Reza membopongku sambil berlari, aku setengah sadar dan di belakang Reza ada Arjun. Sesampai di rumah sakit dua orang perawat menyambutku dengan membawa brankar. Reza merebahkan tubuhku yang tersiksa sesak dan semakin lemah. Aku samar-samar melihat Arjun berlarian membantu Reza dan perawat mendorong brankar. Dalam hatiku berpikir, apakah ini artinya pernikahan tadi batal? Dokter datang memeriksaku dengan seksama, aku hanya melihat ada dokter dan perawat. "Nyonya harus banyak istirahat, tensi darah Nyonya naik, ini bahaya buat kandungan nyonya," ujar dokter. "Dokter apakah saya hamil?" tanyaku ragu. "Iya, apa nyonya belum tahu?" tanya dokter balik. "Saya tahu kalau sedang terlambat haid, tapi belum sempat tespack, Dok," kataku. "Nyonya jangan stres dan jaga emosinya, Nyonya!" pesan dokter. Tak lama dokter keluar meninggalkan aku di kamar. "Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Reza. "Sudah sadar, yang mana suam
"Pa, maafkan saya!" kata Arjun pelan. "Maksudmu?" tanya Samsul terkejut. "Saya tetap akan menikahi Diana, kita cari lagi hari yang baik," usul Arjun. "Apa besuk bukan hari baik? Apa kamu sekarang menjadi paranormal?" desak Samsul kecewa. "Mas Arjun, ada apa denganmu? Kita sudah menyiapkan pesta sedemikian mewahnya dan kamu tega menghancurkannya?" kata Diana dengan isak tangis. "Tolong Pak Reza dan Nyonya Zhee, beri pengertian kepada Arjun! Ini menghancurkan kehormatan keluargaku," pinta Samsul. "Arjun, coba kamu pikirkan lagi!" usul Reza. "Ayo Zhee, beri pengertian kepada Arjun, dia hanya mendengarkanmu!" pinta Reza kepadaku kemudian. Arjun mematapku, dia ingin mendengar apa yang akan aku katakan. Aku dilema, aku tidak tahu harus mengatakan apa. "Mas Reza, biarkan Arjun memutuskannya sendiri, kita jangan ikut campur!" ujarku berat. "Mas Reza, tolong ajak mereka semua keluar, bicarakan saja diluar aku ingin tidur," pinta
Dret ... dret ... dret! Ponselku berdering, aku tidak mengenal nomer itu, tapi profilnya foto Diana berpelukan dengan Arjun. Aku yakin ini pasti Diana. "Assalamualaikum?" sapaku. "Nyonya, saya Diana," ujarnya disela isak tangisnya. "Iya Diana, ada apa? Kenapa menangis?" tanyaku penasaran. Dalam hatiku aku sudah bisa menebak kalau dia pasti akan mencurahkan kesedihannya kepadaku dan meminta aku mempengaruhi Arjun. "Nyonya, tolong bantu saya meyakinkan Arjun! Kita sudah menurut sekalipun pernikahan itu diundur sampai bulan depan. Tapi jangan sampai gagal lagi, tolong bantu saya, Nyonya!" pinta Diana memohon. "Apa yang bisa aku lakukan, Diana? Apa mungkin aku harus memaksanya? Kalian bukan anak-anak lagi, aku tidak berani mencampuri urusan kalian," kataku menghindar. Aku tidak mungkin memaksa Arjun melakukan itu, jelas saja ini akan membuatku sakit hati. Membayangkan Arjun mencintai orang selain aku sangat menyiksa apa
Aku berlari tanpa ingat kalau aku sedang hamil. Tiba-tiba timbul pikiranku lewat pintu belakang yang otomatis langsung ke dapur. "Zhee ...!" teriak Reza dari lantai atas. Aku melihat Erna di dapur, segera aku memberi kode kepadanya agar bilang Mas Reza kalau aku sedang di kamar mandi. "Erna!" panggil Reza. "Iya Tuan," jawab Erna. "Mana nyonya?" tanyanya sambil clingukan. "Dia sedang di kamar mandi bawah, Tuan," jawab Erna. "Emangnya kenapa dengan kamar mandi atas?" tanya Reza seolah curiga. Aku segera keluar kamar mandi takut Erna salah bicara. Aku melihat mata Reza keluar jendela tertuju pada mobil Arjun yang terparkir di depan asrama. Pasti dia sedang berpikir aku ada di sana. "Kamu sudah pulang, Mas Reza?" tanyaku pura-pura. "Iya baru saja," jawabnya nyeplos. "Kenapa kamu pakai kamar mandi pembantu, Zhee?" tanya Reza balik. "Aku baru saja turun, pingin buang air kecil malas naik lagi, ak
