Share

Chapt 5 : Mau Bertarung Denganku?

Suara gemuruh para bangsawan menggema di seluruh ruangan kerajaan. Sebuah perjamuan besar dilakukan—untuk memperingati kemenangan usai mengalahkan Kerajaan Jovanka. Semua bangsawan terlihat bersuka cita, namun tidak dengan Mariana yang sedang memperhatikan Albert dikelilingi oleh para Baroness yang sedikit kecentilan pada suaminya. 

Mariana terlihat tak suka, ia hendak berlalu dari ruangan besar khusus perjamuan itu, namun sebuah suara menghentikannya. 

"Duchess Mariana," panggil Edgar membuat Mariana memutar tubuhnya. 

"Ya, Edgar? Kenapa?" 

Mariana berbicara santai dengan Edgar, pasalnya Edgar memang lebih muda dari dirinya. 

"Tidak apa-apa. Kenapa Duchess tidak ke kursi tahta bersama Duke?" tanya Edgar penasaran. 

Mariana yang ditanyai seperti itu hanya menyunggingkan senyum palsu lantas menggelengkan kepalanya, "Tak apa. Aku sedang malas saja."

Edgar hanya mengangguk paham usai mendengar penjelasan Mariana. Pria itu akhirnya pamit untuk berlalu, ia hendak duduk di samping Wingston—Ayah Albert. 

Tanpa permisi, Edgar memposisikan dirinya duduk di depan Wingston. Ia juga mulai menuangkan sebuah minuman warna biru gelap pada sebuah gelas transparan berbentuk tabung kecil. 

Wingston yang mengetahui keberadaan Edgar hanya bersikap santai seperti biasa. Hingga pada akhirnya, muncul sosok Marc—pria dari Kerajaan lain yang berkontribusi dalam kemenangan Kerajaan Wealton itu. 

"Duke Wingston, Edgar, tumben kalian akur?"

Wingston menaikkan satu alisnya setelah mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Marc, "Tumben? Kita bahkan tidak pernah bertengkar sebelumnya, Marc."

Marc lantas ikut duduk tepat di samping Edgar, ia lalu menyahuti lagi, "Benarkah? Aku hanya mendengarnya dari Albert kalau kalian berdua tidak akur karena Aslan."

Edgar memilih untuk diam tak menjawab, sementara Wingston beralih menatap pria itu dengan ringan. "Tidak usah pedulikan ucapan Albert," ujarnya kemudian berdiri dan hendak berlalu. 

"Mau kemana, Duke?" tanya Marc. 

"Ke belakang. Aku ada janji dengan Frank."

Usai itu, Wingston berlalu begitu saja meninggalkan Marc bersama Edgar. Wingston sendiri bingung, tidak biasanya Edgar diam seperti tadi. Apakah ada masalah yang menganggu bangsawan itu? Entahlah, Wingston tak ingin mencampuri nya. 

"Kau benar, Marc. Aku tidak akur dengan Wingston karena Aslan. Aku dan dia, kita berdua berbeda pendapat mengenai Aslan."

Setelah Wingston pergi, Edgar baru berani menyuarakan isi hatinya. Marc yang mendengar itu lantas cukup tertarik akan topik pembicaraan. "Pendapat yang bagaimana?"

"Ya, kau tau sendiri kalau Aslan seorang anak pengkhianat yang seharusnya tak pantas berada di sini. Tapi Wingston, dia malah secara terang-terangan mengumumkan telah memberi ijin pada Aslan untuk tetap tinggal di sini," tutur Edgar panjang lebar. 

Marc menyeringai kecil, "Mungkin Wingston punya alasan mengapa membiarkan Aslan tetap tinggal di sini."

"Tentu. Tapi apapun itu alasannya, aku dan Albert tak bisa menoleransi sebenarnya," ujar Edgar mengakhiri percakapan itu. 

***

Aslan baru tiba di ruang perjamuan itu. Kedua manik matanya menyapu seisi ruangan. Pandangannya beralih pada sebuah makanan kesukaannya. Ia lantas mendekat ke arah meja makan yang letaknya di tengah-tengah para bangsawan. Tak sedikit para bangsawan yang memperhatikan dirinya dengan tajam. Tentu ia tak peduli. 

Saat Aslan hendak mengambil piring, namun sebuah tangan menahannya. Hal itu sontak membuat Aslan menolehkan kepala— ia mendapati Edgar yang berdiri tepat di sampingnya. 

"Mau apa kamu?" tanyanya sarkas. 

Aslan tak berniat menjawab. Sebab, tanpa ia menjawab pun Edgar tentu tahu apa tujuannya mengambil piring itu. 

"Kamu itu nggak diundang ke perjamuan. Harusnya tempat kamu itu bukan di sini!" lanjutnya. 

"Lalu di mana tempat yang tepat untukku, Duke?" tanya Aslan dengan nada bicara santai. 

