Aku sendiri di kamar atas, berkali-kali aku mencoba menghubungi Reza tapi ponselnya tidak aktif. Aku menghubungi Eko, sopir pribadinya.
"Iya, Nyonya?" jawabnya setelah teleponku diangkat.
"Dimana bosmu, Pak Eko?" tanyaku melampiaskan kesal.
"Dia pergi sendiri, Nyonya. Semenjak dari puncak itu dia belum pulang ke rumah," ujar Eko.
"Pak Eko, tolong cari dia sampai ketemu. Lacak keberadaannya lewat GPS, samperin dia dan telepon aku begitu menemukan dia, Pak Eko!" ujarku sambil menangis.
"Baik, Nyonya!" jawab Eko.
"Cari sampai ketemu, Pak Eko! Aku yakin hatinya sedang hancur karena keputusannya sendiri," lanjutku masih menangis.
"Baik, Nyonya!" jawab Eko tegas.
Aku menutup teleponku sambil kubanting ponselku di atas kasur. Tangisku pun semakin meledak tak tertahan lagi.
"Kamu biadab, Mas! Kamu hancurkan hidupku seperti ini! Apa salahku padamu, Mas? Tidak adakah rasa iba sedikit pun di hatimu kepadaku, Mas?" runtukku menangis histeris.
Aku melihat Arjun berdiri di pintu kamar, dia tertegun menatapku.
"Maafkan aku, Nyonya, seandainya aku menolak pernikahan ini, pasti tidak seperti ini jadinya!" gumam Arjun mendekatiku. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Nyonya?" lanjutnya bertanya.
"Aku tidak tahu, sebenarnya tidak ada yang salah dengan pernikahan ini, Arjun. Aku benci dengan ketidakberdayaan kita, Arjun. Kenapa kita harus pasrah dengan kegilaan Mas Reza?" runtukku lagi.
"Jangan sakiti dirimu sendiri, Nyonya. Semua sudah terjadi, jalani saja! Sekarang sudah malam, istirahatlah! Saya masih harus membereskan dapur," ujar Arjun pelan, kemudian dia pergi meninggalkan aku di kamar sendiri.
Benar juga kata Arjun, semua sudah terjadi, aku harus menjalaninya, tidak ada gunanya menyesali. Kalau saja kita tegas saat itu, semua ini tidak akan terjadi. Dengan dadaku yang masih terasa sesak aku membaringkan tubuhku dan akhirnya aku terlelap tidur.
Dini hari sekitar pukul 01.00, aku terbangun dari tidurku. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan, baru aku ingat bahwa aku sedang tidur di villa. Perlahan aku beranjak turun dan berjalan keluar kamar. Aku melihat Arjun sedang rebahan di sofa sambil berbincang-bincang di telepon.
"Iya, Sayang, aku akan pulang secepatnya!,' janji Arjun. "Ada pekerjaan penting yang harus aku kerjakan di sini!" ujarnya pelan dan mesra.
Selarut ini dia masih teleponan dengan tunangannya? Mereka berdua pasti saling mencintai, pembicaraanya begitu mesra. Aku berjalan mengendap-endap mendekatinya untuk menguping. Entah kenapa aku begitu penasaran ingin mendengarkan pembicaraan mereka.
"Aku merindukanmu, calon istriku yang cantik. Lihat saja kugigit bibirmu sampek dower nanti!" goda Arjun.
( ... )
"Iya, siapa takut?" serunya sambil tertawa ngakak, begitu mesranya.
Entah kenapa mendadak aku tak tahan lagi mendengarkan pembicaraan mesra mereka. Spontan aku membalikkan badan dan bermaksud kembali ke kamar. Tapi keburu tertangkap pandangan mata Arjun.
"Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" teriak Arjun setelah mengakhiri pembicaraanya di telepon.
Arjun berlari menghampiri aku yang sedang berjalan menitih tangga. Karena kepergok Arjun, aku berusaha mempercepat langkahku menuju ke kamar. Aku tergesa-gesa, tidak sadar kakiku terpeleset anak tangga.
"Auh!" teriakku spontan karena terjatuh.
Arjun yang sudah berdiri di belakangku menangkap tubuhku yang jatuh tepat di pelukannya. Sesaat kami saling berpandangan. Matanya yang indah tajam menghujam jantungku. Tubuhku sontak serasa tersengat listrik. Bibirnya yang basah merona seolah menantangku untuk melumatnya.
"Kamu tidak apa-apa, Nyonya?" tanya Arjun lembut.
Suara lembut Arjun membuyarkan lamunanku. Aku terperanjat dan menarik tubuhku dengan pelan dari dekapan Arjun.
"Hati-hati, Nyonya!" bisik Arjun di telingaku, sambil dengan sedikit tarikan tubuhku kembali terjatuh dalam dekapannya.
