Share

3. Malam Pertama

Author: Roesaline
last update Last Updated: 2022-01-19 08:59:46

Aku sendiri di kamar atas, berkali-kali aku mencoba menghubungi Reza tapi ponselnya tidak aktif. Aku menghubungi Eko, sopir pribadinya.

"Iya, Nyonya?" jawabnya setelah teleponku diangkat.

"Dimana bosmu, Pak Eko?" tanyaku melampiaskan kesal.

"Dia pergi sendiri, Nyonya. Semenjak dari puncak itu dia belum pulang ke rumah," ujar Eko.

"Pak Eko, tolong cari dia sampai ketemu. Lacak keberadaannya lewat GPS, samperin dia dan telepon aku begitu menemukan dia, Pak Eko!" ujarku sambil menangis.

"Baik, Nyonya!" jawab Eko.

"Cari sampai ketemu, Pak Eko! Aku yakin hatinya sedang hancur karena keputusannya sendiri," lanjutku masih menangis.

"Baik, Nyonya!" jawab Eko tegas.

Aku menutup teleponku sambil kubanting ponselku di atas kasur. Tangisku pun semakin meledak tak tertahan lagi. 

"Kamu biadab, Mas! Kamu hancurkan hidupku seperti ini! Apa salahku padamu, Mas? Tidak adakah rasa iba sedikit pun di hatimu kepadaku, Mas?" runtukku menangis histeris.

Aku melihat Arjun berdiri di pintu kamar, dia tertegun menatapku. 

"Maafkan aku, Nyonya, seandainya aku menolak pernikahan ini, pasti tidak seperti ini jadinya!" gumam Arjun mendekatiku. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Nyonya?" lanjutnya bertanya.

"Aku tidak tahu, sebenarnya tidak ada yang salah dengan pernikahan ini, Arjun. Aku benci dengan ketidakberdayaan kita, Arjun. Kenapa kita harus pasrah dengan kegilaan Mas Reza?" runtukku lagi.

"Jangan sakiti dirimu sendiri, Nyonya. Semua sudah terjadi, jalani saja! Sekarang sudah malam, istirahatlah! Saya masih harus membereskan dapur," ujar Arjun pelan, kemudian dia pergi meninggalkan aku di kamar sendiri.

Benar juga kata Arjun, semua sudah terjadi, aku harus menjalaninya, tidak ada gunanya menyesali. Kalau saja kita tegas saat itu, semua ini tidak akan terjadi. Dengan dadaku yang masih terasa sesak aku membaringkan tubuhku dan akhirnya aku terlelap tidur.

Dini hari sekitar pukul 01.00, aku terbangun dari tidurku. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan, baru aku ingat bahwa aku sedang tidur di villa. Perlahan aku beranjak turun dan berjalan keluar kamar. Aku melihat Arjun sedang rebahan di sofa sambil berbincang-bincang di telepon.

"Iya, Sayang, aku akan pulang secepatnya!,' janji Arjun. "Ada pekerjaan penting yang harus aku kerjakan di sini!" ujarnya pelan dan mesra.

Selarut ini dia masih teleponan dengan tunangannya? Mereka berdua pasti saling mencintai, pembicaraanya begitu mesra. Aku berjalan mengendap-endap mendekatinya untuk menguping. Entah kenapa aku begitu penasaran ingin mendengarkan pembicaraan mereka.

"Aku merindukanmu, calon istriku yang cantik. Lihat saja kugigit bibirmu sampek dower nanti!" goda Arjun.

( ... )

"Iya, siapa takut?"  serunya sambil tertawa ngakak, begitu mesranya.

Entah kenapa mendadak aku tak tahan lagi mendengarkan pembicaraan mesra mereka. Spontan aku membalikkan badan dan bermaksud kembali ke kamar. Tapi keburu tertangkap pandangan mata Arjun.

"Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" teriak Arjun setelah mengakhiri pembicaraanya di telepon.

Arjun berlari menghampiri aku yang  sedang berjalan menitih tangga. Karena  kepergok Arjun, aku berusaha mempercepat langkahku menuju ke kamar. Aku tergesa-gesa, tidak sadar kakiku terpeleset anak tangga. 

"Auh!" teriakku spontan karena terjatuh.

