Reza tidak tampak lagi batang hidungnya sampai acara itu selesai. Dan akhirnya ustadz serta dua orang saksi pulang. Aku dan Arjun diam tidak saling bicara, hanya sesekali aku melirik ke arah Arjun demikian juga dengan dia. Kami berdua masih menunggu Reza, dia meninggalkan kami berdua di villa itu, tanpa mobil yang bisa membawaku pulang.
Dret ... Dret ... Dret! Ponselku bergetar, telepon dari Reza. Padahal sebelumnya aku dan Arjun sudah berusaha menghubunginya tapi tidak aktif.
"Kamu dimana, Mas?" tanyaku spontan begitu telepon kuangkat.
"Kamu speaker, aku juga ingin bicara dengan Arjun!" perintah Reza.
Aku pun segera memencet speaker menunggu dan mendengarkan Reza berbicara.
"Zhee, Arjun, aku minta maaf, tolong demi kehormatan keluargaku dan harga diriku, beri aku seorang anak! Hanya kamu harapanku satu-satunya, Arjun. Aku hanya percaya kepadamu seorang," ujar Reza memohon.
"Kamu gila, Mas! Kamu egois! Tidak pernah memikirkan perasaanku! Kau kira aku ini barang yang bisa kamu lempar ke sana kemari," jawabku emosi diiringi isak tangisku.
"Aku juga kecewa bos, aku memang banyak berhutang budi kepadamu, tapi bukan dengan cara begini aku harus membalasnya. Pikirkanlah perasaan Diana juga, Bos! Bos tidak pernah membicarakan ini sebelumnya. Aku benar-benar terjebak. Bos kan tahu dua bulan lagi kami menikah," sahut Arjun kesal.
"Tolonglah ... aku beri waktu kalian berbulan madu tiga hari, setelah tiga hari aku sendiri yang akan menjemput kalian berdua," ujar Reza dengan suaranya yang tersekat di kerongkongan.
"Zhee, manfaatkan waktumu sebaik mungkin, jangan sampai terbuang percuma. Ini masa suburmu, aku ingin kamu lebih fokus agar hamil, demi cinta kita," ujar Reza, dengan nada tercekik seolah menyembunyikan kehancuran hatinya.
Aku yakin bagi seorang Reza tidak mudah melakukan semua ini. Dari suaranya aku bisa merasakan banyak tekanan dan gejolak di batinnya.
"Demi cinta kita? Demi harga diri kamu dan keluarga kamu kali! Kamu egois, Mas!" teriakku masih emosi dan histeris menangis.
"Bos!"
"Mas Reza!" kami berdua bersamaan memanggil Reza yang dengan tiba-tiba menutup teleponnya.
Aku menangis, demikian juga dengan Arjun. Berkali-kali Diana tunangan Arjun meneleponnya, tapi Arjun harus berbohong. Sekali dia mengangkatnya beralasan sedang di tugaskan ke luar kota oleh Reza.
Malam begitu dingin dan sepi, di villa pinggir telaga itu hanya kami berdua. Suara jangkrik dan katak terdengar jelas karena belakang villa persawahan.
"Nyonya, malam ini aku akan memasak buat Nyonya. Istirahatlah dulu di kamar, nanti kalau sudah siap aku panggil!" kata Arjun pelan dan sopan.
Sudah menjadi kebiasaannya berbicara seperlunya tapi hormat dan sopan. Kami juga jarang menatap wajahnya bila sedang berbicara. Arjun yang selalu menunduk bila di depanku, dan aku sendiri cuek bebek.
"Kamu yakin mau memasak sendiri, Arjun? Tidak membutuhkan bantuanku?" tanyaku tidak enak hati.
"Tidak perlu, Nyonya," sahutnya masih tetap menunduk mengamati isi kulkas.
Manusia ini terbuat dari apa sih? Sebegitu patuhnya pada bosnya, sampai-sampai dinikahkan sama istrinya tidak menolak. Seperti mimpi rasanya, aku benar-benar sudah menjadi istrinya sekarang. Meskipun hanya ijab qobul menurut agama justru secara moral aku lebih nyaman.
