/ Fantasi / Sang Bangsawan / Chapt 5 : Mau Bertarung Denganku?

공유

Chapt 5 : Mau Bertarung Denganku?

작가: Hermynee
last update 최신 업데이트: 2021-11-13 19:39:38

Suara gemuruh para bangsawan menggema di seluruh ruangan kerajaan. Sebuah perjamuan besar dilakukan—untuk memperingati kemenangan usai mengalahkan Kerajaan Jovanka. Semua bangsawan terlihat bersuka cita, namun tidak dengan Mariana yang sedang memperhatikan Albert dikelilingi oleh para Baroness yang sedikit kecentilan pada suaminya. 

Mariana terlihat tak suka, ia hendak berlalu dari ruangan besar khusus perjamuan itu, namun sebuah suara menghentikannya. 

"Duchess Mariana," panggil Edgar membuat Mariana memutar tubuhnya. 

"Ya, Edgar? Kenapa?" 

Mariana berbicara santai dengan Edgar, pasalnya Edgar memang lebih muda dari dirinya. 

"Tidak apa-apa. Kenapa Duchess tidak ke kursi tahta bersama Duke?" tanya Edgar penasaran. 

Mariana yang ditanyai seperti itu hanya menyunggingkan senyum palsu lantas menggelengkan kepalanya, "Tak apa. Aku sedang malas saja."

Edgar hanya mengangguk paham usai mendengar penjelasan Mariana. Pria itu akhirnya pamit untuk berlalu, ia hendak duduk di samping Wingston—Ayah Albert. 

Tanpa permisi, Edgar memposisikan dirinya duduk di depan Wingston. Ia juga mulai menuangkan sebuah minuman warna biru gelap pada sebuah gelas transparan berbentuk tabung kecil. 

Wingston yang mengetahui keberadaan Edgar hanya bersikap santai seperti biasa. Hingga pada akhirnya, muncul sosok Marc—pria dari Kerajaan lain yang berkontribusi dalam kemenangan Kerajaan Wealton itu. 

"Duke Wingston, Edgar, tumben kalian akur?"

Wingston menaikkan satu alisnya setelah mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Marc, "Tumben? Kita bahkan tidak pernah bertengkar sebelumnya, Marc."

Marc lantas ikut duduk tepat di samping Edgar, ia lalu menyahuti lagi, "Benarkah? Aku hanya mendengarnya dari Albert kalau kalian berdua tidak akur karena Aslan."

Edgar memilih untuk diam tak menjawab, sementara Wingston beralih menatap pria itu dengan ringan. "Tidak usah pedulikan ucapan Albert," ujarnya kemudian berdiri dan hendak berlalu. 

"Mau kemana, Duke?" tanya Marc. 

"Ke belakang. Aku ada janji dengan Frank."

Usai itu, Wingston berlalu begitu saja meninggalkan Marc bersama Edgar. Wingston sendiri bingung, tidak biasanya Edgar diam seperti tadi. Apakah ada masalah yang menganggu bangsawan itu? Entahlah, Wingston tak ingin mencampuri nya. 

"Kau benar, Marc. Aku tidak akur dengan Wingston karena Aslan. Aku dan dia, kita berdua berbeda pendapat mengenai Aslan."

Setelah Wingston pergi, Edgar baru berani menyuarakan isi hatinya. Marc yang mendengar itu lantas cukup tertarik akan topik pembicaraan. "Pendapat yang bagaimana?"

"Ya, kau tau sendiri kalau Aslan seorang anak pengkhianat yang seharusnya tak pantas berada di sini. Tapi Wingston, dia malah secara terang-terangan mengumumkan telah memberi ijin pada Aslan untuk tetap tinggal di sini," tutur Edgar panjang lebar. 

Marc menyeringai kecil, "Mungkin Wingston punya alasan mengapa membiarkan Aslan tetap tinggal di sini."

"Tentu. Tapi apapun itu alasannya, aku dan Albert tak bisa menoleransi sebenarnya," ujar Edgar mengakhiri percakapan itu. 

***

Aslan baru tiba di ruang perjamuan itu. Kedua manik matanya menyapu seisi ruangan. Pandangannya beralih pada sebuah makanan kesukaannya. Ia lantas mendekat ke arah meja makan yang letaknya di tengah-tengah para bangsawan. Tak sedikit para bangsawan yang memperhatikan dirinya dengan tajam. Tentu ia tak peduli. 

