"Aku talak kamu dengan sadar tanpa paksaan," ucap Reza dengan lantang dan jelas sambil menatap mataku. "Menikahlah dengan Arjuna dan beri aku seorang anak sebagai penerusku, Zhee." Aku tidak mengira suamiku tega berbicara seperti ini kepadaku. Karena kecelakaan sebelum pernikahan itu ternyata membuat suamiku kehilangan kejantanannya. Tiga tahun menikah aku tetap suci tanpa disentuhnya. Kami berdua saling mencintai dan berpacaran sudah lima tahun lamanya. Sementara keluarganya menuntut generasi penerus keluarga besarnya sebagai penerus Perusahaan Armando Group. Demi kehormatannya Reza menjatuhkan talak secara agama dan menikahkan aku dengan asistennya yang bernama Arjuna. Bagaimanakah akhir cintaku dengan Reza yang sudah terjalin delapan tahun? Dan bagaimana pula dengan hubunganku yang baru dengan Arjuna, cinta sejatiku. Dalam hukum negara aku masih sah istri Reza. Bagaimana perjuangan cinta kami yang masih terpaku dalam bayang-bayang Reza dan Diana tunangan Arjuna.
Lihat lebih banyakReza menyiapkan kejutan romantis di hari ulang tahunku.
"Kita nikmati hari spesial ini, Sayang? Aku tidak ingin seorang pun mengganggu kita," bisiknya lembut di telingaku, sambil kemudian menarik kursi untuk aku duduk.
"Terima kasih, Mas," jawabku lembut.
Reza mengambil tempat duduk tepat di depanku. Dia terus menatapku seolah banyak hal yang ingin disampaikannya.
"Ayo kita makan keburu dingin!" pintanya.
"Wow makanan kesukaanku, kamu paling tahu aku, Mas," ujarku haru dan bahagia sekali.
"Selamat ulang tahun, Sayang!" bisik Reza. "Ini hadiah spesial buatmu," lanjutnya sambil memberikan sebuah kontak mobil.
"Apa ini, Mas Reza? Mobil? Terima kasih, Sayang!" ujarku beranjak bangun kemudian memeluk dan mencium Reza.
"Iya, warna putih kesukaanmu, tapi sayang mobilnya ada di rumah," ujar Reza.
"Aku penasaran ingin segera mencobanya, Mas Reza!" ujarku masih kegirangan.
"Aku seneng melihat kamu bahagia, Zhee," ujarnya dengan mata berbinar-binar. "Ayo kita makan!" ajaknya lagi.
Tanpa berpikir panjang aku segera menikmatinya. Kebetulan perutku sedang melilit kelaparan. Reza terus menatapku tak berkedip, aku jadi salah tingkah.
"Udah dong lihatnya, aku malu nih!" pintaku merajuk.
"Aku suka melihat kamu makannya lahap, habiskan saja!" sahutnya tersenyum lembut.
Aku makan dengan lahapnya, nafsu makanku benar-benar tidak terkendali begitu ketemu dengan rica-rica paru sapi. Dan sudah menjadi kebiasaanku selesai makan pinginnya nangkring di kloset.
"Langganan, habis diisi bablas dikeluarkan," umpat Reza bercanda.
Aku hanya melirik ke arah Reza sambil tersenyum malu. Tak lama kemudian aku kembali Reza sudah tidak berada di meja makan. Aku melihat dia berdiri di balkon sambil menatap pemandangan hijau yang sedikit berkabut. Di puncak dengan hawa yang dingin dan sejuk, memandang jauh hamparan telaga dengan perahu yang berlalu-lalang.
"Kamu di sini?" tanyaku mengagetkan Reza.
Dia bergeming, hanya sekilas melirikku. Aku memeluknya dari belakang, kusandarkan kepalaku di punggungnya yang bidang. Perlahan Reza membalikkan badannya, kulihat matanya penuh air bening yang menggenang. Aku terkejut sekali, ada kesedihan dan keputusasaan.
"Zhee Amalia," panggilnya pelan.
Aku hanya menatap heran, sikap Reza yang tiba-tiba berubah aneh.
"Kutalak kamu dengan sesadar- sadarnya tanpa paksaan," ujar Reza dengan pelan dan matanya menatapku tajam.
"Mas Reza, apa kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan? Ini benar-benar jatuh talak di agama kita, Mas. Sebagai lelaki kamu harus hati-hati kalau bercanda!" hardikku kecewa.
"Ini sudah jatuh talak, Zhee, kita sudah bukan suami istri lagi di hukum agama. Tapi kamu masih istriku menurut hukum negara," kata Reza menjelaskan. "Aku tidak akan pernah menceraikanmu," lanjutnya lirih.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu, Mas Reza?" tanyaku emosi.