Arjun yang sudah berdiri di belakangku menangkap tubuhku yang jatuh tepat di pelukannya. Sesaat kami saling berpandangan. Matanya yang indah tajam menghujam jantungku. Tubuhku sontak serasa tersengat listrik. Bibirnya yang basah merona seolah menantangku untuk melumatnya.

"Kamu tidak apa-apa, Nyonya?" tanya Arjun lembut.

Suara lembut Arjun membuyarkan lamunanku. Aku terperanjat dan menarik tubuhku dengan pelan dari dekapan Arjun.

"Hati-hati, Nyonya!" bisik Arjun di telingaku, sambil dengan sedikit tarikan tubuhku kembali terjatuh dalam dekapannya.

Sontak tanganku mencengkeram pinggang Arjun. Bisikan Arjun serta hembusan hangat nafasnya membuat merinding sekujur tubuhku. Ada sengatan nikmat yang menjalar hingga ke ubun-.ubun.

Bagai tanah tandus yang mengharap air hujan, bagai mushafir yang kehausan di padang pasir, itulah diriku. Sedikit sentuhan lelaki membuatku menggigil bagai sakau. Ternyata apa yang sedang aku rasakan, Arjun menyadarinya. Aku juga mendengar detak jantung Arjun yang sangat kuat.

"Arjun," desahku manja.

Tanganku yang kini melingkar di pinggangnya tak sadar mencengkeram semakin kuat bahkan aku mulai berani menggesernya turun. Tangan Arjun yang melingkar di leherku kini sedkit menarik rambutku sehingga aku mendongak ke atas. Tak sadar bibirku yang tak kalah merona sedikit menganga. Saat Arjun mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku, dada kami berdua berdegup kencang bagai genderang mau perang.

Aku mulai memejamkan mata tak tahan menerima tatapan maut Arjun. Tapi Arjun mengartikan ini sebuah kepasrahanku. Tiba-tiba bibir sexinya melumat lembut bibirku. Wajahku terasa terbakar, nafasku bagai tersekat di kerongkongan. Tiba-tiba tangan perkasanya mengangkat tubuhku dan membopong naik tangga menuju ke kamar. 

Kenikmatan yang bertahun-tahun ku impikan kini benar-benar kudapatkan. Aku tertidur pulas dalam dekapan Arjun setelah berdua mereguk manisnya cinta. Kami tidur berpelukan dengan tanpa sehelai benangpun. Ini yang pertama bagi Arjun, tapi bagiku ini adalah yang kedua kalinya. Aku pernah sekali  melakukannya saat aku dan Reza masih berpacaran. Saat itu Reza belum mengalami kecelakaan yang mengakibatkan terenggutnya kejantanannya. 

Saat mataku terbuka aku melihat Arjun sholat di samping tempat tidur. Oh ternyata dia seorang muslim yang taat. Dia bisa menjadi imam yang baik buat seorang istri.

"Kamu sudah bangun? Mandi besar gih terus sholat!" pintanya dengan lembut.

Aku tidak menjawab, ada perasaan aneh yang menyelimuti hatiku. Aku menarik selimut dengan cepat untuk membungkus badanku yang tak sehelai benangpun menutupinya. Aku malu dan merasa kikuk sekamar dengan lelaki yang baru kukenal meskipun setiap hari bertemu. 

"Aku sudah gila, ada apa denganku? Kenapa semudah itu bisa melakukannya dengan lelaki lain selain Reza?" runtukku dalam hati.

Arjun menghampiriku dan menarik selimutku. Dengan kuat aku pun menahannya.

"Kita pasangan yang halal, Nyonya, aku suamimu," bisik Arjun. "Apa yang kita lakukan tadi bukan perselingkuhan," lanjutnya pelan seolah menghiburku.

"Maaf, aku masih belum terbiasa," jawabku pelan.

"Aku juga," sahut Arjun lembut. "Aku hitung sampai tiga kali kalau kamu masih diatas kasur, aku mau minta lagi!" ancamnya sambil tersenyum nakal. "Satu ... dua ...," Arjun mulai menghitung.

"Iya, iya aku bangun sekarang!" kataku bergegas melompat bangun sambil terus membungkus tubuhku dengan selimut. 

Karena tergesa-gesa justru aku terjerat selimut dan nyaris terjatuh di lantai. Untung Arjun menangkapnya dengan cepat. Selimut yang membungkus tubuhku terlepas, membuat pemandangan memalukan itu terjadi. Sambil tersenyum nakal Arjun berbisik, "Suka jatuh ya?"