Saat Aslan hendak mengambil piring, namun sebuah tangan menahannya. Hal itu sontak membuat Aslan menolehkan kepala— ia mendapati Edgar yang berdiri tepat di sampingnya. 

"Mau apa kamu?" tanyanya sarkas. 

Aslan tak berniat menjawab. Sebab, tanpa ia menjawab pun Edgar tentu tahu apa tujuannya mengambil piring itu. 

"Kamu itu nggak diundang ke perjamuan. Harusnya tempat kamu itu bukan di sini!" lanjutnya. 

"Lalu di mana tempat yang tepat untukku, Duke?" tanya Aslan dengan nada bicara santai. 

Edgar mendengus kasar. Mengapa Aslan baru menanyakan itu sekarang? Apakah pria tersebut sama sekali tak menyadari akan ketidakpantasannya berada di sini? 

"Sebenarnya tak ada tempat yang pantas untukmu. Tapi kalau aku menyarankan, lebih baik pergilah ke tempat rakyat bawah."

Usai mendengarkan penuturan Edgar, Aslan hanya terdiam mengatupkan bibir rapat. Perkataan yang cukup membuat ia terhina, namun dirinya tak ingin mempermasalahkan.

Edgar lantas melenggang pergi meninggalkan Aslan yang masih mematung di tempat. 

"Dasar, dia benar-benar tidak punya malu," gumam Edgar yang berjalan menjauh dari Aslan. Namun seberapa jauh pria itu melangkah, Aslan masih dapat mendengar gumaman suaranya. 

"Aslan? Makanlah!" Seorang Mariana tiba-tiba berdiri tepat di samping Aslan—menggantikan posisi Edgar sesaat yang lalu. 

Aslan masih berekspresi datar. Ia sama sekali tak berniat membalas perkataan Mariana. 

"Aslan? Kau mendengarkanku?" tanya Mariana sebab tak mendapati respon apapun dari Aslan. 

Sebuah gelengan pelan akhirnya Aslan tujukan untuk seorang Duchess berparas cantik rupawan itu. "Hormat, Duchess. Aku pamit dulu," ujarnya lalu pergi begitu saja meninggalkan Mariana. 

Aslan pun melangkahkan kaki ke dalam ruangan yang biasanya para Ksatria buat untuk berlatih. Tujuan Aslan hanya sederhana, ia ingin menyendiri, tanpa ada sesiapa pun yang mengacaukan harinya. 

Namun, sekelebat sihir berwarna merah hampir mengenai tubuhnya jika dirinya tidak secepat kilat menghindar. Aslan menoleh, melihat sosok Edgar yang dengan sombongnya mengeluarkan sebuah seringai memuakkan. 

"Cepat juga cara menghindarmu. Apa kamu mau bertarung denganku di sini?"

Aslan menatapnya heran, "Bertarung? Untuk apa?"

Edgar hanya menghendikkan bahunya angkuh, "Tak apa. Aku hanya ingin melihat seberapa hebat dirimu sampai Wingston memberikan ijin secara terang-terangan buat kamu tinggal di Kerajaan ini."

Aslan paling malas jika disuruh untuk melayani pria seperti Edgar. Dirinya hanya ingin hidup dengan tenang di Kerajaan. Namun, ada banyak sekali rintangan bagi dirinya. 

"Maaf, Duke. Tapi aku tidak sekuat dirimu."

"Benarkah begitu? Kalau begitu, bertarung lah dengan Ksatria. Mungkin kamu bisa membantainya?"

Aslan semakin tak nyaman dengan cara bicara Edgar—meskipun pada kenyataan situasi seperti ini selalu ia dapatkan. Mungkin, sehari saja Edgar tak bisa mengabaikan Aslan. Pria itu selalu memberikan kesan tak nyaman, berharap agar Aslan sadar dan pergi segera meninggalkan Kerajaan. 

"Maaf, aku tidak bisa, Duke," ujar Aslan merendah. 

Merasa tidak direspon dengan baik oleh Aslan, Edgar pun hendak memulai perkelahian. Sebuah pedang warna biru tiba-tiba menyala—muncul dari tangan kirinya. Pedang tersebut hendak ia todongkan pada tubuh Aslan, namun suara seorang pria membuat Edgar mengurungkan niat. Pedang yang semula di genggamnya, kini hilang dalam sekejap mata. 

