Share

2. Belum Saling Mengenal

Reza tidak tampak lagi batang hidungnya sampai acara itu selesai. Dan akhirnya ustadz serta dua orang saksi pulang. Aku dan Arjun diam tidak saling bicara, hanya sesekali aku melirik ke arah Arjun demikian juga dengan dia. Kami berdua masih menunggu Reza, dia meninggalkan kami berdua di villa itu, tanpa mobil yang bisa membawaku pulang. 

Dret ... Dret ... Dret! Ponselku bergetar, telepon dari Reza. Padahal sebelumnya aku dan Arjun sudah berusaha menghubunginya tapi tidak aktif.

"Kamu dimana, Mas?" tanyaku spontan begitu telepon kuangkat.

"Kamu speaker, aku juga ingin bicara dengan Arjun!" perintah Reza. 

Aku pun segera memencet speaker  menunggu dan mendengarkan Reza berbicara.

"Zhee, Arjun, aku minta maaf, tolong demi kehormatan keluargaku dan harga diriku, beri aku seorang anak! Hanya kamu harapanku satu-satunya, Arjun. Aku hanya percaya kepadamu seorang," ujar Reza memohon.

"Kamu gila, Mas! Kamu egois! Tidak pernah memikirkan perasaanku! Kau kira aku ini barang yang bisa kamu lempar ke sana kemari," jawabku emosi diiringi isak tangisku.

"Aku juga kecewa bos, aku memang banyak berhutang budi kepadamu, tapi bukan dengan cara begini aku harus membalasnya. Pikirkanlah perasaan Diana juga, Bos! Bos tidak pernah membicarakan ini sebelumnya. Aku benar-benar terjebak. Bos kan tahu dua bulan lagi kami menikah," sahut Arjun kesal.

"Tolonglah ... aku beri waktu kalian berbulan madu tiga hari, setelah tiga hari aku sendiri yang akan menjemput kalian berdua," ujar Reza dengan suaranya yang tersekat di kerongkongan.

"Zhee, manfaatkan waktumu sebaik mungkin, jangan sampai terbuang percuma. Ini masa suburmu, aku ingin kamu lebih fokus agar hamil, demi cinta kita," ujar Reza, dengan nada tercekik seolah menyembunyikan kehancuran hatinya.

Aku yakin bagi seorang Reza tidak mudah melakukan semua ini. Dari suaranya aku bisa merasakan banyak tekanan dan gejolak di batinnya.

"Demi cinta kita? Demi harga diri kamu dan keluarga kamu kali! Kamu egois, Mas!" teriakku masih emosi dan histeris menangis.

"Bos!"

"Mas Reza!" kami berdua bersamaan memanggil Reza yang dengan tiba-tiba menutup teleponnya.

Aku menangis, demikian juga dengan Arjun. Berkali-kali Diana tunangan Arjun meneleponnya, tapi Arjun harus berbohong. Sekali dia mengangkatnya beralasan sedang di tugaskan ke luar kota oleh Reza.

Malam begitu dingin dan sepi, di villa pinggir telaga itu hanya kami berdua. Suara jangkrik dan katak terdengar jelas karena belakang villa persawahan.

"Nyonya, malam ini aku akan memasak buat Nyonya. Istirahatlah dulu di kamar, nanti kalau sudah siap aku panggil!" kata Arjun pelan dan sopan.

Sudah menjadi kebiasaannya berbicara seperlunya tapi hormat dan sopan. Kami juga jarang menatap wajahnya bila sedang berbicara. Arjun yang selalu menunduk bila di depanku, dan aku sendiri cuek bebek.

"Kamu yakin mau memasak sendiri, Arjun? Tidak membutuhkan bantuanku?" tanyaku tidak enak hati.

"Tidak perlu, Nyonya," sahutnya masih tetap menunduk mengamati isi kulkas.

Manusia ini terbuat dari apa sih? Sebegitu patuhnya pada bosnya, sampai-sampai dinikahkan sama istrinya tidak menolak. Seperti mimpi rasanya, aku benar-benar sudah menjadi istrinya sekarang. Meskipun hanya ijab qobul menurut agama justru secara moral aku lebih nyaman.

"Baiklah silakan, aku duduk di sini saja sambil mainan ponsel!" ujarku sambil menghempaskan tubuhku di atas sofa.

Aku bermain ponsel sambil mencoba chat ke Mas Reza. Tapi centang satu, sepertinya dia sedang tidak aktif. Aku melirik Arjun yang sedang melepas jasnya dan hanya mengenakan kemeja biru tua. Kini dia mulai mengambil isi kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan ditaruh di atas meja.

"Nyonya mau kopi, atau teh?" tanyanya sangat lembut.

"Apa saja boleh," jawabku asal.

"Susu kurma, mau?" tawarnya lagi.

"Udah apa saja boleh!" jawabku sedikit ketus.

"Ih ketus amat!" sahutnya lirih.

Aku bergeming, dalam hatiku tertawa, meski sebelumnya penuh gejolak dan  kesal. Dia menunduk karena fokus mengerjakan sesuatu. Aku menatap dari jauh, ternyata dari samping pun dia begitu tampan, apalagi dari depan. Perawakannya tegap dan kekar berotot. Dari kemejanya yang tipis dan ketat terbaca lekuk tubuhnya.