"Baiklah silakan, aku duduk di sini saja sambil mainan ponsel!" ujarku sambil menghempaskan tubuhku di atas sofa.
Aku bermain ponsel sambil mencoba chat ke Mas Reza. Tapi centang satu, sepertinya dia sedang tidak aktif. Aku melirik Arjun yang sedang melepas jasnya dan hanya mengenakan kemeja biru tua. Kini dia mulai mengambil isi kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan ditaruh di atas meja.
"Nyonya mau kopi, atau teh?" tanyanya sangat lembut.
"Apa saja boleh," jawabku asal.
"Susu kurma, mau?" tawarnya lagi.
"Udah apa saja boleh!" jawabku sedikit ketus.
"Ih ketus amat!" sahutnya lirih.
Aku bergeming, dalam hatiku tertawa, meski sebelumnya penuh gejolak dan kesal. Dia menunduk karena fokus mengerjakan sesuatu. Aku menatap dari jauh, ternyata dari samping pun dia begitu tampan, apalagi dari depan. Perawakannya tegap dan kekar berotot. Dari kemejanya yang tipis dan ketat terbaca lekuk tubuhnya.
"Ini Nyonya, susu kurma hangat," katanya tiba-tiba sudah di depan mataku dan mengagetkan aku yang sedang melamun.
"Makasih, Arjun," ucapku sambil menatapnya.
"Tidak perlu berterima kasih, Nyonya," jawabnya sopan.
Sesaat kami berdua berpandangan, untuk pertama kalinya kita bertatap muka. Bibirnya samar-samar ada belahan tengah dan basah merona. Alis dan bulu mata yang tertata indah dan rapi, begitu beruntungnya Diana.
Aku menyeruput susu kurma yang hangat, membuat dada terasa lega dan nikmat. Sesaat moodku berangsur membaik.
"Nyonya suka?" tanya Arjun lembut.
"Suka, makasih," jawabku asal.
Jujur saja setelah aku melihatnya, aku menyesal harus ketus kepadanya. Dia begitu baik dan yang terlebih lagi dia tampan sekali, dia suamiku.
"Nyonya makanan sudah siap, silakan!" katanya setelah selesai menata meja makan.
Spontan aku berjalan menghampiri meja makan, kebetulan perutku melilit. Betapa terkejutnya aku, dia menyiapkan aneka masakan di atas meja makan.
"Ini semua masakanmu?" tanyaku tak percaya.
"Kan nyonya mengawasi aku memasak," jawab Arjun menggoda.
Dia menarikkan kursi untuk aku duduk. Aku baru menyadari harum parfum Arjun sangat berbeda dengan Reza. Aromanya segar dan lembut terkesan karakter yang romantis.
"Terus kamu ngapain berdiri situ, Arjun?" tanyaku terkejut karena Arjun justru memilih berdiri di belakangku.
"Saya akan melayani nyonya," jawabnya.
"Duduklah! Aku tidak akan menyentuh masakanmu kalau kamu cuma jadi penonton di situ!" kataku tegas.
"Tapi Nyonya ..," sahutnya terputus.
Aku segera berdiri dan hendak meninggalkan meja makan.
"Baik ... baik Nyonya saya akan duduk," ralatnya kemudian.
Akhirnya kita makan berdua, dia mengambil tempat duduk pas di depanku.
"Arjun, masakanmu lezat sekali, bagaimana kalau aku ketagihan masakanmu?" kataku menggodanya.
"Nyonya bisa saja, tentu dengan setia saya akan memasakkannya setiap hari," jawabnya berkelakar.
Akhirnya kami menikmati makan bersama. Sesekali kami saling berpandangan.
"Kamu tidak menelepon Diana?" tanyaku basa-basi.
"Nanti malam saja, Nyonya," jawabnya asal.
"Dia temanmu kuliah ya?" tanyaku kepo.
"Benar Nyonya," jawabnya.
"Berapa usiamu?" tanyaku makin kepo.
"Aku bulan depan genap 25 tahun, sedang Diana 24 tahun, Nyonya," jawabnya.
