Freesia tidak tahu bagaimana akhirnya dia bisa mandi sendiri di kamar mandi kamarnya, tanpa Lily maupun Allen, untungnya. Ia tidak tahu apa yang dikatakan Allen untuk membujuk putri kecilnya itu hingga dia tidak lagi memaksa mereka bertiga mandi bersama.
Namun, ketika Freesia dipanggil dan disuruh turun untuk sarapan, dia melihat sebuntal … tidak, sesosok lebah, yang tampak begitu bulat, terutama bagian pantatnya. Freesia tak bisa menahan tawa ketika akhirnya melihat wajah Lily yang tampak begitu bulat karena rambutnya terbuntel kepala lebah.
Meski begitu, Freesia segera menghentikan tawa karena setidaknya ada belasan pria berjas hitam bertubuh besar yang menatapnya tajam, sementara Lily tampak merengut. Allen yang sudah duduk di kursinya dan menikmati sarapannya tak sedikit pun tampak peduli.
Freesia berdehem dan mendekati Lily. “Kenapa kau tiba-tiba menjadi lebah?” tanya Freesia penasaran.
“Cause Allen so f***ing stupid idiot!” maki Lily kesal.
Seperti tadi, Allen tak bereaksi dan dengan santai menikmati sarapannya.
“Apa … yang terjadi ini?” Akhirnya Freesia bertanya pada Allen.
Allen meraih serbet makan dan mengusap sudut bibirnya, lalu menoleh pada Freesia.
“Karena kita bertiga tidak bisa mandi bersama di kamar mandi yang begitu kecil, aku sudah menyiapkan kamar mandi yang lebih besar,” terang Allen.
Apakah dengan itu tadi dia berhasil membujuk Lily dan membawa gadis itu pergi? Dan apa-apaan dengan kamar mandi besar itu?
“Itu bukan kamal mandi besal! You f***ing lie to me!” sembur Lily.
“Itu kolam besar yang cukup untuk kita bertiga mandi di sana dengan bebas,” sahut Allen dengan santainya.
“Itu kolam lenang, Idiot Allen!” Lily tampak akan menangis saking marahnya.
“Dan kenapa dengan kolam renangnya?” tanya Freesia heran.
“Dia tidak suka berenang,” Allen menjawab. “Sebenarnya, itu karena dia tidak bisa berenang. Dia pernah nyaris tenggelam dan dia tidak mau lagi belajar berenang.” Allen mendengus meledek ke arah Lily.
“Kau tidak tahu betapa mengelikannya itu!” Lily menuding Allen. “Aku tidak mau belenang lagi! Aku hanya mau belenang di bath tub!”
Oh, Girl …
Lily begitu menggemaskan, marah-marah dengan kostum renang lebahnya. Wajahnya yang bulat tampak memerah karena dia begitu marah. Matanya yang berkaca-kaca membuatnya tampak semakin menggemaskan. Namun, Freesia tak tega juga melihat anak itu tampak begitu frustrasi sendirian.
Freesia akhirnya berlutut dan merentangkan lengan ke arah Lily. “It’s okay, Lily. Jika kau tidak mau berenang, kau tidak harus berenang. Sekarang, ayo kita makan.”
Lily mendekat pada Freesia dan naik ke pangkuan Freesia, meminta digendong. Freesia akhirnya menggendong gadis kecil itu dan membawanya mendekat ke meja makan. Salah seorang pelayan menarikkan kursi di sebelah Allen. Freesia tahu, jika dia tidak duduk di sana, dia mungkin akan menjadi bagian dari hidangan sarapan di meja makan itu, jadi ia lantas duduk di sana.
“Kau bukan anak kecil lagi,” cibir Allen. “Duduklah sendiri.”
“No!” tolak Lily. “Aku akan belsama Fleesia sehalian ini. Aku akan belmain dengannya. Aku akan tinggal dengannya.”
“Dan dia tinggal denganku, di rumahku,” sahut Allen.
“Mulai sekalang, aku akan tidul dengan Fleesia. Aku akan mandi dengan Fleesia. Aku akan belmain dengan Fleesia,” rentet Lily.
“Ya, ya, terserah kau saja,” sahut Allen cuek.
Freesia tak bisa berkata-kata untuk membantah itu karena memang dia ada di sini untuk menjadi pengasuh Lily. Freesia mengambil segelas air di gelas yang ada di depannya dan meneguknya ketika Lily mengumumkan,
“Dan Fleesia akan menjadi ibu tiliku!”