"Menikahlah dengan Arjun secara agama, beri aku seorang anak sebagai penerus keluargaku!" ujarnya pelan.
"Kamu gila! Aku tidak tahu apa yang ada dalam otak kamu!" hardikku kesal.
"Aku serius, Zhee!" serunya. "Aku ingin anak yang lahir dari rahimmu bukan hasil perselingkuhan," lanjutnya.
"Kamu gila!" hardikku emosi.
"Dengarkan dulu, Zhee!"
"Kamu yang harus mendengarkan aku! Kita berusaha lagi, Mas! Kita berobat ke luar negeri, jangan putus asa!" kataku menghibur.
"Aku capek, Zhee! Aku benci semua orang menyalahkan kamu, termasuk keluargaku. Aku malu mengatakan kepada mereka kalau akulah yang tidak bisa menjadi suami yang seutuhnya. Jangankan untuk memberikan anak, memberikan kebutuhanmu saja aku tidak bisa ... hiks ... hiks ... hiks!" ujarnya sambil menangis.
"Apa pernah kamu membicarakan ini kepadaku? Pernahkah kamu memikirkan perasaanku, apa yang aku inginkan? Jangan kamu memikirkan dirimu sendiri, apa yang terbaik menurut kamu belum tentu baik juga buat orang lain," hardikku emosi.
"Apa kau kira aku bahagia dengan keputusanku ini? Aku sakit, Zhee!" ujar Reza memekik menahan tangisnya.
"Kenapa kamu melakukan ini, Mas? Ini akan menyakiti kita berdua!" kataku lebih emosi..
"Aku sangat mencintaimu, Zhee, aku ingin kamu bahagia," ujar Reza tegas. "Biarkan aku mengungkapkan cintaku dengan caraku," lanjutnya.
"Kamu jangan gila, Mas Reza!" emosiku makin meluap. "Aku bukan barang yang bisa kamu lempar sesuka hatimu, aku manusia punya rasa, Mas Reza!" teriakku geram.
"Menikahlah dengan Arjuna, beri aku anak yang tampan seperti Arjuna. Reguklah kenikmatan yang harusnya kamu dapatkan," katanya pelan.
"Mas Reza!" bentakku.
"Jangan bantah aku, aku tidak suka itu!" ujarnya pelan dan tegas dengan telunjuknya mengarah ke wajahku.
Aku melihat Reza sedang menyembunyikan air mata dan kesedihannya. Hatiku begitu hancur, dia menjatuhkan aku sejatuh- jatuhnya. Dia mengambil ponselnya dari saku jasnya.
"Arjun, masuklah!" perintahnya setelah menyentil layar ponselnya. Kemudian memasukannya kembali ke saku jasnya.
"Saya Big Bos," jawab Arjun setelah sampai di depan Reza.
"Arjun, menikahlah dengan istriku!" perintahnya dengan datar.
"Hah? Apa?" tanya Arjun tak percaya.
"Apa kurang jelas? Apa aku harus mengulanginya?" tanya Reza kesal. "Beri aku seorang anak, Arjun. Aku tidak mau mendapat tekanan di sana-sini lantaran aku dan Zhee belum punya anak," lanjutnya.
”Kita bisa cari jalan keluarnya, Bos!" usul Arjun.
"Aku tidak butuh saranmu, Arjun. Aku yang lebih tahu jalan terbaik buat diriku sendiri!" sahut Reza membentak.
"Tapi bagaimana mungkin ..."
"Kenapa tidak, aku sudah menceraikan Zhee secara agama, kamu bisa menikahinya secara agama pula," sahut Reza.
"Apa?" Arjun terperanjat.
"Biarkan dia terikat pernikahan secara hukum negara denganku selamanya. Aku sangat mencintai Zhee, aku juga ingin mempertahankan kehormatan keluargaku," ungkap Reza sedih.
"Bagaimana dengan nyonya, Bos?" tanya Arjun sambil menatapku iba, karena melihat aku sedang menangis tersedu.
"Kamu tidak berhak bertanya macam-macam, sudah turuti saja! Kamu hanya menikah menurut agama tidak akan ada orang yang tahu. Hanya tiga orang yang tahu, pak Ustadz, Eko serta Parto tukang kebun, karena mereka sebagai saksi," Reza menjelaskan.
"Aku sudah bertunangan, Bos, aku tidak bisa mengkhianati Diana," katanya pelan.
"Aku hanya ingin anak itu lahir dalam hubungan pernikahan bukan anak haram. Kamu tidak perlu bilang sama tunanganmu, ini rahasia kita bertiga," sahut Reza.
Arjun melirikku kemudian menatap Reza. Dia diam seolah sedang berpikir keras. Aku yakin dia tidak berdaya dengan permohonan bosnya. Dia yang membantu biaya kuliahnya selama ini dan memberikan pekerjaan dengan gaji yang fantastik.