Sontak tanganku mencengkeram pinggang Arjun. Bisikan Arjun serta hembusan hangat nafasnya membuat merinding sekujur tubuhku. Ada sengatan nikmat yang menjalar hingga ke ubun-.ubun.
Bagai tanah tandus yang mengharap air hujan, bagai mushafir yang kehausan di padang pasir, itulah diriku. Sedikit sentuhan lelaki membuatku menggigil bagai sakau. Ternyata apa yang sedang aku rasakan, Arjun menyadarinya. Aku juga mendengar detak jantung Arjun yang sangat kuat.
"Arjun," desahku manja.
Tanganku yang kini melingkar di pinggangnya tak sadar mencengkeram semakin kuat bahkan aku mulai berani menggesernya turun. Tangan Arjun yang melingkar di leherku kini sedkit menarik rambutku sehingga aku mendongak ke atas. Tak sadar bibirku yang tak kalah merona sedikit menganga. Saat Arjun mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku, dada kami berdua berdegup kencang bagai genderang mau perang.
Aku mulai memejamkan mata tak tahan menerima tatapan maut Arjun. Tapi Arjun mengartikan ini sebuah kepasrahanku. Tiba-tiba bibir sexinya melumat lembut bibirku. Wajahku terasa terbakar, nafasku bagai tersekat di kerongkongan. Tiba-tiba tangan perkasanya mengangkat tubuhku dan membopong naik tangga menuju ke kamar.
Kenikmatan yang bertahun-tahun ku impikan kini benar-benar kudapatkan. Aku tertidur pulas dalam dekapan Arjun setelah berdua mereguk manisnya cinta. Kami tidur berpelukan dengan tanpa sehelai benangpun. Ini yang pertama bagi Arjun, tapi bagiku ini adalah yang kedua kalinya. Aku pernah sekali melakukannya saat aku dan Reza masih berpacaran. Saat itu Reza belum mengalami kecelakaan yang mengakibatkan terenggutnya kejantanannya.
Saat mataku terbuka aku melihat Arjun sholat di samping tempat tidur. Oh ternyata dia seorang muslim yang taat. Dia bisa menjadi imam yang baik buat seorang istri.
"Kamu sudah bangun? Mandi besar gih terus sholat!" pintanya dengan lembut.
Aku tidak menjawab, ada perasaan aneh yang menyelimuti hatiku. Aku menarik selimut dengan cepat untuk membungkus badanku yang tak sehelai benangpun menutupinya. Aku malu dan merasa kikuk sekamar dengan lelaki yang baru kukenal meskipun setiap hari bertemu.
"Aku sudah gila, ada apa denganku? Kenapa semudah itu bisa melakukannya dengan lelaki lain selain Reza?" runtukku dalam hati.
Arjun menghampiriku dan menarik selimutku. Dengan kuat aku pun menahannya.
"Kita pasangan yang halal, Nyonya, aku suamimu," bisik Arjun. "Apa yang kita lakukan tadi bukan perselingkuhan," lanjutnya pelan seolah menghiburku.
"Maaf, aku masih belum terbiasa," jawabku pelan.
"Aku juga," sahut Arjun lembut. "Aku hitung sampai tiga kali kalau kamu masih diatas kasur, aku mau minta lagi!" ancamnya sambil tersenyum nakal. "Satu ... dua ...," Arjun mulai menghitung.
"Iya, iya aku bangun sekarang!" kataku bergegas melompat bangun sambil terus membungkus tubuhku dengan selimut.
Karena tergesa-gesa justru aku terjerat selimut dan nyaris terjatuh di lantai. Untung Arjun menangkapnya dengan cepat. Selimut yang membungkus tubuhku terlepas, membuat pemandangan memalukan itu terjadi. Sambil tersenyum nakal Arjun berbisik, "Suka jatuh ya?"
Aku spontan menutupi mukaku menahan malu. Arjun membelai rambutku dengan sayang. Perlahan tangannya menarik tanganku yang menutupi wajahku. Aku masih memejamkan mataku menahan malu.
"Lepaskan, aku mau mandi, Arjun!" bisikku lirih.
"Iya Nyonya, kamu harus segera mandi, bau acem tahu!" ujarnya menggoda.
"Ih, kamu jahat! Lepaskan!" rintihku.
Dia tidak mendengarkanku, justru dengan nakalnya dia kembali mencumbuku.
Bagaimana kisahku berikutnya?
Bersambung ...
.