Freesia seketika terbatuk karena tersedak air minumnya.
“Fleesia!” Lily memekik panik. “Doktel! Panggilkan Doktel! Mamaku sakit!”
Freesia yang sudah meletakkan gelasnya di meja mengibaskan tangan, hendak menolak, tapi para pria berjas yang ada di sana heboh berseru memanggil dokter. Sementara, Allen tak melakukan apa pun dan hanya tersenyum geli mengamati Freesia.
Ketika Freesia melotot pada pria itu, meminta bantuan, pria itu barulah bergerak. Namun, itu bukan gerakan yang diharapkan Freesia. Karena, pria itu kemudian mencondongkan tubuh ke arah Freesia dan mengusap ujung bibir Freesia yang basah karena air minum dengan jarinya.
Namun kemudian, kehebohan kembali terjadi karena Lily histeris memukul-mukul tangan Allen.
“Don’t touch hel! Dia mamaku!” seru Lily.
Para pria berjas hitam di ruangan itu seketika fokus pada perseteruan ayah dan anak itu.
“Itu berarti, dia istriku, kan?” balas Allen dengan entengnya.
“No, she’s not! You’le stupid, Allen!” maki Lily.
“Jika dia tidak menikah denganku, dia tidak akan bisa menjadi mamamu,” tandas Allen. “Dan begitu dia menikah denganku, dia akan menjadi milikku.”
Lily mencebik. “No f***ing way …”
“Jika dia tidak menikah denganku, dia tidak bisa menjadi mamamu, dia tidak akan menjadi keluarga. Tidak bagiku ataupun bagimu,” Allen melanjutkan. “Bukankah kau sendiri yang bilang jika dalam keluarga, ada ayah, ibu, dan anak?”
Omong kosong apa yang pria itu katakan pada putrinya ini?
“Tapi, jika kau menikah dengannya, apa aku boleh belmain dengannya?” tanya Lily, terhasut oleh tipu-daya Allen.
“Jika kau jadi anak baik dan mendengarkanku,” sahut Allen. “Dan jika kau mau belajar berenang lagi.”
“Allen, I f***ing hate you!” teriak Lily sebelum dia memeluk Freesia erat dan menangis keras. “Aku tidak mau belenang lagi … aku akan tenggelam …”
Freesia menatap Lily dengan iba, lalu mengusap lembut kepalanya. “Lily, tidak apa-apa jika kau tidak mau belajar berenang …”
“Tidak, dia harus belajar berenang,” Allen tidak mau mengalah, bahkan di situasi seperti ini. Freesia menatap pria itu kesal.
Allen mengangkat alis.
“Tak bisakah kau berhenti …”
“Bukankah Freesia akan berenang bersamamu?” Allen berbicara, menyela kalimat kesal Freesia.
Lily menghentikan tangisnya dan mendongak menatap Allen.
“Jika kau berenang dengan Freesia, kau akan baik-baik saja, kan?” Allen menyebutkan.
Well, tidak seperti Freesia akan membiarkan Lily tenggelam di depan matanya, tapi … tidakkah seharusnya gadis kecil ini juga baik-baik saja jika dia belajar berenang di depan Allen dan para manusia bertubuh besar di sekeliling mereka ini? Jika tidak, apa gunanya mereka semua sebenarnya?