Sontak aku berpikir, jadi aku menikahi berondong. Terpaut lima tahun denganku karena tepat hari ini usiaku genap 30 tahun. Tapi dia tidak tampak lebih muda dariku, mungkin karena pembawaannya yang dewasa.
"Kalian masih muda belia," kataku pelan. "Kenapa kamu pasrah disuruh menikahi wanita yang jauh lebih tua darimu," tanyaku sambil menyelidik.
"Itu bukan masalah bagi saya, Nyonya. Saya hanya menyesali sikap bos yang memaksa dan memojokkan seperti ini. Saya tidak tahu bagaimana cara menyembunyikan masalah ini dari Diana dan orang tuanya. Hatinya pasti hancur," ujar Arjun sedih.
Kok jawabannya seperti itu tidak sesuai dengan harapanku. Tapi setidaknya aku jadi tahu lelaki macam apa Arjun, beruntung sekali Diana.
"Kenapa Nyonya menurut saja saat diperintah Bos Reza melakukan ini? Pasti ini tidak mudah buat Nyonya," tanya Arjun balik.
"Kita berpacaran lima tahun dan akhirnya memutuskan menikah. Dalam tiga tahun pernikahan, kami berdua tidak pernah bertengkar. Aku dengan sabar menemani dia berobat kemanapun. Meski ke ujung dunia aku siap, tapi kenapa dia menyerah? Aku benci dia menipuku, tiba-tiba dia menjatuhkan talak bahkan menikahkan aku dengan kamu hanya untuk kepentingan pribadinya!" ungkapku menangis memekik.
"Maafkan aku kalau membuat nyonya bersedih! Aku juga tidak menginginkan ini, Nyonya!" katanya pelan. "Beristirahatlah dulu ke kamar biar aku membereskan meja!" pinta Arjun.
Tanpa sepatah katapun aku pergi meninggalkan meja makan. Aku menuju ke kamar sambil menatap layar ponselku, berharap Reza menghubungiku. Begini rasanya kangen berat, sakit sekali. Hati berdesir perih, perih sekali hingga terasa sesak bernapas. Biasanya sehabis makan malam kita duduk di balkon, bercengkerama. Tidak biasa aku jauh darinya, demikian juga dengan Reza. Aku yakin dia pun sedang tersiksa.
Bagaimana hari-hari ku tanpa Reza?
Bersambung ...
.
Aku sendiri di kamar atas, berkali-kali aku mencoba menghubungi Reza tapi ponselnya tidak aktif. Aku menghubungi Eko, sopir pribadinya. "Iya, Nyonya?" jawabnya setelah teleponku diangkat. "Dimana bosmu, Pak Eko?" tanyaku melampiaskan kesal. "Dia pergi sendiri, Nyonya. Semenjak dari puncak itu dia belum pulang ke rumah," ujar Eko. "Pak Eko, tolong cari dia sampai ketemu. Lacak keberadaannya lewat GPS, samperin dia dan telepon aku begitu menemukan dia, Pak Eko!" ujarku sambil menangis. "Baik, Nyonya!" jawab Eko. "Cari sampai ketemu, Pak Eko! Aku yakin hatinya sedang hancur karena keputusannya sendiri," lanjutku masih menangis. "Baik, Nyonya!" jawab Eko tegas. Aku menutup teleponku sambil kubanting ponselku di atas kasur. Tangisku pun semakin meledak tak tertahan lagi. "Kamu biadab, Mas! Kamu hancurkan hidupku seperti ini! Apa salahku padamu, Mas? Tidak adakah rasa iba sedikit pun di hatimu kepadaku, Mas?" ru