Ting Tong ... Ting Tong ...! Bel pintu berbunyi. Arjun segera berlari membukakan pintu. Ternayata yang datang ustadz dan pak kebun serta sopir pribadiku.
"Masuklah!" perintah Reza begitu tahu mereka yang datang. "Duduklah!" lanjutnya.
Arjun terperanjat, kehadiran ustadz begitu tiba-tiba tanpa sepengetahuannya. Padahal dalam segala hal biasanya Arjunlah orang yang pertama tahu.
"Bos, apa ini maksudnya?" tanya Arjun berbisik.
"Duduklah, dia akan menikahkan kamu!" perintah Reza lirih.
"Bagaimana bisa? Kan ada masa Iddah?" tanya Arjun masih berbisik.
"Tidak perlu, kau kan tahu sejak pernikahan hingga kini aku belum menyentuhnya," jawabnya dingin.
Tanpa bertanya lagi Arjun duduk di depan ustadz Hamid. Reza menuntun aku menghampiri mereka dan mendudukkan aku di samping Arjun.
"Lakukan ini demi cinta kita berdua, Zhee," bisik Reza di telingaku.
Aku menatap Reza penuh amarah, tapi dia mengangguk dengan pelan dan sedih. Kemudian Reza pergi meninggalkan acara ini. Aku hanya menatap pasrah, demikian juga dengan Arjun.
Arjun tampak ragu karena dia dan Diana sudah menjalin hubungan dua tahun lamanya. Rencananya setelah wisuda tahun ini, dia akan melangsungkan pernikahan.
Aku menjawab setiap pertanyaan Ustadz Hamid dengan asal, demikian juga dengan Arjun. Sampai akhirnya aku mendengar Arjun mengucapkan ijab kabul dengan lantang.
"Saya terima nikahnya Zhee Amalia Bin Zakaria almh, dengan mas kawin uang tunai sebesar satu juta rupiah dibayar tunai!"
"Bagaimana saksi?" tanya ustadz.
"Sah!" seru mereka bersama-sama.
Bagaimana malam pertamaku dengan Arjun?
Bersambung ...
.
Ting ... tong ... ting ... tong! Bel pintu kamar berbunyi. Arjun segera mengenakan kembali pakaiannya dan mengambil dompet. Aku hanya menatapnya dengan geram menahan emosi. Tak berselang lama dia sudah kembali dengan sebuah hem cantik dan celana dan satu lagi sebuah gaun indah. "Pilihlah yang kamu suka," tawar Arjun. "Kapan kamu memesannya? Aku salut kamu memang tahu kesukaanku," kataku sambil beranjak bangun dan menyambar gaun biru muda dari tangan Arjun. Bergegas aku berlari ke kamar mandi dan mandi besar. Saat aku keluar dari kamar mandi aku melihat Arjun sedang mengamati ponselku. "Apa yang kamu lakukan, Arjun? Beraninya kamu menyentuh ponselku. Mas Reza saja tidak berani melakukannya," ketusku sambil merebutnya dari tangannya. "Aku hanya ingin melihat apakah masih ada fotoku di ponselmu," jawabnya. "Tidak ada, jangankan fotomu bahkan aku sudah menghapus namamu dari hidupku," ketusku sambil memasukkan ponsel ke tasku. Aku menatap wajahku di cermin dan Arjun datang memelukk
Aku sengaja tidak mengunci kembali pintunya agar aku tidak kerepotan bila langsung ingin pergi keluar. Entah kenapa aku berpikiran tidak ingin berlama-lama di dekat Arjun. Aku takut tidak bisa mengendalikan sikapku saat bersama Arjun. Itu mungkin karena rasa rinduku yang sudah menggunung. Rasa benci dan cinta tersekat tipis sehingga aku tidak bisa membedakannya aku sedang cinta atau benci. "Kemarilah, Zhee! Tutup kembali pintunya," pinta Arjun. "Aku yakin kamu pasti datang menemui ku. Bukankah kamu juga merindukan aku, Zhee?" tanya Arjun menggoda, tatapannya tajam seolah hendak mengikutiku. "Kamu benar, Arjun, tidak dapat kupungkiri aku memang sedang merindukanmu. Aku sangat mencintaimu, Arjun," kataku tegas. Aku masih berdiri di depan pintu, Arjun pun menghampiriku dan memelukku kemudian tangannya menghempaskan pintu, "creg." Arjun dengan bernafsu mematuk bibirku dan mengulumnya. Ciuman penuh cinta dan kerinduan yang membara membakar birahi kami berdua. Aku menahan diri dengan si