***
Freesia tak tahu apa yang membuat Lily begitu takut berenang karena ketika dia masuk ke kolam renang bersama Freesia, dia tampak baik-baik saja, meski tangan kecilnya sejak tadi terus berpegangan di kaus Freesia. Allen memang menepati kata-katanya bahwa pagi ini dia sudah menyiapkan pakaian ganti untuk Freesia, tapi tidak ada baju renang di sana. Jadi, Freesia mengenakan kaus dan celana pendek untuk menemani Lily berenang. Yang membuat Freesia heran, tidak ada bagian kolam untuk tinggi anak kecil seperti Lily di kolam renang itu. Bagian kolam paling rendah adalah sepinggang Freesia. Tentu saja, itu masih lebih tinggi dari Lily. Karena itu juga, Freesia masih menggendong Lily sejak mereka turun ke kolam itu tadi. Freesia lalu memperhatikan jika tidak ada pelampung untuk Lily. Freesia menoleh pada Allen yang duduk dengan santainya di kursi santai di tepi kolam renang, di bawah naungan payung besar di samping kursi itu. “Apa kau tidak punya pelampung untuk Lily?” tanya Freesia. “Tid
Allen memperhatikan bagaimana Lily tertawa dan tampak bersenang-senang ketika belajar berenang dengan Freesia. Meski, Allen tidak tahu butuh waktu berapa lama dia bisa berenang nantinya. Masih banyak hal yang harus dia pelajari. Namun, setidaknya untuk saat ini, melihat Lily tampak bersenang-senang, itu sudah cukup. Namun, Allen lebih terkejut melihat bagaimana reaksi Freesia tadi. Bahkan di bawah belasan senjata api, dia masih bisa dengan berani melawan Allen. Apa yang gadis itu pikirkan? Tadinya, Allen tak berencana menunjukkan hal-hal berbahaya di depan gadis itu karena tak ingin membuatnya kabur ketakutan. Ia sudah menyelidiki latar belakang keluarga gadis itu dan menyadari jika dirinya menemukan harta karunnya. Tidak. Atau … bisakah ia menyebutnya kotak Pandora? Gadis itu mungkin tak tahu apa pun, tapi … itu tidaklah penting. Karena Allen tahu segalanya. Dan sekarang ia punya alasan untuk menahan gadis itu di sampingnya. Karena … bukankah itu sudah tradisi keluarga mereka ber
Freesia tersentak bangun dan langsung memanggil satu nama, “Lily …” “Fleesia!” Seruan itu datang dari samping Freesia. Freesia menoleh ke sana dan melihat Lily ada di sana. Tidak hanya Lily, tampak Allen yang sepertinya tadi tidur dalam posisi telungkup di tempat tidur di sebelahnya, kini membuka matanya. “Lily, jangan melompat ke arahnya, jangan menyentuhnya, dan jangan berteriak-teriak,” Allen memperingatkan Lily. “Turun dari tempat tidur tanpa melompat, lalu panggil Val.” Lily mengangguk patuh, lalu turun dari tempat tidur dengan cara memerosotkan tubuhnya yang menghadap tempat tidur. Lalu, gadis itu berlari ke pintu kamar dan berjinjit-jinjit, mencoba membuka pintu. Dia baru berhasil membuka pintu berkat seseorang yang membukakan pintu dari luar. Beberapa pengawal dan pelayan tampak sudah menunggu di luar pintu. “Aku akan pelgi memanggil Doktel Val,” Lily mengumumkan. “Fleesia sudah bangun. Aku tidak boleh menyentuhnya sampai dia diperiksa Doktel Val.” Pintu kamar itu kemba
“Kau benar-benar tidak akan ikut berlatih?” tanya Val setelah dia membangungkan paksa Allen yang melanjutkan tidur di kamar Freesia tadi. “Latihan apa?” tanya Allen. “Latihan menikah,” jawab Val. “Apa?” Allen tidak salah dengar, kan? “Putrimu berkeras untuk melakukan latihan upacara pernikahan atau semacamnya dengan calon ibu tirinya,” urai Val. “Dan kudengar, mereka sedang sibuk mencari pengganti untuk mempelai prianya.” Allen mendengus tak percaya. Lihat ke mana kekacauan gadis itu membawanya. “Apa kau benar-benar akan menikah dengannya?” tanya Val, dengan nada serius kali ini. “Seolah itu mungkin,” dengus Allen. “Kau tahu hubungan keluarga kami.” “Tapi, Lily …” “Gadis itu akan tinggal di sini hanya sampai Lily bosan,” tukas Allen. “Dia bisa sekalian mengajarkan beberapa hal berguna pada Lily.” “Jangan mengentengkan masalah ini,” sengit Val. “Kau lihat sendiri bagaimana reaksi Lily kemarin.” Allen mengernyit. “Itu hanya karena dia merasa dekat. Itu tidak akan bertahan lam