"Edgar? Apa yang kau lakukan di sini?" Suara Damian membuat perhatian Aslan serta Edgar beralih padanya. 

Damian telah memasuki ruangan. Pria yang bertubuh tinggi namun badan tak terlalu besar itu berjalan mendekati kedua pria yang hampir berkelahi, dengan catatan jika Aslan menuruti Edgar. 

"Tidak ada. Kenapa?" 

Raut wajah Edgar berubah menjadi santai dan ringan dari sebelumnya. 

"Duke Albert memanggilmu. Katanya acara penutupan akan segera dimulai," ujar Damian. 

Edgar pun mengangguk paham, "Baiklah. Terima kasih."

Sepeninggalan Edgar, Damian lantas beralih menatap Aslan yang sedari tadi terus mengatupkan bibir rapat. Pria itu tanpa permisi tiba-tiba terkekeh kecil—membuat Aslan terheran karenanya. 

"Aslan, Aslan.... Harusnya kamu sanggupi saja Edgar tadi. Sekali-sekali Edgar harus diberi pelajaran."

Aslan tak terlalu paham akan penuturan Damian, "Maksud Duke apa?"

"Aku tau kalau kamu sudah memusnahkan bangsawan yang hampir mengambil pedang Artois kemarin, Aslan."

To be continue~

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Sang Bangsawan   Chapt 15 : Monster

    Aslan berada di barisan paling belakang. Ia melirik ke arah Peter yang membawa teropong untuk mengamati keadaan sekitar. Sedangkan Felco tetap tenang melakukan perjalanan. Lalu Johnny dan Shelly sibuk dengan peta, dan Angela malah berceloteh tak karuan seorang diri. "Kurang ajar si Albert. Berani-beraninya dia menyiksa aku dengan perjalanan memuakkan ini." Angela kesal dengan bebatuan licin yang bisa menjebak orang. "Aku juga tak terlalu paham, mengapa dia melakukan ini dengan kita? Tak cukupkah kita hanya langsung berperang dan pulang dengan kemenangan?" Felco menyahuti, punggung pria itu sedikit membungkuk karena sebuah ransel berisi barang berharga yang dibawanya. "Ini tidak semudah yang kita kira. Aku.... " "AWAS!" Peter berteriak karena mendapati sebuah sihir berwarna merah menyala hampir mengenai kepala Angela jika Johnny tak segera menariknya. Angela membulatkan mata, itu adalah sihir yang bisa merubah wujud bangsawan. "Sihir apa itu?" tanya Peter setelah sihir itu meng

  • Sang Bangsawan   Chapt 14 : Perjalanan Menuju Jovanka

    Semua bangsawan yang telah terpilih untuk melakukan perlawanan diam-diam ke kerajaan Jovanka pun berkumpul tepat di halaman depan kerajaan. Para bangsawan memakai pakaian berbeda-beda khas sesuai dengan kedudukannya. Aslan memakai baju serba hitam dilapisi beberapa tameng yang terbuat dari baja. Sebuah pedang perang tak luput dari genggaman tangannya. Diliriknya Shelly yang berdiri memimpin di depan dengan gagah ala dirinya. Tak terlihat sama sekali bahwa Shelly gadis yang menyebalkan. Mulai dari kelompok pertama hingga keempat telah mendapatkan kendaraan masing-masing untuk sampai ke sana. Ada yang mendapatkan beberapa kuda, ada juga yang mendapatkan kuda beserta kusirnya, bahkan ada yang mendapatkan karpet terbang. Cukup membuat Aslan terheran, sebab Aslan tak tahu apa yang direncanakan oleh Albert. Shelly memperhatikan Albert yang tengah mengarahkan sihir ke awan. Betapa terkejutnya Albert memberikan kelompok Aristokrat sebuah pintu rotan. Aslan pun sukses mengerutkan kening, "Pi