Arjun membopong tubuhku masuk kamar mandi. "Lepaskan, Arjun," desakku berontak. Dia menurunkan aku di bawah shower dan segera membuka krannya. Aku terkesiap, tubuhku yang tanpa busana langsung basah kuyup demikian juga dengan baju Arjun. "Pergi!" teriakku mengusir. "Nyonya Zhee yang cantik, emangnya aku takut air?" katanya. Begitu aku memercikkan air ke tubuhnya. Tanpa menyerah dia tetap maju bahkan menarik dan mendekap tubuhku. Dan pergulatan itupun terjadi lagi, di bawah rintik-rintik air shower bak hujan membuat suasana semakin syahdu. Kembali gairahku terbakar, aku menikmati setiap sentuhan dari tangan kekarnya. Arjun pun dengan gairah perkasanya membawaku terbang menggapai kenikmatan. Aku benar-benar merasa puas, kenikmatan yang tidak bisa kugambarkan yang lama sekali kurindukan. Ini adalah naluri alami wanita, siapapun menginginkannya. Setelah mandi, kita berdua membuat sarapan. Arjun memang mahir memasak, aku sanga
"Ayo kita pulang, Arjun! Kita cari Mas Reza, ini bukan kebiasaannya datang ke tempat seperti itu," ajakku mendesak. "Nyonya Zhee, kamu yakin? Bukankah dia sudah mentalak kamu? Apapun alasannya kalian bukan suami istri lagi. Kalian menikah secara agama, bercerai secara agama pula. Surat nikah hanya mencatat status kalian di depan hukum negara. Kamu sudah tidak bisa hidup seatap lagi, Zhee! Dia bukan suamimu lagi, dia sudah mencampakkanmu, s diadarlah Zhee!" teriak Arjun kesal. "Tidak! Tidak Arjun, aku masih istrinya!" teriakku emosi dan marah. "Aku sudah menikahimu secara agama Islam, kamu istriku! Pernikahanmu dengan Reza sudah putus, Zhee! Sadarlah! Zina bila kamu melakukannya bersama Reza," kata Arjun berusaha menjelaskan. Tapi aku masih tidak percaya dengan kenyataan kalau hubunganku benar-benar telah putus dengan Reza. Tidak mungkin aku melepas Reza begitu saja, tapi tidak mungkin pula aku mempertahankannya, sekarang ada Arjun dalam hidupku.
Aku melihat Arjun yang tertegun melihat Eko membawakan banyak barang dari Reza untukku. Tapi apa artinya bagiku? Dia sudah menyakitiku sedemikian dalamnya. "Pak Eko, tolong berikan semua barang ini ke panti asuhan, atau kepada orang yang sedang membutuhkannya. Bilang pada bosmu kalau barang sudah saya terima ya?" perintahku kepada Eko dengan sopan. "Nyonya yakin?" tanya Eko. "Tidak coba dibuka dulu apa isi bingkisannya?" lanjutnya. "Tidak, Pak Eko," jawabku tegas. "Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu, Nyonya," jawab Eko. "Permisi Mas Arjun!" lanjutnya berpamitan. "Iya Eko, terima kasih!" ucap Arjun lembut. Eko pun pergi meninggalkan kami berdua. Aku dan Arjun saling berpandangan lama sekali seolah sedang saling bertanya banyak hal. Kenapa untuk kali ini aku memikirkan perasaan Arjun, aku takut dia cemburu. Cinta dan perhatian seperti Arjun yang sedang aku butuhkan sekarang.. "Sarapan sudah siap, Zhee!" teriak Ar
Setelah mandi aku dan Arjun ke luar jalan-jalan. Sekalian kita mencari oleh-oleh di pengrajin sekitar danau. Banyak pedagang menjajakan dagangannya di seputaran danau. Aku memilih baju tidur bermotif batik bergambar danau tempat wisata. "Aku melihat lukisan di sana sebentar ya, kamu santai saja pilih-pilih baju," ujarnya kemudian berlari pergi. Aku hanya memandang dia dari belakang, dalam hati bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan? Aku melihat dia sedang berbincang-bincang dengan seorang pelukis. Tak lama kemudian dia sudah kembali menghampiriku. "Sudah dapat belum bajunya?" tanya Arjun. "Sudah, nunggu dibungkus tuh. Kok kamu cepet sekali?" tanyaku balik. "Iya, cuma lihat-lihat!" jawabnya. "Ayo kita keliling danau pakai perahu boat!" ajaknya kemudian. "Ayo, siapa takut?" sahutku. Kami bergandengan tangan menuju perahu boat. Kembali kita berputar-putar mengelilingi danau menikmati pemandangan sekeliling danau. Dunia seperti m
