesia.
“Kenapa?” tanya Lily. “Allen juga seling mengecekku jika aku mandi sambil belmain tellalu lama di kamal mandi. Sekalang aku bisa mengelti kenapa Allen cemas.”
Freesia mendengus tak percaya. Jadi, karena itu anak berumur tiga tahun ini bisa mengucapkan kalimat seperti ‘kau membuatku cemas’? Karena dia sering mendengarnya dari Allen? Tak bisa Freesia bayangkan, berapa kali Allen harus mengucapkan kalimat seperti itu karena sepertinya Lily suka bermain-main seperti itu.
“Dan kenapa menurutmu Allen cemas?” tanya Freesia.
“Kalena dia pikil aku tidak mau beltemu dengannya,” jawab Lily. “Aku juga tadi belpikir sepelti itu ketika kau tak mau membuka pintunya untukku.”
Ah … anak ini. Dia tampak kuat, tapi juga tampak rapuh di sisi lain.
“Kalau begitu, sebaiknya kita segera keluar sebelum Allen cemas,” ajak Freesia.
Lily mengangguk, tapi tangannya masih bermain di air. Uh, menggemaskan sekali anak ini …
Tidak. Freesia harus fokus. Ia segera berdiri dan keluar dari bath tub, membilas tubuhnya sebentar di bawah shower, lalu memakai jubah mandinya dan keluar dengan menggandeng tangan Lily.
Freesia terkejut mendapati Allen menunggu di samping pintu, bersandar di tembok. Pria itu menunduk untuk mengecek Lily.
“Kau sudah memastikan keadaan Freesia, jadi ayo pergi tidur. Ini sudah sangat larut,” ajak Allen.
“No f***ing way!” tolak Lily. “Aku akan tidul dengan Fleesia malam ini.”
“Tidak, Lily. Freesia harus istirahat agar besok dia bisa menemanimu bermain,” ucap Allen.
“Tapi, aku ingin Fleesia membacakan dongeng sebelum tidulku.” Lily menunduk kecewa.
“Lily …”
“Aku akan membacakannya,” Freesia memutuskan. “Toh, aku memang di sini untuk itu. Aku pengasuh Lily, kan?”
Allen menghela napas. “Kau yakin tentang ini?” tanyanya.
Freesia mengangguk. “Tapi, apakah ada pakaian ganti yang bisa kupakai?” tanya Freesia.
Allen menatap jubah mandi Freesia. “Aku hanya punya kaus dan kemeja yang akan kebesaran untuk kau pakai. Oh, ada piyama tidur juga. Kau bisa memakai atasannya saja, kurasa itu akan cukup panjang,” ucap Allen.
Freesia mengerjap. “Lalu, pakaian dalamku …”
Allen berdehem. “Aku akan memastikan pakaian gantimu ada di sini besok pagi, jadi untuk malam ini … ehm, maaf …”
Freesia menghela napas. “Baiklah. Toh, aku hanya akan tidur.”
Allen mengangguk. “Aku akan mengambil piyamaku.”
Freesia mengangguk.
“Fleesia, aku akan mengambil buku dongengku,” ucap Lily riang.
Anak itu lantas berlari ke arah pintu dan Allen bergegas menyusulnya. Freesia menatap ayah dan anak itu dan mau tak mau berpikir. Di mana ibu Lily?
***
Setelah memberikan beberapa piyama agar Freesia bisa memilih sendiri tadi, Allen keluar. Ia sudah akan pergi tidur, tapi ingat jika Freesia tadi tidak makan apa pun ketika makan malam dengan pria yang dijodohkan dengannya. Namun, ini sudah larut. Mungkin, Allen akan mengambilkan buah dan kue kering saja.
Allen pergi ke dapur dan meminta dua makanan itu pada pelayannya. Ketika mereka akan mengantarkan ke kamar Freesia, Allen mengambil alih. Ia sekalian ingin mengecek apakah Lily sudah tidur.
Allen mengetuk pintu kamar Freesia, tapi tak ada jawaban. Allen memutar kenop pintunya. Tidak dikunci. Allen mendorong pintu itu dan ia masuk ke ruangan itu hanya untuk melihat Lily tertidur di lengan Freesia, sementara buku dongeng Lily jatuh tertelungkup di perut Freesia yang juga sudah tertidur. Selimut hanya menutupi tubuh Freesia hingga pinggang.