"Zhee, coba berikan ponselmu!" pinta Reza mengulangi. "Tidak, ini bukan ponselmu!" jawabku asal nyeplos. Aku tidak sadar dengan apa yang aku ucapkan. Bagaimana aku berani mengucapkan kalimat setegas itu? "Kamu takut kalau aku marah? Aku janji tidak akan memarahimu, Zhee!" ujarnya. Sambil menindih tubuhku dan tangannya meraba bawah pantatku. Wajah kami sangat berdekatan, aku bisa merasakan hangatnya hembusan napasnya. Matanya tajam menatap bibirku, Reza menelan dengan kasar salivanya. Dia mulai mendekatkan wajahnya dengan debar jantung yang terdengar jelas. Sontak aku teringat bahwa dia sudah sembuh dari sakit, bagaimana kalau dia mau melakukannya kepadaku? Bukankah sekarang aku bukan istrinya lagi? Aku mencengkal tubuh Reza, ada keberanian yang tiba-tiba datang begitu saja. Akhirnya Reza tersadar, dengan sigap dia menyambar ponselku yang dibelikan Arjun untukku. "Sidik jarinya dong!" pintanya untuk membuka kunci layar
Aku berpura-pura ke belakang menyiapkan serabi padahal aku ingin mengecek ponselku. Pasti Arjun yang sedang meneleponku karena ini ponsel khusus kita. Aku bergegas masuk kamar mandi dan memeriksa layar ponselku. Benar Arjun yang sedang meneleponku, saat kembali bergetar aku segera mengangkatnya. "Arjun, aku takut ternyata mas Reza sudah sembuh, dia menginginkan aku kembali dalam hidupnya," gumamku berbisik. "Arjun bawa aku pergi jauh, aku tidak bisa lagi jauh dari kamu," lanjutku. Aku terdiam sesaat, aku teringat bahwa Diana pernah membawa ponsel Arjun. Jangan-jangan kali ini demikian lagi, aku segera membisu. "Kenapa diam?" hardik Diana. "Dasar wanita murahan, gatel ya? Kamu yang sudah menggagalkan pernikahan kami!" katanya emosi. "Diana?" panggilku terkejut. "Terkejut? Tertangkap basah kan? Kamu mau mengajak calon suamiku lari? Otak kamu dimana, apa kamu tidak malu? Arjun masih sangat muda belia, sedang kamu sudah berumur kan? Tahu diri sedikitlah!" hina Diana menyakitkan. "Dia
Belum sampai Arjun pergi, kedua orang tua Reza sudah datang. "Bagaimana keadaan cucuku, Reza?" tanya papanya. "Papa jangan khawatir keadaan cucu papa baik-baik saja," jawab Reza menenangkan papanya. Papa punya penyakit jantung akut, Reza dan aku harus berhati-hati menghadapinya. Tidak boleh mendengar berita yang mengagetkan. "Kamu kenapa, Zhee? Di rumah kan banyak pembantu kamu tidak perlu capek-capek melakukan apapun," sahut mama Arum. "Baik, Ma." Aku melihat Arjun sejenak tertegun melihat kekhawatiran kedua orang tua Reza. "Saya permisi dulu!" pamitnya kemudian. "Kamu mau menemui tunanganmu kan, Arjun?" tanya Reza seolah mengingatkan agar Arjun segera menyelesaikan masalahnya dengan Diana. "Iya, Bos! Jawabnya kemudian pergi, sebelumnya sempat menatap tajam ke arahku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Mereka bertiga tampak lega dan bahagia. Aku selalu merasa bersalah kepada kedua orang
Mobil sudah sampai di halaman rumah, bergegas Arjun membukakan pintu untuk Reza maupun aku. Reza berlarian menghampiriku dan membopong tubuhku. "Tidak perlu, Mas Reza! Aku tidak apa-apa bisa jalan sendiri!" teriakku sambil melirik Arjun. Dia tertegun menatapku, sambil tangannya menderek koper pandangannya terus tajam menghujam jantungku. "Untuk kamu dan anakku, aku akan lakukan apapun, Zhee!" ujarnya tak menggubris. Aku semakin tidak nyaman apalagi setelah mengetahui dia diam-diam sudah sembuh dari sakitnya. Bahkan sudah mulai berani menggoda dan menantangku. "Sudah turunkan, Mas Reza!" berontakku saat langkah Reza hendak menaiki tangga. "Aku belum ingin tidur," lanjutku. Dalam hatiku takut berada di kamar berdua dengan dia, tapi apa dayaku? "Sulis, tolong ini koper nyonya!" kata Arjun sambil menyerahkan koper kepada Sulis. "Baik, Mas Arjun." Reza merebahkan aku di sofa dengan perlahan. Matanya menatapku dengan