Aku spontan menutupi mukaku menahan malu. Arjun membelai rambutku dengan sayang. Perlahan tangannya menarik tanganku yang menutupi wajahku. Aku masih memejamkan mataku menahan malu.

"Lepaskan, aku mau mandi, Arjun!" bisikku lirih.

"Iya Nyonya, kamu harus segera mandi, bau acem tahu!" ujarnya menggoda.

"Ih, kamu jahat! Lepaskan!" rintihku.

Dia tidak mendengarkanku, justru dengan nakalnya dia kembali mencumbuku.

Bagaimana kisahku berikutnya?

Bersambung ...

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Salahkah Aku Mencintaimu   86. Salahkah aku mencintaimu?

    Ting ... tong ... ting ... tong! Bel pintu kamar berbunyi. Arjun segera mengenakan kembali pakaiannya dan mengambil dompet. Aku hanya menatapnya dengan geram menahan emosi. Tak berselang lama dia sudah kembali dengan sebuah hem cantik dan celana dan satu lagi sebuah gaun indah. "Pilihlah yang kamu suka," tawar Arjun. "Kapan kamu memesannya? Aku salut kamu memang tahu kesukaanku," kataku sambil beranjak bangun dan menyambar gaun biru muda dari tangan Arjun. Bergegas aku berlari ke kamar mandi dan mandi besar. Saat aku keluar dari kamar mandi aku melihat Arjun sedang mengamati ponselku. "Apa yang kamu lakukan, Arjun? Beraninya kamu menyentuh ponselku. Mas Reza saja tidak berani melakukannya," ketusku sambil merebutnya dari tangannya. "Aku hanya ingin melihat apakah masih ada fotoku di ponselmu," jawabnya. "Tidak ada, jangankan fotomu bahkan aku sudah menghapus namamu dari hidupku," ketusku sambil memasukkan ponsel ke tasku. Aku menatap wajahku di cermin dan Arjun datang memelukk

  • Salahkah Aku Mencintaimu   85. Dilema memilih

    Aku sengaja tidak mengunci kembali pintunya agar aku tidak kerepotan bila langsung ingin pergi keluar. Entah kenapa aku berpikiran tidak ingin berlama-lama di dekat Arjun. Aku takut tidak bisa mengendalikan sikapku saat bersama Arjun. Itu mungkin karena rasa rinduku yang sudah menggunung. Rasa benci dan cinta tersekat tipis sehingga aku tidak bisa membedakannya aku sedang cinta atau benci. "Kemarilah, Zhee! Tutup kembali pintunya," pinta Arjun. "Aku yakin kamu pasti datang menemui ku. Bukankah kamu juga merindukan aku, Zhee?" tanya Arjun menggoda, tatapannya tajam seolah hendak mengikutiku. "Kamu benar, Arjun, tidak dapat kupungkiri aku memang sedang merindukanmu. Aku sangat mencintaimu, Arjun," kataku tegas. Aku masih berdiri di depan pintu, Arjun pun menghampiriku dan memelukku kemudian tangannya menghempaskan pintu, "creg." Arjun dengan bernafsu mematuk bibirku dan mengulumnya. Ciuman penuh cinta dan kerinduan yang membara membakar birahi kami berdua. Aku menahan diri dengan si

  • Salahkah Aku Mencintaimu   84. Menentukan Pilihan

    Deg, jantungku rasanya mau copot. Bagaimana dengan tiba-tiba Mas Reza menghampiriku dan merebut ponselku. Apakah sebenarnya dia curiga kalau yang telepon Arjun. Dia menekan speaker seolah ingin menunjukkan kepadaku bahwa aku jujur atau tidak. "Nyonya Reza yang cantik, aku mohon kamu bisa hadir di pestaku ya? Teman-teman tim kita hadir semua, Nyonya Mayang eh keliru Nyonya Zhee," pinta Diah terdengar lantang di speaker. Aku tidak mengira ternyata telepon yang barusan berdering dari Diah dan benar dia memaksa aku menghadiri pestanya. Oh dewa penolong benar-benar sedang berpihak kepadaku. Bukan saja aku yang terbelalak terkejut tapi Mas Reza juga. Pasti yang ada di otaknya aku sedang teleponan dengan Arjun. Kenapa begitu kebetulan sekali Diah menelepon di saat yang tepat, bagai Dewi penyelamat bagiku. "Diah, dimana sih pesta kamu diadakan? Kok aku nggak diundang sih?" tanya Mas Reza. "Di restoran deket rumah saya, Pak CEO," jawabnya ragu. "Cuma pesta kecil kok tidak ada yang istimewa