Allen meletakkan nampan makanan yang dibawanya ke meja samping tempat tidur. Ia mengulurkan tangan hendak menaikkan selimut ketika menyadari sesuatu. Freesia memakai kemejanya. Lengan kemeja itu tampak begitu panjang hingga menenggelamkan tangan gadis itu.
Allen tersenyum geli melihat itu. Namun, ketika ia menaikkan selimut untuk menutupi tubuh Freesia dan Lily hingga atas, Allen teringat bahwa Freesia tak memakai apa pun di tubuh bawahnya, di balik selimut itu.
Allen tak tahu kenapa mendadak tubuhnya terasa panas karena pikiran aneh itu. Allen segera menarik tangannya dan mundur. Allen menunduk menatap tubuh bawahnya dan menghela napas.
Allen benar-benar sudah gila.
***
Beberapa minggu kemudian …“Mama!” Lily berlari masuk ke rumah dengan membawa selembar kertas di tangannya.Freesia yang menunggu di ruang tamu seperti biasanya, meski kali ini tanpa Leon yang masih tidur, tersenyum menyambut kepulangan putrinya itu.“Bagaimana sekolahmu tadi, Kakak Lily?” tanya Freesia ketika Lily mencium pipinya.“Mama, lihat ini!” Lily mengangkat selembar kertas yang dibawanya tadi dan Freesia bisa melihat gambar di sana.Freesia ternganga takjub melihat gambar dirinya di sana. Freesia yang duduk di kursi santai di tepi kolam renang rumah Allen. Dan itu adalah gambar Freesia yang sedang tertawa. Dari semua fiture Freesia di gambar itu, ekspresi Freesia tampak begitu jelas. Kebahagiaan yang dirasakan Freesia tergambar dengan baik di sana.“Aku dan Reyn menggambar ini bersama-sama,” Lily berkata.Ah … jadi ini ekspresi yang disukai anak-anak ini dari Freesia? Freesia memeluk Lily.“Terima kasih, Sayang,” ucap Freesia sungguh-sungguh.Lily terkekeh bangga. “Reyn bilan
“You’re impressive,” Brand berkomentar sembari mengawasi Lily dan anak-anak panti asuhan Alia bermain di kolam renang dari balkon lantai dua. Ah, ada satu lagi, anak yang menjadi sumber keresahan Allen saat ini. Anak seusia Lily yang bernama Reyn.“Yeah, indeed,” timpal Val. “Aku takjub Freesia masih menerimamu sebagai suaminya.”“Huh! Kalian belum merasakan saja jika kalian punya anak perempuan,” cibir Allen. “Anak itu bahkan sudah berani menggandeng tangan Lily …”“Kudengar, Lily yang menggandeng tangannya dulu. Jangan memutarbalikkan fakta dan membuat anak orang lain menjadi kriminal,” tegur Brand.“Jika Lily menggandeng tangannya lebih dulu, bukankah seharusnya dia melepaskan tangan Lily jika dia memang seorang gentleman?” balas Allen.“Freesia benar,” tukas Val. “Kau tak masuk akal. He’s a baby, Dude! A freaking baby!” Val terdengar frustasi.“Allen, jika kau terus bersikap seperti itu, kau akan merepotkan Freesia.”Brand, Allen, dan Val menoleh ke sumber suara yang berada di pin
Sejak dia bangun tadi, Lily tampak sangat bahagia. Tidak, lebih tepatnya, sejak Allen mengatakan jika dia akan mengajak Freesia dan Leon mengantarkan Lily ke sekolah. Allen sudah memberitahukan Freesia tentang situasi Reyn dan dia ingin Freesia menemui Reyn agar anak itu tidak terlalu waspada pada orang dewasa.Mungkin karena perlakuan orang-orang panti asuhan, anak itu terlalu waspada pada orang dewasa. Karena itu, dia selalu menolak bantuan guru-guru sekolahnya. Dia pertama kali membuka diri pada Lily yang berkeras menemaninya seharian kemarin.Ketika mereka tiba di sekolah Lily, Leon tertidur. Kepala sekolah Lily yang sudah dihubungi Allen dan menyambut mereka di gerbang, mengantarkan Freesia ke ruang kesehatan agar Leon bisa tidur dengan nyenyak di sana. Freesia memercayakan Leon pada dua pengasuh dan dua pengawal sebelum dia pergi ke tempat Lily dan Reyn berada. Sementara, Allen pergi ke ruang kepala sekolah untuk membicarakan masalah panti asuhan Reyn dengan pihak sekolah.Salah
