Share

3. Malam Pertama

Aku sendiri di kamar atas, berkali-kali aku mencoba menghubungi Reza tapi ponselnya tidak aktif. Aku menghubungi Eko, sopir pribadinya.

"Iya, Nyonya?" jawabnya setelah teleponku diangkat.

"Dimana bosmu, Pak Eko?" tanyaku melampiaskan kesal.

"Dia pergi sendiri, Nyonya. Semenjak dari puncak itu dia belum pulang ke rumah," ujar Eko.

"Pak Eko, tolong cari dia sampai ketemu. Lacak keberadaannya lewat GPS, samperin dia dan telepon aku begitu menemukan dia, Pak Eko!" ujarku sambil menangis.

"Baik, Nyonya!" jawab Eko.

"Cari sampai ketemu, Pak Eko! Aku yakin hatinya sedang hancur karena keputusannya sendiri," lanjutku masih menangis.

"Baik, Nyonya!" jawab Eko tegas.

Aku menutup teleponku sambil kubanting ponselku di atas kasur. Tangisku pun semakin meledak tak tertahan lagi. 

"Kamu biadab, Mas! Kamu hancurkan hidupku seperti ini! Apa salahku padamu, Mas? Tidak adakah rasa iba sedikit pun di hatimu kepadaku, Mas?" runtukku menangis histeris.

Aku melihat Arjun berdiri di pintu kamar, dia tertegun menatapku. 

"Maafkan aku, Nyonya, seandainya aku menolak pernikahan ini, pasti tidak seperti ini jadinya!" gumam Arjun mendekatiku. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Nyonya?" lanjutnya bertanya.

"Aku tidak tahu, sebenarnya tidak ada yang salah dengan pernikahan ini, Arjun. Aku benci dengan ketidakberdayaan kita, Arjun. Kenapa kita harus pasrah dengan kegilaan Mas Reza?" runtukku lagi.

"Jangan sakiti dirimu sendiri, Nyonya. Semua sudah terjadi, jalani saja! Sekarang sudah malam, istirahatlah! Saya masih harus membereskan dapur," ujar Arjun pelan, kemudian dia pergi meninggalkan aku di kamar sendiri.

Benar juga kata Arjun, semua sudah terjadi, aku harus menjalaninya, tidak ada gunanya menyesali. Kalau saja kita tegas saat itu, semua ini tidak akan terjadi. Dengan dadaku yang masih terasa sesak aku membaringkan tubuhku dan akhirnya aku terlelap tidur.

Dini hari sekitar pukul 01.00, aku terbangun dari tidurku. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan, baru aku ingat bahwa aku sedang tidur di villa. Perlahan aku beranjak turun dan berjalan keluar kamar. Aku melihat Arjun sedang rebahan di sofa sambil berbincang-bincang di telepon.

"Iya, Sayang, aku akan pulang secepatnya!,' janji Arjun. "Ada pekerjaan penting yang harus aku kerjakan di sini!" ujarnya pelan dan mesra.

Selarut ini dia masih teleponan dengan tunangannya? Mereka berdua pasti saling mencintai, pembicaraanya begitu mesra. Aku berjalan mengendap-endap mendekatinya untuk menguping. Entah kenapa aku begitu penasaran ingin mendengarkan pembicaraan mereka.

"Aku merindukanmu, calon istriku yang cantik. Lihat saja kugigit bibirmu sampek dower nanti!" goda Arjun.

( ... )

"Iya, siapa takut?"  serunya sambil tertawa ngakak, begitu mesranya.

Entah kenapa mendadak aku tak tahan lagi mendengarkan pembicaraan mesra mereka. Spontan aku membalikkan badan dan bermaksud kembali ke kamar. Tapi keburu tertangkap pandangan mata Arjun.

"Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" teriak Arjun setelah mengakhiri pembicaraanya di telepon.

Arjun berlari menghampiri aku yang  sedang berjalan menitih tangga. Karena  kepergok Arjun, aku berusaha mempercepat langkahku menuju ke kamar. Aku tergesa-gesa, tidak sadar kakiku terpeleset anak tangga. 

"Auh!" teriakku spontan karena terjatuh.

Arjun yang sudah berdiri di belakangku menangkap tubuhku yang jatuh tepat di pelukannya. Sesaat kami saling berpandangan. Matanya yang indah tajam menghujam jantungku. Tubuhku sontak serasa tersengat listrik. Bibirnya yang basah merona seolah menantangku untuk melumatnya.

"Kamu tidak apa-apa, Nyonya?" tanya Arjun lembut.

Suara lembut Arjun membuyarkan lamunanku. Aku terperanjat dan menarik tubuhku dengan pelan dari dekapan Arjun.