  • Sang Bangsawan   Chapt 13 : Arsitokrat

    Shelly menggelengkan kepalanya cepat. “Bukan. Akan ada kendaraan yang membawa kalian ke sana. Dan setiap kendaraan ditentukan dari nama kelompok yang kalian tetapkan. Aku juga tidak tahu mengapa Duke Albert membuat peraturan seperti itu. Bisa jadi itu meringankan kalian buat sampai ke sana, atau malah itu bisa jadi tantangan buat kalian sampai ke sana.”“Kenapa Duke Albert melakukan itu pada kita?” Angela terkejut mendengar penuturan Shelly. “Aku tidak terima kalau gara-gara kendaraan kita jadi kesusahan buat sampai ke sana.”“Sudahlah. Sebaiknya tetapkan dulu nama kelompok kita. Mungkin, nama kelompok memang bisa mempermudah kita saat melakukan misi nanti. Kita bisa bertelepati jika jarak kita sama-sama berjauhan,” ujar Johnny yang bisa diterima oleh akal sehat.Shelly melirik ke arah Aslan yang ternyata menampilkan mimik wajah serius. Mimik wajah itu baru pertama kali Shelly lihat. Shelly berpikir, apakah Aslan s

  • Sang Bangsawan   Chapt 12 : Lipstick

    Aslan tak begitu yakin dengan rencana yang Johnny buat. Tiga hari lagi menuju hari dimana pertempuran akan dimulai. Meskipun begitu, Aslan tetap harus menghargai apa yang direncanakan oleh Baron itu.Di saat bersamaan, muncullah beberapa Duke bersama dengan Albert dan Edgar. Semua yang berada di ruang khusus pun menoleh ke arah bangsawan berkedudukan tinggi itu. Aslan juga melihat adanya Shelly di sana."Perhatian! Lima Duke ini yang akan menjadi pengampu kalian di tiap kelompok. Saya serahkan pada setiap Duke untuk memilih kelompok yang diinginkan." Edgar memberi pengarahan pada lima orang Duke yang berdiri berdampingan.Shelly menyeringai, lantas secepat kilat ia milih kelompok lima untuk menjadi bawahannya. Gadis itu memposisikan dirinya duduk di samping Aslan yang sedari tadi hanya terdiam. Sebuah bisikan pun keluar dari mulut gadis itu, "Kau harus patuh padaku, Aslan!"Aslan me

  • Sang Bangsawan   Chapt 11 : Permulaan Strategi Perlawanan

    Angela sedari tadi menatap ke arah Johnny, seorang Baron yang sungguh tampan, melebihi ketampanan Albert. Sementara Felco hanya berekspresi datar, sama halnya dengan Peter yang sedari tadi mengatupkan bibir rapat. Sampai pada akhirnya Johnny pun memulai percakapan di kelompok lima itu."Aku yang akan memimpin." Tanpa rasa ragu, Johnny mengatakan kalimat tersebut dengan lantang.Peter menoleh, "Bukankah Baron Felco lebih pantas?"Angela pun menyahuti. Sembari menggelengkan kepala tak setuju, ia menolak tegas ucapan Peter, "No! Baron Felco itu sudah berumur, tak mungkin kekuatannya masih sama seperti kita.""Bukankah dia lebih berpengalaman dari pada kita?" Peter lagi-lagi membantah.Terlihat Johnny yang menghela napasnya, "Tak semua orang tua itu berpengalaman. Lihatlah Duke Edgar, dia masih muda tapi sudah menjadi tangan kanan Lord."Kini Peter tertawa remeh mendengar penuturan Johnny. "Cih, siapa yang kau panggil dengan se

  • Sang Bangsawan   Chapt 10 : Menjadi Bagian Kelompok

    "Aslan?!?" Semua pasang mata tertuju pada Aslan yang mematung di tempat. Pasalnya, ia sama sekali tak pernah melempar namanya ke bola magis itu. Namun, dengan anehnya bola itu memilih namanya. Dengan ragu Aslan melangkahkan kakinya perlahan. Bisik-bisik yang mereka katakan di samping kanan kirinya, dapat ia dengar dengan sangat jelas. Akan tetapi, bukan Aslan namanya kalau dirinya mengindahkan seluruh bisikan itu. Kini pria itu telah berdiri di samping Baron yang bernama Johnny. Tubuhnya hampir setara dengan Aslan. Yang membedakan ialah, warna kulit Johnny sedikit lebih cerahan dibanding Aslan yang pucat. Albert dan Edgar menatap penuh benci pada Aslan yang berdiri tak jauh dari mereka. Terutama Edgar, tangannya mengepal kuat, sorot kebencian pun tercetak jelas di kedua matanya. Sementara Aslan masih bersikap dingin dan mencoba untuk tetap tenang. Dari tempatnya berdiri, ia menangkap sosok Damian di tangga aula yang tengah tersenyum misterius ke arahnya. Aslan mengernyit, tak b

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status