Arjun membopong tubuhku masuk kamar mandi. "Lepaskan, Arjun," desakku berontak. Dia menurunkan aku di bawah shower dan segera membuka krannya. Aku terkesiap, tubuhku yang tanpa busana langsung basah kuyup demikian juga dengan baju Arjun. "Pergi!" teriakku mengusir. "Nyonya Zhee yang cantik, emangnya aku takut air?" katanya. Begitu aku memercikkan air ke tubuhnya. Tanpa menyerah dia tetap maju bahkan menarik dan mendekap tubuhku. Dan pergulatan itupun terjadi lagi, di bawah rintik-rintik air shower bak hujan membuat suasana semakin syahdu. Kembali gairahku terbakar, aku menikmati setiap sentuhan dari tangan kekarnya. Arjun pun dengan gairah perkasanya membawaku terbang menggapai kenikmatan. Aku benar-benar merasa puas, kenikmatan yang tidak bisa kugambarkan yang lama sekali kurindukan. Ini adalah naluri alami wanita, siapapun menginginkannya. Setelah mandi, kita berdua membuat sarapan. Arjun memang mahir memasak, aku sanga
"Ayo kita pulang, Arjun! Kita cari Mas Reza, ini bukan kebiasaannya datang ke tempat seperti itu," ajakku mendesak. "Nyonya Zhee, kamu yakin? Bukankah dia sudah mentalak kamu? Apapun alasannya kalian bukan suami istri lagi. Kalian menikah secara agama, bercerai secara agama pula. Surat nikah hanya mencatat status kalian di depan hukum negara. Kamu sudah tidak bisa hidup seatap lagi, Zhee! Dia bukan suamimu lagi, dia sudah mencampakkanmu, s diadarlah Zhee!" teriak Arjun kesal. "Tidak! Tidak Arjun, aku masih istrinya!" teriakku emosi dan marah. "Aku sudah menikahimu secara agama Islam, kamu istriku! Pernikahanmu dengan Reza sudah putus, Zhee! Sadarlah! Zina bila kamu melakukannya bersama Reza," kata Arjun berusaha menjelaskan. Tapi aku masih tidak percaya dengan kenyataan kalau hubunganku benar-benar telah putus dengan Reza. Tidak mungkin aku melepas Reza begitu saja, tapi tidak mungkin pula aku mempertahankannya, sekarang ada Arjun dalam hidupku.
Aku melihat Arjun yang tertegun melihat Eko membawakan banyak barang dari Reza untukku. Tapi apa artinya bagiku? Dia sudah menyakitiku sedemikian dalamnya. "Pak Eko, tolong berikan semua barang ini ke panti asuhan, atau kepada orang yang sedang membutuhkannya. Bilang pada bosmu kalau barang sudah saya terima ya?" perintahku kepada Eko dengan sopan. "Nyonya yakin?" tanya Eko. "Tidak coba dibuka dulu apa isi bingkisannya?" lanjutnya. "Tidak, Pak Eko," jawabku tegas. "Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu, Nyonya," jawab Eko. "Permisi Mas Arjun!" lanjutnya berpamitan. "Iya Eko, terima kasih!" ucap Arjun lembut. Eko pun pergi meninggalkan kami berdua. Aku dan Arjun saling berpandangan lama sekali seolah sedang saling bertanya banyak hal. Kenapa untuk kali ini aku memikirkan perasaan Arjun, aku takut dia cemburu. Cinta dan perhatian seperti Arjun yang sedang aku butuhkan sekarang.. "Sarapan sudah siap, Zhee!" teriak Ar
Setelah mandi aku dan Arjun ke luar jalan-jalan. Sekalian kita mencari oleh-oleh di pengrajin sekitar danau. Banyak pedagang menjajakan dagangannya di seputaran danau. Aku memilih baju tidur bermotif batik bergambar danau tempat wisata. "Aku melihat lukisan di sana sebentar ya, kamu santai saja pilih-pilih baju," ujarnya kemudian berlari pergi. Aku hanya memandang dia dari belakang, dalam hati bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan? Aku melihat dia sedang berbincang-bincang dengan seorang pelukis. Tak lama kemudian dia sudah kembali menghampiriku. "Sudah dapat belum bajunya?" tanya Arjun. "Sudah, nunggu dibungkus tuh. Kok kamu cepet sekali?" tanyaku balik. "Iya, cuma lihat-lihat!" jawabnya. "Ayo kita keliling danau pakai perahu boat!" ajaknya kemudian. "Ayo, siapa takut?" sahutku. Kami bergandengan tangan menuju perahu boat. Kembali kita berputar-putar mengelilingi danau menikmati pemandangan sekeliling danau. Dunia seperti m