"Hati-hati, Nyonya!" bisik Arjun di telingaku, sambil dengan sedikit tarikan tubuhku kembali terjatuh dalam dekapannya.

Sontak tanganku mencengkeram pinggang Arjun. Bisikan Arjun serta hembusan hangat nafasnya membuat merinding sekujur tubuhku. Ada sengatan nikmat yang menjalar hingga ke ubun-.ubun.

Bagai tanah tandus yang mengharap air hujan, bagai mushafir yang kehausan di padang pasir, itulah diriku. Sedikit sentuhan lelaki membuatku menggigil bagai sakau. Ternyata apa yang sedang aku rasakan, Arjun menyadarinya. Aku juga mendengar detak jantung Arjun yang sangat kuat.

"Arjun," desahku manja.

Tanganku yang kini melingkar di pinggangnya tak sadar mencengkeram semakin kuat bahkan aku mulai berani menggesernya turun. Tangan Arjun yang melingkar di leherku kini sedkit menarik rambutku sehingga aku mendongak ke atas. Tak sadar bibirku yang tak kalah merona sedikit menganga. Saat Arjun mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku, dada kami berdua berdegup kencang bagai genderang mau perang.

Aku mulai memejamkan mata tak tahan menerima tatapan maut Arjun. Tapi Arjun mengartikan ini sebuah kepasrahanku. Tiba-tiba bibir sexinya melumat lembut bibirku. Wajahku terasa terbakar, nafasku bagai tersekat di kerongkongan. Tiba-tiba tangan perkasanya mengangkat tubuhku dan membopong naik tangga menuju ke kamar. 

Kenikmatan yang bertahun-tahun ku impikan kini benar-benar kudapatkan. Aku tertidur pulas dalam dekapan Arjun setelah berdua mereguk manisnya cinta. Kami tidur berpelukan dengan tanpa sehelai benangpun. Ini yang pertama bagi Arjun, tapi bagiku ini adalah yang kedua kalinya. Aku pernah sekali  melakukannya saat aku dan Reza masih berpacaran. Saat itu Reza belum mengalami kecelakaan yang mengakibatkan terenggutnya kejantanannya. 

Saat mataku terbuka aku melihat Arjun sholat di samping tempat tidur. Oh ternyata dia seorang muslim yang taat. Dia bisa menjadi imam yang baik buat seorang istri.

"Kamu sudah bangun? Mandi besar gih terus sholat!" pintanya dengan lembut.

Aku tidak menjawab, ada perasaan aneh yang menyelimuti hatiku. Aku menarik selimut dengan cepat untuk membungkus badanku yang tak sehelai benangpun menutupinya. Aku malu dan merasa kikuk sekamar dengan lelaki yang baru kukenal meskipun setiap hari bertemu. 

"Aku sudah gila, ada apa denganku? Kenapa semudah itu bisa melakukannya dengan lelaki lain selain Reza?" runtukku dalam hati.

Arjun menghampiriku dan menarik selimutku. Dengan kuat aku pun menahannya.

"Kita pasangan yang halal, Nyonya, aku suamimu," bisik Arjun. "Apa yang kita lakukan tadi bukan perselingkuhan," lanjutnya pelan seolah menghiburku.

"Maaf, aku masih belum terbiasa," jawabku pelan.

"Aku juga," sahut Arjun lembut. "Aku hitung sampai tiga kali kalau kamu masih diatas kasur, aku mau minta lagi!" ancamnya sambil tersenyum nakal. "Satu ... dua ...," Arjun mulai menghitung.

"Iya, iya aku bangun sekarang!" kataku bergegas melompat bangun sambil terus membungkus tubuhku dengan selimut. 

Karena tergesa-gesa justru aku terjerat selimut dan nyaris terjatuh di lantai. Untung Arjun menangkapnya dengan cepat. Selimut yang membungkus tubuhku terlepas, membuat pemandangan memalukan itu terjadi. Sambil tersenyum nakal Arjun berbisik, "Suka jatuh ya?"

Aku spontan menutupi mukaku menahan malu. Arjun membelai rambutku dengan sayang. Perlahan tangannya menarik tanganku yang menutupi wajahku. Aku masih memejamkan mataku menahan malu.

"Lepaskan, aku mau mandi, Arjun!" bisikku lirih.

"Iya Nyonya, kamu harus segera mandi, bau acem tahu!" ujarnya menggoda.

"Ih, kamu jahat! Lepaskan!" rintihku.

Dia tidak mendengarkanku, justru dengan nakalnya dia kembali mencumbuku.

Bagaimana kisahku berikutnya?

Bersambung ...

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status