Share

Kecelakaan

"Yepa?" 

"A-ah, ya?" Yepa mengerjap dan memandang Deska dengan gugup. 

"Apa yang sedang kau pikirkan?" Deska menatapnya dalam-dalam. "Apa wajahku sangat menarik atau ada sesuatu yang mengganggumu?" 

"Kau tidak perlu khawatir." Yepa menurunkan matanya dengan suara serius. "Aku hanya mendapat mimpi buruk." 

"Benarkah?" Tangan Deska bergerak. Jari jemarinya mengelus pipi Yepa yang halus dengan penuh kasih sayang. "Apa kau mau membaginya denganku agar tidak menjadi beban pikiran?" 

"Tidak perlu." Yepa menggeleng pelan. Ia mengangkat wajahnya dengan senyuman kuat. "Aku baik-baik saja." 

"Begitu." Deska menghela napas lega. "Kalau kau tidak apa-apa, itu bagus."

Jika ini sebelumnya, Yepa pasti tidak akan menyembunyikan apa-apa dari Deska. Bahkan untuk hal yang sepele sekalipun. Namun, sekarang …. 

"Des, kau tenang saja." Yepa melingkarkan kedua tangannya di pinggang Deska yang sempit. "Jangan terlalu banyak berpikir, oke?" 

"Aku tahu." Deska merengkuhnya dengan hangat. Perasaan tidak nyaman itu sedikit mereda. Mungkin ia memang terlalu banyak berpikir. 

Di balik dekapan itu sorot mata Yepa sangatlah dingin. Ia tidak boleh membuat Deska curiga. Atau pria ini akan menggunakan kekuatan uangnya untuk menghancurkan rencananya tanpa sadar. 

"Yepa," bisiknya. Deska membuat jarak dengannya. 

Yepa mendongak dengan sikap jengah yang manis. Ia tahu sinyal jenis macam apa ini. Ia memejamkan mata dan menunggu hal itu datang.

Meski hatinya enggan, ia harus mampu mengorbankan beberapa hal demi mencapai tujuan. Ia bisa merasakan napas Deska yang semakin mendekat padanya. Selama itu pula ia terus menghibur dirinya sendiri.

Tidak apa-apa. Orang yang akan menciumku adalah pria tampan, tinggi, dan kaya. Aku tidak rugi.

Ia terus mengulang kalimat itu di dalam kepala hingga sebuah jeritan membubarkan konsentrasinya. Refleks ia mendorong Deska menjauh.

"Apa itu?" tanyanya agak gugup.

Deska tidak marah karena kecelakaan yang mendadak ini. Sikapnya masih tetap tenang. "Aku akan memeriksanya," katanya seraya berbalik.

"Ikut!" Yepa langsung menempel Deska dengan waswas. Memeluk lengannya erat.

Deska merasa tak berdaya dengan sikap sang kekasih yang tampak menggemaskan di matanya ini. Seolah mereka akan menghadapi sesuatu yang gaib saja.

"Yah, kita lihat bersama," putusnya.

Pemandangan tidak biasa jatuh ke hadapan para penghuni kediaman. Di sana mereka melihat Yuvika berguling-guling di atas lantai ruang tengah sembari memegangi perutnya.

"Sakit!" pekiknya dengan keringat dingin yang bercucuran. Ia mengerang dengan suara yang tak tertahankan.

Di sana Yepa segera bereaksi tanpa memikirkan apa pun. Ia menghampiri Yuvika dan membantunya bangun.

"Kak, Kakak … Kak …." Yuvika bersandar padanya. Tangannya mencengkeram erat lengan Yepa. "Perutku sakit … tolong aku," pintanya setengah terisak. "Sakit …."

"Aku akan membawamu ke rumah sakit," katanya setengah berbisik.

"Serahkan saja padaku."

Deska segera mengambil alih Yuvika dengan sikap tenang dan Yepa mengikutinya dengan Zalka yang memandu mereka.

Semua proses mendebarkan itu jatuh ke dalam mata Yepa sekaligus. Ia tidak merasakan apa-apa saat Deska membawa Yuvika ke dalam ruang unit gawat darurat.

Keduanya … tangannya terkepal erat. Peristiwa ini tidak seperti di kehidupan sebelumnya. Apa ia melewatkannya tanpa sengaja?

Di belakang ketiganya Zalka menyaksikan pemandangan ini dalam keheningan. Ia mendesah. Namun, tidak ada yang bisa membaca pikirannya.

Yepa berbalik. Matanya langsung tertuju ke arah Zalka. "Paman, aku akan kembali. Aku merasa kurang enak badan," katanya tenang, tetapi tampak letih. "Tolong sampaikan pada Deska."

Zalka mengangguk. "Kembalilah. Kau juga perlu beristirahat."

"Terima kasih, Paman."

Begitu Yepa meninggalkan area rumah sakit, sikap lemahnya menghilang. Wajahnya dingin dan serius. Gerak langkah kakinya pun menjadi lebih cepat dan rapat.

Selain hujan yang kadang-kadang terjeda secara tak terduga dan kecelakaan yang menimpa Yuvika, kedua hal ini ada di luar lintasan kehidupan sebelumnya.