  • Salahkah Aku Mencintaimu   83. Terjerat Rindu

    "Aku tidak mau kehilangan semuanya, Mas, aku bersedia menikah lagi secara agama denganmu," ujarku. Sebenarnya Mas Reza sudah tahu akan keberadaan Arjun tapi dia berpura-pura dan mengikuti sandiwaraku. Aku harus mengakhirinya, aku harus segera menentukan pilihan. Otak waras pasti akan memilih Mas Reza sebagai pendamping hidup. Aku berharap otakku waras sehingga bisa mengubur kenangan bersama Arjun. "Terima kasih, Sayang. Aku akan segera menyiapkan semuanya," kata Mas Reza. "Aku juga akan menyiapkan keperluanku, Mas Reza. Satu permintaanku kita ijab kabul sederhana saja di masjid," pesanku. "Aku setuju apapun permintaanmu, Zhee ... apapun!" janjinya menegaskan. Aku tahu betapa besar cinta Mas Reza kepadaku. Aku tidak akan menyia-nyiakan nya lagi. Apalagi untuk kuserahkan kepada Putri, tidak akan pernah. "Apapun kebutuhanmu biar aku yang menyiapkan, Zhee," usul Mas Reza. "Baik, kita bicarakan lagi nanti di rumah! Aku permisi dulu, Pak CEO," pamitku menggoda. "Zhee, kamu ya?" sahut

  • Salahkah Aku Mencintaimu   82. Bercinta dengan sang mantan

    Sesaat kami saling berpandangan, Mas Reza menatap dalam mataku. "Zhee," panggilnya lembut. Tiba-tiba tangannya meraba laci nakas dan mengambil kotak kecil. Dia membukanya dan mengambil sebatang seperti permen dan mengulumnya. Entah apakah yang diambil dari laci nakas itu? Apakah itu permen ataukah obat perangsang? Ah masa bodoh, karena mabok mungkin juga itu obat pengar. Setelah dia mengulumnya dengan kasar menarik tubuhku kemudian mematuk bibirku dan akhirnya mengulumnya. Bibir saling bertemu dan Mas Reza melontarkan sesuatu yang dikulum itu ke dalam mulutku. Aku terkesiap, aku merasakan seperti aroma terapi yang mampu membuat mood ku membaik. Aku melontarkan kembali sesuatu itu ke dalam mulut Mas Reza. Ciuman kami berdua semakin membara. Lama kami berdua tidak melakukan ini. "Aku merindukanmu, Zhee," bisik Mas Reza setelah melepas sesaat ciumannya. "Aku juga, Mas Reza," jawabku dalam hati. Aku pasrah saat Mas Reza mulai menciumi leherku bahkan dengan lidahnya yang basah dan han

  • Salahkah Aku Mencintaimu   81. Sandiwaraku

    Tanganku mengepal kuat, ingin rasanya aku membalas dengan bogem mentahku kepada wanita licik di depanku. Tapi tidak, bekas tamparan ini akan membantuku menunjukkan seperti apa sifat Putri sebenarnya. Agar Mas Reza berpikir ulang bila berhubungan lebih jauh dengannya. "Zhee, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Mas Reza yang terkejut melihat aku. Aku terkejut tapi aku berusaha menenangkan hatiku agar tidak terkesan sebagai pendosa. Aneh memang kenapa aku ada di sini? Aku sengaja menutupi pipiku dengan kedua tanganku. Dengan meringis menahan kesakitan, ini sengaja aku lakukan untuk menunjukkan kepada Mas Reza agar mendapatkan simpatinya. "Kamu kenapa?" tanyanya penasaran sambil meraih tanganku. Aku membiarkan tangan Mas Reza menarik tanganku dan memeriksa pipiku. Dia tampak terperanjat dan memandang mataku tersirat banyak pertanyaan. Aku kenal sekali dengan Mas Reza dia tidak suka dengan banyak argumentasi yang berbelit-belit. Aku hanya diam dan menunjukkan bekas tamparan yang jelas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status