Allen tak tahu bagaimana Freesia bisa mengikuti jadwal bersenang-senang Lily yang seolah tak ada habisnya itu. Setelah mereka masuk tadi, Allen memerintahkan ada pesta dadakan dan berbagai makanan disiapkan. Ada kue, es krim, dan camilan kesukaan Lily. Dan dua orang yang paling menikmati pesta itu adalah Lily dan Freesia. Lily, bisa dimaklumi, tapi Freesia? Apa yang gadis itu pikirkan? Namun, mengingat alasan gadis itu kabur dari neneknya demi mengejar kebebasan, seharusnya Allen tak bertanya. Bukankah sudah jelas kenapa dia berekasi sama persis seperti Lily? Itu adalah kehidupan yang dia inginkan. Sejak dia berada di bawah pengasuhan neneknya, dia hanya boleh berteman dengan orang-orang yang dipilih neneknya. Mulai dari A hingga Z, hidupnya diatur oleh neneknya. Meski, Allen tak bisa menyalahkan wanita tua itu. Tentu saja dia ketakutan setelah kehilangan orang tua Freesia. Itu adalah kecelakaan yang mengerikan dan Freesia bahkan menjadi korban juga dalam kecelakaan itu. Meski kab
Sore itu, Allen mendapat laporan jika orang yang harus dihukumnya berulah di penjara basemen. Sepertinya, Allen terlalu lama menunda hukumannya hingga dia tak sabar untuk dihukum. Apa boleh buat? Allen mendadak mendapat kejutan kecil di pelukannya. Dan kejutan kecil itu … di mana dia sekarang? Sore Allen yang begitu tenang itu pasti karena Lily sedang bersama gadis itu. Ketika Allen keluar dari kamarnya, pengawal kepercayaannya, Sean, sudah ada di sana. Setelah dia menangkap target yang seharusnya dibunuh Allen di malam dia bertemu dengan Freesia itu, Allen menugaskannya untuk mengawasi gerak-gerik nenek Freesia. “Ada pergerakan?” tanya Allen. “Mereka masih belum bisa melacak kita,” jawab Sean. “Dan saya sudah mengirim orang untuk mengurus teman gadis itu yang tahu posisi gadis itu.” Allen mendengus pelan. Karena malam itu Allen keluar untuk membunuh, tentu dia membawa kendaraan yang tidak akan bisa dilacak dengan mudah. Dia juga melewati banyak jalur tanpa kamera CCTV. Menemuka
Setelah berjalan sekitar setengah kilometer di hutan itu, Allen tiba di gudang senjatanya yang dijaga ketat oleh puluhan orangnya. Memasuki gudang itu, ada kontainer-kontainer berjejer di sana. Namun, apa yang ada di kontainer-kontainer itu adalah senjata yang dimiliki Allen secara legal. Hanya yang ada di dalam kontainer itu saja, tidak termasuk yang ada di bawahnya. Allen mendekat ke salah satu kontainer yang dijaga empat orang. Bukan pengawalan ketat. Hanya ada dua tempat yang bisa menjadi lokasi yang menimbulkan situasi berbahaya. Di luar gudang, dan di bawah tanah. Terutama yang ada di bawah tanah. Jika ada orang luar yang masuk ke sana, tidak ada yang bisa keluar dalam keadaan hidup. Begitulah aturannya. Ah, orang luar itu termasuk para pengkhianat. Seperti yang akan ditemui Allen sekarang. Allen masuk ke kontainer itu dan salah satu orangnya membukakan pintu menuju basemen bawah tanah. Allen menuruni tangga yang ujungnya hanya menunjukkan kegelapan itu. Melewati kegelapan
Freesia berhenti membacakan buku dongeng di tangannya untuk mengecek jika Lily sudah tidur di sebelahnya. Freesia mengembuskan napas pelan, lega, karena gadis kecil itu akhirnya tidur juga. Freesia menarik selimut untuk menutupi tubuh Lily. Lalu, dia juga membenahi posisi berbaringnya yang tengkuknya bersandar bantal tinggi, hendak tidur juga.Namun, pintu kamar itu tiba-tiba terbuka, tanpa ketukan. Allen yang merupakan pelakunya menatap Freesia selama dua detik, sebelum mengalihkan tatap pada Lily. Jadi, dia sadar jika masuk ke kamar tidur seorang perempuan tanpa mengetuk itu adalah tindakan tidak sopan.Meski begitu, ketika pria itu berdiri di samping tempat tidur, Freesia langsung menyinggung,“Tidakkah kau merasa malu masuk ke kamar seorang gadis seenaknya, tanpa seizinnya?”Allen menghela napas. “Tentu saja kau tidak akan melewatkan hal seperti itu untuk menyerangku,” balas Allen.“Karena itukah kau memerlukan orang lain untuk mengajarkan manner pada putrimu?” Freesia melanjutkan