"Ini Nyonya, susu kurma hangat," katanya tiba-tiba sudah di depan mataku dan mengagetkan aku yang sedang melamun.

"Makasih, Arjun," ucapku sambil menatapnya.

"Tidak perlu berterima kasih, Nyonya," jawabnya sopan.

Sesaat kami berdua berpandangan, untuk pertama kalinya kita bertatap muka. Bibirnya samar-samar ada belahan tengah dan basah merona. Alis dan bulu mata yang tertata indah dan rapi, begitu beruntungnya Diana.

Aku menyeruput susu kurma yang hangat, membuat dada terasa lega dan nikmat. Sesaat moodku berangsur membaik.

"Nyonya suka?" tanya Arjun lembut.

"Suka, makasih," jawabku asal.

Jujur saja setelah aku melihatnya, aku menyesal harus ketus kepadanya. Dia begitu baik dan yang terlebih lagi dia tampan sekali, dia suamiku. 

"Nyonya makanan sudah siap, silakan!" katanya setelah selesai menata meja makan.

Spontan aku berjalan menghampiri meja makan, kebetulan perutku melilit. Betapa terkejutnya aku, dia menyiapkan aneka masakan di atas meja makan.

"Ini semua masakanmu?" tanyaku tak percaya.

"Kan nyonya mengawasi aku memasak," jawab Arjun menggoda.

Dia menarikkan kursi untuk aku duduk. Aku baru menyadari harum parfum Arjun sangat berbeda dengan Reza. Aromanya segar dan lembut terkesan karakter yang romantis.

"Terus kamu ngapain berdiri situ, Arjun?" tanyaku terkejut karena Arjun justru memilih berdiri di belakangku.

"Saya akan melayani nyonya," jawabnya.

"Duduklah! Aku tidak akan menyentuh masakanmu kalau kamu cuma jadi penonton di situ!" kataku tegas.

"Tapi Nyonya ..," sahutnya terputus.

Aku segera berdiri dan hendak meninggalkan meja makan.

"Baik ... baik Nyonya saya akan duduk," ralatnya kemudian.

Akhirnya kita makan berdua, dia mengambil tempat duduk pas di depanku.

"Arjun, masakanmu lezat sekali, bagaimana kalau aku ketagihan  masakanmu?" kataku menggodanya.

"Nyonya bisa saja, tentu dengan setia saya akan memasakkannya setiap hari," jawabnya berkelakar.

Akhirnya kami menikmati makan bersama. Sesekali kami saling berpandangan.

"Kamu tidak menelepon Diana?" tanyaku basa-basi.

"Nanti malam saja, Nyonya," jawabnya asal.

"Dia temanmu kuliah ya?" tanyaku kepo.

"Benar Nyonya," jawabnya.

"Berapa usiamu?" tanyaku makin kepo.

"Aku bulan depan genap 25 tahun, sedang Diana 24 tahun, Nyonya," jawabnya.

Sontak aku berpikir, jadi aku menikahi  berondong. Terpaut lima tahun denganku karena tepat hari ini usiaku genap 30 tahun. Tapi dia tidak tampak lebih muda dariku, mungkin karena pembawaannya yang dewasa.

"Kalian masih muda belia," kataku pelan. "Kenapa kamu pasrah disuruh menikahi wanita yang jauh lebih tua darimu," tanyaku sambil menyelidik.

"Itu bukan masalah bagi saya, Nyonya. Saya hanya menyesali sikap bos yang memaksa dan memojokkan seperti ini. Saya tidak tahu bagaimana cara menyembunyikan masalah ini dari Diana dan orang tuanya. Hatinya pasti hancur," ujar Arjun sedih.

Kok jawabannya seperti itu tidak sesuai dengan harapanku. Tapi setidaknya aku jadi tahu lelaki macam apa Arjun, beruntung sekali Diana.

"Kenapa Nyonya menurut saja saat diperintah Bos Reza melakukan ini? Pasti ini tidak mudah buat Nyonya,"  tanya Arjun balik.

"Kita berpacaran lima tahun dan akhirnya memutuskan menikah. Dalam tiga tahun pernikahan, kami berdua tidak pernah bertengkar. Aku dengan sabar menemani dia berobat kemanapun. Meski ke ujung dunia aku siap, tapi kenapa dia menyerah? Aku benci dia menipuku, tiba-tiba dia menjatuhkan talak bahkan menikahkan aku dengan kamu hanya untuk kepentingan pribadinya!" ungkapku menangis memekik.

"Maafkan aku kalau membuat nyonya bersedih! Aku juga tidak menginginkan ini, Nyonya!" katanya pelan. "Beristirahatlah dulu ke kamar biar aku membereskan meja!" pinta Arjun.

Tanpa sepatah katapun aku pergi meninggalkan meja makan. Aku menuju ke kamar sambil menatap layar ponselku, berharap Reza menghubungiku. Begini rasanya kangen berat, sakit sekali. Hati berdesir perih, perih sekali hingga terasa sesak bernapas. Biasanya sehabis makan malam kita duduk di balkon, bercengkerama. Tidak biasa aku jauh darinya, demikian juga dengan Reza. Aku yakin dia pun sedang tersiksa.

Bagaimana hari-hari ku tanpa Reza?

Bersambung ...

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status