Lily baru masuk ke ruang kelasnya ketika melihat salah satu teman sekelasnya didorong temannya yang lain hingga jatuh terjengkang ke belakang.“Jangan dekat-dekat! Bajumu jelek!” hardik Lucy yang mendorong teman sekelas Lily yang lainnya tadi.Lily bergegas menghampiri Reyn, anak laki-laki yang didorong Lucy hingga jatuh tadi. Reyn adalah anak yang baru masuk beberapa hari terakhir ini. Dia adalah anak dari panti asuhan. Dia masuk ke sekolah ini sebagai murid beasiswa. Lily dengar, salah satu guru kesenian di sekolahnya melihat kemampuan menggambar Reyn dan menawarkan beasiswa untuk Reyn.“Kenapa kalian jahat sekali pada Reyn?!” tegur Lily.“Lily, kau jangan dekat-dekat dengan dia! Kau tidak lihat bajunya? Jelek dan kotor. Bajumu bisa ikut kotor!” Lucy heboh.Memang yang dikatakan Lucy tidak salah tentang baju seragam Reyn yang jelek karena warnanya pudar dan kotor karena noda yang tidak hilang meski telah dicuci. Sepertinya itu seragam bekas. Namun, dia tidak harus mengatakannya deng
Beberapa bulan kemudian …Pintu kamar tidur Allen dan Freesia terbuka lebar dan Lily yang sudah memakai seragam sekolah, menghambur masuk sembari berseru,“Selamat pagi, Mama, Papa, Leon!”“Selamat pagi, Kakak Lily,” Freesia yang duduk bersandar di kepala tempat tidur sembari menyusui putranya, Leon, membalas sembari tersenyum.“Lily, jangan ganggu adikmu,” Allen mengingatkan Lily.“Papa, kapan aku mengganggu Leon?” protes Lily sembari melepas sepatu sekolahnya dan naik ke tempat tidur.Bahkan setelah dia memprotes peringatan Allen, dia langsung menciumi pipi Leon yang sedang menyusu. Akhirnya, seperti biasa, Leon mulai risih dan merengek.“Lihat itu, kau mengganggunya!” tuding Allen.“Aku hanya memberinya ciuman selamat pagi,” Lily beralasan sembari mundur.Freesia hanya tersenyum geli sembari menenangkan Leon. “Leon sepertinya masih mengantuk. Nanti setelah dia tidur, kita sarapan bersama, ya, Kakak Lily?”“Ya, Mama,” jawab Lily riang.Setelah Leon tertidur, Allen memindahkan Leon k
“Mama masih sedih?” tanya Lily dengan nada sedih.Freesia tersenyum dan menggeleng. “Maaf, Mama membuatmu khawatir,” sesalnya.Lily menggeleng. “Mama jangan sedih lagi. Kan, Mama sudah bilang sendili, aku bisa belmain ke lumah itu lagi kapan pun aku ingin. Itu belalti, Mama juga bisa pelgi ke sana kapan pun Mama ingin.”Freesia tersenyum sendu dan mengangguk. Padahal ia yang mengatakan itu pada Lily, tapi justru Freesia yang bereaksi seperti ini. Lily bahkan tak menangis ketika berpisah dengan orang-orang rumah Allen tadi. Namun, justru Freesia yang menangis. Val bahkan menertawakan Freesia hingga Lily mengomelinya dan mereka berdebat sampai detik terakhir perpisahan mereka tadi.“Lily benar, Freesia,” ucap Allen sembari merangkul Freesia. Pria itu duduk di sebelah kanan Freesia. “Aku tak tahu apa yang membuatmu sesedih itu ketika rumah itu penuh dengan aturan yang tak bisa memberi kau atau Lily kebebasan.”“Tapi, itu adalah rumahmu, Allen,” Freesia berkata. “Aku tahu, kau punya banya