"Kamu memang brengsek ya!" umpatku. "Aku? Kenapa?" tanya Arjun sambil tersenyum lebar. Setiap kali Arjun berbicara senyum dan tertawa renyah selalu menyertainya. Itu makanya dia terkesan lelaki penyabar dan ramah. "Dibilang brengsek masih bisa-bisanya tersenyum bangga," olokku kesal. "Istriku yang cantik, bisa-bisanya kamu ngatain suamimu brengsek. Suka ya punya suami brengsek?" bisiknya menggoda. "Coba bayangkan, kamu bicara sama Diana, kelihatannya memuji dia tapi aku yang dicolek, kelihatannya mengecup dia tapi aku yang kamu cium, dasar!" olokku. "Tapi tetap kamu yang untung kan, Zhee?" jawab Arjun. Sambil berbicara Arjun menyiapkan dan menata meja makan. Aku hanya melihat Arjun yang sibuk mondar-mandir. "Nyonya besar, sampai kapan kamu hanya berdiri di situ? Cepat duduklah, sebentar lagi Bos Reza akan menjemput kita!" ujarnya datar. Aku terperanjat seolah diingatkan kembali bahwa Reza akan segera datang menjemput. Rasanya belum ingin keindahan cinta ini cepat berakhir. Ak
Kenapa hatiku begitu sakit, melihat kedekatan Arjun dan Diana. Arjun menatapku dari spion, kami saling berpandangan. "Tidakkah kamu merasakan, Arjun, betapa hancurnya hatiku?" batinku sambil menatap geram wajah Arjun dari spion. Arjun yang menyadari hanya tersenyum menggoda. "Zhee, nanti malam ada acara ulang tahun perusahaan kita. Dandanlah yang cantik ya!" pinta Reza datar. "Nanti malam? Aku capek, Mas Reza, gimana kalau aku tidak usah pergi?" tawarku. "Jangan Zhee, kamu harus datang! Mama dan papa pasti akan menanyakan dirimu. Apa yang harus aku katakan nanti, Zhee?" kata Reza memaksa. "Mana sih yang capek Sayang, biar aku pijitin!" ujarnya sambil menarik kepalaku dan direbahkan ke pangkuannya. Aku ingin menolaknya tapi tidak, Arjun sudah membuat aku cemburu, ini saatnya aku membalasnya. Aku memaksanya berlagak mesra dengan merebahkan kepalaku di pangkuan Reza. Dalam lubuk hatiku yang paling dalam, sekarang aku merasa aneh disentuh Reza. Terasa disentuh orang asing, terasa ki
Aku terbelalak, segera kutarik tubuhku dan sedikit mendorong tubuh Arjun. "Ada Mas Reza, Arjun," bisikku lirih. "Kembalilah ke sana, Zhee, cepat!" desak Arjun. Arjun berlari bersembunyi di samping gerobak sampah. Kebetulan di dekatku ada beronggok-onggok sampah yang belum masuk ke gerobak. Aku mengambil ponsel dari saku rokku dan berpura-pura sedang berbicara di telepon di taman. "Iya nanti aku transfer, ini masih perjalanan," kataku berpura-pura. "Apa yang kamu lakukan di sini, Zhee?" tanya Reza penasaran. Aku tahu Reza orang yang cerdas, bahkan dia jauh lebih cerdik dan licik dibanding aku yang hanya amatiran. "Aku pesan gaun pesta ke butik langgananku," kataku berbohong. "Tidak perlu repot-repot, Zhee, aku sudah memesannya buat kamu! Emangnya butik langgananmu tidak bilang kalau aku sudah memesan gaun bahkan mungkin sekarang sudah diantar ke rumah, kamu tinggal memilih mana yang kamu suka," kata Reza. Sontak aku malu, ternyata aku salah berbohong dengan alasan itu. Aku lupa
Reza menurunkan aku di depan kedua orang tuanya. "Apa-apaan ini, pakek gendong-gendongan segala? Sedang pencitraan, karena di depan publik?" tanya Arum, mamanya Reza dengan ketus. "Mama, papa?" sapaku sambil menyodorkan tanganku. "Bagaimana kabarmu, Zhee?" tanya papanya Arjun sambil menyambut tanganku. "Alhamdulillah baik, Pa," jawabku. Mama menyambut tanganku, saat aku hendak mencium punggung tangannya dia justru menarik tangannya dengan cepat. "Aku kasih waktu tiga bulan, kalau kamu belum juga hamil, Reza akan menikah lagi dengan wanita pilihan mama, ingat itu!" ancam Arum. "Terserah kau minta cerai atau tetap bertahan mama tidak perduli!" lanjutnya. Aku melirik ke arah Arjun yang berdiri di belakang Reza. Arjun menunduk menahan perasaannya, dia tidak tega melihat aku menerima perlakuan dari mertuaku sesadis itu. "Ma, kita sedang berusaha, sabarlah sebentar lagi!" sahut Reza. "Tiga tahun sudah, apa belum cukup sabar? Coba ingat, wartawan saja yang ditanyai juga seputar keh