"Kamu memang brengsek ya!" umpatku. "Aku? Kenapa?" tanya Arjun sambil tersenyum lebar. Setiap kali Arjun berbicara senyum dan tertawa renyah selalu menyertainya. Itu makanya dia terkesan lelaki penyabar dan ramah. "Dibilang brengsek masih bisa-bisanya tersenyum bangga," olokku kesal. "Istriku yang cantik, bisa-bisanya kamu ngatain suamimu brengsek. Suka ya punya suami brengsek?" bisiknya menggoda. "Coba bayangkan, kamu bicara sama Diana, kelihatannya memuji dia tapi aku yang dicolek, kelihatannya mengecup dia tapi aku yang kamu cium, dasar!" olokku. "Tapi tetap kamu yang untung kan, Zhee?" jawab Arjun. Sambil berbicara Arjun menyiapkan dan menata meja makan. Aku hanya melihat Arjun yang sibuk mondar-mandir. "Nyonya besar, sampai kapan kamu hanya berdiri di situ? Cepat duduklah, sebentar lagi Bos Reza akan menjemput kita!" ujarnya datar. Aku terperanjat seolah diingatkan kembali bahwa Reza akan segera datang menjemput. Rasanya belum ingin keindahan cinta ini cepat berakhir. Ak
Kenapa hatiku begitu sakit, melihat kedekatan Arjun dan Diana. Arjun menatapku dari spion, kami saling berpandangan. "Tidakkah kamu merasakan, Arjun, betapa hancurnya hatiku?" batinku sambil menatap geram wajah Arjun dari spion. Arjun yang menyadari hanya tersenyum menggoda. "Zhee, nanti malam ada acara ulang tahun perusahaan kita. Dandanlah yang cantik ya!" pinta Reza datar. "Nanti malam? Aku capek, Mas Reza, gimana kalau aku tidak usah pergi?" tawarku. "Jangan Zhee, kamu harus datang! Mama dan papa pasti akan menanyakan dirimu. Apa yang harus aku katakan nanti, Zhee?" kata Reza memaksa. "Mana sih yang capek Sayang, biar aku pijitin!" ujarnya sambil menarik kepalaku dan direbahkan ke pangkuannya. Aku ingin menolaknya tapi tidak, Arjun sudah membuat aku cemburu, ini saatnya aku membalasnya. Aku memaksanya berlagak mesra dengan merebahkan kepalaku di pangkuan Reza. Dalam lubuk hatiku yang paling dalam, sekarang aku merasa aneh disentuh Reza. Terasa disentuh orang asing, terasa ki
Aku terbelalak, segera kutarik tubuhku dan sedikit mendorong tubuh Arjun. "Ada Mas Reza, Arjun," bisikku lirih. "Kembalilah ke sana, Zhee, cepat!" desak Arjun. Arjun berlari bersembunyi di samping gerobak sampah. Kebetulan di dekatku ada beronggok-onggok sampah yang belum masuk ke gerobak. Aku mengambil ponsel dari saku rokku dan berpura-pura sedang berbicara di telepon di taman. "Iya nanti aku transfer, ini masih perjalanan," kataku berpura-pura. "Apa yang kamu lakukan di sini, Zhee?" tanya Reza penasaran. Aku tahu Reza orang yang cerdas, bahkan dia jauh lebih cerdik dan licik dibanding aku yang hanya amatiran. "Aku pesan gaun pesta ke butik langgananku," kataku berbohong. "Tidak perlu repot-repot, Zhee, aku sudah memesannya buat kamu! Emangnya butik langgananmu tidak bilang kalau aku sudah memesan gaun bahkan mungkin sekarang sudah diantar ke rumah, kamu tinggal memilih mana yang kamu suka," kata Reza. Sontak aku malu, ternyata aku salah berbohong dengan alasan itu. Aku lupa