Edgar mendengus kasar. Mengapa Aslan baru menanyakan itu sekarang? Apakah pria tersebut sama sekali tak menyadari akan ketidakpantasannya berada di sini? 

"Sebenarnya tak ada tempat yang pantas untukmu. Tapi kalau aku menyarankan, lebih baik pergilah ke tempat rakyat bawah."

Usai mendengarkan penuturan Edgar, Aslan hanya terdiam mengatupkan bibir rapat. Perkataan yang cukup membuat ia terhina, namun dirinya tak ingin mempermasalahkan.

Edgar lantas melenggang pergi meninggalkan Aslan yang masih mematung di tempat. 

"Dasar, dia benar-benar tidak punya malu," gumam Edgar yang berjalan menjauh dari Aslan. Namun seberapa jauh pria itu melangkah, Aslan masih dapat mendengar gumaman suaranya. 

"Aslan? Makanlah!" Seorang Mariana tiba-tiba berdiri tepat di samping Aslan—menggantikan posisi Edgar sesaat yang lalu. 

Aslan masih berekspresi datar. Ia sama sekali tak berniat membalas perkataan Mariana. 

"Aslan? Kau mendengarkanku?" tanya Mariana sebab tak mendapati respon apapun dari Aslan. 

Sebuah gelengan pelan akhirnya Aslan tujukan untuk seorang Duchess berparas cantik rupawan itu. "Hormat, Duchess. Aku pamit dulu," ujarnya lalu pergi begitu saja meninggalkan Mariana. 

Aslan pun melangkahkan kaki ke dalam ruangan yang biasanya para Ksatria buat untuk berlatih. Tujuan Aslan hanya sederhana, ia ingin menyendiri, tanpa ada sesiapa pun yang mengacaukan harinya. 

Namun, sekelebat sihir berwarna merah hampir mengenai tubuhnya jika dirinya tidak secepat kilat menghindar. Aslan menoleh, melihat sosok Edgar yang dengan sombongnya mengeluarkan sebuah seringai memuakkan. 

"Cepat juga cara menghindarmu. Apa kamu mau bertarung denganku di sini?"

Aslan menatapnya heran, "Bertarung? Untuk apa?"

Edgar hanya menghendikkan bahunya angkuh, "Tak apa. Aku hanya ingin melihat seberapa hebat dirimu sampai Wingston memberikan ijin secara terang-terangan buat kamu tinggal di Kerajaan ini."

Aslan paling malas jika disuruh untuk melayani pria seperti Edgar. Dirinya hanya ingin hidup dengan tenang di Kerajaan. Namun, ada banyak sekali rintangan bagi dirinya. 

"Maaf, Duke. Tapi aku tidak sekuat dirimu."

"Benarkah begitu? Kalau begitu, bertarung lah dengan Ksatria. Mungkin kamu bisa membantainya?"

Aslan semakin tak nyaman dengan cara bicara Edgar—meskipun pada kenyataan situasi seperti ini selalu ia dapatkan. Mungkin, sehari saja Edgar tak bisa mengabaikan Aslan. Pria itu selalu memberikan kesan tak nyaman, berharap agar Aslan sadar dan pergi segera meninggalkan Kerajaan. 

"Maaf, aku tidak bisa, Duke," ujar Aslan merendah. 

Merasa tidak direspon dengan baik oleh Aslan, Edgar pun hendak memulai perkelahian. Sebuah pedang warna biru tiba-tiba menyala—muncul dari tangan kirinya. Pedang tersebut hendak ia todongkan pada tubuh Aslan, namun suara seorang pria membuat Edgar mengurungkan niat. Pedang yang semula di genggamnya, kini hilang dalam sekejap mata. 

"Edgar? Apa yang kau lakukan di sini?" Suara Damian membuat perhatian Aslan serta Edgar beralih padanya. 

Damian telah memasuki ruangan. Pria yang bertubuh tinggi namun badan tak terlalu besar itu berjalan mendekati kedua pria yang hampir berkelahi, dengan catatan jika Aslan menuruti Edgar. 

"Tidak ada. Kenapa?" 

Raut wajah Edgar berubah menjadi santai dan ringan dari sebelumnya. 

"Duke Albert memanggilmu. Katanya acara penutupan akan segera dimulai," ujar Damian. 

Edgar pun mengangguk paham, "Baiklah. Terima kasih."

Sepeninggalan Edgar, Damian lantas beralih menatap Aslan yang sedari tadi terus mengatupkan bibir rapat. Pria itu tanpa permisi tiba-tiba terkekeh kecil—membuat Aslan terheran karenanya. 

"Aslan, Aslan.... Harusnya kamu sanggupi saja Edgar tadi. Sekali-sekali Edgar harus diberi pelajaran."

Aslan tak terlalu paham akan penuturan Damian, "Maksud Duke apa?"

"Aku tau kalau kamu sudah memusnahkan bangsawan yang hampir mengambil pedang Artois kemarin, Aslan."

To be continue~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status