Ini tidak normal.

Yepa menggunakan taksi untuk kembali ke tempat tinggalnya. Ia sengaja berhenti di area sepi untuk menjernihkan pikirannya yang kacau. Sembari menyusuri jalanan, ia tidak menyadari jika seseorang tengah berlari ke arahnya dengan panik.

"Yeye!"

Pria itu berhasil meraih lengan Yepa dan menghalaunya di tengah jalan. Yepa tentunya terkejut, tetapi ia tidak memiliki rasa takut apa pun karena ia mengenal orang ini. Laiv F. Urville. Rekan kerjanya.

"Ada apa, Lala?" Ia menoleh. Tersenyum dengan tatapan dingin. "Merindukanku?"

Tubuh Laiv bergetar. Akan tetapi, ia masih tidak berniat melepaskan Yepa. Ia malah memandangnya dengan pilon dan merasa temannya ini lebih "keren" dari biasanya.

Senyuman di wajah Yepa kian menguat. "Bisa kau melepaskanku dulu, Laiv?"

Sontak Laiv panik dan cepat-cepat melepaskannya. Entah kenapa ia paling takut saat Yepa menyebut namanya secara langsung.

"Maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu," katanya buru-buru menjelaskan. "Tapi kalau tidak seperti ini, kau pasti akan mengabaikanku."

Orang ini … Yepa mendesah. "Ayo cari tempat untuk berbicara," katanya seraya berbalik, tanpa menunggu tanggapan dari Laiv.

Ada perasaan aneh yang menjalari hati Laiv ketika ia melihat punggung Yepa yang menjauh darinya. Entah ini benar atau tidak, ia harus mengatakannya. Mungkin ini adalah pertanda.

Mereka mendatangi sebuah taman yang sunyi. Keduanya berdiri saling berhadapan. Satu tenang dan yang lainnya gugup.

"Katakan, aku akan mendengarkannya," kata Yepa tanpa berbasa-basi.

Laiv merasa ragu saat melihat ketegasan Yepa yang kurang normal. Tiba-tiba wajah yang menderita itu tumpang tindih dengan orang yang ada di hadapannya saat ini. Ia meneguk ludahnya sendiri. "Yepa, aku melihatmu di dalam mimpiku," katanya cemas.

Yepa tidak merespons. Akan tetapi, angin malam membelai tubuh keduanya dalam keheningan.

Bukannya melanjutkan, Laiv malah menatap dengan waspada. "Tapi, kau jangan memukulku, ya?"

Pria idiot ini!

Sejahat apa dirinya di hadapan pria bodoh ini? Ia hanya mengangkat bahu tak peduli.

"Yepa, kau dimakan anjing liar."

Seketika suasana di sekitar mereka menjadi sangat senyap dalam hitungan detik. Air muka Yepa menjadi lebih serius. "Ceritakan semua yang kau lihat di dalam mimpimu," katanya tegas.

Laiv cepat-cepat mengangguk. Itu adalah adegan saat Yepa melahirkan hingga Deska meninggalkannya di tengah hutan.

" … Kau sudah mati."

Yepa tahu ini dan tidak menanggapi.

"Deska mencarimu."

Mata Yepa melebar tak percaya. "Apa?" Ia meneguk ludahnya sendiri. "Kau bilang apa?"

"Deska mencarimu ke tengah hutan," tegasnya. "Tapi semua sudah terlambat. Dia menangis dan menyesal atas tindakannya yang sudah membohongimu."

Tubuh Yepa tiba-tiba bergetar dengan suhu badan yang menurun.

"Dia memberimu pemakaman yang baik," tambahnya dengan lirih. Awalnya Laiv merasa gelisah saat ia menceritakan semua ini. Namun, ketika hal itu tersampaikan, ia merasa ada beban yang terangkat dari dalam hatinya.

Yepa menarik napas dalam-dalam. Mungkinkah semua yang ia alami sebelumnya adalah kesalahpahaman? "Terima kasih." Ia melembutkan wajahnya. "Kembalilah. Jangan sampai kau jatuh sakit."

Laiv merasa ragu sebentar. Meski begitu, pada akhirnya ia setuju karena menyadari Yepa membutuhkan waktu untuk mencerna semua itu.

"Sampai jumpa besok. Aku akan melihatmu lagi."

Yepa mengangguk. "Sampai jumpa."

Laiv melambaikan tangan dan berjalan setengah berlari meninggalkan taman. Seolah-olah ada hantu yang tengah mengejar.

"Bodoh." Senyum di wajah Yepa melemah. Seketika ia tidak bisa bertahan lagi dan ia jatuh terduduk dengan pikiran kosong.

Mana yang benar? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Deska membohonginya? Demi apa?

Ia menutupi wajahnya dan terisak. Mungkinkah semua ini adalah pertanda untuk membuka matanya? Apakah reinkarnasi ini baik untuknya? Jika ia salah melangkah, ia akan kehilangan segalanya lagi?

Pada akhirnya … apa yang harus aku lakukan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status