Deg, jantungku rasanya mau copot. Bagaimana dengan tiba-tiba Mas Reza menghampiriku dan merebut ponselku. Apakah sebenarnya dia curiga kalau yang telepon Arjun. Dia menekan speaker seolah ingin menunjukkan kepadaku bahwa aku jujur atau tidak. "Nyonya Reza yang cantik, aku mohon kamu bisa hadir di pestaku ya? Teman-teman tim kita hadir semua, Nyonya Mayang eh keliru Nyonya Zhee," pinta Diah terdengar lantang di speaker. Aku tidak mengira ternyata telepon yang barusan berdering dari Diah dan benar dia memaksa aku menghadiri pestanya. Oh dewa penolong benar-benar sedang berpihak kepadaku. Bukan saja aku yang terbelalak terkejut tapi Mas Reza juga. Pasti yang ada di otaknya aku sedang teleponan dengan Arjun. Kenapa begitu kebetulan sekali Diah menelepon di saat yang tepat, bagai Dewi penyelamat bagiku. "Diah, dimana sih pesta kamu diadakan? Kok aku nggak diundang sih?" tanya Mas Reza. "Di restoran deket rumah saya, Pak CEO," jawabnya ragu. "Cuma pesta kecil kok tidak ada yang istimewa
"Aku tidak mau kehilangan semuanya, Mas, aku bersedia menikah lagi secara agama denganmu," ujarku. Sebenarnya Mas Reza sudah tahu akan keberadaan Arjun tapi dia berpura-pura dan mengikuti sandiwaraku. Aku harus mengakhirinya, aku harus segera menentukan pilihan. Otak waras pasti akan memilih Mas Reza sebagai pendamping hidup. Aku berharap otakku waras sehingga bisa mengubur kenangan bersama Arjun. "Terima kasih, Sayang. Aku akan segera menyiapkan semuanya," kata Mas Reza. "Aku juga akan menyiapkan keperluanku, Mas Reza. Satu permintaanku kita ijab kabul sederhana saja di masjid," pesanku. "Aku setuju apapun permintaanmu, Zhee ... apapun!" janjinya menegaskan. Aku tahu betapa besar cinta Mas Reza kepadaku. Aku tidak akan menyia-nyiakan nya lagi. Apalagi untuk kuserahkan kepada Putri, tidak akan pernah. "Apapun kebutuhanmu biar aku yang menyiapkan, Zhee," usul Mas Reza. "Baik, kita bicarakan lagi nanti di rumah! Aku permisi dulu, Pak CEO," pamitku menggoda. "Zhee, kamu ya?" sahut
Sesaat kami saling berpandangan, Mas Reza menatap dalam mataku. "Zhee," panggilnya lembut. Tiba-tiba tangannya meraba laci nakas dan mengambil kotak kecil. Dia membukanya dan mengambil sebatang seperti permen dan mengulumnya. Entah apakah yang diambil dari laci nakas itu? Apakah itu permen ataukah obat perangsang? Ah masa bodoh, karena mabok mungkin juga itu obat pengar. Setelah dia mengulumnya dengan kasar menarik tubuhku kemudian mematuk bibirku dan akhirnya mengulumnya. Bibir saling bertemu dan Mas Reza melontarkan sesuatu yang dikulum itu ke dalam mulutku. Aku terkesiap, aku merasakan seperti aroma terapi yang mampu membuat mood ku membaik. Aku melontarkan kembali sesuatu itu ke dalam mulut Mas Reza. Ciuman kami berdua semakin membara. Lama kami berdua tidak melakukan ini. "Aku merindukanmu, Zhee," bisik Mas Reza setelah melepas sesaat ciumannya. "Aku juga, Mas Reza," jawabku dalam hati. Aku pasrah saat Mas Reza mulai menciumi leherku bahkan dengan lidahnya yang basah dan han
Tanganku mengepal kuat, ingin rasanya aku membalas dengan bogem mentahku kepada wanita licik di depanku. Tapi tidak, bekas tamparan ini akan membantuku menunjukkan seperti apa sifat Putri sebenarnya. Agar Mas Reza berpikir ulang bila berhubungan lebih jauh dengannya. "Zhee, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Mas Reza yang terkejut melihat aku. Aku terkejut tapi aku berusaha menenangkan hatiku agar tidak terkesan sebagai pendosa. Aneh memang kenapa aku ada di sini? Aku sengaja menutupi pipiku dengan kedua tanganku. Dengan meringis menahan kesakitan, ini sengaja aku lakukan untuk menunjukkan kepada Mas Reza agar mendapatkan simpatinya. "Kamu kenapa?" tanyanya penasaran sambil meraih tanganku. Aku membiarkan tangan Mas Reza menarik tanganku dan memeriksa pipiku. Dia tampak terperanjat dan memandang mataku tersirat banyak pertanyaan. Aku kenal sekali dengan Mas Reza dia tidak suka dengan banyak argumentasi yang berbelit-belit. Aku hanya diam dan menunjukkan bekas tamparan yang jelas
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen