Bunyi sirene terdengar sangat jelas ketika Yepa dan Laiv hendak meninggalkan sebuah pusat perbelanjaan.
"Itu ambulans?" Laiv menengok mobil yang baru saja melewatinya dengan tergesa-gesa.
"Lalu apalagi kalau bukan itu?" Yepa menatap bosan. "Gangster?"
"Yah, apakah sesuatu terjadi? Kecelakaan?" lanjutnya sedikit cemas.
"Kau ini kenapa?" balasnya dengan tatapan aneh. "Yang mendapat musibah bukan kita, kenapa kau sangat peduli dengan hal ini?"
"Bukan begitu." Laiv menghindari mata Yepa. "Bagaimana kalau orang yang terluka itu kenalan kita?"
"Apa peduliku?" Yepa sedikit berang. "Ayo pergi!" Ia pun meni
Di bawah sebuah payung, lengkap dengan pakaian tebal yang ketat membungkus tubuh, Yepa dan Laiv berdiri berdampingan di suatu jalan yang ramai pengunjung. Mereka melihat hujan salju di Milano. Orang-orang berpikir itu sangat romantis, tetapi bagi keduanya cuaca tersebut tidak menyenangkan sama sekali.Mereka berdua tidak ingin pergi ke mana pun di saat musim dingin tiba."Kita tahu hal ini akan terjadi dan tetap menyiapkan perlengkapan di musim dingin, tapi aku benar-benar tidak berharap akan seperti ini," kata Yepa setengah mengomel. "Sial. Ini masih bulan Januari dan baru akan berganti musim setelah bulan berikutnya."Laiv yang tengah memegang payung besar di tangan, menghela napas. "Kak
"Kau lihat itu? Dia sangat sempurna untuk bos kita!""Pelankan suaramu bodoh! Nanti dia mendengarnya!"Orang pertama yang berbicara, Jarno, mengaduh saat ia menerima ketukan di kepala dari sang rekan, Mirko, yang sudah hilang kesabaran.Jarno memelototinya dan berkata dengan tidak puas, "Sialan! Kenapa kau menjitakku?"Mirko balas mendelik tajam. "Mulut bodohmu yang memintanya!""Hei, kau sendiri lebih berisik dariku!""Omong kosong!""Nyalimu terlalu besar, Bung!""Ayo, maju!"
"Akhirnya aku bisa tidur!"Yepa mengempaskan tubuh ke atas tempat tidur. Berguling-guling selama beberapa detik dan kemudian berbaring dengan nyaman.Beruntung setelah mencari penginapan ke berbagai lokasi, masih ada yang bisa menampung mereka. Salahkan lantaran tidak satu pun dari keduanya yang berencana menetap di sana. Terlalu mendadak. Belum lagi kunjungan dari para wisatawan asing yang membeludak. Kalau tidak? Mungkin tidur di dalam mobil menjadi pilihan.Taveti hanya membekali mereka dengan tiket dan kartu, serta sebuah kendaraan. Tanpa menyiapkan fasilitas lain sebagai pendukung. Karena itu, baik Yepa maupun Laiv harus berusaha sendiri saat sesuatu yang mendesak terjadi. Seperti mencari tempat untuk bermalam.
Yepa terbangun dengan napas tersengal. Jantungnya masih berdebar kencang. Meski ia ingin menyangkal adegan tersebut, ia tidak memungkirinya sebagai pertanda masa depan. Tangan yang berlumur keringat dingin itu meremas seprai dengan amat erat. Siapa wanita jahat itu? Kenapa Laiv memberikan nyawanya semudah itu? Dua pertanyaan itu menjadi duri di dalam batin. Ia menekur. Wanita itu mengatakan bahwa Laiv membunuh prianya. Bukankah itu artinya ada perselisihan di antara mereka? Perasaan yang tak berbalas? Cinta segitiga? Oh, astaga! Berita ini memperburuk sanubarinya! "Laiv sialan! Ternyata ada orang lain di dalam hatimu!" Matanya mendelik tajam ke arah jam dinding yang terpajang di dalam ruangan tersebut. Waktu
Jarno dan Mirko saling memandang saat target mereka, Yepa, tidak keluar lagi dari kamar sewaan milik Laiv yang berada tepat di seberang bilik keduanya."Gadis dan pria itu punya hubungan khusus?" terka Mirko seraya menutup pintu dengan hati-hati."Sepertinya begitu," gumam Jarno yang ada di belakang Mirko dengan perasaan rumit. Ia pun melanjutkan dengan nada aneh, "Kenapa aku merasa tidak asing dengan tampang pria itu?"Sebelumnya mereka tidak terlalu memerhatikan sosok lain yang selalu ada di samping Yepa. Kini keduanya agak menyesal lantaran terlambat menyadari hal tersebut dan tidak sempat mencari tahu tentang Laiv.Mirko berbalik dan memandang Jarno dengan tatapan biasa. "Mungkin hanya kebetulan," balasnya ringan, tanpa mau banyak berpikir. Meski dirinya juga merasakan hal yang serupa dengan sang rekan."Yakin?" Jarno menekur sembari berjalan dan duduk di tepi tempat tidur. Padahal ia pikir bisa menyenangkan hati bos mereka jika berhasil membawa gadis itu sebagai hadiah. "Ah!" Ia
Melihat target tumbang, Jarno dan Mirko menerobos masuk dengan cekatan. Yang satu membawa Yepa pergi dan yang lainnya membersihkan tempat kejadian. Setelah itu, mereka meninggalkan motel melalui jalan darurat dengan terburu-buru.Mirko mengemudikan mobil. Kendaraan beroda empat itu menyusuri jalanan Milan yang masih sepi. Sementara Jarno yang duduk di kursi depan penumpang tengah sibuk membuat beberapa panggilan pada rekan-rekannya yang berada di lokasi lain."Mereka akan membereskan sisanya," kata Jarno seraya menutup telepon."Oke." Mirko mengangguk ringan. Ia menatap lurus jalanan. "Biarkan mereka melakukannya.""Itulah gunanya persiapan. Kita sudah lancang mengambil risiko ini. Maka kita juga perlu menuntaskannya dengan rapi."Mirko bersiul. "Kau semakin tangguh saja, Bung!""Sialan kau!" Jarno mendengkus. "Berulah lagi, aku akan mogok bicara!""Uh, ancamanmu membuatku gentar!""Berengsek!"Yepa yang malang tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak bisa berteriak. Apalagi menangis. Ak
Enzi mempertanyakan perilaku orang-orangnya yang senang bertindak semau sendiri. Entah kenapa mereka sangat gemar mengiriminya banyak wanita cantik. Dari yang polos hingga nakal. Dari yang mungil hingga tinggi seperti bintang. Mungkinkah karena beberapa tahun terakhir ini ia selalu tampil menyendiri? Perhatian ini sungguh membuatnya sakit kepala.Ia melirik tubuh wanita yang sedang terbaring di atas lantai tanpa minat. Jangan menyalahkan sikapnya yang kasar. Terkadang orang-orangnya bermain asal tangkap tanpa mau menyelidiki terlebih dahulu latar belakang mereka. Dan kini terbukti seseorang memang sengaja mengirimnya."Sekarang kalian tahu apa itu arti dari kata 'kapok'?" Ia menghela napas.Para pria itu, termasuk Jarno dan Mirko hanya menunduk tanpa keinginan untuk menjawab. Mana mereka tahu kecelakaan seperti ini akan terjadi? Biasanya lancar-lancar saja.Tidak mendengar tanggapan, Enzi memijat keningnya yang berdenyut. "Kalian terlalu meremehkan lawan. Jangan kira karena itu adalah
Dengan napas terengah dan tubuh berkeringat, akhirnya Laiv tiba di tempat tujuan. Ia melihat daerah pinggiran itu dengan wajah rumit. Merasa terlalu kebetulan dan aneh. Kenapa orang itu bisa berada di kota yang sama dengannya saat ini?Memasuki kawasan padat penduduk, ia menelusuri lorong-lorong panjang yang sempit dan saling terhubung satu sama lain. Begitu menginjak penghujung jalan, ia melihat sesosok remaja tengah berdiri. Ia menghampirinya tanpa banyak berpikir.Namun, belum ia mengucapkan sepatah kata pun, remaja itu, Ivan, mendongak dan terkejut saat melihat penampilannya."Hei, sudah lama sekali," sapanya ringan.Laiv mengangguk. Tanpa sadar ia menyentuh wajahnya dan mendesah. Oh, ia lupa minum obat hari ini saking cemasnya tadi."Antar aku ke sana," pintanya tanpa basa-basi."Oke!" Ivan mengacungkan jempol dan segera memandu Laiv ke tempat pertemuan.Tidak ada obrolan di antara keduanya. Hanya ada suara-suara ketukan sepatu dari langkah kaki mereka yang terdengar. Sementara d